SOSIOLOGI PEMBUNUHAN
SOSIOLOGI PEMBUNUHAN
PENDAHULUAN
Pembunuhan merupakan salah satu
bentuk penyimpangan sosial yang juga merupakan masalah sosial. Dikatakan sebagai masalah sosial karena
pembunuhan dapat menimbulkan disorgasisasi dan mengancam keberlangsungan
nilai-nilai dan norma sosial di dalam masyarakat. Pembunuhan merupakan
permasalahan sosial yang dihadapai oleh semua masyarakat terutama sekali
masyarakat modern yang sedang mengalami guncangan sosial akibat perubahan
sosial.
Meningkatnya angka pembunuhan
diakibatkan oleh perubahan nilai dan norma yang dialami oleh masyarakat. Akibat
terjadinya perubahan sosial, nilai-nilai masyarakat tradisional berbenturan
dengan nilai-nilai masyarakat modern yang membutuhkan progresivitas-akibat
proses pembangunan yang sedang berlangsung-menimbulkan konflik sosial yang
tidak lagi dapat diselesaikan melalui institusi sosial tradisional.
Karena
institusi sosial tradisional ini sudah mengalami penurunan peran dan
kewibawannya. Sebaliknya, peran institusi modern dengan nilai-nilai dan
norma-norma khasnya yang cenderung kurang aspiratif dan terlalu represif masih
belum dipercaya sepenuhnya oleh masyarakat sebagai lembaga penyelesaian
konflik. Hal ini menurut Emile Durkheim disebuat sebagai gejala Anomie.
Pembunuhan merupakan tindak
kejahatan yang banyak menyedot perhatian publik. Masyarakat itu sendiri
memandang pembunuhan sebagai sebuah drama yang nyata dan berusaha mengikuti
perkembangan kasusnya seperti seseorang yang sedang membaca atau menonton kisah
detektif yang sedang menyelidiki sebuah kasus pembunuhan. Hal ini merupakan
bagian dari corak masyarakat sejak zaman dahulu. Bahkan Shakespeare menulis 60
kisah pembunuhan dalam sandiwaranya. Demikian pula dengan penulis novel Agatha
Cristie yang karyanya banyak diikuti oleh banyak kalangan.
Ketika tulisan ini dibuat,
masyarakat Indonesia sedang digegerkan oleh terjadinya beberapa peristiwa
tindak pidana pembunuhan. Pertama adalah kasus pembunuhan yang dilakukan oleh
seseorang terhadap satu keluarga yang menewaskan seorang pria,wanita dan kedua
anaknya yang masih kecil. Peristiwa itu dilatarbelakangi oleh dendam pelaku
terhadap korban karena adanya ucapan korban yang dinilai merendahkan pelaku.
Kasus kedua adalah kasus pembunuhan
seorang wartawan yang jenazahnya dimasukkan oleh pelaku ke dalam sebuah tong
plastik. Latar belakang peristiwa tersebut masih diselidiki dan kemungkinan
awalnya adlaah adanya motif untuk menguasai harta korban.
Kasus ketiga adalah pembunuhan
seorang tukang gigi akibat sebelumnya korban terlibat cekcok terkait dengan
pemilihan presiden di media sosial yang berujung duel maut yang berakibat
tewasnya korban.
Kasus keempat adalah pembunuhan
yang dilakukan terhadap seorang pemandu lagu oleh temannya sendiri akibat
masalah pembagian uang tips yang dianggap tidak adil yang kemungkinan berkaitan
dengan kasus prostitusi.
Kasus kelima adalah terjadinya
beberapa kasus pembunuhan terhadap anggota keluaraga (istri atau anak) yang
justru dilakukan oleh orangtua atau ayah dari keluarga tersebut.Motif pelaku
sebagaimana yang diungkap oleh kepolisian adalah karena kekhawatiran terhadap
rencana perceraian.
JENIS-JENIS PEMBUNUHAN
Pembunuhan sebagai sebuah bentuk
pelanggaran hukum dan norma sosial lainnya memiliki beberapa jenis seperti
berikut :
❶ pembunuhan
individual ; yaitu pembunuhan yang dilakukan seorang individu kepada individu
lain
❷ pembunuhan
kelompok ; yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa orang terhadap seorang
individu
❸ pembunuhan
pembunuhan ganda (multicide), yang terdiri atas :
♦ pembunuhan berantai : adalah
pembunuhan beberapa korban dalam tiga atau lebih insiden terpisah dalam
hitungan pekan,bulan, atau bahkan tahun.
Tipe pembunuhan ini biasanya didorong
oleh motif ; pertama, visioner ;
diyakini menderita semacam psikosis, mereka membunuh karena merespon
suara-suara atau visi tertentu.
Kedua, Berorientasi misi ; misi mereka dalam
hidup adalah membersihkan masyarakat dari “hal-hal yang tidak diinginkan”.
Ketiga ; hedonis, yaitu melakukan pembunuhan untuk menciptakan rasa
nyaman,keuntungan atau kesenangan dalam hidup.
keempat, kekuasaan/kontrol ;
pembunuh ini menikmati kekuasaan dan kontrol atas korbannya yang tidak berdaya
dan menikmati menyaksikan mereka menderita dan memohon belas kasihan.
♦ pembunuhan massal : adalah
pembunuhan empat atau lebih korban dalam satu lokasi pada satu kesempatan.
♦ pembunuhan beruntun : adalah
pembunuhan di dua atau lebih lokasi nyaris tanpa selang waktu diantara
pembunuhan. (Hagan,2015)
LATAR BELAKANG PELAKU PEMBUNUHAN
Pembunuhan merupakan gejala
universal yang ada dalam setiap masyarakat. Pembunuhan dapat dilakukan oleh
semula orang dan dapat dialami oleh semua orang pula dari latar belakang sosial
dan kelas sosial yang berbeda-beda.
Dari segi usia, pembunuhan dapat
dilakukan oleh orang yang berusia relatif tua atau muda.Bahkan dalam beberapa
kasus ada juga pembunuhan yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Walaupun
demikian, terdapat kecenderungan bahwa kejahatan (pembunuhan) lebih banyak
dilakukan pada rentang usia muda dan tingkat kejahatan (pembunuhan) mengalami
penurunan seiring dengan bertambahnya usia.
Terkait dengan hubungan antara usia
dan kejahatan, seorang Sosiolog, bernama Marvin Wolfgang pernah melakukan
penelitian yang menyimpulkan bahwa usia muda memang lebih rentan melakukan atau
terdorong ke dalam tindak kejahatan atau kriminalitas.
Dari sudut pandang gender, baik
pria ataupun wanita juga memiliki potensi melakukan tindak pidana pembunuhan,
walaupun secara kalangan pria secara statistik yang lebih banyak melakukan
tindak pidana pembunuhan.
Bahkan secara umum tindakan
kriminalitas lebih banyak dilakukan oleh laki-laki ketimbang wanita. Sifat
universalitas ketimpangan kriminalitas laki-laki ini diantaranya disebabkan oleh
adanya stigma dan stereotip sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat
terhadap laki-laki.
Secara tradisional, laki-laki
dibiasakan untuk dominan,aktif dan agresif. Masyarakat juga menuntut peran
laki-laki sebagai pihak yang bertanggungjawab atas apa yang telah terjadi.
Stereotipe
gender bahwa laki-laki lebih kuat dibandingkan dengan wanita juga menjadi
pendorong kejahatan tertentu seperti perampokan dan pembunuhan umumnya
dilakukan oleh laki-laki, sedangkan perempuan biasanya terkonsentrasi pada jenis-jenis
kejahatan yang kurang membawa hasil seperti pengutilan.
Walaupun umumnya pria lebih banyak
melakukan kejahatan (pembunuhan), akan tetapi terdapat kecenderungan
peningkatan keterlibatan wanita dalam tindak kriminalitas. Salah satu faktor
yang dapat menjelaskan fenomena tersebut adalah adanya kesetaraan posisi sosial
wanita dengan laki-laki dalam masyarakat.
Dilihat dari latar belakang
pendidikan, pembunuhan juga berpotensi dilakukan baik oleh orang yang berlatar
belakang pendidikan rendah maupun orang yang berlatar belakang pendidikan
tinggi.
Memang kejahatan konvensional seperti pembunuhan berkaitan dengan
rendahnya tingkat pendidikan, akan tetapi bukan pendidikan formal itu sendiri
yang menyebabkan atau mencegah kejahatan, melainkan status pendidikan yang
mencerminkan kelas sosial, lokasi tempat tinggal seseorang dan kedekatannya
dengan peluang kriminal dan delikuensi.
Sedangkan jika dilihat dari aspek
kelas sosial, pembunuhan juga dapat dilakukan oleh orang dari kalangan kelas
sosial rendah ataupun kelas sosial tinggi. Memang secara statistik, kejahatan
termasuk pembunuhan lebih banyak dilakukan oleh anggota masyarakat dari
kalangan kelas bawah, sehingga hal tersebut membentuk pesepsi dan stigma sosial
yang negatif terhadap kalangan kelas sosial bawah.
Hubungan antara kejahatan,
termasuk pembunuhan dan kelas sosial masih menjadi perdebatan. Kelas sosial
bawah mendapatkan stigma sosial yang lekat dengan kejahatan disebabkan oleh dua
faktor :
❶ terbatasnya
akses golongan masyarakat kelas bawah terhadap advokasi hukum.
❷ terbatasnya
akses golongan masyarakat kelas sosial bawah kepada sumber daya ekonomi dan
politik
Pembunuhan kurang atau tidak
memiliki korelasi yang kuat dengan aspek okupasi/profesi. Memang terdapat
hubungan atau korelasi antara pekerjaan atau profesi dengan kejahatan tertentu,
seperti kejahatan penyalahgunaan obat yang dilakukan oleh oknum petugas medis,
pengguguran kandungan oleh oknum dokter atau kasus kejahatan kerah putih yang
dilakukan oleh oknum pejabat birokrasi pemerintahan. Akan tetapi, terkait
dengan pembunuhan, kejahatan tersebut dapat dikatakan tidak dapat terkait
dengan profesi tertentu.
Adapun jika dilihat dari aspek
etnis, agama dan rasial, kecenderungannyapun sama.Artinya tindak pidana
pembunuhan tidak identik dengan perofesi, etnik,ras dan agama tertentu.
Pembunuhan, jika dilihat dari
pelakunya dapat dikategorikan menjadi pembunuhan perorangan dan pembunuhan yang
dilakukan oleh sekelompok orang. Pembunuhan juga dapat dilakukan oleh
unsur-unsur pemerintahan, baik melalui struktur kekuasaan yang ada maupun
dilakukan oleh oknum pejabat pemerintah yang memanfaatkan fasilitas kekuasaan.
MOTIVASI MELAKUKAN PEMBUNUHAN
Adapun yang menjadi motif seseorang
atau sekelompok orang melakukan tindak pidana pembunuhan sangat beragam, mulai
dari persoalan yang kompleks sampai persoalan yang sangat sederhana sekali.
Bahkan ada pembunuhan yang ‘hanya” dilakukan karena sebab-sebab yang sangat
“remeh’ seperti merasa tersinggung dan lain sebagainya.
Berikut ini adalah beberapa motif seseorang melakukan
tindak pidana pembunuhan :
√ masalah dendam pribadi
√ merasa tersinggung dengan ucapan
korban
√ perebutan harta
√ ingin menguasai harta korban
√ perselingkuhan
√ perseteruan politik
√ persaingan usaha
√ masalah utang piutang
√ masalah perbedaan pilihan politik
Pembunuhan seringkali merupakan
tindak kriminalitas yang berkaitan dengan tindak kriminalitas lainnya. Misalnya,
seorang yang melakukan pencurian atau perampokan yang pada akhirnya juga
melakukan pembunuhan terhadap korbannya karena khawatir akan menjadi saksi yang
akan mengungkap kejahatan yang dilakukannya. Juga terdapat kecenderungan bahwa
dalam kejahatan yang melibatkan kekerasan seperti pembunuhan atau penyerangan,
seringkali hubungan antara pelaku dan korban cukup dekat atau paling tidak
saling menganal satu sama lain.(Siahaan,2009)
PERBEDAAN PANDANGAN DAN SIKAP MENGENAI PEMBUNUHAN
Masyarakat, termasuk di dalamnya
pemerintah dan kalangan akademisi berbeda pandangan dalam menyikapi beberapa
kasus pembunuhan sebagai berikut :
❶ antara
kejahatan dan tradisi : dalam beberapa tradisi masyarakat adat, pembunuhan yang
dilakukan melalui pertarungan seperti tradisi Carok di Madura tidak dianggap
oleh masyarakat adat yang bersangkutan sebagai sebuah penyimpangan.Bahkan
tradisi tersebut merupakan bentuk pelembagaan pembunuhan yang didasari oleh
nilai dan dibenarkan oleh norma setempat
❷ Eutanasia
(suntik mati) : Eutanasia adalah suatu tindakan menyuntikkan racun berdosis
tinggi pada seseorang untuk menyebabkan kematian. Penggunaannya diantaranya
adilakukan terhadap seseorang pasien yang menderita suatu penyakit kronis yang
tidak kunjung sembuh. Permintaannya bisa dari pasein yang bersangkutan maupun
dari pihak keluarga pasien. Negara-negara di dunia memiliki perbedaan sikap
dalam hal ini. Beberapa negara melegalkan dan beberapa lainnya melarang. Negara
yang melegalkan berpendapat bahwa kematian merupakan bagian dari ‘hak asasi”
yang bersangkutan, sehingga tidak ada alasan untuk melarang tindakan tersebut.
❸ aborsi : Sebagaimana anastesia, negara-negara di
duniapun berbeda sistem bukumnya terkait dengan masalah aborsi. Aborsi itu
sendiri dapat dikategorikan sebagai bentuk pembunuhan terhadap janin yang masih
di dalam kandungan. Ada pihak—terutama kalangan medis--yang menganggap bahwa aborsi diperbolehkan selama
hal itu dapat meminimalisir resiko kematian bagi ibu yang mengandung. Adapula
negara yang melegalkannya secara mutlak atau sebaliknya, melarangnya juga
secara mutlak.
❹ Hukuman
mati : Hukuman mati juga menjadi wacana yang bersifat kontroversial. Sejumlah
negara di dunia, khususnya negara-negara maju sudah melarang pelaksanaan
hukuman mati bagi para terpidana, sedangkan banyak negara lainnya termasuk
Indonesia masih menggunakan sistem hukum yang mengakui adanya sangsi pidana
berupa hukuman mati.
Sebagian kalangan penggiat Hak
Asasi Manusia di Indonesia menentang adanya hukuman mati diantaranya karena
masih menganggap bahwa sistem dan praktek hukum di Indonesia masih banyak
kelemahan. Seringkali seseorang dijatuhkan hukuman padahal orang tersebut tidak
melakukannya atau sebaliknya, orang yang seharusnya mendapatkan hukuman justru
malah dapat meloloskan diri dari jeratan hukum. Persoalan hukum di Indonesia
antara lain disebabkan karena ketidakmampuan para legislator dalam menyusun
perundang-undangan, masalaha moral aparat atau masalah administrasi hukum.
Hukuman mati di Indonesia terkait
dengan sejumlah tindak pidana seperti pengedar narkoba dan tindak pidana
pembunuhan termasuk terorisme. Hanya saja yang disesalkan adalah hukuman mati
tersebut pada umumnya diterapkan terhadap tindak pidana yang umumnya dilakukan
oleh golongan kelas sosial bawah.
Terorisme dan pembunuhan misalnya labih banyak
dilakukan oleh mereka yang berasal dari golongan masyarakat kelas bawah.
Sedangkan pelaku pengedar narkoba yang dijatuhi hukuman mati umumnya hanyalah
pengedar kelas kecil, sedangkan pengedar kelas kakap atau bahkan para bandar
narkoba dengan jaringan pengaruhnya seringkali lolos dari jeratan hukum.
❺ extra-judicial killing : Jenis
pembunuhan ini adalah pembunuhan yang kadang kala dilakukan oleh aparat hukum
khususnya oknum kepolisian. Dalam beberapa kasus, (oknum) polisi melakukan extra judicial killing (keadilan
jalanan) dengan menembak mati tersangka pelaku tindak kejahatan berat atau
residivis dengan alasan akan melarikan diri.
Pada masa pemerintahan otoriter
Orde Baru tindakan ini bahkan pernah disponsori oleh negara dengan adanya Petrus atau Penembak Misterius. Petrus adalah upaya pemerintah saat itu
untuk menekan tingkat kriminalitas dengan cara melakukan pembunuhan kepada
orang-orang yang dipersangkakan sebagai pelaku kejahatan.
Hal itu disadari atau
tidak menunjukkan adanya disfungsi lembaga penegak hukum dan adanya ketimpangan
budaya (cultural lag) dan ketimpangan hukum (Law Lag) akibat ketidakmampuan
hukum dan aparat hukum dalam menangani dan memberantas kejahatan.
Sikap masyarakat terhadap hal ini
juga beragam. Ada pihak yang mendukung, karena mereka menyadari bahwa sistem
hukum formal telah banyak mengalami disfungsi sehingga gagal dalam memberantas
kejahatan dan memberikan rasa aman. Sedangkan pihak lainnya khususnya penggiat
Hak Asasi Manusia menentang dnegan alasan hal tersebut selain bertentangan
dengan Hak Asasi Manusia juga tidak prosedural serta melanggar azas hukum
formal sehingga rawan untuk disalahgunakan dan diselewengkan untuk kepentingan
tertentu.
❻ terorisme : Bagi pemerintah dan masyarakat pada umumnya,
tindakan terorisme dengan melakuan pembunuhan dan bom bunuh diri merupakan
tindak kejahatan. Bahkan PBB menetapkan terorisme sebagai Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime) sebagaimana korupsi. Akan tetapi para pelaku teror dan
komunitas pendukungnya tentu saja berpendapat sebaliknya.Tindakan tersebut bagi
mereka merupakan panggilan agama yang menjamin pelakunya masuk ke dalam surga.
Upaya pemerintah yang terlalu
menekankan aspek represif dibandingkan preventif-persuasif dan kuratif terhadap
pelaku dan keluarga teror hanya akan melahirkan spiral kekerasan yang tidak berujung
dan melahirkan dendam berkepanjangan. Seharusnya pemerintah benar-benar
mengkaji cara dan metode serta strategi yang tepat untuk memberantas terorisme
sampai ke akar-akarnya dan jangan sampai terlalu menekankan pada aspek
penindakan yang bersifat represif atau dengan cara koersif semata.
PEMBUNUHAN DARI SUDUT PANDANG SOSIOLOGI
Sosiologi merupakan ilmu yang
berupaya mengungkap realitas sosial dan berbagai permasalahan sosial yang
muncul dan berkembang di masyarakat. Bahkan sosiologi (terapan) juga berusaha
memberikan solusi bagi berbagai persoalan sosial yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat. Hal itu dilakukan agar permasalahan-permasalahan dan persoalan
sosial yang muncul tersebut tidak mengguncang tatanan masyarakat dan mengancam
keteraturan dan harmoni sosial yang sudah berjalan selama ini.
Pembunuhan juga merupakan salah
satu objek kajian sosiologi. Memang pembunuhan dapat disebabkan oleh berbagai
aspek non-sosial seperti faktor psikologi dan faktor politik, akan tetapi
tulisan singkat ini ingin memberikan sedikit perspektif sosiologi yang relevan
untuk mengungkap pembunuhan sebagai sebuah gejala sosial.
INTERAKSI SOSIAL DAN TINDAKAN SOSIAL
Interaksi Sosial dapat diartikan
sebagai hubungan yang dinamis antara individu dan individu, antara individu dan
kelompok dan antara kelompok dan kelompok dalam bentuk kerjasama, persaingan
maupun pertikaian. Hubungan sosial didasarkan atas nilai dan norma yang berlaku
di dalam masyarakat. Jika interaksi sosial tersebut didasarkan atas nilai dan
norma yang ada maka interkasi tersebut dikatakan ‘normal’, sedangkan jika
interaksi sosial tersebut sudah tidak didasarkan atas nilai dan norma yang ada
maka interaksi sosial tersebut sudah dikatakan “tidak normal”. Dalam kaitannya
dengan pembunuhan proses interaksi sosial tersebut sangat mempengaruhi
terjadinya peristiwa pembunuhan.
Pembunuhan seringkali terjadi
ketika proses interaksi sosial sudah mengarah kepada persaingan, kontravensi
bahkan konflik. Ketika hal tersbut terjadi, maka menurut Knapp secara
ekskalatif akan terjadi proses saling menjauh yang diawali dengan proses
membeda-bedakan (differentiating), membatasi (circumscribing), memacetkan
(stagnating), menghindari (avoiding), dan memutuskan (terminating). Proses
tersebut, bahkan dapat mengarah kepada konflik yang menggunakan kekerasan dan
berujung kepada tindak pidana pembunuhan.
Selain itu pembunuhan juga dapat
terjadi karena adanya faktor imitasi sosail dan sugesti. Proses peniruan yang melatari terjadinya pembunuhan
disebabkan pelaku pembunuhan tersebut melakukan perbuatannya setelah meniru
atau melakukan proses imitasi terhadap perilaku dan tindakan kekerasan atau
pembunuhan yang dilakukan sebelumnya oleh orang lain.
Dewasa ini masyarakat
seringkali mendapatkan tontonan kekerasan baik secara langsung maupun melalui
media informasi saperti televisi atau media sosial lainnya seperti youtube dan internet. Kekerasan terjadi
dimana-mana seakan sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat. Masyarakat
melihat kekerasan dipertontonkan baik oleh elit masyarakat bahkan oleh pejabat pemerintahan
sehingga seakan-akan menjadi dasar pembenaran bagi masyarakat untuk juga dapat
melakukan kekerasan yang seringkali berujung kepada pembunuhan.
Di tengah kekosongan hukum,
masyarakat seringkali menjadikan kekerasan sebagai solusi untuk menyelesaikan
pertikaian yang terjadi di dlaam masyarakat. Seperti peristiwa pengeroyokan dan
penghakiman massa (vigilantisme) terhadap terduga pelaku pencurian atau
pembegalan yang berkibat jatuhnya korban jiwa, seakan-akan sudah menjadi bagian
integral masyarakat. Masyarakat tidak lagi percaya kepada aparat hukum dan
kemudian berusaha menyelesaikan sendiri persoalan-persoalan yang mereka hadapi.
Pembunuhan juga dapat dianalisa
dari sudut pandang Tindakan Sosial.Tindakan Sosial adalah tindakan yang
dilakukan oleh individu yang bersifat subjektif dan disertai dengan motif
tertentu, serta ditujukan kepada orang lain. Tindakan sosial bisa
bermacam-macam tergantung motif orang yang bersangkutan.
Menurut para kriminolog, pembunuhan
dapat bersifat instrumental maupun afektif.Dikatakan bersifat instrumental
manakala pembunuhan tersebut dilatarbelakangi oleh motif rasional, misalnya
untuk menguasai harta korban. Contohnya adalah Kejahatan Jalanan (Street
Crime), yaitu kejahatan yang tidandai oleh tidak saling mengenalnya antara
pelaku dan korban seperti perampokan dan penjambretan. Ketika kejahatan
tersebut berujung kepada terjadinya pembunuhan, maka pembunuhan tersebut
bersifat instrumental, yaitu sekedar menguasai harta korban dan tidak didasarkan
oleh faktor lain seperti faktor emosi dan dorongan nilai sosial tertentu.
Sedangkan pembunuhan bersifat
afektif manakala ada hubungan yang terjalin antara korban dan pelaku
sebelumnya, dan relasi sosial tersebut ditandai oleh adanya hubungan emosional
yang cukup dalam. Misalnya pembunuhan yang dilatar belakang dendam pribadi dari
pelaku karena ada ucapan atau tindakan korban sebelumnya yang dianggap
menyinggung perasaan atau harga diri pelaku sehingga pelaku nekat untuk
melakukan pembunuhan tersebut. Pembunuhan yang bersifat afeksi biasanya terjadi
secara tragis dan seringkali ditandai oleh adanya perusakan jasad korban untuk
melampiaskan emosi yang terpendam selama ini.
Dalam kasus pembunuhan yang
disertai dengan mutilasi, unsur afeksi terlihat jikalau tindakan mutilasi
tersebut merupakan bentuk luapan emosional pelaku terhadap korban. Luka akibat
mutilasi tersebut biasanya bersifat sadistis. Sedangkan mutilasi dapat bersifat
instrumental manakala tindakan tersbut bukan dilakukan untuk melampiaskan
emosi, tetapi dlam rangka untuk menyembunyikan bukti-bukti kejahatan semata. Jadi
pelaku mutilasi tersebut tidak didorong oleh kemarahan tetapi didorong oleh faktor
rasional untuk dapat menyembunyikan hasil kejahatannya agar tidak dapat
diungkap oleh aparat hukum.
NILAI DAN NORMA SOSIAL
Pembunuhan dapat terjadi
dikarenakan terjadinya pergeseran nilai dan norma akibat perubahan sosial dan
proses modernisasi. Berkembangnya masyarakat mengakibatkan melemahnya
solidaritas antar anggota masyarakat. Hubungan sesama anggota masyarakat tidak
lagi intim, privat dan personal. Mereka menjadi acuh satu sama lain.
Relasi sosial
yang terbangun didasarkan atas kepentingan dan azas manfaat. Corak individualis
menjadi gambaran umum kehidupan sosial masyarakat. Hal itu mengakibatkan
anggota masyarakat mengalami anomie dan keterasingan(alienasi). Mereka harus
membawa beban kehidupan sendirian, dan menganggap setiap anggota masyarakat
lainnya sebagai saingan dan bahkan musuh yang harus disingkirkan.
Pembunuhan secara umum merupakan
tindakan yang bertentangan dan melanggar norma-norma sosial yang ada, baik
norma kemasyarakatan, norma agama dan norma hukum. Bahkan di dalam ajaran
Islam, pelaku pembunuhan dikatakan membunuh semua manusia, karena pada
hahekatnya yang dibunuh itu bukan sekedar individu belaka akan tetapi nilai
kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi.
Akan tetapi, terdapat pembunuhan
yang dilembagakan oleh kelompok masyarakat adat tertentu seperti budaya Carok
dalam masyarakat Madura. Menurut Abdul latief wijaya, carok merupakan
institusionalisasi kekerasan dalam masyarakat madura yang memiliki relasi
sangat kuat dengan faktor-faktor struktur budaya, struktur sosial, kondisi
ekonomi, agama dan pendidikan.
Carok sebagai suatu institusionalisasi
kekerasan, yang secara historis telah dilakukan oleh sebagian masyarakat Madura
sejak beberapa abad yang lalu, selain mempunyai kaitan dengan faktor-faktor tersebut, tampaknya juga tidak
dapat dilepaskan dari faktor politik, yaitu
melemahnya otoritas negara atau pemerintah dalam mengontrol
sumber-sumber kekerasan, serta ketidakmampuan memberikan perlindungan terhadap
masyarakat akan rasa keadilan. (Wiyata,2002)
SOSIALISASI
Pembunuhan merupakansebuah
peristiwa kompleks yang dialami oleh individu. Pelaku pembunuhan memiliki
banyak pengalaman sosial yang dapat menghantarkan dirinya melakukan tindak
pidana pembunuhan.
Pengalaman sosial terssbut
didapatkan melalui proses transfer nilai dan norma yang berlangsung secara
timbal balik antara individu dan masyarakat. Proses tersebut lebih dikenal
dengan nama sosialisasi.
Perjalanan kehidupan seseorang
hingga menjadi seorang pembunuh sangat mungkin prosesnya diawali ketika
berlangsungnya sosialisasi primer dalam keluarga.Keluarga tidak menyampaikan
secara memadai tentang nilai-nilai sosial yang mendasar kepada individu seperti
penghormatan dan penghargaan terhadap kehidupan dan rasa kemanusiaan, sehingga
terjadilah proses sosialisasi yang tidak sempurna.Tidak sempurnanya proses
sosialisasi tersebut mengakibatkan individu tidak memiliki pemahaman yang utuh
mengenai gagasan kebaikan dan keburukan.
Selain sosialisasi primer, proses
sosialisasi sekunder juga memberikan pengaruh yang dalam kepada individu. Salah
satu agen sosialisasi sekunder adalah media massa atau media sosial. Individu
menyerap banyak sekali nilai melalui media sosial, termasuk nilai-nilai dan
budaya kekerasan.Tanyangan televisi seringkali menyayangkan tontonan kekerasan
dan pembunuhan sehingga mempengaruhi pikiran dan perilaku individu. Frank Hagan
menyebutkan bahwa kejahatan yang muncul sebagai akibat dari peniruan perilaku
melalui liputan ataupun penggambaran media sebagai Kejahatan Copycat atau kejahatan peniruan.(Hagan,
2015)
Media massa seringkali memproduksi
budaya massa (mass culture), yang ditandai dengan terlalu ditnjolkannya sisi
konflik, kekerasan dan ketidaklaziman. Sehingga, walaupun kurang mendidik,
media massa cenderung menayangkan hal-hal (berita dan film) yang menarik
perhatian public seperti kekerasan, pembunuhan, disharmoni dan permusuhan.
Berita tentang pembunuhan misalnya seringkali berhasil menyedot perhatian publik.
Peristiwa tersebut memancing rasa keingintahuan publik. Publik seakan-akan
sedang menyaksikan tayangan film detektif yang berusaha mengungkap pelaku,
motif dan cara pelaku dalam melakukan pembunuhan tersebut. Misalnya, kasus
pembunuhan dengan menggunakan tehnik peracunan terhadap korban ketika pelakunya
dihadapkan di persidangan sampai harus diliput secara life berjam-jam untuk memuaskan dahaga publik terkait dengan
peristiwa itu. Hal itu menunjukkan adanya perbedaan orientasi pemberitaan
antara berorientasi keuntungan dan pendidikan/edukasi. Dan dalam hal ini media
seringkali cenderung berorientasi kepada yang pertama. Oleh sebab itu di
kalangan pers terdapat adagium “Bad News is Good News”.
Oleh karena itu pemerintah melalui
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus bertindak proaktif dengan merekonstruksi
ulang tayangan di televisi mengingat televisi merupakan medium informasi yang
paling banyak diakses oleh masyarakat bakna sampai masyarakat kelas sosial
bawah sekalipun. Tayangan televisi dan media sosial lainnya juga harus secara
ketat melakukan sensor kepada konten acara yang ditayangkan, terutama yang
berbau kekerasan, agar jangan sampai kemudian menimbulkan dorongan kuat bagi
individu untuk melakukan peniruan dan imitasi.
PENGENDALIAN SOSIAL
Pembunuhan juga dapat dilihat dari
sudut pandang pengendalian sosial.Pengendalian sosial diartikan sebagai setiap
pihak yang berupaya dengan segala macam cara agar mencegah anggota masyarakat
melakukan penyimpangan sosial dan menjamin tetap berlangsungnya keteraturan
sosial serta nilai dan norma yang mendasari keteraturan sosial tersebut.
Pembunuhan jika dikaitkan dengan
dimensi pengendalian sosial dapat terjadi manakala lembaga atau pranata sosial
yang ada, khususnya lembaga hukum mengalami disfungsi dalam menjalankan
perannya. Lembaga hukum seharusnya menerapkan hukum secara adil kepada semua
lapisan sosial yang ada dalam masyarakat tanpa membeda-bedakan anggota
masyarakat yang ada.
Akan tetapi seringkali terjadi, aparat hukum bertindak
tidak adil sehingga masyarakat tidak merasa mendapatkan keadilan sehingga
mereka kemudian berusaha mendapatkan keadilan dengan caranya sendiri-sendiri.
Dalam beberapa kasus, pelaku kejahatan tertentu cenderung dihukum ringan oleh
pengadilan sehingga masyarakat tidak puas dengan keputusan yang ada.
Aparat hukum juga seringkali tidak
memberikan contoh yang benar kepada masyarakat. Aparat hukum misalnya, dalam
beberapa kasus justru melakukan tindak pidana atau melakukan tindakan represif
di luar kerangka hukum sehingga hal tersebut memunculkan ketidakpercayaan
publik terhadap integritas aparat dan lembaga hukum.
Masyarakat Indonesia umumnya masih
mewarisi budaya paternalisme, yaitu budaya yang menganggap bahwa para pemimpin,
pejabat, aparatur negara dan birokrat sebagai “bapak” yang patut dicontoh.
Maka, merebaknya berbagai bentu kejahatan pembunuhan di masyarakat adalah
refleksi dari pembelajaran sosial terhadap para patron tersebut. Karena para
patron masyarakat “mengajarkan” membunuh kalau tidak sepaham dengan aliran
politiknya atau mengganggu eksistensi politik.
PENYIMPANGAN SOSIAL
Pembunuhan jelas merupakan bentuk
penyimpangan sosial, bahkan termasuk ke dalam penyimpangan yang bersifat
sekunder.Hal itu disebabkan karena tindak pembunuhan dan pelaku pembunuhan
sudah ditolak oleh masyarakat karena dianggap sudah melanggar nilai dan norma
yang fundamental. Pembunuhan merupakan jenis kejahatan yang oleh publik, media
dan apparat kepolisian diberikan prioritas tinggi untuk diselesaikan. Di dalam
sistem hukum Indonesia, pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman berat, mulai
dari 15 tahun penjara hingga hukuman mati.
Menurut teori adaptasi Robert
.K.Merton, pembunuhan merupakan bentuk adaptasi yang dilakukan oleh individu
atau kelompok yang disebabkan karena keinginan mereka terhambat oleh adanya
truktur sosial yang ada. Akhirnya dikarenakan adanya hambatan dari struktur
sosial tersebut, maka individu atau kelompok tersebut berusaha mendapatkan
keinginannya melalui cara-cara yang illegal dan tidak melembaga.
Menurut
Merton, pembunuhan atau kejahatan dilakukan karena seseorang tidak bisa lagi
meraih tujuannya secara legal, akhirnya kemudian melakukannya secara legal atau
melawan hukum. Kejahatan juga merupakan cara untuk melarikan diri dari rasa
frustasi dan ketidakberdayaan yang dialami oleh individu akibat adanya struktur
sosial yang membatasi tersebut. Misalnya
seseorang berupaya mendapatkan harta dengan melalui kekerasan dan
mengakibatkan terjadinya tindak pidana pembunuhan.
Sedangkan menurut sudut pandang
kalangan fungsionalis, pembunuhan sebagaimana kejahatan yang lainnya dalam hal
tertentu fungsional bagi struktur sosial, karena ada beberapa “fungsi”
pembunuhan bagi masyarakat. Sama halnya dengan konflik yang di satu sisi
membahayakan keberlangsungan hidup masyarakat, namun di sisi lain konflik dapat
dijadikan sebagai alat untuk memperkuat solidaritas.
Tanpa ada kejahatan tidak mungkin
ada institusi hukum seperti kepolisian, kejaksaan,kehakiman dan Lembaga
Kemasyarakatan. Perkembangan kejahatan di satu sisi memang sangat
mengahawatirkan, akan tetapi di sisi lain, kejahatan hadir sebagai faktor yang
menantang eksistensi institusi-institusi tersebut. Kejahatan sebagaimana
pembunuhan adalah faktor positif bagi institusi penegakkan hukum untuk
pengembangan karir, meningkatkan jumlah pendapatan, dan melakukan bargaining position dengan
institusi-institusi sosial lainnya. (Masdiana,2006)
Misalnya, terjadinya peristiwa
pembunuhan dapat meningkatkan solidaritas masyarakat. Umumnya anggota
masyarakat bersatu mengecam pembunuhan yang terjadi apapun latar belakang
identitas sosial, kelas sosial, afiliasi politik,aliran dan lain sebagainya.
Masyarakat begitu mendengar
terjadinya tindak pidana pembunuhan di lingkungan mereka kemudian meningkatkan
kewaspadaan mereka. Masyarakat kemudian mengadakan siskamling dan sistem
pengawasan terhadap warganya dalam rangka melakukan antisipasi terhadap
peristiwa serupa yang mungkin terjadi lagi. Bagi pranata hukum, pembunuhan yang
semakin meningkat baik kualitas maupun kuantitasnya di masyarakat mendorong
pranata hukum kemudian merevitalisasi dan mengembangkan sistem hukum yang ada.
Tujuannya adalah agar perangkat hukum yang ada dapat lebih adaptif dengan
situasi yang ada dan dapat mengimbangi kejahatan yang ada.
TEORI SOLIDARITAS SOSIAL DURKHEIM
Durkheim tidak secara eksplisit
menjelaskan teorinya untuk menganalisa terjadinya pembunuhan. Akan tetapi dalam
bukunya Suicide, Durkheim berupaya
menganalisa korelasi antara bunuh diri dengan kadar solidaritas sosial atau
integrasi sosial dalam masyarakat.
Dalam hal ini pembunuhan mungkin
dapat dianalogikan dengan bunuh diri, maksudnya pembunuhanpun juga dapat
dikaitkan atau dianalisa dengan kadar solidaritas sosial dan integrasi sosial
yang ada dalam masyarakat. Pembunuhan dalam hal ini terkait erat dengan dua
aspek yaitu kadar integrasi sosial dan sifat hukum.
Jika dikaitkan dengan kadar
integrasi sosial,pembunuhan dapat terjadi manakala integrasi sosial individu
dengan kelompok terlalui rendah atau terlalu kuat. Integrasi sosial yang
terlalu rendah mengakibatkan individu mengalami atomisasi dan anonimisasi dalam
masyarakat.
Masyarakat yang individualistik
mengakibatkan individu kehilangan dukungan dari masyarakat dan harus menanggung
beban hidup sendirian tanpa ada komunitas yang dapat menjadi tempat untuk
berbagi beban dan mengatasi masalah yang dihadapinya. Sehingga individu
terpaksa menyelesaikan permasalahannya dengan caranya sendiri, termasuk ketika
ia harus melakukan pembunuhan sebagai solusi jangka pendek untuk menyelesaikan
masalahnya. Situasi ini misalnya terjadi untuk kasus pembunuhan yang
dikarenakan oleh persoalan pribadi seperti pelampiasan dendam, perebutan sumber
daya atau persaingan usaha.
Sedangkan integrasi yang terlalu
kuat mengakibatkan individu terpaksa melakukan tindakan-tindakan yang dapat
mencapai tujuan masyarakat dengan mengorbankan kepentingannya sendiri. Misalnya
seseorang yang melakukan pembunuhan terhadap orang yang dituduh sebagai dukun
santet. Pembunuhan tersebut dilakukan untuk “menyelamatkan’ masyarakat dari
tindakan yang mungkin dilakukan oleh orang yang dituduh sebagai dukun santet
tersebut.
Teori lainnya yang dpaat memberikan
penjelasan mengenai pembunuhan adlaah teori Durkheim tentang Fakta Sosial.
Fakta Sosial adalah cara bertindak, berfikir dan merasa yang berada di luar
individu yang besifat memaksa (koercive), membasasi (constrain) dan menentukan
(determined). Selain itu, menurut Durkheim, Fakta Sosial juga bersifat umum
(general) dan keberadaannya nyata (objektif).
Meminjam teori Durkheim tersebut,
pembunuhan atau kejahatan adalah sebuah Fakta Sosial. Dengan kata lain,
perilaku manusia yang menyimpang, seperti melakukan pembunuhan juga fakta
sosial. Dengan analisa tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pembunuhan atau
kejahatan merupakan produk dari masyarakatnya.Pembunuhan merupakan produk dari
masyarakat yang disebabkan belum adanya keadilan diberbagai aspek kehidupan
seperti pada aspek ekonomi, sosial, hukum dan politik.
Masyarakat masih merasakan
ketidakadilan pada aspek kehidupan tersebut.Di dalam masyarakat masih diraakan
adanya ketimpangan yang sangat tajam antara golongan berpunya dan golongan yang
tidak berpunya. Di satu sisi terjadi pameran kekayaan dan kemewahan yang
dipertontonkan secara mencolok, dengan adanya gaya hidup jet set dan mewah
dengan rumah mewah, mobil mewah dan lain sebagainya. Sementara sebagian besar
lainnya hanya bisa menonton.Hal ini menimbulkan rasa frustasi dan memendam iri
pada sebagian besar masyarakat miskin.(Masdiana,2006)
PANDANGAN TEORI KRITIS
Teori Kritis adalah teori yang
mencoba melakukan revitalisasi ajaran Marxisme klasik sehingga dapat dikatakan
bahwa Teori Kritis pada hakekatnya adalah bercorak neo-Marxisme.
Teori ini diusung oleh sejumlah
tokoh teoretisi Mazhab Frankfurt seperti Theodor Adorno, Herbert Marcuse,Marx
Horkheimer dan Jurgen Habermas.Teori ini membalik apa yang dikonstruksikan oleh
Teori Positivisme tentang ilmu Sosiologi dan realitas sosial.Teori Kritis
berbeda dengan teori Sosiologi Positivis yang sudah mendominasi teori Sosial
sebelumnya dengan berupaya mengembangkan teori yang berbasis pada berbagai
disiplin ilmu pengetahuan, termasuk sejarah, filsafat dan psikoanalisa.
Berbeda
pula dengan Positivisme yang mengklaim bersifat non-etis, Teori Kritis dengan
terang-terangan mengatakan bahwa tujuan dari teori Krtisi adalah merekonstruksi
ulang masyarakat yang terbebas dari segama macam bentuk penindasan, eksploitasi
dan alienasi.
Pandangan Teori Kritis terkait
dengan kejahatan atau pembunuhan adalah, Teori Kritis menganggap bahwa
pembunuhan merupakan bukti kegagalan masyarakat modern. Masyarakat modern
merupakan produk langsung dari Kapitalisme dengan rasionalisasinya terbukti
telah gagal mensejahterakan masyarakat dan mendatangakan kebahagiaan.
Masyarakat modern yang dibangun
atas rasionalisme ditandai dengan berbagai kekacauan dan tingginya tingkat
kriminalitas, termasuk pembunuhan. Amerika Serikat merupakan contoh kegagalan
rasionalitas, di mana setiap harinya orang Amerika selalu dihadapkan pada
tindakan terror yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Anak-anak melakukan
pembunuhan. Orang tua membunuh anak mereka sendiri. Pengendara sepeda motor
menembak pengendara lainnya.Selain masalah kriminalitas dan pembunuhan,
masyarakat Amerika juga hancur berantakan dengan memburuknya infrastruktur
masyarakat. Belum lagi permasalahan rasial yang seringkali meledak menjadi
kekerasan rasial yang memakan korban jiwa.
Sekolah mengalami kemunduran dan
menjadi gudang kaum kiskin kota, sampah menggunung, sarana transportasi seperti
jalan jembatan, dan saluran pembuangan mengalami penurunan kualitas. Penjara
yang seharusnya mengurangi jumlah penjahat justru menjadi tempat yang
memproduksi ulang penjahat. Kekerasan sudah sedemikian seringnya sehingga
masyarakat menjadi terbiasa dengan budaya kekerasan. Masyarakat tidak lagi dapat
hidup dengan tenang. Jiwa mereka selalu berada dalam ancaman kekerasan dan
pembunuhan setiap saat.Tingkat penjualan senjata api meningkat pesat. Orang
Amerika sampai meyakini bahwa mereka menghadapi bahaya kematian bahkan di rumah
mereka sendiri.(Agger,2017)
Kejahatan dan peristiwa pembunuhan
merupakan produk kultural masyarakat modern yang bersifat irasional di balik
kerasionalannya.Masyarakat modern dengan kebudayaan konsumerismenya telah
mengakibatkan pemujaan masyarakat terhadap benda sebagai pemuas kebutuhan (materialism).
Untuk mendapatkan pemuas kebutuhan tersebut masusia modern tidak memedulikan
cara yang harus ditempuh. Tidak ada nilai sakral yang seharusnya menjadi
pedoman manusia dalam berprilaku.
Manusia modern ditandai oleh adanya
kekosongan jiwa akan makna-makna spiritual,moralitas dan kemanusiaan ; di
tengah-tengah dibangunnya hidup di atas landasan gemerlapnya pencitraan
dibandingkan kedalaman substansi dan transendensi. Pembunuhan kini tidak lagi
merupakan sesuatu yang mengerikan, menakutkan, menyakitkan, membangkitkan
perasaan sedih atau sadis, tetapi justru menimbulkan kebanggaan, ketika jiwa
manusia tidak lebih berharga dibandingkan sedikit harta dan uang. Orang dapat
dengan mudah melakukan pembunuhan hanya untuk keuntungan harta yang sedikit
atau bahkan demi kesenangan belaka.
REFERENSI :
A.Latief Wiyata, Carok, Konflik
Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, Yogyakarta : LKiS,2002
Ben Agger, Teori Sosial Kritis, Kritik,
Penerapan, Dan Implikasinya, Yogyakarta : Kreasi Wacana,2017
Erlangga Masdiana, Pembunuhan
Sebagai Komuditas, Dalam Kejahatan Dalam Wajah Pembangunan, Jakarta : Nfu
Publishing,2006
Frank E.Hagan, Pengantar
Kriminologi, Teori, Metode, dan Perilaku Kriminal, Jakarta : Kencana,2015
Jokie M.S.Siahaan, Perilaku
Menyimpang,Pendekatan Sosiologi,Jakarta ; Indeks,2009
Kamanto Sunarto, Pengantar
Sosiologi, Jakarta : Lembaga Penerbit
FEUI,tanpa tahun
Virginia Adams, Kejahatan, Jakarta
: Tira Pustaka,1987
Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia
Yang Dilipat, Reliatas Kebudayaan Menjelang Millenium Ketiga dan Matinya
Posmodernisme, Bandung : Mizan, 1988
Ayoo Gabung Di Situs SAHABATPOKER AGEN DOMINO99 POKER ONLINE BANDARQ TERBAIK DI ASIA
BalasHapusRasakan sensasi kemenangan luar binazaa...
Yukk.. Buruan Mainkan gamenya, Jadilah Pemenang dalam situs Favorite Anda
Nikmati 9 Game Dengan Kualitas Terbaik Di Asia Hanya Di Situs Sahabatpoker:
* Poker
* Capsa susun
* DominoQ
* AduQ
* BandarQ
* Bandar poker
* Sakong Online
* Bandar66
* Perang Baccarat ( NEW )
Promo Yang Berlaku Saat ini:
=> Bonus Refferal 15% + 5%
=> CashBack : 0,5% ( SETIAP MINGGU )
=> Minimal Depo Rp. 20.000,-
=> Minimal WD Rp. 20.000,-
Pelayanan dan Sistem Di Situs Sahabatpoker :
=> 100% Member Asli
=> Pelayanan DP & WD 24 jam
=> Livechat Kami 24 Jam Online
=> Bisa Dimainkan Di Hp Android & IOS
Kartu Bagus, Boleh Banding , Service Boleh Tanding !!!
Akses Dengan Link Resmi :
* kotakslot.net
* kotakslot.info
<< Contact_Us >>
* Website : SAHABATPOKER
* Instagram : cs_sahabatpoker
* vk.c0m : Bandarq Terbaik Di Asia
* Line : sahabatpoker
* WhatsApp : Sahabatpoker
* CERITA DEWASA : Cerita Dewasa
* BERITA : Berita Terbaru
* TRAVELIING : Rekomendasi Tempat Wisata