SOSIOLOGI ; LATAR BELAKANG KEMUNCULANNYA
SOSIOLOGI ; LATAR BELAKANG KEMUNCULANNYA
Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan
yang mempelajari mengenai masyarakat. Sosiologi mempelajari kehidupan manusia
beserta segala dinamikanya.
Sosiologi lahir pertama kali pada abad
18 Masehi. Ketika itu Eropa sedang mengalami transfrormasi masyarakat yang
berlangsung secara radikal dan fundamental.
Terdapat dua peristiwa penting yang
melatarbelakangi munculnya ilmu sosiologi. Yang pertama adalah Revolusi Prancis
dan yang kedua adalah Revolusi Industri di Inggris.
Kedua revolusi tersebut bukan hanya
mengubah wajah Eropa semata, akan tetapi juga merombak tatanan kehidupan sosial
politik masyarakat dunia hinga hari ini.
Revolusi Prancis ditandai oleh adanya
pemberontakan rakyat yang menentang sistem monarki absolut di Prancis. Ketika
itu Prancis diperintah secara despotis oleh dinasti Bourbon yang dipimpin oleh
Raja Louis XVI. Prancis di era monarki ditandai oleh adanya pemerintahan yang
sewenang-wenang terhadap penderitaan rakyat.
Beban pajak yang berat ditambah dengan
tidak diakuinya hak asasi manusia menjadikan monarki absolut di Prancis menjadi
sasaran kemarahan rakyat. Setelah rakyat berhasil menumbangkan monarki dan
mengubah prancis menjadi sebuah republik demokratis, Prancis terus menerus
mengalami pergolakan, sampai akhirnya situasi di Prancis mengalami peredaan
pada pertengahan abad ke-19.
Revolusi Prancis telah mengakibatkan
perubahan yang signifikan. Revolusi Prancis telah merubah secara mendasar dan
selamanya tatanan sosial, politik dan ekonomi Prancis.
Hal itulah yang kemudian menimbulkan
pertanyaan dari sejumlah pemikir abad pencerahan seperti Auguste Comte. Comte
sangat prihatin terhadap anarki yang terjadi di masyarakat Prancis dan mencela
para pemikir Prancis yang menimbulkan pencerahan dan revolusi. Filsafat
Positivismenya dimunculkan untuk memberantas sesuatu yang ia anggap sebagai
filsafat negatif dan destruktif dari Abad Pencerahan.
Pemikiran Comte ditujukan untuk melakukan reformasi sosial,
terutama pada meluasnya penyakit-penyakit sosial yang diciptakan oleh Revolusi
Prancis. Comte tidak menginginkan perubahan revolusioner karena Ia merasa
evolusi masyarakat secara alamiah akan membuat segala sesuatu menjadi lebih
baik. (Ritzer)
Hal itulah yang mendorong keprihatinan Comte. Comte kemudian
berupaya memikirkan tentang perlunya membangun sebuah tatanan sosial seajeg
mungkin sehingga membentuk keteraturan sosial. Comte juga berupaya untuk
melakukan reformasi sosial untuk mengatasi berbagai penyakit sosial yang muncul
akibat perubahan besar yang meruntuhkan tatanan sosial lama.
Comte beranggapan pembaharuan sosial yang terbatas sifatnya dan
tambal sulam tidak akan berhasil mengatasi permasalahan di masyarakat, kiranya
diperlukan reorganisasi masyarakat secara menyeluruh. (Turner,1979) Comte
kemudian memikirkan tentang perlunya mengembangkan sebuah ilmu yang berfungsi
sebagai agama kemanusiaan dan menyempurnakan harmoni sosial.
Suasana politik dan sosial yang muncul sebagai buntut dari
Revolusi Prancis, termasuk serangkaian pergolakan yang berkesinambungan,
pergantian monarki, revolusi dan periode republik telah mendorong Comte untuk
menyusun konsep kehidupan masyarakat yang stabil.
Oleh karena itulah Comte menitikberatkan pentingnya keteraturan
sosial. Dalam pernyataannya bahwa masyarakat diancam oleh kekacauan intelektual
dan sosial politik, serta menegakkan kembali keteraturan atas dasar pengetahuan
hukum masyarakat positif yang logis sangat penting untuk menjamin kemajuan yang
berjalan terus. (Johnson,1988)
Selain Revolusi Prancis, sosiologi juga
dilatarbelakangi oleh Revolusi Industri yang terjadi di Inggris. Revolusi
Industri diawali oleh ditemukannya serangkaian penemuan baru yang mendorong
produksi barang menjadi lebih massif, seperti penemuan mesin uap, mesin
pemintal, mesin untuk menggerakkan kereta dan kapal laut dan lain sebagainya.
Revolusi Industri telah mengakibatkan
berubahnya struktur masyarakat Inggris. Inggris secara perlahan-lahan berubah
menjadi sebuah masyarakat industri. Produksi barang mengalami peningkatan
seiring dengan digunakannya mesin-mesin dalam proses produksi. Kegiatan
perdagangan juga mengalami kemajuan. Hal itu didorong oleh muncul dan
berkembangnya gagasan mengenai pedagangan bebas yang dilontarkan oleh sejumlah
ilmuan sosial ekonomi seperti David Ricardo dan Adam Smith.
Akan tetapi perubahan ekonomi di Inggris
akibat Revolusi Industri tidak selamanya positif. Terdapat berbagai fenomena
sosial yang mengurangi nilai kemanusiaan. Dorongan untuk peningkatan produksi
barang telah menyebabkan eksploitasi terhadap tenaga buruh. Buruh dipekerjakan
secara tidak manusiawi.
Banyak buruh harus menghabiskan waktunya
sehari-hari untuk bekerja di pabrik-pabrik atan kawasan pertambangan dengan
upah yang sangat minim. Dengan kata lain terjadi eksploitasi terhadap buruh
yang dilakukan oleh pemikik pabrik.
Sedangkan di sisi lain, pemilik pabrik
mendapatkan keuntungan yang makin bersar yang terkumulasi dalam bentuk modal,
muncullah kapitalisme industrial.
Ketimpangan sosial tersebut telah
menarik perhatian seorang filsuf Jerman yang bernama Karl Marx. Menurut Karl
Marx, sistem kerja industrial telah mengakibatkan golongan buruh yang
disebutnya dengan istilah proletar mengalami alienasi.
Menurut Marx, alienasi terjadi apabila orang-orang yang menguasai
produk, berlawanan dengan kehendak kaum produsen dan merampas hak produsen atas
produk tersebut. Peristiwa ini dapat terjadi sedemikian jauhnya sehingga produk
itu tidak lagi dikenal sebagai produknya sendiri atau bahkan produk ciptaan
manusia.
Produk itu menjadi kekuatan asing yang ada di luar manusia dan yang
menurut keyakinannya harus ia taati. Maka ia dikatakan telah memiliki kesadaran
palsu. Pembebasan diri dari kekuatan asing itu ialah emansipasi yang
sesungguhnya, syaratnya atau artinya adalah bahwa kenyataan yang
diobjektivikasikan dan yang terasing itu harus dikuasai kembali.
Sebab-sebab keterasingan itu menurut Marx terletak pada milik pribadi.
Milik pribadi ini tidak harus ada sebelumnya. Dalam tahap sejarah yang paling
awal, yaitu tahap komunisme primitif, tidak ada hak miliki pribadi.
Tetapi berkat perkembangan tenaga-tenaga produksi, terutama
teknik, secara berangsung-angsur produk dihasilkan melebihi jumlah yang
diperlukan untuk memenuhi keperluan. Maka terdapatlah surplus, dan surplus ini
memungkinkan bahwa orang-orang tertentu tidak perlu berproduksi, tetapi dapat
menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan rohaniah.
Pemisahan antara bidang material dan kerja rohaniah merupakan saat yang
menentukan dalam proses pembagian kerja. Pembagian kerja sudah tidak ada sejak
semula dalam hubungan seks, yaitu atas dasar sifat-sifat jasmaniah ; tetapi
dengan dibaginya kerja menjadi kerja rohaniah dan kerja jasmaniah maka menjadi
mungkin bahwa “kenikmatan” dan kerja, produksi dan konsumsi jatuh ke tangan
individu-individu yang berbeda-beda.
Bersamaan dengan timbulnya milik pribadi semacam ini timbul pulalah
pembagian dalam kelas-kelas. Sejak saat itu terdapat kaum pemilik sarana-sarana
produksi dan kaum yang tidak memilikinya. Masing-masing kelas ini memiliki
kepentingan-kepentingannya sendiri. Dengan demikian maka timbullah pemisahan
antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Kaum ‘berpunya’ menyatakan
kepentingan pribadi mereka sebagai kepentingan umum di hadapan kaum ‘tidak
berpunya’.
Sudah jelas bahwa keterasingan pertama kali terungkap pada tingkat
fundamental, ialah pada tingkat ekonomi kenyataan sosial. Pada tingkat ini,
keterasingan terwujud pertama-tama dalam hubungan dengan produksi kerja. Sebab,
buruh berproduksi tidak langsung untuk memenuhi keperluannya sendiri. Ia
berproduksi untuk pasaran ; produk ditarik dari penguasaannya, dan dijual di
pasaran yang dikuasai oleh hubungan-hubungan tukar menukar yang ada di luar
kekuasaannya.
Semakin banyak ia berproduksi, semakin miskinlah ia, karena dunia
produksi yang asing baginya semakin tumbuh. Buruh tidak saja terasing dari
produk kerja, tetapi juga proses kerja. Kerja sendiri berubah menjadi tugas,
dan tidak lagi merupakan pemenuhan keperluan akan kerja, tetapi merupakan suatu
sarana untuk memenuhi keperluan-keperluan lain.
Kerja menjadi begitu tidak menyenangkan sehingga ia baru bisa merasa
bahagia apabila kerja sudah selesai dan tersisa waktu baginya untuk
kesibukan-kesibukan lain. Keadaan ini juga menyentuh hakekat manusia sendiri,
karena ia harus mencapai perwujudan diri melalui kerja. Jadi kalau ia menjadi
terasing dari kerja, maka ia dengan demikian menjadi terasing dari hakekat
dirinya sendiri yang sebenarnya. (Laeyendecker, 1983)
REFERENSI :
Anthony Giddens, Teori Strukturasi, Dasar-dasar Pembentukan
Struktur Sosial Masyarakat, Yogyakarta : Pustaka, 2010
Damsar, Pengantar Teori Sosiologi, Jakarta : Kencana,2015
Geger Riyanto, Peter L.Berger, Perspektif Metateori
Pemikiran,Jakarta : LP3ES,2009
George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, Jakarta : Kencana,
tanpa tahun
Ken Plummer, Sosiologi the Basics, Jakarta : RajaGrafindo,
2011
Margaret M.Poloma,
Sosiologi Kontemporer,Jakarta : RajaGrafindo,2014
Peter L.Berger, Tafsir sosial atas kenyataan, risalah
tentang sosiologi pengetahuan, Jakarta : LP3ES, 1990
K.J.Veeger, Realitas Sosial, Jakarta : Gramedia, 1985
Bawa
Atmaja, Nengah, Sosiologi Media, Perspektif Teori Konflik, Depok ; RajaGrafindo
2018
Komentar
Posting Komentar