STATIKA SOSIAL DAN DINAMIKA SOSIAL ; MENELAAH PEMIKIRAN AUGUSTE COMTE
STATIKA SOSIAL DAN DINAMIKA SOSIAL ; MENELAAH PEMIKIRAN AUGUSTE
COMTE
Sosiologi diperkenalkan pertama kali sebagai sebuah disiplin ilmu
oleh Auguste Comte, oleh karenanya Comte kemudian dikenal sebagai “Bapak”
Sosiologi. Walaupun Comte tidak dikategorikan sebagai seorang teoritisi
konflik, namun pandangannya tentang dinamika kehidupan masyarakat dapat mengindikasikan
adanya konflik sebagai salah satu unsur yang membentuk masyarakat.
Positivisme merupakan aliran filsafat yang berkembang pertama kali
di Eropa pada abad 18 M. Positivisme pertama kali dikemukakan oleh Isidore Auguste Marie Francois Xavier atau yang lebih
dikenal dengan August Comte (1798-1857 M). Filsafat Positivisme Comte
sebenarnya berakar dari pemikiran Henri de Saint Simon, seorang tokoh filsafat
Inggris.
Positivisme telah berhasil melakukan perubahan besar dalam
kehidupan umat manusia. Manusia modern enggan untuk melakukan hal-hal yang
tidak dapat dimengerti secara rasional. Positivisme telah mengembangkan akal
budi manusia. Meningkatnya perkembangan
ilmu pengetahuan dan kemajuan kebudayaan materiil menunjukkan salah satu
pengaruh dari Positivisme.
Pemikiran Positivisme Comte sebagaimana yang tertera dalam bukunya Course of Positive Philosophy, lahir
ditengah perubahan sosial yang terjadi di Eropa yang ketika itu mengalami
berbagai revolusi, diantaranya Revolusi Prancis. Revolusi tersebut
mengakibatkan tatanan sosial yang sudah mapan dan ajeg dalam jangka waktu yang
lama dapat runtuh begitu saja dalam waktu yang singkat.
Comte sangat prihatin terhadap anarki yang terjadi di masyarakat
Prancis dan mencela para pemikir Prancis yang menimbulkan Pencerahan dan
revolusi. Filsafat Positivismenya dimunculkan untuk memberantas sesuatu yang ia
anggap sebagai filsafat negatif dan destruktif dari Abad Pencerahan.
Pemikiran Comte ditujukan untuk melakukan reformasi sosial,
terutama pada meluasnya penyakit-penyakit sosial yang diciptakan oleh Revolusi
Prancis. Comte tidak menginginkan perubahan revolusioner karena Ia merasa
evolusi masyarakat secara alamiah akan membuat segala sesuatu menjadi lebih
baik. (Ritzer)
Hal itulah yang mendorong keprihatinan Comte. Comte kemudian
berupaya memikirkan tentang perlunya membangun sebuah tatanan sosial seajeg
mungkin sehingga membentuk keteraturan sosial. Comte juga berupaya untuk
melakukan reformasi sosial untuk mengatasi berbagai penyakit sosial yang muncul
akibat perubahan besar yang meruntuhkan tatanan sosial lama.
Comte beranggapan pembaharuan sosial yang terbatas sifatnya dan
tambal sulam tidak akan berhasil mengatasi permasalahan di masyarakat, kiranya
diperlukan reorganisasi masyarakat secara menyeluruh. (Turner,1979) Comte
kemudian memikirkan tentang perlunya mengembangkan sebuah ilmu yang berfungsi
sebagai agama kemanusiaan dan menyempurnakan harmoni sosial.
Suasana politik dan sosial yang muncul sebagai buntut dari
Revolusi Prancis, termasuk serangkaian pergolakan yang berkesinambungan,
pergantian monarki, revolusi dan periode republik telah mendorong Comte untuk
menyusun konsep kehidupan masyarakat yang stabil.
Oleh karena itulah Comte menitikberatkan pentingnya keteraturan
sosial. Dalam pernyataannya bahwa masyarakat diancam oleh kekacauan intelektual
dan sosial politik, serta menegakkan kembali keteraturan atas dasar pengetahuan
hukum masyarakat positif yang logis sangat penting untuk menjamin kemajuan yang
berjalan terus. (Johnson,1988)
Pemikiran Comte kemudian dikenal dengan nama Positivisme. Positivisme sangat
dipengaruhi oleh latar belakang pendirinya yang sebelumnya merupakan seorang
fisikawan. Terobsesi oleh metode yang ada dalam ilmu alam / fisika, Comte
kemudian mengembangkan Positivisme yang bertujuan untuk menemukan hukum-hukum
kemasyarakatan sebagaimana terdapat juga hukum yang mengatur kehidupan alam.
Comte menarik kesimpulan, bahwa pengintegrasian kembali masyarakat
atas dasar prinsip-prinsip Positivisme hanya mungkin dilaksanakan melalui
“agama gaya baru”, yaitu agama sekuler dengan lambangnya, upacaranya, hari-hari
raya, dan orang “sucinya”. Hanya agama yang mampu menyemangati akal budi maupun
perasaan dan kemauan.
Oleh karena itulah, Comte dalam masa tuanya mendirikan agama baru
itu. Menurut Comte Sosiologi Positivislah yang akan menjadi agama baru
tersebut. Dalam agama Comte, yang disembah sebagai Yang Maha Tinggi bukan
Tuhan, melainkan humanitas atau manusia. Agama Humanitas Comte merupakan satu
gagasan utopis untuk mereorganisasi masyarakat secara sempurna.
Selain itu, menurut Comte, Sosiologi akan menjadi ratu ilmu
pengetahuan seperti teologi di Abad Pertengahan. Comte bahkan sempat menyusun
hirarki ilmu pengetahuan yang menempatkan sosiologi berada dipuncak hirarki
tersebut karena Comte menganggap sosiologi sebagai ilmu yang paling logis.
Hirarki ilmu pengetahuan yang disusun oleh Comte didasarkan atas
perbedaan tingkat kompleksitas analisa masing-masing ilmu pengetahuan tersebut.
Setelah sosiologi secara berturut-turut terdapat ilmu biologi, kimia,
fisika,astronomi, kemudian matematika.
Berbasis pada filsafat Positivisme, Comte kemudian mengembangkan sebuah ilmu
baru yang Ia sebut dengan nama Sosiologi. Sosiologi positivis Comte kemudian
menjadi aliran yang mendominasi Sosiologi terutama di era 1940-1960an.
Sosiologi positivis Comte terutama mempelajari statika sosial
(struktur sosial) dan dinamika sosial (perubahan sosial) dengan tekanan utama
pada dinamika sosial ketimbang statika sosial. Hal ini menunjukkan perhatian
Comte yang besar terhadap gagasan reformasi sosial yang dicita-citakan oleh
Comte itu sendiri.
Meski dalam beberapa segi, Positivisme mengandung kebaruan, namun
pandangan ini bukan merupakan sesuatu yang baru, karena sebelum Comte dan
Imanuel Kant sudah berkembang empirisme yang dalam beberapa hal bersesuaian
dengan Positivisme.
Lebih tepat dikatakan bahwa Positivisme merupakan peruncingan
trend sejarah pemikiran Barat modern yang telah mulai menyingsing sejak
runtuhnya tatanan dunia Abad Pertengahan, melalui rasionalisme dan empirisme.
Apa yang baru dalam Positivisme adalah sorotan khususnya terhadap metodologi
ilmu pengetahuan, bahkan dapat dikatakan bahwa pandangan ini sangat
menitikberatkan metodologi dalam refleksi filsafatnya.
Kalau dalam empirisme dan rasionalisme pengetahuan masih
direfleksikan, dalam Positivisme kedudukan pengetahuan diganti metodologi, dan
satu-satunya metodologi yang berkembang
secara meyakinkan sejak Renaissance, dan subur pada masa Aufklarung adalah
metodologi ilmu-ilmu alam. Oleh karena itu, Positivisme menempatkan metodologi
ilmuilmu alam pada ruang yang dahulunya menjadi wilayah refleksi epistemologi,
yaitu pengetahuan manusia tentang kenyataan.
Positivisme adalah paham filsafat, yang cenderung untuk membatasi
pengetahuan benar manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh dengan memakai
metode ilmu pengetahuan (sains). Positivisme adalah ajaran bahwa hanya fakta
atau hal yang dapat diuji yang melandasi pengetahuan yang sah. Oleh karena itu,
teologi dan metafisika harus dianggap sebagai sebuah spekulasi saja.
Sebagai konsekuensinya Comte berpendapat bahwa agama dan
metafisika harus dipinggirkan. Semua lembaga kemasyarakatan, yang pembenarannya
dan pendasarannya ditemukan dalam pandangan yang bersifat keagamaan dan
metafisik, harus diperbarui atau diganti dengan lembaga-lembaga yang berpedoman
pada ilmu pengetahuan positif.
Positivisme bercirikan metode evaluasi sains dan saintifik positif
pada tingkat ekstrem. Seperti layaknya suatu sistem pemikiran, positivisme pada
dasarnya mempunyai pijakan ; logika
empirisme,realitas objektif,reduksionisme,determinisme, dan asumsi bebas-nilai.
Positivisme manganggap pernyataan tanpa bukti empiris, seperti etika, estetika,
dan metafisika ialah omong kosong.(Susan,2009)
Positivisme relatif sering diasosiasikan sebagai pendangan
keilmuan yang menarik asumsi-asumsi metodologisnya dari ilmu alam.
Pengetengahan Positivisme dalam ilmu sosial dianggap sebagai upaya untuk
menjadikan ilmu sosial sebagai ilmu yang pasti dan akurat, atau mencoba
menyerupakannya dengan ilmu alam.
Positivisme merupakan pandangan yang kemudian mendominasi
teori-teori dalam ilmu sosial dan menjadikan ilmu sosial memiliki pandangan
keilmuan yang dingin, mekanis dan tidak humanis. Positivisme menurut sebagian
sosiolog seperti Ian Craib dapat menuntut kepastian sehingga mengikuti
metodologi ilmu alam khususnya dengan mengkuantifikasi segala hal yang
ditelitinya.
Pandangan ilmu sosial khususnya sosiologi yang bersifat positivis
ini kemudian mengundang reaksi dari sejumlah tokoh diantaranya Max Weber. Weber
kemudian mengembangkan sosiologi yang lebih bersifat humanis dan didasarkan
atas interpretasi individu yang dilakukan dalam proses interaksi sosial.
Konsep Comte tentang dasar kehidupan masyarakat kemudian
berkembang menjadi dua perspektif utama dalam sosiologi yaitu perspektif
struktural fungsional dan perspektif konflik.
Auguste Comte juga dikenal melalui gagasannya mengenai
statika sosial dan dinamika sosial. Konsep Comte tentang pembagian antara
statika sosial dan dinamika sosial juga berpengaruh kepada dua tokoh sosiologi
klasik, yaitu Herbert Spencer dan Emile Durkheim. Berdasarkan pembagian itulah
Herbert Spencer (1820-1903) menganalogikan masyarakat dengan organisme
biologis.
Statika sosial mempelajari anatomi masyarakat yang terdiri
dari bagian-bagian dan susunannya seperti mempelajari anatomi tubuh manusia
yang terdiri dari organ, kerangka dan jaringannya. Sedangkan Dinamika Sosial
memusatkan perhatiannya pada psikologi, yakni pada proses yang berlangsung
dalam masyarakat seperti berfungsinya tubuh (pernafasan, metabolisme tubuh dan
sirkulasi darah) dan menciptakan hasil akhir berupa perkembangan masyarakat
yang dianalogikan dengan pertumbuhan organik (dari embrio ke kedewasaan).
|
AUGUSTE COMTE |
|
|
Statika sosial |
Dinamika sosial |
|
Struktural fungsional |
Struktural konflik |
|
Menganggap masyarakat
bersifat statis |
Menganggap masyarakat
bersifat dinamis dan senantiasa mengalami perubahan |
|
Faktor pengikat masyarakat
: norma sosial, nilai sosial dan konsensus |
Faktor yang mengikat
masyarakat : pemaksaan |
|
Memfokuskan pada kohesi |
Memfokuskan pada kekuasaan |
|
PERSAMAAN |
|
|
Keduanya sama-sama
berorientasi pada struktur dan institusi sosial (makroskopik) |
|
REFERENSI :
Anthony Giddens, Teori Strukturasi, Dasar-dasar Pembentukan
Struktur Sosial Masyarakat, Yogyakarta : Pustaka, 2010
Damsar, Pengantar Teori Sosiologi, Jakarta : Kencana,2015
Geger Riyanto, Peter L.Berger, Perspektif Metateori Pemikiran,Jakarta
: LP3ES,2009
George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, Jakarta : Kencana,
tanpa tahun
Ken Plummer, Sosiologi the Basics, Jakarta : RajaGrafindo,
2011
Margaret M.Poloma,
Sosiologi Kontemporer,Jakarta : RajaGrafindo,2014
Peter L.Berger, Tafsir sosial atas kenyataan, risalah
tentang sosiologi pengetahuan, Jakarta : LP3ES, 1990
K.J.Veeger, Realitas Sosial, Jakarta : Gramedia, 1985
Komentar
Posting Komentar