AUGUSTE COMTE DAN KEMUNCULAN SOSIOLOGI
AUGUSTE COMTE DAN KEMUNCULAN SOSIOLOGI
Pemikiran Positivisme Comte sebagaimana yang tertera dalam bukunya
Course of Positive Philosophy, lahir
ditengah perubahan sosial yang terjadi di Eropa yang ketika itu mengalami
berbagai revolusi, diantaranya Revolusi Prancis. Revolusi tersebut
mengakibatkan tatanan sosial yang sudah mapan dan ajeg dalam jangka waktu yang
lama dapat runtuh begitu saja dalam waktu yang singkat.
Comte sangat prihatin terhadap anarki yang terjadi di masyarakat
Prancis dan mencela para pemikir Prancis yang menimbulkan Pencerahan dan
revolusi. Filsafat Positivismenya dimunculkan untuk memberantas sesuatu yang ia
anggap sebagai filsafat negatif dan destruktif dari Abad Pencerahan.
Pemikiran Comte ditujukan untuk melakukan reformasi sosial,
terutama pada meluasnya penyakit-penyakit sosial yang diciptakan oleh Revolusi
Prancis. Comte tidak menginginkan perubahan revolusioner karena Ia merasa
evolusi masyarakat secara alamiah akan membuat segala sesuatu menjadi lebih
baik. (Ritzer)
Hal itulah yang mendorong keprihatinan Comte. Comte kemudian
berupaya memikirkan tentang perlunya membangun sebuah tatanan sosial seajeg
mungkin sehingga membentuk keteraturan sosial.
Comte juga berupaya untuk melakukan reformasi sosial untuk
mengatasi berbagai penyakit sosial yang muncul akibat perubahan besar yang
meruntuhkan tatanan sosial lama.
Comte beranggapan pembaharuan sosial yang terbatas sifatnya dan
tambal sulam tidak akan berhasil mengatasi permasalahan di masyarakat, kiranya
diperlukan reorganisasi masyarakat secara menyeluruh.(Turner,1979)
Comte kemudian memikirkan tentang perlunya mengembangkan sebuah
ilmu yang berfungsi sebagai agama kemanusiaan dan menyempurnakan harmoni
sosial.
Suasana politik dan sosial yang muncul sebagai buntut dari
Revolusi Prancis, termasuk serangkaian pergolakan yang berkesinambungan,
pergantian monarki, revolusi dan periode republik telah mendorong Comte untuk
menyusun konsep kehidupan masyarakat yang stabil.
Oleh karena itulah Comte menitikberatkan pentingnya keteraturan
sosial. Dalam pernyataannya bahwa masyarakat diancam oleh kekacauan intelektual
dan sosial politik, serta menegakkan kembali keteraturan atas dasar pengetahuan
hukum masyarakat positif yang logis sangat penting untuk menjamin kemajuan yang
berjalan terus. (Johnson,1988)
Pemikiran Comte kemudian dikenal dengan nama Positivisme. Positisme sangat
dipengaruhi oleh latar belakang pendirinya yang sebelumnya merupakan seorang
fisikawan.
Terobsesi oleh metode yang ada dalam ilmu alam/ fisika, Comte
kemudian mengembangkan Positivisme yang bertujuan untuk menemukan hukum-hukum
kemasyarakatan sebagaimana terdapat juga hukum yang mengatur kehidupan alam.
Comte menarik kesimpulan, bahwa pengintegrasian kembali masyarakat
atas dasar prinsip-prinsip Positivisme hanya mungkin dilaksanakan melalui
“agama gaya baru”, yaitu agama sekuler dengan lambangnya, upacaranya, hari-hari
raya, dan orang “sucinya”. Hanya agama yang mampu menyemangati akal budi maupun
perasaan dan kemauan.
Oleh karena itulah, Comte dalam masa tuanya mendirikan agama baru
itu. Menurut Comte Sosiologi Positivislah yang akan menjadi agama baru
tersebut.
Dalam agama Comte, yang disembah sebagai Yang Maha Tinggi bukan
Tuhan, melainkan humanitas atau manusia. Agama Humanitas Comte merupakan satu
gagasan utopis untuk mereorganisasi masyarakat secara sempurna.
Selain itu, menurut Comte, Sosiologi akan menjadi ratu ilmu
pengetahuan seperti teologi di Abad Pertengahan. Comte bahkan sempat menyusun
hirarki ilmu pengetahuan yang menempatkan sosiologi berada dipuncak hirarki
tersebut karena Comte menganggap sosiologi sebagai ilmu yang paling logis.
Hirarki ilmu pengetahuan yang disusun oleh Comte didasarkan atas
perbedaan tingkat kompleksitas analisa masing-masing ilmu pengetahuan tersebut.
Setelah sosiologi secara berturut-turut terdapat ilmu biologi, kimia, fisika, astronomi,
kemudian matematika.
Berbasis pada filsafat Positivisme, Comte kemudian mengembangkan sebuah ilmu
baru yang Ia sebut dengan nama Sosiologi. Sosiologi positivis Comte kemudian
menjadi aliran yang mendominasi Sosiologi terutama di era 1940-1960an.
Sosiologi positivis Comte terutama mempelajari statika sosial
(struktur sosial) dan dinamika sosial (perubahan sosial) dengan tekanan utama
pada dinamika sosial ketimbang statika sosial.
Hal ini menunjukkan perhatian Comte yang besar terhadap gagasan
reformasi sosial yang dicita-citakan oleh Comte itu sendiri.
Meski dalam beberapa segi, Positivisme mengandung kebaruan, namun
pandangan ini bukan merupakan sesuatu yang baru, karena sebelum Comte dan Immanuel
Kant sudah berkembang empirisme yang dalam beberapa hal bersesuaian dengan
Positivisme.
Lebih tepat dikatakan bahwa Positivisme merupakan peruncingan
trend sejarah pemikiran Barat modern yang telah mulai menyingsing sejak
runtuhnya tatanan dunia Abad Pertengahan, melalui rasionalisme dan empirisme.
Apa yang baru dalam Positivisme adalah sorotan khususnya terhadap
metodologi ilmu pengetahuan, bahkan dapat dikatakan bahwa pandangan ini sangat
menitikberatkan metodologi dalam refleksi filsafatnya.
Kalau dalam empirisme dan rasionalisme pengetahuan masih
direfleksikan, dalam Positivisme kedudukan pengetahuan diganti metodologi, dan
satu-satunya metodologi yang berkembang secara meyakinkan sejak Renaissance,
dan subur pada masa Aufklarung adalah metodologi ilmu-ilmu alam.
Oleh karena itu, Positivisme menempatkan metodologi ilmu-ilmu alam
pada ruang yang dahulunya menjadi wilayah refleksi epistemologi, yaitu
pengetahuan manusia tentang kenyataan.
Positivisme adalah paham filsafat, yang cenderung untuk membatasi
pengetahuan benar manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh dengan memakai
metode ilmu pengetahuan (sains).
Positivisme adalah ajaran bahwa hanya fakta atau hal yang dapat
diuji yang melandasi pengetahuan yang sah. Oleh karena itu, teologi dan
metafisika harus dianggap sebagai sebuah spekulasi saja.
Sebagai konsekuensinya Comte berpendapat bahwa agama dan
metafisika harus dipinggirkan. Semua lembaga kemasyarakatan, yang pembenarannya
dan pendasarannya ditemukan dalam pandangan yang bersifat keagamaan dan
metafisik, harus diperbarui atau diganti dengan lembaga-lembaga yang berpedoman
pada ilmu pengetahuan positif.
Positivisme bercirikan metode evaluasi sains dan saintifik positif
pada tingkat ekstrem. Seperti layaknya suatu sistem pemikiran, positivisme pada
dasarnya mempunyai pijakan ; logika
empirisme,realitas objektif,reduksionisme,determinisme, dan asumsi bebas-nilai.
Positivisme manganggap pernyataan tanpa bukti empiris, seperti
etika, estetika, dan metafisika ialah omong kosong.(Susan,2009)
Positivisme relatif sering diasosiasikan sebagai pendangan
keilmuan yang menarik asumsi-asumsi metodologisnya dari ilmu alam.
Pengetengahan Positivisme dalam ilmu sosial dianggap sebagai upaya untuk
menjadikan ilmu sosial sebagai ilmu yang pasti dan akurat, atau mencoba
menyerupakannya dengan ilmu alam.
Positivisme merupakan pandangan yang kemudian mendominasi
teori-teori dalam ilmu sosial dan menjadikan ilmu sosial memiliki pandangan
keilmuan yang dingin, mekanis dan tidak humanis.
Positivisme menurut sebagian sosiolog seperti Ian Craib dapat
menuntut kepastian sehingga mengikuti metodologi ilmu alam khususnya dengan
mengkuantifikasi segala hal yang ditelitinya.
Pandangan ilmu sosial khususnya sosiologi yang bersifat positivis
ini kemudian mengundang reaksi dari sejumlah tokoh diantaranya Max Weber. Weber
kemudian mengembangkan sosiologi yang lebih bersifat humanis dan didasarkan
atas interpretasi individu yang dilakukan dalam proses interaksi sosial.
REFERENSI
:
K.J.Veeger, Realitas Sosial, Jakarta : Gramedia, 1985
Komentar
Posting Komentar