MASYARAKAT MADURA DAN BUDAYA KEKERASAN
MASYARAKAT MADURA DAN BUDAYA KEKERASAN
Konflik komunal di Sampit,
Kalimantan Tengah tahun 2000 telah menjadikan orang Madura menjadi sorotan.
Pada konflik tersebut banyak orang Madura yang menjadi korban. Dampak konflik
tersebut, sebagian besar orang Madura harus meninggalkan Pulau Kalimantan dan kembali
ke Pulau Jawa dan Madura. Hal ini merupakan sebuah tragedi kemanusiaan, di mana
warga negara Indonesia harus menjadi pengungsi di negerinya sendiri.
Masyarakat Madura seringkali
diidentikkan dengan kekerasan, walaupun hal ini dibantah oleh tokoh-tokoh
Madura dan sejumlah pengamat sosial. Abdul Latief Widjaya misalnya, yang secara
mendalam melakukan kajian terhadap masyarakat Madura menganggap kesan kekerasan
yang melekat pada diri orang Madura disebabkan oleh adanya kesalahan pandangan.
Menurutnya, pikiran, sikap, dan
tindakan orang Madura lebih tepat dikatakan sebagai “ketegasan”, bukan
‘kekerasan”. Kedua kata ini memiliki perbedaan yang dalam. “Keras” menunjukkan
sifat perilaku yang berkebalikan dengan perilaku “lembut” sehingga segala
sesuatu harus dihadapi dengan penuh emosi dan mengabaikan akal budi dan etika
sopan santun.
Dalam konteks yang sama, “tegas”
mengandung makna perilaku memegang prinsip yang diyakininya sehingga tidak
dengan mudah terombang-ambing oleh kondisi dan situasi sekelilingnya. Sebagai
contoh, orang-orang Madura cenderung memilih warna-warna yang ‘tegas’ seperti
merah (mera`), hitam (celleng), hijau (bhiru), atau kuning (koneng). Hampir
tidak pernah orang Madura menyukai warna-warna jenis ‘lembut” atau kurang
tegas. Kalaupun memilih warna tersebut hanya sebagai asesoris atau tambahan.
Terkait dengan Carok, masyarakat
Madura seringkali diasosiasikan dengan kekerasan. Bagi masyarakat Madura
kekerasan fisik merupakan hal yang dianggap biasa. Menurut De Jonge, kekerasan
dianggap sesuatu yang lumrah jika menyangkut kehormatan diri yang dilecehkan.
Oleh karena itu orang luar seringkali menganggap ciri khas dari Madura adalah
Carok.
MASYARAKAT MADURA DAN CAROK
Carok
merupakan kekerasan yang sudah melembaga dan diterima sebagai sebuah
penyelesaian konflik oleh masyarakat Madura. Tindak kekerasan berupa carok ini
hampir selalu bersifat individual, meskipun kadang kala terjadi juga Carok
massal yang mulanya bersifat individual. Ketika faktor-faktor lingkungan mulai
berperan (dimulai dari tingkat keluarga sampai tingkat dusun dan desa), maka
Carok massal menjadi tidak terelakkan. Dengan kata lain, Carok massal tidak
lebih dari ekskalasi konflik individual yang berkaitan dengan faktor lingkungan
sosial yang melingkupinya.
Dalam
kebudayaan Madura, pembunuhan (Carok) selalu cenderung dikaitkan dengan
ungkapan “ango`an poteya tolang etembang
poteya mata’ (lebih baik mati daripada menanggung rasa malu). Tindakan
tersebut dalam kebudayaan Madura selain dibenarkan secara kultural juga
mendapatkan persetujuan sosial dari masyarakat. Carok terjadi ketika orang
Madura merasa dilecehkan harga dirinya
sehingga membuatnya merasa tada`
ajhina ( pengingkaran terhadap eksistensi diri sehingga tidak berguna dan
bermanfaat secara sosial maupun budaya) (Wijaya, 2006)
Arit yang
digunakan dalam Carok pun memiliki makna simbolik tertentu. Bagi masyarakat
Madura, tanpa arit, dia tidak dianggap lengkap. Ia hanya dianggap setengah
laki-laki, orang liar yang sudah dijinakkan. Jika orang Madura dipermalukan,
dia akan menghunus pisaunya atau aritnya.
Penggunaan
kekerasan fisik merupakan hal yang biasa dalam masyarakat Madura, terutama jika
menyangkut kehormatan diri yang dilecehkan. Oleh karena itu orang luar sering
menganggap ciri khas dari Madura adalah Carok dan menyebut orang Madura sebagai
“orang Carok”.
Berkaitan
dengan hal ini, muncul pertanyaan stereotip mengenai orang Madura. Stereotip
ini meskipun tidak selalu mencerminkan realitas yang sebenarnya, antara lain
menyebutkan bahwa orang Madura mudah tersinggung, menaruh curiga kepada orang
lain, bertemperamen tinggi atau mudah marah, pendendam, dan suka melakukan
tindakan kekerasan.
Budaya Carok
tidak terlepas dari karakter masyarakat Madura. Orang Madura dikenal
berperangai spontan. Spontanitas dan ekspresifitas orang Madura dilihat ketika
mereka merespon hal-hal yang terjadi di sekelilingnya. Misalnya, ketika orang
Madura tidak menyukai akan sesuatu, maka ketidaksukaan itu dikemukakan secara
spontan tanpa didahului dengan pernyataan basa basi. Begitu pula sebaliknya,
jika orang Madura merasa suka akan menyampaikan perasaan kesukaannya itu secara
spontan dan penuh ekspresifias. (Wijaya, 2013)
Carok dalam
masyarakat Madura mendapat tempat yang “terhormat” dan istimewa. Salah satu
indikasinya adalah seorang pelaku Carok yang telah berhasil menghabisi nyawa
lawannya tidak disebut sebagai pembunuh, dan juga tidak mendapat kecaman atau
kutukan atas setiap terjadinya kekerasan khas gaya Madura ini.
Carok biasanya
terjadi di daerah yang relatif terpencil. Penduduk setempat tidak mempunyai
hubungan banyak dengan dunia luar, dan pada umumnya mereka curiga terhadap
campur tangan otoritas dari atas. Umpamanya, mereka tidak bisa menerima bahwa
suatu tindakan menurut pendapat mereka merupakan pelanggaran berat, seperti
perzinahan dan penghinaan, namun menurut hukum nasional hanya dilihat sebagai
pelanggaran ringan, yang kemudian tidak atau hampir tidak mendapatkan sanksi
hukum. Moralitas dan perasaan keadilan nasional dan lokal tidak sesuai sehingga
oknum main hakim sendiri dengan cara melakukan Carok.
Carok
merupakan semacam pertolongan terhadap diri sendiri (selp help). Dalam konteks
ini, masalah yang menjadi pemicu Carok selalu dikaitkan dengan harga diri atau
rasa malu. harga diri dan penggunaan kekuatan fisik mempunyai hubungan yang
sangat erat dalam masyarakat tertentu, seperti yang ditunjukkan oleh beberapa
studi antropologi.
Adapun yang
menjadi penyebab atau latar belakang terjadinya Carok umumnya beragam. Dalam
studi yang dilakukan oleh Abdul Latief Widjaya menyebutkan bahwa, untuk kawasan
Bangkalan, selama kurun waktu lima tahun (1990-1994), latar belakang terjadinya
Carok antara lain sebagai berikut :
❶Masalah gangguan terhadap istri (60,4 %)
❷Masalah tanah atau warisan (6,7 %)
❸Masalah hutang piutang (9,2 %)
❹Masalah lain seperti melanggar kesopanan
di jalan, dalam pergaulan, dan lingkungan sosial lainnya (6,8 %)
Persona fisik
seolah-olah merupakan penjelmaan dari harga diri. Dengan demikian, menghina
harga diri sama artinya dengan melukai seseorang secara fisik. Di pedalaman
Madura harga diri orang atau keluarga masih selalu dipertaruhkan ketika
seseorang dalam situasi kecemburuan, kalau istri atau anak perempuannya
diganggu, kalau orang dihina dengan kata-kata kasar atau perbuatan kasar, dan
kalau orang mencuri barang, misalnya air untuk irigasi atau rumput untuk
ternak.
REFERENSI :
A.Latief Wiyata, Carok, Konflik
Kekerasan Dan Harga Diri Orang Madura, Yogyakarta : LKiS, 2006
A.Latief Wiyata, Mencari Madura,
Jakarta : Bidik-Phronesis Publishing, 2013
Alo Liliweri,
Prasangka & Konflik,Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat
Multikultur,Yogyakarta : LKiS,2005
Gerry Van
Klinken, Perang Kota Kecil, Kekerasan Komunal Dan Demokratisasi di Indonesia,
Jakarta : YOI, 2007
Hendro Suroyo
Sudagung, Mengurai Pertikaian Etnis, Migrasi Swakarsa Etnis Madura Ke
Kalimantan Barat, Jakarta : ISAI, 2001
Soerjono
Soekanto, Pokok Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : Rajawali, 2012
Komentar
Posting Komentar