PENGANTAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN
PENGANTAR
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Pendidikan merupakan institusi yang mendapat perhatian
besar dari para ahli sosiologi. Pokok bahasan utama dalam sosiologi pendidikan
adalah institusi pendidikan formal,dan institusi pendidikan formal yang terpenting
dalam masyarakat ialah sekolah. Sekolah menjalankan pendidikan formal mulai
dari jenjang prasekolah sampai jenjang pendidikan tinggi,baik yang bersifat
umum maupun khusus (misalnya sekolah luar biasa atau sekolah agama). Sosiologi
pendidikan menganalisa kehidupan sosial di dunia pendidikan dalam jenjang
makro,meso dan mikro.
Makrososiologi pendidikan mempelajari hubungan antara
pendidikan dan institusi lain dalam masyarakat. Mesososiologi pendidikan
mempelajari hubungan dalam suatu organisasi pendidikan, dan mikrososiologi
pendidikan membahas interaksi sosial yang berlangsung dalam institusi
pendidikan. (Kamanto Sunarto,)
Lembaga pendidikan adalah sebuah proses formal dimana
pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai secara sistematis yang ditularkan
dari satu individu atau kelompok ke kelompok lain. Lembaga pendidikan adalah
struktur sosial yang berfungsi untuk transmisi pengetahuan formal dan non
formal.
Pendidikan adalah bentuk sosialisasi yang melibatkan
transmisi,keterampilan formal, pengetahuan dan aspek lain dari budaya. Seperti
semua lembaga, sekolah diorganisir sekitar ide-ide budaya seperti keyakinan
dalam akurasi nilai,nilai ketepatan waktu,dan persaingan serta norma sosial
masyarakat.(Jacky,2015)
Pendidikan sebagai bagian dalam perubahan sosial pada
dasarnya memiliki dua fungsi yang saling bertentangan. Sampai saat ini,
pendidikan masih berada pada posisi yang dilematis dalam sebuah struktur
sosial. Di satu pihak,pendidikan berperan melegitimasi atau melanggengkan
tatanan atau struktur sosial yang ada atau mempertahankan status quo.
Di sisi lain pendidikan juga mempunyai tugas untuk
melakukan perubahan sosial dan transformasi menuju dunia yang lebih adil. Peran
yang terakhir ini lebih disebabkan karena realitas atau kondisi masyarakat
(struktur sosial) yang selalu berubah. Pendidikan mempunyai tugas agar individu
mampu menghadapi perubahan sosial tersebut. Posisi ini juga menjadi tantangan
yang sangat berat, artinya untuk menjadi sarana bagi perubahan sosial,
pendidikan harus ‘berani’ merombak sistem yang sedang berjalan dan diyakini
oleh banyak orang, dan ini memerlukan biaya atau resiko sosial yang besar pula.
(Martono, 2014)
Lembaga pendidikan
dalam masyarakat modern menurut Gilin dan Gilin termasuk ke dalam Basic Social Institution, yaitu pranata
yang bersifat mendasar atau utama yang harus ada dalam kehidupan masyarakat
karena memiliki nilai sangat pokok atau utama bagi kelangsungan kehidupan
masyarakat.Seperti kaidah yang mengatur pemenuhan hajat hidup manusia, Basic Social Institution mempunyai nilai
paling utama, oleh karena itu pranata/lembaga pendidikan dapat dikategorikan
sebagai pranata sosial yang bersifat primer. Primer tidaknya suatu pranata / lembaga sosial sangat dipengaruhi oleh
pentingnya kaidah yang mempunyai nilai sangat tinggi untuk menjamin kelangsungan
kehidupan masyarakat, sehingga apabila dalam kehidupan masyarakat tidak
terdapat pranata sosial yang bersifat primer berarti tidak ada kaidah sosial
yang mengatur pemenuhan kebutuhan pokok hidup masyarakat secara teratur dan
tertib.
Pranata/lembaga penddikan dalam hal ini menurut Talcott Parson
berfungsi untuk memenuhi kebutuhan pemeliharaan pola (latency) sekaligus
sosialisasi nilai-nilai mendasar yang ada dalam masyarakat.
Pada masyarakat pra modern, belum dikenal lembaga
pendidikan secara formal. Keberadaan lembaga pendidikan formal dianggap belum
merupakan kebutuhan bagi masyarakat tersebut. Bagi masyarakat pra modern,
keluarga dan masyarakat adatlah satu-satunya lembaga sosial yang memenuhi
kebutuhan hidup anggotanya, termasuk dalam aspek pendidikan. Pendidikan dalam
masyarakat pra modern sebatas pada kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari yang mendasar seperti berburu atau bertani, itupun pendidikan
tersebut dilakukan secara empirik dengan
langsung.
Seiring dengan pertumbuhan penduduk, diferensiasi
struktural dan makin kompleksnya kebutuhan hidup manusia serta semakin
berkembangnya tingkat akal budi manusia, maka masyarakat kemudian mengembangkan
lembaga-lembaga sosial lainnya termasuk lembaga/pranata pendidikan dengan
asosiasi utamanya, yaitu sekolah.
Singkatnya, terbentuknya lembaga pendidikan
merupakan konsekuensi logis dari perkembangan taraf kehidupan masyarakat yang
semakin kompleks, sehingga untuk mengorganisasikan perangkat-perangkat
pengetahuan dan keterampilan yang spesifik tidak memungkinkan ditangani secara
langsung oleh keluarga.
Pranata/lembaga pendidikan menyosialisasikan nilai-nilai dan
pola perilaku tertentu yang harus dimiliki seperti kedisiplinan,konsentrasi, semangat/antusiasme.
Lembaga pendidikan memiliki sejumlah simbol atau lambang yang membedakannya
dengan lembaga/pranata sosial lainnya yaitu panji-panji sekolah,lagu sekolah
dan badge, serta memiliki alat kelengkapan : perpustakaan, buku-buku dan lapangan
olahraga/laboratorium.
Lembaga/pranata pendidikan juga memiliki kode tertulis/lisan
seperti kurikulum,gelar,aturan ujian
serta memiliki Ideologi yang menyublimasi nilai-nilai dalam lembaga
tersebut diantaranya adalah kebebasan akademis.
Menurut F.G.Robbins,sosiologi pendidikan adalah sosiologi
khusus yang tugasnya meneliti struktur dan dinamika proses pendidikan. Struktur
mengandung pengertian teori dan filsafat pendidikan,sistem kebudayaan,struktur
kepribadian, dan hubungan kesemuanya dengan tata sosial masyarakat. Adapun
dinamika, meliputi proses sosial dan kultural, proses perkembangan kepribadian,
dan hubungan kesemuanya dengan proses pendidikan.
Sedangkan menurut Fairchild, sosiologi pendidikan adalah
sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang
fundamental, jadi sosiologi pendidikan tergolong kedalam sosiologi terapan.
(Applied sociology)
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi
pendidikan adalah ilmu sosiologi terapan yang mempelajari seluruh aspek
pendidikan,baik itu struktur,dinamika,masalah-masalah pendidikan, ataupun aspek-aspek
lainnya secara mendalam melalui analisis atau pendekatan sosiologis.
Objek penelitian sosiologi pendidikan yaitu tingkah laku
sosial, yakni tingkah laku manusia dan institusi sosial yang terkait dengan
pendidikan.Tingkah laku ini hanya dapat dimengerti dari tujuan,cita-cita, atau
nilai-nilai yang dikejar.Sebagaimana dalam terminologi sosiologi, sosiologi
pendidikan berbicara tentang pandangan tentang kelas,sekolah, dan
keluarga,serta masyarakat pada umumnya. Sosiologi pendidikan mempersoalkan pertemuan
dan percampuran dari lingkungan sekitar kebudayaan secara totalitas sedemikian
rupa sehingga terbentuk perilaku tertentu, dan sekolah atau lingkungan
pendidikan dianggap sebagai bagian dari total kultural milieu. (Elly, 2013)
PERSPEKTIF TENTANG LEMBAGA PENDIDIKAN
EMILE DURKHEIM
Durkheim melihat
bahwa munculnya lembaga pendidikan merupakan konsekuensi logis dari
perkembangan masyarakat. Pertambahan jumlah penduduk telah mengakibatkan
terjadinya diferensiasi struktural. Muncul pembagian kerja yang lebih rinci
dalam masyarakat (division of labour). Jumlah penduduk yang makin padat memaksa
masyarakat melakukan pembagian kerja yang lebih spesifik, setiap individu akan
menempati posisi atau peran-peran tertentu dalam masyarakat. Anggota masyarakat
dapat disatukan oleh faktor salingketergantungan (interdependensi) karena masing-masing anggota
memiliki peran yang tidak dapat digantikan.Durkheim juga melihat bahwa lembaga
pendidikan berfungsi sebagai transmisi nilai-nilai dan norma-norma dalam
masyarakat.
PERSPEKTIF FUNGSIONALISME
Teori Fungsionalisme memandang sekolah sebagai sebuah
sistem sosial yang di dalamnya terdapat pola hubungan yang salingtergantung dan
saling membutuhkan satu sama lain (pola hubungan interdependensi). Sekolah dan
ruang kelas terdiri dari beberapa unsur yang saling fungsional antara satu sama
lain, yaitu guru,murid, dan manajemen sekolah. Kalau salah satu unsur yang
tidak berfungsi atau mengalami disfungsi maka akan mengakibatkan gangguan
terhadap keseluruhan sistem.
Sebagai contoh jikalau ada guru yang tidak hadir dalam
kelas maka akan ada gangguan terhadap sistem. Teori fungsionalisme juga melihat
pendidikan fungsional bagi struktur dan sistem sosial karena pendidikan
berfungsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan tenaga kerja. Menurut teori
fungsionalisme.
Fungsi pendidikan mencakup transmisi nilai-nilai dan keyakinan bersama,transmisi
pengetahuan dan keterampilan khusus, menyortir individu berdasarkan
keterampilan, dan membangun kontrol sosial terhadap pemuda.
Talcott Parson sebagai salah satu tokoh kunci
Fungsionalisme struktural melihat bahwa sekolah sebagai manifestasi dari
lembaga pendidikan berfungsi menanamkan gagasan tentang kerja keras dan usaha.
Kedua hal ini merupakan unsur dalam Achieved status.Achieved status merupakan
status yang diperoleh melalui usaha dan perjuangan. Perjuangan dan kerja keras
yang diajarkan oleh sekolah merupakan bentuk nilai yang bersifat universal.Hal
ini berbeda dengan keluarga yang berperan memberikan status kepada anak yang
bersifat askripsi (Ascribed status) seperti latar belakang sosial-primordial
(ras/etnik/suku bangsa dan agama).
Nilai-nilai sosial-primordial tersebut merupakan
nilai yang bersifat partikular/khusus yang dipelajari individu dari
keluarganya, sehingga setiap individu akan memperoleh nilai partikular yang
berbeda-beda.(Martono, 2014)
PERSPEKTIF KONFLIK
Perspektif Konflik memandang struktur sosial bersifat
timpang dan eksploitatif. Menurut teori
konflik, pendidikan memperkuat dan mempertegas kesenjangan sosial di
masyarakat. Menurut Karl Marx,
pendidikan merupakan produk kapitalisme yang memproduksi pekerja terampil dengan
kebiasaan seperti ketepatan waktu dan menghormati otoritas. Masyarakat ditandai
oleh adanya perbedaan kelas dan perbedaan itu hanya menguntungkan kelas sosial
yang di atas. Sekolah sebagai sebuah sistem termasuk berperan melanggengkan
ketimpangan dan kesenjangan tersebut. Sekolah menanamkan gagasan tentang
prestasi dan keberhasilan, permasalahannya, sumber daya yang ada selalu
terbatas sehingga selalu ada orang yang tidak akan mendapatkan sumber daya
tresebut karena tiadanya akses yang memadai bagi orang tersebut.
Siswa yang berasal dari kelas sosial atas memiliki sumber
daya yang berlimpah,sehingga Ia dapat memperoleh pendidikan yang lebih baik dan
lebih tinggi, bersekolah di sekolah yang bonafid dengan fasilitas yang baik
sehingga Ia lebih berpeluang untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak.
Sedangkan bagi masyarakat miskin pendidikan menjadi filter bagi mereka untuk
mendapatkan pendidikan lanjutan yang lebih baik dan pada akhirnya penghidupan
yang layak. Anak-anak dari golongan miskin mendapati kenyataan bahwa sekolah
/jurusan tertentu terbatas buat mereka sehingga mereka hanya mampu mendapatkan
pendidikan seadanya.Bagi kalangan miskin, pendidikan bukan merupakan batu
loncatan agar dapat melakukan mobilitas sosial, tetapi pendidikan lebih
merupakan penghalang atau penghambat mobilitas sosial. (Horton, 1984)
Sekolah juga mengakibatkan manusia mengalami alienasi/keterasingan dan tercerabut dari realitas dirinya sendiri dan realitas
dunia sekitarnya.
Sekolah dan sistem pendidikan telah memisahkan murid dari
persoalan masyarakat yang sebenarnya. Mereka hanya belajar dan belajar serta
bekerja keras untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.Orientasi pendidikan
direduksi menjadi hanya sebatas sarana untuk mendapatkan pekerjaan,ijazah dan
kekayaan. Pendidikan tidak lagi berorientasi untuk mengatasi persoalan hidup
masyarakat sehari-hari seperti kemiskinan, kesenjangan, dan ketidakadilan,
bahkan sekolah itu sendiri sebagai pihak yang membiarkan dan menciptakan
kesenjangan.
PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK
Sekolah dan ruang kelas sebagai sistem interaksi dikaji
secara mendalam dalam teori ruang kelas dengan pendekatan interpretatif. Pendekatan
ini meletakkan aktor yang terlibat,baik guru maupun murid sebagai makhluk yang
aktif dan kreatif dalam membangun dunia
sosialnya. Sekolah dan ruang kelas merupakan sistem interaksi yang dipenuhi
oleh fenomena definisi sosial, interpretasi realitas dan pemaknaan terhadap kenyataan
yang ada.(Damsar, 2012).
Interaksi sosial dalam ruang kelas sangat ditentukan oleh
proses pendefinisian sosial yang dilakukan oleh masing-masing aktor, baik guru
maupun murid. Ketika berinteraksi dengan guru seorang murid akan bertindak
sesuai dengan pendefinisian yang dilakukan oleh murid tersebut. Murid akan
berperilaku santun dan sopan karena menurut tafsiran subjektif siswa yang
bersangkutan, guru merupakan sosok yang menentukan keberhasilan pendidikan
siswa tersebut.
Pendekatan interaksionis cenderung menekankan analisis
sosio-psikologis pada tataran mikroskopik untuk melihat ruang kelas khususnya
terkait dengan proses interaksi antara guru dan murid serta kondisi emosional
serta motif yang melingkupinya. Analisis interaksionisme melihat diferensiasi
metode pembelajaran anatar metode yang bersifat techer-centered, yang menekankan pada posisi guru sebagai pusat
pembelajaran dan metode learner-centered,
yang menekankan pada otonomi dan kreatifitas murid. Menurut metode-metode di atas
muncul sebuah asumsi bahwa semakin besar ketergantungan murid terhadap guru
maka semakin kurang siswa dalam mengembangkan strategi belajarnya sendiri.
PERSPEKTIF PERTUKARAN
Teori pertukaran berasumsi bahwa interaksi sosial yang
terjadi dalam sebuah sistem sosial didorong oleh adanya keinginan untuk
mendapatkan imbalan (reward) atau mengindari hukuman (punishment). Imbalan dan
hukuman tersebut dapat bersifat materil seperti hukuman fisik maupun immaterial berupa penghargaan dan
pengakuan. Para pelaku pertukaran merupakan makhluk rasional yang memandang
untung-rugi (cost-benefit) dalam memutuskan sesuatu. Jika menguntungkan, dia
akan melakukan sesuatu, sebaliknya jika rugi, dia akan meninggalkannya.
Dalam kaitannya dengan proses pertukaran di sekolah/ruang
kelas, seorang guru akan tetap melanjutkan perannya sebagai seorang guru di
suatu tempat manakala Ia melihat adanya keuntungan di dalamnya, apakah gaji
yang sesuai dengan harapannya atau lingkungan sosial yang cocok dengan dirinya.
Seorang murid tidak mau terlibat lagi dalam tawuran antar sekolah setelah
mendapatkan hukuman yang berat dari pihak sekolah. Seorang siswa semakin rajin
belajar setelah Ia mendapatkan pujian dari gurunya atau sebaliknya seorang
siswa jadi malas belajar karena Ia tidak mendapatkan pengakuan dari gurunya
atas hal positif yang dilakukannya.
PERSPEKTIF KONSTRUKSIONISME
Peter L.Berger sebagai tokoh utama teori konstruksi sosial menganggap
bahwa dunia sosial tidak terbentuk begitu saja. Manusia merupakan makhluk aktif
dan kreatif dalam membentuk dunia sosialnya. Sekolah beserta berbagai perangkat
aturan di dalamnya dikonstruksi oleh individu, baik guru maupun murid melalui
proses dialektika yang terus menerus melalui tahapan eksternalisasi, objektifikasi
dan sosialisasi. Sebagai contoh seorang siswa senantiasa memberikan makna dan tafsiran
terhadap realitas yang ada di sekitarnya. Pemaknaan dan pemberian tafsiran itu
kemudian menjadikan realitas tersebut menjadi sesuatu yang objektif atau
menjadi Fakta Sosial dan pada akhirnya memaksa siswa untuk mengembangkan
perilaku tertentu. Setelah realitas yang diberikan makna tersebut menjadi
objektif, siswa tersebut kemudian berusaha menyesuaikan dirinya dengan realitas
tersebut. Proses inilah yang disebut internalisasi/ sosialisasi.
Sekolah juga berperan
dalam proses konstruksi sosial yang dilakukan oleh siswa misalkan terkait
dengan pekerjaan/profesi yang ada di masyarakat. Sebagai contoh, dalam
mempersepsikan tentang pekerjaan, siswa cenderung dipengaruhi oleh guru. Guru
mempersepsikan bahwa perkerjaan/profesi selalu terkait dengan pekerjaan di sektor
formal atau pekerjaan yang popular/bergengsi seperti dokter, pilot dan lain
sebagainya.Kondisi ini mengakibatkan banyak profesi yang kemudian dipandang
sebelah mata dan bukan menjadi orientasi utama siswa.
NILAI-NILAI YANG DISOSIALISASIKAN DALAM LEMBAGA PENDIDIKAN
Konsep tentang nilai yang ditanamkan oleh sekolah
dikemukakan oleh Dreben. Dreben
menggunakan perspektif Parsonian tentang perbedaan keluarga dan sekolah
sebagai agen sosialisasi. Menurut Dreben terdapat nilai-nilai yang disampaikan
oleh sekolah :
1.kemandirian (independence); di sekolah seorang anak
dituntut dan diajarkan menjalankan peran sebagai siswa, berbeda dengan di rumah
dimana individu diperlakukan sebagai
anak. Sebagai siswa, individu dituntut untuk mengerjakan segala sesuatunya
secara mandiri tanpa bantuan dari orangtua.Hal ini dilakukan agar anak dapat
menjalankan perannya dengan baik ketika sudah memasuki dunia kerja.
2.prestasi (achievement); Jika di rumah peran yang
dimainkan seorang anak bersifat askriptif,yaitu peran yang diwariskan kepadanya
secara taken for granted semenjak Ia
lahir seperti peran sebagai anak laki-laki atau perempuan, anak sulung atau
bungsu, sebagai anak Sunda atau
Batak,sebagai kakak atau adik. Di sekolah, siswa dipacu untuk berprestasi
dengan sistem reward/imbalan dan punishment/hukuman. Seorang siswa yang
berprestasi akan mendapatkan reward
berupa pujian,nilai atau beasiswa, sebaliknya seorang siswa yang tidak
berprestasi akan mendapat celaan,nilai yang rendah atau bahkan dikeluarkan dari
sekolah (Drop-out).
3.spesifitas (specifity) : Di sekolah seorang siswa
diperlakukan secara spesifik terkait dengan apa yang dilakukannya. Seorang
siswa yang gagal dalam pelajaran Sosiologi misalnya, hanya akan mendapatkan
hukuman dari guru Sosiologi dan tidak akan mendapat hukuman dari guru
Matematika. Nilai ini berbeda dengna nlai kekaburan (Diffusiness) yang terdapat
di rumah. Di rumah seorang anak dapat dihukum walaupun kesalahan anak tersebut
hany terkait dengan aspek tertentu saja.
4.pengembangan kepribadian ; Sekolah menyediakan berbagai
stimulasi yang merangsang siswa untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan bakat
dan kemampuannya. Termasuk sekolah mendorong siswa memiliki kepribadian yang
berguna pada masa yang akan datang.
5.universalitas (universalism) : Sekolah memperlakukan
setiap siswa tanpa memandang latar belakang sosial atau kelas sosialnya. Untuk
mewujudkannya, setiap siswa harus menjalankan peraturan yang sama tanpa pengecualian. Termasuk dalam hal ini
adalah penggunaan seragam sekolah.
JENIS PENDIDIKAN :
1.PENDIDIKAN FORMAL :
• dilaksanakan pada ruang dan waktu tertentu ; konsep ruang
dalam sekolah bukan semata ruang dalam arti spasial tetapi juga ruang sosial
dan ruang budaya. Ruang sosial menggambarkan adanya ruang untuk berinteraksi
dengan orang lain terkait dengan status masing-masing, apakah sebagai siswa
atau guru. Ruang budaya merupakan ruang yang memberikan kesempatan terjadinya
difusi budaya antarsiswa yang berbeda latar belakang budayanya.
• ada pengklasifikasian/ pengelompokkan ; pendidikan formal
mengklasifikasian dan mengkategorikan siswa berdasarkan ukuran dan parameter
tertentu, seperti jenjang pendidikan, jurusan (IPA/IPS/Budaya) dengan tujuan
tertentu.
• berlangsung pada jangka waktu tertentu : Pendidikan formal seperti sekolah merupakan
kelompok sekunder yang menjalankan sosialisasi sekunder. Proses sosialisasi
tersebut dibatasi pada waktu tertentu. Terdapat kecenderungan penggunaan waktu
belajar di sekolah menjadi lebih banyak dengan semakin banyaknya tuntutan
kurikulum dengan adanya kegiatan pendalaman materi, ekstra kurikuler dan lain
sebagainya.Hal ini mengakibatkan sebagian besar waktu siswa dihabiskan di
sekolah.
• dilaksanakan secara sistematis dan tertib : pendidikan
formal memiliki berbagai aturan yang bertujuan membentuk sikap kedisiplinan.
Atuan tersebut dirancang dengan sistematis dan bersifat kelembagaan.
• terdapat sistem evaluasi : Untuk mengukur tingkat
keberhasilan belajar. Sekolah memiliki sistem evaluasi baik yang bersifat
kuantitatif (seperti dalam kurikulum KTSP 2006) maupun yang bersifat kualitatif
berupa narasi (seperti dalam kurikulum 2013 yang direvisi/kurikulum 2016).
• ada anggaran tertentu : Sistem penganggaran merupakan
sesuatu yang vital dalam pendidikan formal. Pendidikan formal yang
diselenggarakan oleh negara menggunakan APBN/APBD sedangkan pendidikan formal
yang dilakukan oleh pihak swasta menggunakan dana swadaya. Perbedaan sistem
penganggaran inilah yang nanti menimbulkan kesenjangan.Sekolah swasta yang
memiliki anggaran terbatas akan kesulitan menyelenggarakan pendidikan yang
berkualitas karena keterbatasan infrastruktur/prasarana pendidikan seperti gaji
guru,buku sekolah atau bangunan dan laboratorium untuk penunjang kegiatan
belajar.
2.PENDIDIKAN NON FORMAL
Pendidikan non formal merupakan jenis pendidikan yang
memiliki karateristik dan tujuan yang berbeda dengan pendidikan formal.
Pendidikan non formal biasanya bertujuan agar peserta didik memiliki
keterampilan yang khusus dan bersifat segmental. Contoh pendidikan non formal
diantaranya adalah kursus dan bimbingan belajar.
Terkait dengan bimbingan belajar, pendidikan non formal
tersebut bertujuan agar peserta didik memiliki keterampilan terkait dengan
materi pembelajaran yang diajarkan di sekolah seperti keterampilan mengerjakan
soal-soal yang diujikan di sekolah atau soal yang diujikan dalam ujian masuk
perguruan tinggi. Oleh karenanya Bimbingan belajar memiliki sifat praktis
dengan kompetensi memberikan metode penguasaan materi belajar secara singkat.
Berkembangnya bimbingan belajar dilihat dari perspektif sosiologi menunjukkan
adanya disfungsi dalam lembaga pendidikan, khususnya pendidikan formal.
Sekolah sebagai
asosiasi dari lembaga pendidikan formal dinilai kurang mampu menjalankan
perannya mendidik para peserta didik dalam menguasasi materi belajar sesuai
dengan tuntutan kurikulum. Masih banyak siswa dan sekolah, bahkan guru yang memiliki
indeks prestasi yang kurang memadai sesuai dengan target yang dicanangkan oleh
pemerintah.
Para siswapun menyadari keterbatasan sekolah dan guru dalam
mengajarkan materi pembelajaran sehingga banyak siswa yang kemudian melihat
bimbingan belajar sebagai suatu kebutuhan. Sikap sekolah dalam melihat fenomena
ini beragam. Ada sekolah atau guru yang berpandangan positif dengan melihat
hubungan antara sekolah sebagai pendidikan formal dan bimbingan belajar sebagai
pendidikan non formal menjalankan peran yang saling mengisi.
Guru merasa
terbantu dengan adanya bimbingan belajar, bahkan sejumlah sekolah banyak yang
mengadakan kerjasama dengan pihak bimbingan belajar, bahkan banyak juga guru
sekolah yang juga merangkap menjadi guru dari bimbingan belajar. Walaupun
demikian ada juga pandangan miring dari pihak sekolah atau bahkan pemerintah
yang menilai bimbingan belajar sebagai pesaing dalam dunia pendidikan.
Pemerintah juga kerap menuding bimbingan belajar mengajarkan pragmatisme dengan
memberikan bocoran kunci jawaban
ujian-ujian sekolah.
3.PENDIDIKAN INFORMAL
Pendidikan informal adalah pendidikan yang kontras dengan
pendidikan formal. Pendidikan informal tidak terikat ruang dan waktu, tidak
terikat jenjang usia, dapat berlangsung tanpa adanya guru,tidak menggunakan
metode-metode khusus dan tidak memiliki kurikulum tertentu. Kegiatan pendidikan
informal dapat sangat bervariasi dengan melalui media internet,surat
kabar,berdiskusi dengan teman atau menonton siaran berita yang kesemuanya
memikiki bobot pengetahuan tertentu.
Salah satu pendidikan informal yang pengaruhnya luas adalah
televisi dan internet. Televisi merupakan pendidik terbesar pendidikan
informal. (Horton, 1984) Banyak anak yang menghabiskan waktunya dengan menonton
televisi. Keberadaan televisi sebagai pendidikan informal memiliki dua sisi.
Pertama, televisi dapat fungsional dengan pendidikan formal, tetapi di sisi
lain televisi dapat melemahkan pendidikan formal. Anak yang keranjingan dengan tayangan televisi
akan melemahkan semangatnya untuk belajar dan bersekolah.
FUNGSI LEMBAGA PENDIDIKAN
Fungsi, baik manifest maupun laten dan disfungsi merupakan
kontribusi penting Robert K.Merton terhadap perkembangan teori sosiologi,
khususnya teori fungsional. Fungsi manifes adalah fungsi yang nyata dan
diharapkan, sedangkan fungsi laten adalah fungsi yang tersembunyi dan tidak
diharapkan. Merton menjelaskan bahwa akibat yang tak diharapkan tidak sama
dengan fungsi yang tersembunyi. Fungsi tersembunyi adalah satu jenis dari
akibat yang tidak diharapkan, satu jenis yang fungsional untuk sistem
tertentu.Tetapi ada dua tipe lain dari akibat yang tidak diharapkan ; ‘yang
fungsional untuk sistem tertentu dan ini terdiri dari disfungsi tersembunyi’
dan ‘yang tidak relevan dengan sistem yang dipengaruhinya, baik secara
fungsional atau disfungsional atau nonfungsionalnya. (Ritzer)
FUNGSI MANIFES :
• Merangsang berpartisipasi dalam demokrasi : Hal ini
dilakukan antara lain dengan adanya kegiatan diskusi dalam proses
belajar-mengajar. Dalam proses diskusi tersebut siswa akan mempelajari
kemampuan berfikir secara rasional dan bebas.
• meningkatkan kemampuan menyesuaikan diri ; sekolah
memiliki peran dalam mempersiapkan para peserta didik untuk menjalankan peran
dimasa yang akan datang. Salah satu peran yang harus dijalankan siswa pasca
sekolah adalah menyesuaikan diri dengan lingkungan yang lebih luas baik di
lingkungan tempat tinggal maupun di lingkungan kerja.
• menciptakan warga negara yang patriotik ; kurikulum
sekolah berorientasi kepada pembentukan kepribadian yang cinta tanah air.
• mendorong integrasi antarras/etnik : dalam hal ini
sekolah formal yang diselenggarakan oleh pemerintah merupakan sarana yang
efentif untuk mengintegrasikan antar kelompok etnis/agama. Sekolah sebagai
asosiasi lembaga pendidikan berfungsi sebagai sarana interseksi antar kelompok
identitas termasuk antarkelas sosial. Setiap peserta didik apapun latar
belakang sosial-primordial dan kelas sosial yang sama mendapat pengajaran dan
pendidikan yang sama.
• mempersiapkan mencari nafkah ; sekolah (terutama) sekolah
kejuruan memiliki fungsi praktis memberikan bekalan kepada siswa agar memiliki
keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha.
• melestarikan Kearifan Lokal : Sekolah juga berfungsi
melestarikan budaya dan Bahasa daerah. Sekolah mengadakan mata pelajaran yang
memuat Bahasa dan kebudayaan setempat melalui Muatan Lokal (Mulok). Misalnya
sekolah di Jakarta terdapat pelajaran PLKJ (Pengetahuan Lingkungan Kota
Jakarta) yang bertujuan memperkenalkan kepada siswa tentang sejarah dan budaya
masyarakat Jakarta, sedangkan Bahasa daerah juga menjadi salah satu mata
pelajaran di tingkat provinsi.
FUNGSI LATEN :
Selain fungsi manifest yang disadari dan diharapkan,
sekolah juga memiliki fungsi laten, yaitu fungsi yang tidak disadari keberadaannya.
Diantara fungsi laten sekolah antara lain :
• memperpanjang masa remaja ; melalui pendidikan dasar dan menengah dan
program wajib belajar, pemerintah berupaya melakukan rekayasa demografis dengan
mengendalikan pertumbuhan penduduk. Melalui pendidikan di sekolah (kemudian
Pendidikan Tinggi), anak akan terhindar dari pernikahan di usia dini yang akan
melonjakkan pertumbuhan penduduk.
• mencegah akan masuk dunia kerja : Dunia kerja membutuhkan
spesifikasi tertentu salah satunya terkait dengan usia pekerja. Seorang anak
yang belum memiliki cukup umur tidak diharapkan untuk terjun ke dunia kerja.
Oleh karena itu pendidikan formal diharapkan akan melindungi anak dari duni
kerja yang membutuhkan kematangan dari segi usia dan mental.
• menyediakan sarana pembangkangan : sekolah memiliki dua
sisi, disatu sisi sekolah berfungsi mempertahankan status quo dan melanggengkan kekuasaan, tetapi disisi lain sekolah
juga berfungsi secara laten mendorong kritisisme di kalangan peserta didik.
Kurikulum yang disampaikan melalui pendidikan tidak selalu paralel secara
harmonis dengan realitas sosial yang nyata. Hal inilah yang mendorong
terbentuknya lembaga pendidikan sebagai kantong-kantong perlawanan terhadap
status quo.
• mengurangi pengendalian orangtua ; Ketika anak belum
bersekolah, anak sangat tergandung kepada orangtuanya. Orangtua pada masa
prasekolah bertindak sebagai significant
other /pendidik utama. Tetapi ketika anak masuk dunia sekolah, terjadi
proses desosialisasi dan kemudian resosialisasi. Nilai-nilai yang ditanamkan
sebelumnya oleh orangtua perlahan-lahan direduksi oleh nilai baru yang
disampaikan dalam dunia pendidikan.
• memberikan label ; sekolah tanpa disadari berperan dalam
memberikan label-label tertentu kepada siswa. Label-label tersebut dapat
bersifat positif/menyenangkan atau sebaliknya. Label-lebel pintar/bodoh,
teladan atau bandel seringkali diberikan oleh guru dalam proses interaksi di
sekolah. Pelabelan tersebut seringkali mempengaruhi kondisi psikologis siswa
dan membentuk kepribadiannya. Siswa yang mendapatkan label baik cenderung
berprestasi di sekolahnya, begitupula sebaliknya.Inilah yang dikemukakan oleh
Cooley dalam teorinya yang terkenal yaitu teori Cermin Diri (Looking
Glass-Self). Siswa yang diberikan label sebagai siswa yang malas dan bandel
memiliki kecenderungan besar untuk bergabung ke dalam kelompok siswa yang sudah
dikenal sebagai kelompok siswa yang bermasalah. Pelabelan ini alih-alih
menyadarkan siswa dari kesalahnnya, justru makin mendorong siswa bermasalah tersebut
menggabungkan diri ke dalam sub budaya menyimpang seperti kelompok tawuran dan
lain sebagainya.
• Berkembangnya bisnis yang terkait dengan dunia pendidikan
seperti bisnis buku dan seragam sekolah. Belum lagi praktek-praktek penjualan
bangku sekolah di berbagai sekolah ketika musim penerimaan siswa baru dimulai. Pendek
kata, pendidikan telah menjadi komoditi bisnis yang menguntungkan sebagian
birokrat dan sarat dengan KKN. Komodifikasi pendidikan ini telah menjadikan
pendidikan dan ilmu pengetahuan telah berubah menjadi komoditas atau barang
dagangan yang diperjualbelikan menurut logika pasar. Gejala tersebut berarti
suatu indikasi matinya cita-cita pengabdian masyarakat, yaitu menjadikan
sekolah sebagai suatu lembaga yang mengabdi untuk mengembangkan pengetahuan,
suatu media bagi cita-cita manusia untuk menemukan kebenaran.
Praktek komersialisasi dan komodifikasi
pendidikan juga terjadi ketika guru ‘menjajakan’ dirinya untuk memberikan
pelajaran tambahan melalui pendalaman materi atau les privat. Model
pembelajaran ini banyak disalahgunakan oleh oknum guru untuk menanamkan gagasan
pragmatisme belajar kepada siswa. Oknum guru dalam proses tersebut seringkali
memberikan ‘bocoran’ soal dan jawaban kepada murid privatnya sehingga nilai-
murid tersebut menjadi tinggi. Itu jelas merupakan pembodohan karena siswa
tersebut akan merasa mampu padahal kemampuannya menjawa soal bukan karena siswa
tersebut paham secara konsep materi yang diajarkan kepadanya tetapi sekedar
sudah hafal dengan jawaban yang diberikan oleh guru privat sebelumnya.
• karena pendidikan formal sudah menjadi bagian dari Sistem
Pendidikan Nasional, orientasi pendidikanpun mulai mengalami disorientasi.
Penyelenggaraan pendidikan cenderung mengarah kepada formalitas. Hal ini
menjadikan esensi dan substansi pendidikan menjadi menghilang atau minimal
tereduksi.Menurut Merton, situasi ini mengakibatkan terjadinya Ritualisme dalam pembelajaran dan
pendidikan.
Banyak peserta didik yang menempuh pendidikan bukan untuk
mendapatkan ilmu yang bermanfaat bagi kehidupannya dan masyarakat, tetapi
sekedar mengejar ijazah. Bahkan tidak jarang hal itu dilakukan dengan cara-cara
illegal seperti membeli nilai. Gurupun juga terjebak pada situasi ini. Program
sertifkasi pendidikan yang digagas oleh pemerintah yang semula diharapkan untuk
meningkatkan kompetensi guru justru tidak sesuai sasaran. Guru mengejar sertifikasi pendidikan agar sekedar
meningkatkan penghasilannya untuk hal-hal yang tidak sesuai peruntukannya.
Setelah menerima sertifikasi guru malah semakin konsumtif.
• munculnya stratifikasi pendidikan : Upaya lembaga
pendidikan untuk mengejar prestasi dan meningkatkan mutu pendidikan telah menimbulkan
stratifikasi baru. Sekolah-sekolah berlomba-lomba agar dapat memperoleh
akreditasi yang terbaik, dampaknya sekolah-sekolah negeri yang memperoleh nilai
tinggi akan mendapatkan dana dari pemerintah yang lebih besar sedangkan
sekolah-sekolah yang mendapatkan nilai kecil apalagi sekolah swadaya yang
bermodal pas-pasan akan semakin terpuruk.
Stratifikasi pendidikan juga terlihat ketika berdirinya
sejumlah sekolah elit baru yang dikenal dengan nama Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (RSBI). Sekolah model ini mengklaim memiliki metode pembelajaran
baru yang berciri penggunaan dua Bahasa (bilingual). Berkembangnya RSBI hanya
mempertajam kesenjangan dan ketimpangan yang ada dalam dunia pendidikan.
Adanya
RSBI terlihat hanya merupakan komersialisasi pendidikan yang tidak terkait
dengan kompetensi di bidang pendidikan. Guru yang menjadi salah satu pilar
penting pada pembelajaran dalam RSBI juga tidak memiliki perbedaan dengan guru
di sekolah formal lainnya. Setelah dikritik dan digugat oleh berbagai kalangan
akhirnya RSBI ini akhirnya dihapuskan oleh pemerintah karena bertentangan
dengan Undang—undang Pendidikan Nasional yang tidak mengenal adanya pengkastaan
dalam dunia pendidikan nasional.
Pendaftaran sekolah melalui sistem online juga berifat bias kelas. Sistem ini menuntut calon peserta
didik memiliki kemampuan berinteraksi dengan teknologi modern dan sistem
informasi berbasis komputer. Permasalahnnya adalah masih banyak calon peserta
didik yang berasal dari golongan miskin yang tidak memiliki akses ke sistem
informasi/pendaftaran berbasis komputer tersebut, sehingga banyak diantara
mereka yang kemudian tersisih dari kompetisi memperebutkan sekolah.
• Pendidikan juga seringkali bersifat bias kelas. Guru seringkali
dianggap sebagai ‘penyambung lidah kelas atas’. Ketika guru menerangkan tentang
kebersihan misalnya, guru akan menjelaskan konsep kebersihan menurut persepsi
kelas sosial atas. (Damsar, 2012). Pada akhirnya guru dan murid telah
menjadikan kelas sosial atas sebagai kelompok Rujukan (Reference Group) yang
membentuk karakter dan perilaku sehari-hari.
Bias kelas juga dapat terlihat dari pelaksanaan Ujian
Nasional berbasis komputer. Sistem baru ini memang disatu sisi telah makin
mengefisienkan pelaksanaan Ujian Nasional sekaligus menekan tingkat kecurangan,
tetapi disisi lain sistem UNBK ini dinilai tidak mampu melihat adanya perbedaan
setiap wilayah di Indonesia. Ketidaksensitifitas pelaksanaan UNBK ini menunjukkan
masih kuatnya bias kelas, bias kota dan bias modern pada penyelenggara
pendidikan/Ujian Nasional Berbasis Komputer. Karena realitas pendidikan di
Indonesia memperlihatkan, masih banyak didapati infrastruktur mendasar sekolah
yang sanagta terbatas. Banyak sekolah yang tidak mampu menghidupi dirinya
sendiri tanpa bantuan dari pemerintah daerah terutama sekolah sekolah swasta
yang bermodal terbatas seperti di daerah-daerah terpencil.
• menguatnya konsep Gender ; Nilai-nilai yang ditanamkan
oleh sekolah secara tidak disadari telah memperkuat konsep gender yang
mendikotomikan relasi sosial antara laki-laki dan perempuan. Pendidikan yang
diselenggarakan oleh sekolah seringkali basih bersifat bias gender. Misalnya
ketika guru menjelaskan pembagian peran antara ibu dan ayah, guru cenderung
menjelaskan peran sosial ibu ada di rumah (sektor domestik) sedangkan ayah
bekerja di kantor (sektor publik).
Sekolah sebagai asosiasi lembaga pendidikan
tanpa disadari memperkuat ideologi patriaki dan melanggengkan posisi
subordinasi, marjinalisasi, stereotipe dan bahkan kekerasan terhadap kaum
perempuan. Lembaga pendikan kerap kali terjebak kepada genderisasi ilmu
pengetahuan, dimana ilmu pengetahuan tanpa sadar telah menggiring peserta didik
untuk membatasi peran sosial perempuan. Genderisasi ilmu adalah hasil sekaligus
proses relasi yang kompleks antara konstruksi, ideologi, dan konsep gender yang
dominan dalam masyarakat dengan praktik-praktik serta kognisi ilmu.(hidayat,
2004)
• Berkembangnya budaya kekerasan ; Sistem pengajaran dapat
juga melahirkan dan mereproduksi kekerasan dalam masyarakat. Guru yang
menggunakan kekerasan dalam mendidik siswanya, baik kekerasan fisik maupun
simbolik/verbal akan melanggengkan budaya kekerasan. Praktek penerimaan murid
baru yang dilakukan oleh senior juga seringkali melibatkan kekerasan yang nanti
akan melahirkan kekerasan baru ketika para yunior itu menjadi senior. Siklus
kekerasan tersebut seringkali sulit untuk diputuskan mata rantainya.
• Memperkuat identitas primordial ; Terdapat
sekolah-sekolah tertentu yang mengadakan pendidikan secara ekslusif. Lembaga
pendidikan tersebut memiliki siswa yang seragam berdasarkan unsur primordial
tertentu. Misalnya ada sekolah yang berdasarkan agama tertentu dan hanya
menerima siswa yang berasal dari agama tertentu. Hal ini menyebabkan menguatnya
primordialisme dan mempertegas batas-batas kelompok. Para siswa tidak terbiasa
bergaul dan berinteraksi dengan siswa yang memiliki agama yang berbeda. Hal ini
dapat mengakibatkan kesulitan beradaptasi dengan dunia yang lebih luas dalam
dunia pasca sekolah.
• fungsi laten lainnya yang dapat muncul dari sekolah
adalah terhambatnya proses belajar guru. Sebagai guru, ia harus selalu meningkatkan
pengetahuannya dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dan pembelajaran di
kelas, tetapi pada sekolah formal umumnya, kesempatan dan peluang bagi guru
untuk menambah ilmu cenderung semakin berkurang. Hal ini selain karena lemahnya
motif guru yang bersangkutan juga disebabkan oleh banyaknya tugas-tugas administratif
yang dibebankan kepada guru. Selain mengajar, guru juga diharuskan untuk
memberikan penilaian administratif tentang progres belajar siswa, baik dari
aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik.
Apalagi semenjak diberlakukannya
Kurikulum 2013 dan Kurikulum 2013 Revisi atau yang lebih dikenal dengan nama Kurikulum
Nasional (Kurikulum 2016/Kurnas). Kurikulum tersebut menuntut guru memberikan
penilaian, bukan saja penilaian kuantitatif berupa angka tetapi juga penilaian
kualitatif berupa deskripsi yang detil. Kondisi ini tentu saja banyak menyita
waktu guru dan membatasi peran utamanya sebagai pendidik. Guru memiliki kecenderungan
untuk meningkatkan kemampuan dan kapabilitasnya.
DISFUNGSI
Konsep Disfungsi dikemukakan oleh R.K.Merton untuk menggambarkan
tidak berfungsinya sebagian unsur dalam struktur sosial dan sistem sosial.
Sekolah sebagai struktur sosial juga mengalami disfungsi. Disfungsi yang
terjadi dalam lembaga pendidikan khususnya sekolah dapat dilihat dari situasi
berikut ;
• Lembaga pendidikan/sekolah tidak/belum mampu menjawab
kebutuhan dunia kerja. Masih banyak lulusan sekolah baik sekolah kejuruan
maupun sarjana yang masih menganggur. Dikeluarkannya kebijakan “Kait dan
Pasang” (Link and Match) justru sebenarnya merupakan bentuk pengakuan
pemerintah sebagai penyelenggara Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan di
Indonesia belum mampu mencetak tenaga kerja yang siap pakai. Perubahan dari
kurikulum yang satu ke kurikulum yang lain terkesan hanya sebagai proyek untuk
menghabiskan anggaran karena hampir tidak ada perubahan esensial yang dapat
diukur tingkat keberhasilannya.
• meningkatnya kenakalan remaja ; Fenomena kenakalan
remaja/anak-anak dan tawuran pelajar tidak dapat dilepaskan dari kegagalan
lembaga pendidikan,betapa tidak sebagian besar waktu anak sudah dihabiskan dalam
rangka sekolah dengan beban kurikulum yang sangat berat. Tetapi hal itu tidak
mengakibatkan perubahan perilaku sebagian apeserta didik/murid. Seringkali
tawuran pelajar dilakukan ketika jam sekolah sudah usai dengan masih
menggunakan seragam sekolah.
• Berkembangnya praktik-praktik kecurangan. Idealnya ujian
sekolah baik yang diselenggarakan oleh sekolah maupun yang dilaksanakan oleh
pemerintah (Ujian Nasional,USBN) bertujuan melahirkan mentalitas pekerja keras
bagi siswa.Tetapi dalam realitanya seringkali terjadi kecurangan baik
kecurangan individual maupun kecurangan yang terstruktur, masif dan
tersistematisasi. Ironinya kecurangan dalam pelaksanaan ujian seringkali
melibatkan guru sekolah yang seharusnya menjadi pelopor kekujuran dan
integritas.
Kecurangan yang terjadi dalam ujian sekolah telah menggerus
nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam dunia pendidikan seperti persaingan
sehat, kerja keras dan kejujuran. Kecurangan tersebut hanya akan melahirkan
generasi permisif dan pragmatis yang akan melanggengkan perilaku koruptif yang
selama ini menjadi permasalahan di masyarakat.
• Terjadinya disfungsi dalam pendidikan formal telah
memunculkan sejumlah pendidikan alternatif seperti Home Schooling. Home
Schooling merupakan model pendidikan yang berbeda dengan pendidikan formal.
Model pendidikan ini muncul sebagai bentuk ketidakpuasan sebagian praktisi
pendidikan terhadap pembelajaran di sekolah formal. Walaupun demikian masih
terlalu dini untuk menilai apakah model pembelajaran melalui Home Schooling sudah lebih baik atau
tidak mengingat usianya yang relatif baru.
POLA SOSIALISASI DALAM LEMBAGA PENDIDIKAN
1.SOSIALISASI REPRESIF
Sosialisasi Represif dilakukan manakala dalam proses belajar-mengajar
orientasi pendidikan selalu menggutamakan hukuman yang bersifat fisik. Dalam
pola sosialisasi Represif, pusat sosialisasi ada pada guru. Komunikasi yang
dikembangkan bersifat satu arah, di mana para siswa harus selalu memperhatikan
kepentingan guru.Kepatuhan siswa sangat dituntut dalam Sosialisasi Represif.
Gaya kepemimpinan guru berisifat dominatif. Guru cenderung memosisikan dirinya
sebagai sumber kebenaran dan yang paling mengetahui segala sesuatu. Sebaliknya
guru menganggap siswa sebagai orang yang tidak mengetahui apa-apa sehingga
harus selalu dibimbing dan diarahkan oleh guru. Kepemimpinan guru bersifat
autokratik yang dicirikan dengan kepemimpinan yang otoriter dan tidak
memberikan ruang bertukar pandangan dengan murid.
Pola sosialisasi Represif terutama sekali terdapat dalam
sekolah kedinasan , akademi militer termasuk pendidikan di pesantren. Dalam
akademi militer peserta didik dituntut adanya konformitas yang bersifat mutlak.
2.SOSIALISASI PARTISIPATIF
Sosialisasi Partisipatif ditandai dengan adanya pemberian
hukuman dan imbalan yang bersifat simbolik. Siswa menjadi pusat sosialisasi
dimana guru bertindak sebagai fasilitator dalam proses belajar-mengajar.
Komunikasi yang dikembangkan bersifat dua arah. Proses diskusi berupa
pertukaran gagasan yang dipandu oleh guru seringkali menjadi metode dalam
menjelaskan materi belajar. Guru tidak lagi menganggap sebagai pihak yang
paling mengerti.Guru menghargai setiap pendapat siswa dalam proses belajar.
3.SOSIALISASI ANTISIPATORIS
Sekolah memiliki peran untuk mempersiapkan siswa dalam
menjalankan perannya di masa yang akan datang ketika anak sudah memasuki dunia
kerja. Sosialisasi ini disebut sosialisasi antisipatoris. Siswa diberikan
bekalan sesuai dengan bakat, kecenderungan dan kemampuannya. Siswa yang
menempuh pendidikan di sekolah kejuruan misalnya diarahkan agar dapat bekerja
di bidang yang bersifat aplikatif seperti di dunia otomotif atau administrasi
perkantoran. Sebaliknya siswa yang bersekolah di sekolah umum diorientasikan
untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi baik universitas maupun
institut.
4.DESOSIALISASI & RESOSIALISASI
Konsep Desosialisasi dan Resosialisasi merupakan konsep
yang dikemukakan oleh Erving Gofman. Walaupun Gofman menganalisa konsep
Desosialisasi dan Resosialisasi dalam konteks Institusi Total (Total
Institution) seperti Akademi Militer,penjara dan Rumah Sakit Jiwa, tetapi
konsep ini juga dapat diterapkan dalam sosialisasi sekunder lainnya. Sekolah
sebagai bentuk sosialisasi sekunder perlahan menjadi agen pengganti terhadap
apa yang dilakukan oleh keluarga, seiring dengan makin intensifnya anak
memasuki ruang sosial yang lebih luas.
Sekolah seringkali menyampaikan gagasan yang berbeda dengan
gagasan atau nilai yang disampaikan oleh keluarga.Sekolah dalam hal ini telah
mengubah significant other utama dari
orangtua kepada guru. Di lingkungan sekolah bukan orangtua yang berperan dalam
membentuk perilaku individu tetapi guru sebagai agen sosialisasi utama di
sekolah. Di sekolah siswa tidak dilihat sebagai anak dari seseorang. Anak
dicabut identitasnya dan diberikan identitas baru sebagai siswa yang harus
mengikuti aturan demi peraturan di sekolah. Proses inilah yang disebut proses
Desosialisasi dan Resosialisasi.
MODERNISASI DUNIA PENDIDIKAN
Pendidikan merupakan salah satu institusi penting dalam
proses perubahan sosial. Masyarakat yang memiliki sistem pendidikan yang maju,
tentu saja dapat mempercepat perubahan sosial dalam masyarakat tersebut, dan
sebaliknya.
Seiring dengan berlangsungnya globalisasi, dunia
pendidikanpun mengalami proses modernisasi. Kemunculan internet sejak akhir
abad ke 20 telah mendinamisasi dunia kependidikan. Kemunculan internet
merupakan bagian dari revolusi informasi yang dialami oleh umat manusia. Gagasan
ini terkait dengan adanya kenyataan bahwa internet memunculkan perubahan besar
dalam kehidupan manusia, yakni pertama, manusia bisa mendapatkan informasi
dengan cara menghemat waktu dan menundukkan ruang. Kedua, internet memunculkan
era baru, yakni masyarakat informasi. (Atmaja,2018)
Penggunaan internet juga berpengaruh terhadap dunia
pendidikan. Internet telah memberikan informasi tanpa batas kepada siswa, baik
melalui tulisan ilmiah,e-book maupun
blog. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan dalam hubungan antara guru dan
siswa. Guru tidak dapat lagi mempertahankan klaim bahwa ia adalah pihak yang
selalu paling tahu sedangkan siswa dianggap tidak tahu apa-apa. Melalui
internet, dengan melakukan googling
siswa dapat mengkonfirmasi pendapat gurunya dan menguji seberapa tepat pendapat
yang disampaikan guru di ruang kelas.
Adanya aplikasi pendidikan online juga turut mempengaruhi dunia pendidikan khususnya
pendidikan formal. Melalui program-program aplikasi belajar online siswa dapat membandingkan proses
penyampaian materi secara klasikal di kelas dengan di online/daring. Hal ini merupakan tantangan bagi guru untuk mempertahankan
kualitas dan kualifikasinya dihadapan siswa milennial tersebut.
Sebenarnya penggunaan internet dan infrastruktur belajat
berbasis Teknologi Informasi lainnya dapat berjalan beriringan dengan
pendidikan formal. Penggunaan LCD TV, googling
informasi melalui internet dan pelaksanaan ujian berbasis komputer dapat
berfungsi meningkatkan mutu pendidikan. Pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis
Komputer (UNBK) misalnya, sejauh ini relatif telah berhasil mengatasi salah satu
tantangan dalam pelaksanaan ujian di pendidikan formal yaitu ‘kebocoran’ soal.
Pelaksanaan UNBK telah ‘memaksa’ siswa untuk menjadi jujur ketika pelaksanaan
ujian berlangsung. Relatif tidak ada lagi praktek-praktek pembelian soal dan
mencontek semenjak adanya UNBK tersebut.
Modernisasi dan inovasi pendidikan merupakan sebuah
tuntutan alamiah agar lembaga pendidikan dapat tetap berlangsung sesuai dengan
fungsinya. Tuntutan tersebut muncul dikarenakan konsumen pendidikan pada masa
sekarang sebagian merupakan kelompok remaja urban yang sering disebut sebagai net generation. Berbeda dengan generasi baby boom yang dibesarkan ketika
kehidupan mereka sehari-hari lebih banyak didominasi oleh tayangan dan berbagai
acara televisi,net generation tumbuh
besar dalam konteks akselerasi perkembangan teknologi informasi yang luar biasa
cepat.
Net
generation seringkali lebih banyak menghabiskan waktunya untuk
menggunakan handphone, berhadapan
dengan komputer,memakai iPod dan iPad, dan berselancar di internet dengan
menggunakan smartphone atau
berkomunikasi melalui facebook,Instagram,line
atau twitter.
Net
generation pada dasarnya merupakan generasi techno-literate, dimana mereka dalam menjalankan aktivitas
sehari-hari sangat tergantung pada dukungan teknologi informasi. Sebagai
generasi techno-literate, net generation
biasanya mengambangkan komunikasi melalui teks
messaging,blogging (Web Log,Myspace,Facebook), dan video gaming .Net generation digambarkan
memiliki kemandirian dan kebebasan membangun kemampuan dengan menggunakan
teknologi untuk mengumpulkan serta bertukar informasi. (Rahma, 2014) Kondisi
inilah yang menuntut guru harus memiliki kemampuan menyelaraskan pembelajaran
dengan perkembangan teknologi informasi. Guru juga harus mengikuti wacana yang
berkembang di dunia maya dan mampu menjelaskan fenomena yang terjadi dan
menjadi viral di masyarakat.
PENDIDIKAN DAN GLOBALISASI
Globalisasi merupakan perubahan sosial yang ditandai dengan
adanya peningkatan salingketerkaitan dan ketergantungan antar manusia, antarkelompok
dan antarbangsa di dunia. Globalisasi berdampak ke segala sektor kehidupan tidak
terkecuali sektor pendidikan. Institusi pendidikan sebagai objek perubahan
sosial akan menerima berbagai konsekuensi logis atas akibat arus globalisasi
tersebut. Tujuan akhir dari proses pendidikan di era globalisasi adalah menyediakan
sumber daya manusia yang memiliki daya saing di tingkat global. Untuk mencapai
tujuan tersebut, lembaga pendidikan memerlukan inovasi yang memadai.
Perkembangan globalisasi telah membawa sejumlah wacana
besar, yaitu delokalisasi dan lokalisasi, inovasi dan teknologi informasi, kebangkitan
korporasi multinasional, serta privatisasi.
Pertama, delokalisasi dan lokalisasi dalam dunia pendidikan
ditandai dengan difusi unsur kebudayaan asing menjadi bagian dari kebudayaan
lokal. Manifestasinya dalam dunia pendidikan adalah penggunaan Bahasa Inggris
dan Bahasa asing lainnya dalam kurikulum pendidikan, termasuk penggunaan
kurikulum asing serta tenaga pengajar/guru asing.
Kedua, perkembangan inovasi dan teknologi informasi dalam
dunia pendidikan ditandai oleh pergeseran proses pembelajaran. Di era global
proses pembelajaran tidak harus dilakukan melalui pertemuan tatap muka, namun
dapat dilakukan melalui e-learning /
pembelajaran elektronik.Pembelajaran model ini menggunakan teknologi komunikasi
dengan medianya seperti email, blog,teleconference
atau web resmi sekolah.
Ketiga, kebangkitan korporasi multinasional mengakibatkan
pendidikan menjadi sasaran korporasi multinasional. Perusahaan atau pengusaha
bermodal kuat mencoba menjadikan pendidikan sebagai diferensiasi usaha mereka.
Hal ini ditandai oleh bermunculannya sekolah-sekolah elit untuk konsumsi
masyarakat kelas atas.
Keempat, privatisasi dalam dunia pendidikan merupakan
sebuah proses ketika sumber daya milik publik (yang semula dikelola pemerintah
atau negara) dipindahkan ke sektor yang dijalankan oleh pihak swasta
(perorangan atau yayasan). Privatisasi pendidikan menjadi sebuah persoalan
dilematis bagi dunia pendidikan. Praktik penyelenggaraan pendidikan juga
diserahkan sepenuhnya oleh mekanisme pasar, sehingga negara tidak turut campur
tangan. Sumber daya manusia berada di tingkat bawah, serta ada tuntutan dan
fenomena pasar bebas. (Martono, 2014)
KURIKULUM PENDIDIKAN
Pendidikan formal di sekolah tidak dapat dilepaskan dari
adanya kurikulum. Kurikulum memuat visi dan misi pendidikan dan arah pendidikan
nasional. Kurikulum bertujuan agar proses pembelajaran dalam pendidikan formal
memiliki standar yang sama di seluruh daerah di Indonesia. Permasalahannya
adalah seiring dengan perubahan politik di era reformasi, pendidikan dan
kurikulum mengalami politisasi. Setiap menteri yang terpilih berusaha
mengkooptasi pendidikan salah satunya melalui kurikulum. Seringkali terjadi,
ketika apa perubahan politik dengan ditunjuknya sseorang menjadi menteri maka
kurikulumpun mengalami perubahan.
Pada tahun 2004 diberlakukan Kurikulum Nasional yang
dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK 2004). Ironinya kurikulum ini
hanya berlaku beberapa tahun saja. Pada tahun 2013 diberlakukan kurikulum baru
yaitu Kurikulum 2013. Nasib Kurikulum 2013pun sama. Pada tahun 2016 kurikulum
tersebut mengalami revisi dengan adanya Kurikulum 2013 Revisi atau Kurukulum Nasional
(Kurnas/Kurikulum 2016). Seringkali terjadinya perubahan kurikulum dalam waktu
yang relatif singkat menunjukkan tidak adanya road map pendidikan yang jelas yang bersifat jangka panjang dan
berkesinambungan.
Dampak pergantian kurikulumpun tidak kecil. Siswa dan
orangtua siswa harus beradaptasi setiap ada perubahan kurikulum. Orangtua siswa
harus lebih banyak mengeluarkan uang untuk membeli buku sekolah dan Lembar
Kerja Siswa (LKS) sesuai dengan kurikulum terbaru. Bagi sekolah negeri mungkin
hal itu dapat teratasi dengan adanya dana bantuan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang dikucurkan
oleh pemerintah tetapi bagi banyak sekolah lain hal itu dianggap kurang memadai
dan kurang efektif.
Perubahan demi perubahan itupun dinilai tidak esensial dan
tidak tepat sasaran. Dalam KBK 2004 misalnya, setiap peserta didik mulai dari
kelas satu SD harus memiliki kemampuan di bidang komputer dan Bahasa Inggris.
Hal itu diharapkan agar lulusan pendidikan di Indonesia dapat bersaing dengan
kompetisi global.
Permasalahannya apakah pendidikan harus mengalami reduksi
semacam itu. Apakah pendidikan hanya berorientasi kepada kebutuhan global. Penyamarataan
dan penyeragaman kurikulum tanpa melihat keunikan dan kekhasan masing-masing
daerah dapat menimbulkan anomie bagi peserta didik terutama di daerah yang
belum terlalu tersentuh dengan modernisasi dan globalisasi. Padahal tujuan
utama dari pendidikan adalah agar para peserta didik memiliki hati nurani,
etika,moral, rasional dan memiliki kemampuan lainnya yang dengan itu mereka
dapat bermanfaat bagi masyarakat.
Kurikulum 2004 yang
berorientasi kepada kompetisi global dikaitkan dengan konsep yang diperkenalkan
oleh John Naisbitt. Naisbit pada akhir decade 1980-an melalui bukunya Megatrend 2000 memopulerkan konsep
globalisasi. Konsep ini kemudian diakomodir dalam institusi pendidikan
nasional, tanpa pernah dikritisi. Ironinya, konsep itu justru masuk ke dalam
dokumen-dokumen resmi pendidikan seperti UU Sistem Pendidikan Nasional.
Pelaksanaan Kurikulum 2013 juga tidak lepas dari kritik.
Menteri Pendidikan saat itu memberikan salah satu landasan pemberlakukan kurikulum
tersebut. Menurutnya, pemberlakukan Kurikulum 2013 salah satunya agar siswa
tidak perlu membawa buku dalam jumlah yang banyak.
Sistem tematik yang menjadi
inti dari Kurikulum 2013 diharapkan agar semua bidang studi yang diajarkan di
sekolah terintegrasi satu sama lain. Tetapi yang terjadi sesungguhnya malah berbeda.
Perusahaan percetakan melihat kurikulum ini sebagai peluang untuk meningkatkan
keuntungan dengan menertibkan lebih banyak buku sesuai dengan tema-tema yang
ada pada setiap wacana. Walhasil alih-alih mengurangi beban belajar siswa,
kurikulum ini justru menambah beban belajar siswa.
Revisi Kurikulum dengan adanya Kurikulum 2016/Kurnas juga
tidak terlihat adanya inovasi pendidikan. Konten yang ada dalam kurikulum
tersebut sebenarnya hanya memindahkan materi/bab dari satu level ke level yang
lain. Misalnya di kurikulum sebelumnya sebuah materi/bab ada di pembelajaran
kelas 10, tetapi pada kurikulum yang baru materi/bab tersebut pindah ke kelas
12, atau sebaliknya. Ada juga materi pembelajaran
bidang studi tertentu yang ada di kurikulum baru sebenarnya dihidupkan kembali
dari kurikulum 2004 (KBK). Sebagian kalangan menilai situasi ini menunjukkan
penggunaan kurikulum hanya berorientasi kepada proyek dan terkait dengan
penyerapan anggaran semata.
KONFLIK DAN
KETEGANGAN DI SEKOLAH
Sebagai entitas sosial dan sistem sosial, sekolahpun juga
mengalami konflik. Konflik yang terjadi dalam lingkungan sosial dapat terjadi
antara guru dan murid, sesama guru, sesama murid, atau antara guru dan
manajemen sekolah. Ketegangan dan konflik yang terjadi antara guru dan murid
antara lain dapat berasal dari adanya dualisme ketegangan peran guru dalam
kelas. Guru mengalami konflik peran karena harus menjalankan sejumlah peran
yang memiliki tuntutan peran (Role Expectation) yang berbeda/bertentangan di
waktu yang bersamaan. Sebagai bawahan kepala sekolah, seorang guru harus
menerapkan ketentuan administratif sekolah secara ketat kepada murid-muridnya,
namun di sisi lain tanggungjawab moral sebagai pendidik yang sarat dengan
kebijaksanaan akan menghalangi penerapan sanksi kepada siswa tersebut.
Guru juga mengalami kesenjangan peran dalam menjalankan
tugasnya. Kesenjangan peran yang berdampak pada terjadinya ketegangan peran
disebabkan bagi sebagian guru, menjadi guru bukan merupakan ekspektasinya. Guru
sejak awal tidak memiliki panggilan jiwa dan cita-cita menjadi seorang guru.
Bahwa kemudian ia berprofesi sebagai guru karena ia tidak memiliki alternatif
lain. Hal inilah yang menjadikan sebagian guru tersebut menjalankan perannya
dengan keterpaksaan. Profesi keguruan dilakukannya hanya sebagai bagian dari
ritualitas yang tanpa makna. Tentu saja hal ini memiliki dampak yang luas bagi
terhambatnya peningkatan kualitas pendidikan.
MARJINALISASI GURU DALAM SISTEM PENDIDIKAN
Marjinalisasi adalah suatu proses peminggiran atau menjauhkan
sesuatu dari pusatnya. Marjinalisasi guru
dalam sistem pendidikan nasional dan dalam tataran yang lebih makro,
pembangunan nasional berarti proses peminggiran peran guru atau dijauhkannya
peran guru dari pusat kekuasaan, ekonomi, politik dan budaya yang kemudian
mengakibatkan guru menjadi merasa terpinggirkan secara sistematis.
Marjinalisasi itu sebagai suatu proses kooptasi terhadap kekuatan-kekuatan
rakyat agar tidak menimbulkan perlawanan terhadap penguasa.
Marjinalisasi yang dialami oleh guru terjadi pada berbagai
sektor kehidupan seperti pada bidang ekonomi dan sosial budaya.
Marjinalisasi yang dialami guru antara lain terjadi dalam
bidang politik. Guru dijauhkan perannya dalam pengambilan keputusan di tingkat
nasional. Pejabat pengambil kebijakkan di DPR justu minim dari kalangan guru.
Banyak diantara mereka berasal dari profesi lain seperti pengusaha, politisi
dan artis/aktor.
Dampaknya kebijakan pembangunan nasional tidak terintegrasi
dengan aspek kependidikan. Pemerintah juga melakukan kontrol yang ketat
terhadap guru melalui dinas pendidikan di tingkat daerah. Hal ini berdampak
profesi guru direduksi menjadi sebatas bagian dari birokrasi pemerintahan yang
bertujuan mempertahankan kepentingan kekuasaan.
Marjinalisasi ekonomi terhadap guru dapat
terlihat dari rendahnya gaji yang diterima oleh guru. Memang sistem penggajian
dengan adanya kenaikan gaji guru dan sertifikasi guru melalui Undang-undang
Guru sudah dilaksanakan , tetapi pada pelaksanaannya masih banyak guru terutama
guru honorer dan guru swasta yang memiliki gaji yang rendah dan kehidupan yang
kurang layak.
Dampak dari marjinalisasi ekonomi adalah terjadinya
marjinalisasi di bidang sosial budaya.
Profesi guru bagi sebagaian orang bukan merupakan
profesi yang menjanjikan. Profesi guru dinilai masih di bawah profesi-profesi
lainnya seperti dokter, pengacara dan insinyur. Bahkan banyak lulusan perguruan
tinggi terbaik yang tidak berminat dalam profesi keguruan dan pendidikan. Mereka
labih banyak masuk ke bidang yang memiliki penghasilan dan gengsi yang tinggi
seperti di sektor perbankan atau menjadi birokrat. (Darmaningtyas,2005)
REFERENSI :
Bagong Suyanto,Sosiologi, Teks Pengantar dan Terapan,
Jakarta : Prenada,2004
Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, Jakarta : Prenadamedia,2012
Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-rusakan, Yogyakarta : LKiS,
2011
Elly Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi,
pemahaman Fakta dan Gejala Sosial ; Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, Jakarta
: Kencana, 2011
George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, Jakarta : Kencana,
tanpa tahun
Kamanto Sunarto,Pengantar Sosiologi,Jakarta : Lembaga
Penerbit FEUI,
M.Jacky, Sosiologi, Konsep, teori dan metode, Jakarta :
Mitra Wacana Media,2015
Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial, Perspektif
Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonial,Jakarta : RajaGrafindo Persada,2014)
Nengah Bawa Atmaja, Sosiologi Media, Perspektif Teori
Kritis,Depok : RajaGrafindo,2018
Rachmad Hidayat, Ilmu yang Seksis, Feminisme dan Perlawanan
Terhada Teori Sosial Maskulin,Yogyakarta : Jendela,2004
Roem Topatimasang, Sekolah itu Candu, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999
Artikel yg sangat menarik
BalasHapus