NASIONALISME MODERNISASI & DEMOKRASI:TANTANGAN TERHADAP ISLAM (STUDI KASUS TURKI, IRAN, ARAB SAUDI DAN INDONESIA)
NASIONALISME MODERNISASI &
DEMOKRASI: TANTANGAN
TERHADAP ISLAM
(STUDI KASUS TURKI, IRAN, ARAB SAUDI
DAN INDONESIA)
NASIONALISME
MODERNISASI & DEMOKRASI
Semenjak
jatuhnya pemerintahan monarki/kerajaan/kekhalifahan Turki Usmani pada tahun
1923, dunia Islam menghadapi dunia sosial yang baru. Dunia sosial itu harus
mendapatkan pemaknaan dan tafsiran yang baru agar umat Islam dapat hidup
selaras dengan kehidupan dunia modern. Jatuhnya Turki Usmani diikuti dengan
munculnya konsep negara kebangsaan yang diikat oleh aspek etnisitas yang
bersifat lintas agama. Pasca jatuhnya Turki Usmani berdiri sejumlah negara baru
baik di kawasan Afrika Utara, Timur Tengah, dan kemudian Asia Tenggara pasca
Perang Dunia II. Bagi umat Islam, nasionalisme, modernisme dan demokrasi
merupakan sesuatu hal yang baru. Tatanan sosial-politik yang baru mengharuskan
umat Islam beradaptasi.
Kalangan
intelektual dan media massa di Barat cenderung memandang Islam menentang
nasionalisme, modernitas dan demokrasi. Mereka melihat Islam menyediakan
fundamen bagi pemerintahan yang otoriter. Islam dianggap bercorak patriarkal
dan tidak memiliki konsep kewarganegaraan serta kebebasan. Bagi Islam,
kebebasan, demokrasi dan keterbukaan merupakan sesuatu yang asing. Pandangan
demikian dikuatkan dengan munculnya berbagai kelompok yang mengatasnamakan
Islam dan menganggap demokrasi sebagai “konstruksi yang asing” yang
bertentangan dengan Kedaulatan Tuhan.
Pandangan
bias pemikir Barat terhadap Islam sebagaimana yang digambarkan di atas terlihat
sangat dipengaruhi oleh teori-teori sosial Barat yang sudah ketinggalan zaman.
Misalnya, Huntington, dalam bukunya Perbenturan Peradaban menilai bahwa Islam
secara esensial tidak sesuai dengan demokrasi dan modernitas sehingga tidak
mungkin hidup berdampingan antara keduanya.
Islam juga
dituding tidak sesuai dengan demokrasi
karena selama ini peradaban Islam sering dianggap tidak mampu menjadi
lembaga perantara antara pemerintah dan masyarakat, sehingga Ia menghalangi
terbentuknya masyarakat sipil, dan ditambah lagi dengan adanya suatu paham yang
selama ini berlaku, yaitu pemerintahan dunia Islam lebih kali lebih menghargai kepatuhan dan
kesepahaman dibandingkan kritik dan inisiatif individu.Para ahli ilmu sosial
mengatakan bahwa adanya stratifikasi sosial yang timpang dan kondisi ekonomi
yang mengalami stagnasi dan kemunduran semakin memperburuk anggapan terhadap
peradaban Islam, ditambah lagi dengan lemahnya posisi kelompok kelas menengah.
Sebenarnya,
tidak relevan apakah Islam sesuai dengan demokrasi dan modernitas atau tidak. Pertanyaan yang lebih penting
sesungguhnya adalah apakah umat Islam dan ajaran Islam dapat beradaptasi dengan
hal itu atau tidak. Hal inilah yang sesungguhnya lebih berpengaruh kepada
eksistensi umat Islam dan ajaran Islam itu sendiri. Lagipula demokrasi yang
terjadi di Barat tidak selalu harus diterapkan secara sama dengan di dunia
Islam.
Keberhasilan demokrasi itu sendiri lebih ditentukan oleh seberapa baik
kualitas hubungan antara pemerintah dan rakyat sipil, ketimbang dengan hal-hal
yang bersifat simbolik. Demokrasi membutuhkan lebih dari sekedar pemilu dan
konstitusi.Ia tergantung pada tradisi dan organisasi yang mengajarkan warga
awam kebiasaan demokrasi sebenarnya. Kontekstual dengan dunia kehidupan lokal,
kebudayaan,dan organisasinya, juga beragam lintas masyarakat.(Hefner, 2000)
Islam itu
sendiri merupakan ajaran yang kompleks dan komperhensif. Didalam ajaran dan
kebudayaan Islam terdapat aspek-aspek yang membicarakan tentang masa kini dan
masa yang akan datang. Dan bersifat materiil. Aspek inilah yang memungkinkan
ajaran Islam beradaptasi dengan modernisasi. Di sisi lain juga terdapat ajaran
Islam yang bersifat reflektif dan membicarakan aspek-aspek kehidupan yang
immaterial dan transcendental. Kelengkapan dan komperhensifitas ajaran Islam inilah yang kemudian memunculkan
banyak tafsir terhadap ajaran Islam, dan konsekuensi selanjutnya adalah
berdirinya banyak organisasi keislaman yang memiliki pandangan yang
berbeda-beda dalam menyikapi modernisasi.
Sutan Takdir
Alisyabana, yang dikenal sebagai tokoh utama yang mendorong proses modernisasi
menyakini bahwa ajaran Islam mempunyai syarat-syarat untuk beradaptasi dengan
dunia modern, bahkan ajaran Islam itu sendiri banyak mendorong terciptanya
dunia modern dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disumbangkan
oleh banyak ilmuan Islam pada Abad Pertengahan.
Pada Abad
Pertengahan di dunia Islam sudah dikenal pemisahan kekuasaan secara luas antara
otoritas keagamaan dan otoritas negara/pemerintahan. Disebagian besar negara
Islam, ulama mengembangkan kebiasaan yang sehat dengan menjaga jarak dengan
kekuasaan. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai dasar ajaran Islam dan sejarah
kebudayaan dan praktek politik dalam sejarah klasik Islam telah mengembangkan
sebagian aspek yang kemudian dikenal oleh Barat sebagai demokrasi.
Beberapa
puluh tahun yang lalu para ilmuan sosial juga menganggap bahwa agama Kristen
tidak selaras dengan demokrasi, tetapi kemudian, demokrasi justru berkembang di
negara-negara yang secara demografis dan kultural menganut Kristen. Keberadaan
lembaga kependetaan dan Paus di dalam agama Katolik juga tidak menghalangi
berkembangnya demokrasi dan modernitas di negara-negara yang menganut Katolik.
Demokrasi juga tumbuh subur di dalam negara-negara yang menganut protestan.
Denominasi yang ada dalam agama tersebut tidak memungkinkan adanya golongan
yang memiliki kemampuan untuk mendominasi sehingga lebih memungkinkan
terjadinya konsensus dan perdamaian. Hal inilah yang terjadi di Amerika Serikat.
Modernisasi
merupakan suatu istilah yang mengemuka pasca Perang Dunia II. Modernisasi
diawali dari berkembangnya teknologi produksi sejak abad 18 M dengan
ditemukannya mesin uap dan mesin pemintal di Inggris. Penemuan kedua hal
tersebut mendorong peningkatan produksi secara besar-besaran dan menciptakan
kemakmuran.Transformasi yang dialami Inggris tersebut bersamaan waktunya dengan
munculnya gerakan kemerdekaan di Amerika Utara yang menghendaki berdirinya
sebuah negara nasional yang kemudian dikenal dengan naa Amerika Serikat.
Terjadinya Revolusi Prancis yang mengikuti Perang Kemerdekaan Amerika juga
terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan. Oleh karena itu, maka perkataan
‘modern” (modernisasi) juga memiliki asosiasi dengan nasionalisme dan demokratisasi
masyarakat, terutama ditandai dengan hancurnya hak-hak istimewa yang turun
temurun dinikmati oleh kalangan bangsawan dan munculnya pernyataan persamaan
hak-hak warga negara.
Dimanapun ia
terjadi, modernisasi masyarakat lahir dari struktur sosial yang ditandai oleh
tidak adanya persamaan, status sosial yang
didasarkan atas ikatan-ikatan kekerabatan, hak-hak istimewa yang turun
temurun dan kekuasaan yang sudah mapan. Hancurnya tatanan sosial yang lama itu
mengakibatkan munculnya persamaan yang menandai berkembangnya modernisasi.
Dengan
demikian, maka modernisasi merupakan suatu jenis perubahan sosial yang terdiri
dari adanya kemajuan masyarakat dibidang ekonomi dan politik. Modernisasi
idealnya diikuti oleh adanya perubahan diaspek politik yang ditandai oleh adanya
desentralisasi kekuasaan, pelibatan warga negara dalam pemerintahan ,peralihan
kekuasaan secara teratur dan berkala melalui pemilihan umum yang adil, berkembangnya gagasan persamaan (pluralisme)
dan adanya kebebasan menyatakan pendapat serta diakuinya hak-hak asani manusia.
Bagaimana
sikap umat Islam terkait dengan modernisasi dan demokratisasi ? Pertanyaan
tersebut dijawab oleh Syafi’I Anwar yang mencatat bahwa umat Islam menghadapi
dilema dalam menghadapi modernisasi yang secara garis besar terpolarisasi
menjadi tiga pola : pertama,pola apologi, tetapi kemudian diikuti oleh usaha
penyesuaian diri dan adpatasi terhadap proses modernisasi ; kedua, juga
melakukan apologi terhadap ajaran-ajaran Islam, tetapi menolak modernisasi yang
dinilai sebagai westernisasi dan sekularisasi ; ketiga, pola tanggapan kreatif
dengan menempuh jalan dialogis yang mengutamakan pendekatan intelektual dalam
menghadapi modernisasi.(Qomar,2012)
Tulisan ini
bertujuan untuk melihat dan menganalisa terjadinya proses modernisasi baik
dibidang ekonomi dan dibidang politik yang dialami oleh sejumlah negara Islam
di Timur Tengah dan Asia, seperti Turki, Iran, Mesir dan Indonesia.
MODALITAS
ISLAM DALAM MENGHADAPI MODERNISASI
Ajaran Islam
sebenarnya memiliki modalitas untuk dapat beradaptasi dengan zaman modern
dengan segala pranatanya dan nilai-nilainya seperti modernisasi dan
demokratisasi. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Islam dapat berlaku pada segala
zaman dan tempat. Islam tidak terjebak pada tempat dan waktu tertentu, karena
yang menjadi misi Islam adalah agar Islam menjadi Rahmatan lil ‘Alamin (rahmat bagi alam semesta). Berikut ini adalah
sejumlah gagasan Islam yang dapat selaras dengan modernisasi:
|
UNSUR-UNSUR PANDANGAN DUNIA
|
GAGASAN DAN NILAI ISLAM YANG RELEVAN BAGI
MODERNISASI
|
1.Dunia
|
Hakekat dunia
|
Pada dasarnya riil, dunia diciptakan
Tuhan dan bersifat riil
|
|
Nilai agama tentang materi
|
Bernilai : kekayaan tidak bertentangan
dengan tujuan-tujuan agama
|
|
Signifikansi (arti kepentingan )
sejarah
|
Menentukan : suatu pola kehidupan
tertentu harus dibangun di muka bumi
|
2.individu
|
Hakikat individu
|
Kekal : setiap individu diciptakan
sebagai jiwa yang kekal
|
|
Persamaan spiritual
|
Sederajat : kesederajatan semua jiwa
|
|
Kebebasan-keterpaksaan
|
Determinisme : penekanan utama pada
predeterminasi kehendak Tuhan,tetapi perjuangan moral juga dituntut
|
3.Tatanan sosial
|
Pola kesucian masyarakat
|
Keseluruhan masyarakat secara teoritis
diatur oleh hukum sakral
|
|
Egaliter-hierarkis
|
Egaliter : tekanan kuat pada persamaan
orang-orang beriman, meski ada konsep-konsep hirarkis dalam zaman pertengahan
Islam
|
|
Konsep keadilan sosial
|
Keadilan transenden : keadilan sosial
diatur oleh Tuhan
|
4.Tatanan Politik
|
Struktur-struktur keagamaan dan
politik
|
Penyatuan : konsep penyatuan antara
kekuasaan spiritual dan keduniawian dlaam masa Nabi SAW dan Khulafaur
Rasyiddin
|
|
Teori tentang kepemimpinan agama
(dominasi kependetaan atas pemerintahan)
|
Tidak ada kependetaan dalam
Islam,tidak ada kekuasaan ulama, khalifah menjalankan kekuasaan spiritual dan
duniawi
|
|
Konsep hukum
|
Dalam prakteknya hukum pidana Islam
telah hilang dan hukum sipil makin besar membatasi
|
|
Penilaian terhadap ideologi-ideologi
modern
|
Tidak ada sikap pasti yang ada hanya
sikap individual terhadap nasionalisme,demokrasi dan sosialisme
|
Kebenaran dan kewenangan agama
|
Bidang sistem agama
|
Universal : ajaran Nabi untuk semua
manusia
|
|
Sifat kebenaran yang diketahui
|
Mutlak : kebenaran yang diwahyukan
adalah final dan sempurna
|
|
Sikap terhadap kebenaran
|
Otoriter : tradisi kekerasan menekan kercayaan-kepercayaan
lokal
|
|
Kewenangan agama
|
Dogma yang diwahyukan : al Qur’an
adalah kekal,dilengkapi oleh Sunnah
|
|
Perkembangan doktrin
|
Pada dasarnya statis : kecuali
perubahan sedikit sejak masa pertengahan, meskipun prinsip-prinsip penilaian
(ijtihad), perubahan dan ijma’
memungkinkan perubahan dalam bidang hukum
|
Kelembagaan eklesistik
|
Raaison de’ etre kebersamaan internal
|
Konspe kebersamaan lemah ; fungsi
ulama dan raison de etrenya secara
keseluruhan berorientasi keluar—pengelolaan pendidikan dan hukum
|
|
Konsep eksternal kependetaan
|
Menghargai : ulama dihargai karena
ilmunya dan Karena kesalehannya, tetapi tidak dikultuskan
|
(Smith, 1985)
SIKAP DAN
ADAPTASI TERHADAP NASIONALISME, MODERNISASI & DEMOKRASI
Berbagai
organisasi dan gerakan Islam memiliki perbedaan dalam menyikapi sejumlah
pranata modern seperti nasionalisme, modernisasi dan demokrasi. Disatu sisi
terdapat kubu yang secara ekstrem menolak segala pranata Barat tersebut.
Kelompok ini memiliki kecenderungan over
religiusitas dengan sejumlah variannya seperti fundamentalisme,
konservativisme, fanatisme dan ekstremisme. Kelompok fundamentalis merasa bahwa
ajaran Islam seudah sedemikian sempurna sehingga mereka tidak merasa perlu
untuk mengadopsi sistem politik/ekonomi/sosial-budaya dari kelompok lain.
Sebagai konsekuensinya mereka menolak segala sesuatu yang berasal dari
peradaban Barat, termasuk paham negara kebangsaan (nasionalisme), modernisasi
dan demokrasi.
Kelompok ini cenderung skeptis dan apologetik. Metodologi
berfikirnya bersifat ekslusif serta literalis dalam memahami teks kitab suci.
Penolakan terhadap modernisme dan demokrasi sebenarnya bukan saja terkait
dengan hal-hal yang substansial-keagamaan. Kadangkala penolakan itu hanya
terkait dengan kepentingan materi dan non-materi dari pihak-pihak yang memegang
kekuasaan. Mereka khawatir modernisasi dan demokrasi akan mengurangi kekuasaan
dan privilise yang selama ini mereka nikmati. Hal ini terlihat di Iran ketika
kelompok Ayatollah menentang keras demokrasi liberal dan agenda reformasi yang
dianggap mengancam kepentingan mereka.
Adapula
kelompok kedua memiliki prinsip lebih moderat. Mereka berupaya menyelaraskan
Islam dan modernitas dengan cara mencoba melakukan reaktualisasi dan
interpretasi ajaran Islam dengan disesuaikan kondisi modern. Hal ini mereka
lakukan agar umat Islam terhindar dari bentrokan dengan kekuasaan yang hanya
akan berujung kepada semakin termarjinalisasinya umat Islam dalam pentas
politik global. Salah seorang wakil dari kelompok ini adalah Rashed al
Ghannoushi, seorang pemimpin Partai Islam al Dakwah di Tunisia.
Dia beranggapan
bahwa ajaran Islam memiliki gagasan tentang syura (permufakatan) yang
menunjukkan kesesuaian Islam dan demokrasi.Islam juga mengafirmasi nilai-nilai
kemanusiaan yang berimplikasi kepada kesetaraan gender, ras, etnis dan
kebebasan memilih.Kedaulatan yang dianugerahkan Tuhan kepada umatnya mendasari
pemerintahan yang demokratis dengan konsep pluralisme, perbedaan dan HAM.
Ghannousi menganggap bahwa Islam adalah agama yang toleran, pluralis dan adil,
sehingga pemerintahan Islam haruslah memiliki watak demokratis.
Kelompok
ketiga merupakan kebalikan dari kelompok pertama. Kelompok ini secara ekstrem
menganggap Islam selaras dengan nasionalisme, modernisasi dan demokrasi. Mereka
beranggapan prinsip-prinsip dasar Islam klasik mengandung nilai-nilai
kebangsaan, modernitas dan pengakuan terhadap hak sasi manusia dan pluralitas
sebagaimana yan menjadi substansi demokrasi.
1. TURKI
Nasionalisme
berkembang di Turki seiring dengan melemahnya kedudukan dan pengaruh Turki
Usmani. Sejak abad 19 M, Turki Usmani mengalami kemunduran di berbagai aspek
kehidupan. Kaisar Rusia saat itu, Nicholas I ketika itu menjuluki Turki dengan
sebutan The Sick Man of Europe, untuk
menggambarkan kondisi Turki yang sudah sedemikian lemah. Disaat yang sama,
Turki harus menghadapi berkembangnya gerakan nasionalis di Balkan yang ingin
memisahkan diri dari kekuasaan Turki dan mendirikan negara nasional sendiri
yang berbasis etnik. Kelemahan demi kelemahan itulah yang mendorong sekelompok
perwira dari Angkatan Bersenjata Turki mendirikan organisasi Turki Muda.
Kaum
Turki Muda perlahan-lahan berhasil mengkonsolidasikan kekuasaannya dan kemudian
memaksa sultan Turki untuk mengadakan undang-undang yang membatasi
kekuasaannya. Kaum Turki Muda melalui berbagai media memperkenalkan kepada
masyarakat umum ide-ide tentang patriotisme, konstitusionalisme dan modernisme
Islam. Mereka mempopulerkan suatu ungkapan Arab, Hubb al Wathan Minal Iman. (Cinta Tanah Air adalah bagian dari
iman)
Ketika
kelompok Turki Muda dengan tokoh utamanya Mustafa Kemal Pahsya berhasil
mengambilalih kekuasaan dan berkuasa, mereka berusaha untuk menjadikan Turki
sebagai negara nasional dan memperkuat nasionalisme. Langkah pertama yang
mereka lakukan adalah menghapuskan sistem kerajaan/kekhalifahan.
Langkah
berikutnya Kemal menghapus segala sesuatu yang tidak berhubungan dengan
nasionalisme Turki seperti menghapus Bahasa Arab dalam dunia
pendidikan,pemerintahan dan pergaulan sehari-hari, melarang azan dengan Bahasa
Arab dan menggantikannya dengan Bahasa Turki dan mengganti Bahasa Arab dengan alphabet
latin.Tindakan-tindakan itu menunjukkan upaya Turki menghadapi tantangan zaman
modern. Hal itu juga menunjukkan inferiority
complex yang dialami oleh Turki di awal zaman modern.Kaum Kemalis
sebenarnya justru telah melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak ada hubungannya
dengan modernitas.
Percobaan
modernisasi keagamaan di Turki juga dilakukan oleh seorang tokoh gerakan Islam
Turki, Fethuleh Gulen.Gulen dan pengikutnya telah mencoba memproduksi gerakan
politik yang menyokong modernism,nasionalisme dan demokrasi, selain tetap
menghargai prinsip-prinsip agama. Gulen juga mengembangkan konsep keagamaan
yang bersifat menetang adanya monopoli kebenaran agama dan ekslusivisme. Selain
Gulen juga terdapat sejumlah partai politik yang juga memiliki agenda reformasi
dan modernisasi keagamaan seperti Partai Refah, Virtue, dan Partai Keadilan dan
Pembagunan. Partai-partai tersebut berusaha untuk mencari titik temu antara
Islam dan nasionalisme, modernisme dan demokrasi.
2. IRAN
Program
reformasi dan liberalisasi serta modernisasi di Iran sebenarnya sudah dilakukan
sejak masa kekuasaan Shah.Pada masa pemerintahan Reza Shah (1925-1941) dan
dilanjutkan oleh puteranya, Shah terakhir, Muhammad Reza Pahlevi mengakibatkan
tumbuhnya kekuatan-kekuatan sosial baru yang mengancam kepentingan kelompok
sosial tradisional. Di bidang ekonomi, Shah meluncurkan “White Revolution”
dengan program reformasi sistem pertanahan, yang secara khusus membatasi
kekuasaan para penguasa feudal, mengkonversi petani menjadi para pemilik tanah
kecil atau proletar desa sehingga memperluas relasi-relasi kapitalis di dalam
negeri dan meluaskan komunikasi antara desa dan kota hingga ke seluruh negeri.
Naiknya
harga minyak bumi de awal tahun 1970-an telah melonjakkan pendapatan dalam
negri Iran.Hal ini ikut membantu mulusnya program modernisasi yang dirancang
oleh Shah. Akibatnya terjadi peningkatan angka melek huruf,berdirinya sejumlah
lembaga-lembaga pendidikan baru dan meningkatnya jumlah mahasiswa dan birokrat.
Sebaliknya, kelas-kelas sosial tradisional dan kalangan feodal mulai kehilangan
pegangan akibat proses modernisasi tersebut.
Menjelang
akhir tahun 1970-an,kelas menengah kaya yang besar, generasi muda modern dan
perempuan aktif di sektor publik. Kelompok ini mendapatkan keuntungan dari
kemajuan ekonomi ini dan menikmati status sosial yang tinggi dan kualitas hidup
yang lebih baik. Akan tetapi, penguasa mencegah dengan gigih lapisan sosial
yang sedang berkembang ini untuk berpartisipasi dalam proses politik. Shah nampaknya ingin membatasi proses modernisasi
hanya pada aspek ekonomi dan bukan pada bidang politik.
Hambatan untuk
berpartisipasi dalam bidang politik dan pemerintahan ini menimbulkan
ketidakpuasan kelas menengah Iran terhadap pemerintahan Shah. Hal ini kemudian
hari mendorong kelompok kelas menengah, kelompok nasionalis dan anti imperialis
di Iran memberikan dukungan terhadap revolusi yang dilakukan oleh para Mullah
tahun 1979.
Desakan dari
pemerintahan Carter agar Iran mengadakan demokrasi dan memperluas program
liberalisasi ekonomi dan politik makin mendorong runtuhnya sistem monarki Iran.
Ketika revolusi Iran meletus dan kaum
mullah naik kekekuasaan, Amerika Serikat terlihat enggan untuk menolong dan
menyelamatkan monarki Iran dari keruntuhan. Kondisi inilah yang akhirnya
mengakibatkan tumbangnya monarki Iran dan memunculkan Iran sebagai negara
fundamentalis yang siap menantang Barat.
Semenjak
Revolusi Iran yang menaikkan kalangan Mullah
kekekuasaan, Iran nampaknya berhati-hati dan cenderung ambigu dalam
menyikapi modernisasi. Disatu sisi pemerintah revolusioner Iran merusaha
menampilkan rezimnya sebagai pemerintahan puritan dan fundamentalis yang
berusaha menjalankan ajaran Islam secara ketat.Tetapi di sisi lain pemerintah
baru tersebut juga membutuhkan modernisasi.
Pemerintahan Revolusioner Iran
mencoba memisahkan antara modernisasi, yang dianggap sebagai kebutuhan dengan
westernisasi yang dinilai sebagai produk Barat yang menyesatkan. Sebagai
contoh, dalam segi berbusana,para diplomat Iran menggunakan setelan Barat,
namun mereka tidak memakai dasi untuk menunjukkan penolakan mereka terhadap
budaya Barat dan berbagai simbolnya.Karena alasan-alasan tertentu, mereka menganggap dasi sebagai
simbol yang bermakna menyerupai salib. Proses modernisasi, liberalisasi, dan
demokratisasi di Iran pasca Revolusi terhambat dengan adanya lembaga Wilayatul
Faqih dengan coraknya yang bersifat;
pemerintahan ulama, sistem hukum Islam, dan kebijakan-kebijakan yang membatasi
ruang kaum perempuan). Intisari serangan kaum liberal dan reformis di Iran
terpusat pada pembatasan atau bahkan penghapusan lembaga wilayatul Faqih yang dianggap menjadi pengahambat
modernisasi dan reformasi serta demokratisasi di Iran.
Salah satu
figur yang mendorong adanya reformasi pemikiran di Iran adalah Ali Syariati.
Sumbangan besar Syariati dalam upayanya melakukan modernisasi dan reformasi
pemikiran di Iran adalah upayanya untuk menampilkan suatu konsepsi Islam yang
baru, menyegarkan dan memberikan inspirasi. Syariati tetap berpegang pada
prinsip dasar ajaran Syiah yang bertumpu kepada gagasan Mesianik/Mahdiisme.
Dia
terus menerus menyerukan perlunya “Islam yang diperbarui dan dipersegar”.
Syariati mendorong adanya suatu ‘protestanisme” untuk membantu menjadikan Islam
sebagai suatu kekuatan sosio-kultural yang progresif yang dapat menghapuskan
masa kegelapan dan menghantarkan kembali masa kebangkitan Islam. Syariati
mendefenisikan Syiah sebagai “agama protes’. Intizar (menunggu imam) menurut Syariati selaras dengan modernitas,
karena hal itu bercorak “ futurisme”, yang berusaha melihat ke depan dengan
harapan dan bukan ke belakang, tidak peduli betapa sangat baiknya masa lalu
itu.(Esposito,1985)
Pemikiran Syariati bertentangan dengan
pemikiran kalangan Ayatollah yang dipimpin oleh Khomeini. Kelompok Ayatollah
memandang gagasan Syariati dianggap sudah terlalu liberal dan mengancam
otoritas fuqaha/ulama Iran.Gagasan
Syriati agar setiap orang berhak menafsirkan ajaran agama juga bertentangan
dengan lembaga Wilayatul Faqih yang
menganggap dirinya sebagi satu-satunya lembaga yang memiliki kredibilitas moral
untuk membimbing umat Syiah.
Percobaan modernisasi dan
liberalisasi secara lebih struktural di Republik Islam Iran dimulai ketika
berakhirnya Perang Irak-Iran (1988),wafatnya Ayatollah Khomeini (1989) dan
naiknya Rafsanjani sebagai presiden Iran. Di bawah pemerintahan Rafsanjani
dilakukan berbagai reformasi dan pembaruan termasuk di bidang keagamaan.
Kalangan liberal Iran mengintrodusir gagasan bahwa konsep negara Islam
merupakan pemikiran yang berbahaya bagi negara dan agama itu sendiri.Oleh itu
golongan liberal yang mendapatkan angin pada masa pemerintahan Rafsanjani
mencoba menyebarkan paham sekularisasi di masyarakat.
Perubahan di
bidang politik dan budaya di Iran akibat proyek modernisasi dan reformasi telah
menimbulkan kekhawatiran dikalangan ulama konservatif. Gejala sosial seperti
berkebangnya budaya Barat dikalangan generasi muda Iran menyadarkan kalangan
ulama konservatif terhadap bahaya penetrasi budaya Barat. Kebiaaan baru golongan
muda Iran seperti mendengarkan musik Barat, berkembangnya klub-klub underground heavy metal,band-band
pop,rock dan rap yang tumbuh subur di Iran dinilai telah menyerang otoritas
moral Iran yang direpresentasikan oleh para ulama/Mullah.
3. Mesir
Pergumulan
modernisasi telah berbekas pada golongan elit dari setiap negara Timur Tengah,
tetapi taka da yang lebih mendalam dibandingkan Mesir.Frustasi kalangan elit
Mesir lebih dalam karena aspirasi mereka lebih tinggi dan rintangan yang
dihadapi lebih besar. Elit Mesir, setelah hubungan terus-menerus dengan Inggris
selama setengah abad merasa terbiasa dengan dunia modern, tetapi kenyataannya
bansa Mesir sendiri masih terlalu kecil dalam melangkah kearah modernisasi.
Banyak
pengamat politik Barat memandang dengan skeptis modernisasi dan demokratisasi
di Mesir pada khususnya dan Dunia Arab pada umumnya. Mereka beranggapan bahwa
struktur dan kultur masyarakat Arab bersifat patriarkal dan minim pengalaman
demokrasi. Sebelum masa modern dunia
Arab dikuasai olrh monarki yang cenderung absolut sedangkan pasca tumbangnya
monarki di sejumlah negara Arab seperti Irak, Suriah dan Mesir, masyarakat Arab
dikuasasi oleh rezim militer yang memerintah secara diktatorial. Pergantian antarrezim
juga selalu ditandai oleh kudeta dan perebutan kekuasaan. Sebelum Perang Dunia
telah terjadi tujuh kali kup militer di Irak (1936-1941) dan empat di Suriah
sesudah Perang (1949-1952).
Pacsa
tumbangnya monarki Mesir pada tahun 1952, Mesir mengalami percobaan pembangunan
ekonomi dan politik. Di bawah rezim revolusioner diujicobakan pelaksanaan
sosialisme ala’ Nasser dengan cara melakukan Landreform. Dibidang politik elit
revolusioner mengalami perpecahan terkait dengan pelaksanaan modernisasi di
bidang politik.Bagi Naguib, pemerintahan revolusioner harus melibatkan rakyat
dalam pemerintahan. Gagasan Naguib ini mendapatkan dukungan dari Ikhwanul
Muslimin dan kalangan komunis. Keduanya menghawatirkan Dewan Revolusi Mesir
akan bertindak diktator dan mengancam eksistensi keduanya. Sikap politik Naguib
itu ditentang keras oleh Nasser yang sebenarnya merupakan pilar utama dalam
revolusi Mesir. Nasser menghendaki adanya kekuasaan militer yang absolut agar
dapat mempertahankan dan melanjutkan cita-cita revolusi Mesir. Kemenangan
Nasser dalam pergulatannya dengan Naguib mengakibatkan Dewan Revolusi Mesir
berkonfrontasi secara langsung dengan Ikhwanul Muslimin.
Program
reformasi dan liberalisasi Mesir dilakukan secara gencar pada masa pemerintahan
Anwar Sadat (1970-1981). Sadat mendeklarasikan Infitah, yang merupakan program
reformasi Mesir di bidnag ekonomi. Sebagaimana negara diktator lainnya, program
itu baru sebatas menyangkut perbaikan di bidang ekonomi-birokrasi, dan belum
mencakup aspek reformasi dan modernisasi serta demokratisasi di bidnag politik.
Paradoks dan kesenjangan inilah yang kemudian menumbuhkan ketidakpuasan
terutama di kalangan kelas menengah di Mesir.
Kebijakan
Infitah Sadat meliputi pembukaan usaha perdagangan yang lebih luas dengan
negara lain dan membuka Mesir bagi penanaman modal asing.Kebijakan Infitah ini
telah membuka Mesir pada pengaruh ekonomi, politik dan budaya Barat da
mendorong Mesir mencari penyesuaian dengan Israel. Pendekatan dengan Israel
menurut Sadat tidak dapat dilepaskan dari program reformasi dan modernisasi ekonomi
Mesir, karena Israel dianggap sebagai pelopor modernisasi di Timur Tengah.
Pembukaan hubungan dagang yang lebih luas dengan sejumlah negara maju juga
mensyaratkan Mesir menjalin hubungan yang harmonis dengan Israel.Untuk
memuluskan proyek Infitahnya, Sadat
kemudian melakukan perundingan dan perjanjian damai dengan Israel melalui
Perjanjian Camp David pada tahun 1979.
Program liberalisasi dan modernisasi
yang dilakukan oleh Sadat merupakan bentuk penyelesaian permasalahan ekonomi
yang merupakan alternatif dari proram sosialisme yang gagal pada masa
pemerintahan Nasser. Nasser dianggap gagal menyelesaikan berbagai persoalan
ekonomi di Mesir melalui percobaan sosialisme dan nasionalisme Arabnya.
Walapun
Sadat melakukan modernisasi dan liberalisasi di bidang ekonomi, tetapi Sadat
sedikit sekali membuka ruang di bidang
politik. Sadat membebaskan ribuan tahanan politik yang sebelumnya dipenjara
oleh rezim sosialisme Arab Nasser.Kebijakan ini alih-alih menekan radikalisme
di Mesir, justru hal inilah yang kemudian makin mengembangkan kelompok-kelompok
radikal dan fundamentalisme di Mesir yang berujung kepada pembunuhan Sadat
tahun 1981 yang dilakukan oleh salah satu angota kelompok fundamentalis.
Berdasakan
data-data statistik baru kemudian diketahui bahwa program Infitah yang
dilakukan oleh Sadat mengalami kegagalan. Pada tauh 1979 lebih dari 50 % GNP
Mesir digunakan untuk memiayai impor. Mesir yang seharusnya perupakan
pengekspor pangan , pada saat itu sepenuhnya tergantung pada impor untuk
mengadakan persediaan pangannya. Pada tahun 1980, utang non militer Mesir telah meningkat sampai
21.000 juat poundseterling dan tiga per empat utang baru itu digunakan untuk
membiayai konsumsi yang meningkat.
Bahkan pendapatan yang meningkat dari ekspor
minyak bumi, yang tumbuh dengan laju 40 % setiap tahun, digunakan untuk
membiayai impor barang konsumsi dan bukan untuk investasi. Dalam bidang sosial,
Bank Dunia mencatat semakin meningkatnya jurang antara kleompok kaya dan miskin
di Mesir serta implikasi sosial-politisnya yang berbahaya akibat kesenjangan
ini. Kemunduran ekonomi ini diperparah dengan semakin merebaknya
praktek-praktek korupsi dan nepotism edi kalangan lingkaran dlaam elit
Mesir.Pejabat tinggi Mesir bahkan Sadat sendiri seringkali terlibat dalam
praktek-praktek kotor tersebut.
Ketidakpuasan
yang dialami oleh rakyat miskin Mesir tidak diimbangi dengan adanya saluran
untuk menampung kegelisahan sosial tersebut. Kondisi inilah yang kemudian
menjadi bom waktu yang akan meledak sebagai bentuk ekspresi ketidakpuasan berbagai kalangan
terhadap rezim yang ada, seperti kaum Naserit,golongan kiri, intelektual
liberal sisa-sisa Partai Wfd dan dari kalangan fundamentalis Islam.
Terbunuhnya
Sadat tahun 1981 mengakibatkan proyek Infitahnya
(pembukaan, modernisasi ekonomi dan pasar bebas) mengalami kegagalan. Kegagalan
modernisasi dan liberalisme telah menimbulkan dampak yang merusak dan meluas.
Salah satu dampak dari kegagalan modernisasi dalam mengentaskan kemiskinan dan
kesenjangan sosial-ekonomi di Mesir adalah berkembangnya fundamentalisme
keagamaan di Mesir.
Fundamentalisme
Islam merupakan gerakan yang bisa menjadi sarana untuk melepaskan kebencian dan
rasa frustasi yang meningkat setelah kegagalan dalam menggunakan sistem politik
dan ekonomi dari Barat seperti liberalisme dan sosialisme. Fundamentalisme
Islam di Mesir lahir dikarenakan kegagalan liberalisme yang diterapkan oleh
Sadat dan sosialisme, yang sebelumnya dipaksakan oleh.Sebagai dampaknya, banyak
kemarahan di kalangan Islam yang ditujukan kepada Barat dan kepada
kroni-kroninya di Timur Tengah, tidak terkecuali rezim yang berkuasa di Mesir
pasca Sadat.
Kelompok
fundamentalisme Mesir lahir bukan akibat dari tidak berdayanya modernisasi,
tetapi justru karena adanya modernisasi yang berlebihan, yang mereka lihat sebagai
penghianatan terhadap nilai-nilai Islam yang sebenarnya. Menurut mereka
modernisasi telah menghadirkan berbagai nilai yang merusak dan makin
mengasingkan Islam. Situasi ini mendorong mereka ingin kembali kepada kemurnian
dan fundamen ajaran Islam. Kelompok fundamentalis yang bercorak revivalis dan
puritan ini menolak, baik modernisasi ekonomi maupun demokrasi, karena keduanya
dianggap sebagai bagian dari sistem nilai masyarakat Barat. Kelompok ini
mnyerukan kembali kepada al Qur’an dan Sunnah serta mengkampanyekan Islam
sebagai Solusi (Islam Huwa al Hal).
Kecenderungan
pemikiran yang ekslusif ini otomatis disertai dengan sikap anti-Barat yang
dimanifestasikan dengan aksi-aksi terror yang ditujukan kepada orang asing dan
kelompok minoritas seperti kelompok Kristen Koptik. Kelompok ini seringkali
menjadi sasaran dari kelompok fundamentalis radikal. Jatuhnya Hosni Mubarak
(yang menggantikan Anwar Sadat sebagai presiden Mesir ) pada tahun 2011 akibat
Arab Spring makin memberikan lahan yang subur bagi perkembangan kelompok
fundamentalis. Pasca Arab Spring pemerintah Mesir kembali disibukkan dengan
aksi-aksi menumpas terorisme yang dilakukan oleh kelompok fundamentalis radikal
ini.
Modernisasi
dan liberalisasi serta demokratisasi di Mesir sangat dipengaruhi oleh
keberadaan dua pihak yang berpengaruh, pertama adalah Ikhwanul Muslimin dan
kedua adalah al Azhar sebagai lembaga keagamaan resmi di Mesir. Ikhwanul
Muslimin jelas sangat mewarnai perkembangan politik di Mesir, malaupun
keberadaannya seringkali mengkibatkan terjadinya bentrok dengan penguasa, baik
pada masa monarki maupun pada masa pemerintahan Gamal Abdel Nasser.
Ikhwanul
Muslimin merupakan organisasi politik-keagamaan yang memiliki ideologi Islam
fundamentalis. Organisasi ini selain mempunyai karateristik hirarki organisasi
yang ketat, dan penekanannya pada penggunaan aksi massa yang seringkali
berujung kepada tindak kekerasan. Penekanannya pada sosialisme Islam membuat
organisasi ini sulit diklasifikasikan sebagai partai tradisionalis. Beberapa
penulis menyebut Ikhwan dengan istilah “neotradisionalis” dan sebagian lainnya
melihatnya sebagai sosialis.Organisasi itu juga disebut dengan ‘neo-totalitarianisme Islam”.
Tetapi karena
orientasi Islamnya yang radikal, maka Ikhwan lebih dekat kepada kelompok tradisionalis
ketimbang tujuan-tujuan modernisnya. Pada tahu 1948, usaha pembubaran
organisasi ini berujung kepada terjadinya pembunuhan terhadap Perdana Menteri
Nuqrashi Pasha oleh salah seorang anggota Ikhwan dan setelah hubungan baiknya
yang singkat dengan kelompok Dewan Revolusi, Ikhwan akhirnya dibubarkan oleh
pemerintah Nasser karena dianggap menghalangi usaha mewujudkan sosialisme Mesir.
Organisasi
lain yang berpengaruh di Mesir adalah al Azhar. Al Azhar semenjak revolusi
telah menjadi corong pemerintah. Pada masa Nasser al Azhar banyak menyuarakan
kesesuaian antara nasionalisme, sosialisme dan Arabisme dengan Islam, tetapi
ketika orientasi politik Mesir berubah pada masa Sadat, al Azhar banyak
mengkampanyekan tentang liberalisme dan modernisasi.
4. Arab
Saudi
Hubungan
antara Islam dan modernisasi dan demokrasi di Arab Saudi ditandai dengan adanya
hubungan yang terpisah. Pemerintah Saudi menerima modernisasi yang terkait
dengan pengembangan perekonomian. Adapun modernisasi yang berkaitan dengan
pembaruan pemahanan keislaman (reaktualisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam)
dan modernisasi politik serta demokrasi jelas ditolak mentah-mentah.
Pemerintahan Saudi dengan corak Wahabinya dengan tegas menolak demokrasi dan
pengakuan warga negara secara setara. Saudi Arabiya merupakan negara yang
berbentuk monarki /kerajaan dengan hak-hak feodal yang dinikmati oleh para
bangsawan di dalamnya secara turun temurun dan tidak dapat digugat. Pemerintah
Saudi bahkan mengawasi dengan ketat setiap aspirasi demokrasi yang akan
mengancam keberlangsungan monarki. Pemerintah Saudi juga menolak adanya
kesetaraan hak antar warga negara. Golongan lain yang berada di luar lingkaran
kekuasaan tidak mendapatkan hak yang setara.
Modernisasi
dan liberalisasi ekonomi yang dijalankan oleh pemerintahan Saudi pada era
1070-an telah menimbulkan resistensi dari kalangan puritan dan fundamentalis.
Upaya kerajaan untuk melibatkan kaum perempuan ke dalam sector publik telah
mendapat kecaman dari ulama-ulama Wahabbi seperti Syekh Abdullah Bin Baaz.
Bahkan penolakan tersebut berujung kepada terjadinya peristiwa Pendudukan
Masjidil Haram yang dilakukan oleh Juhayman al Utaibi yang disinyalir mewarisi
tradisi puritanisme-fundamentalisme kelompok Ikhwan yang telah dibubarkan oleh
Ibnu Saud tahun 1920-an.
Pada masa
pemerintahan Raja Abdullah yang kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Raja
Salman, terjadi sejumlah perubahan kultural. Walaupun belum secara signifikan,
tetapi beberapa kebijakkan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Saudi seperti
membolehkan kaum wanita mengendarai mobil sendiri dan dibolehkannya mereka
menonton pertandingan sepakbola memberikan sinyal akan adanya perubahan besar
pada masa yang akan datang.
Ancaman
berakhirnya era Petrodollar dengan
mekin menipisnya cadangan minyak bumi yang dimiliki oleh Saudi Arabiya telah
mendorong raja Salman untuk melakukan transformasi ekonomi secara fundamental.
Di bawah raja Salman, Saudi dengan gencar melakukan pembukaan hubungan dagang
dengan berbagai negara potensial. Hal ini sudah pasti akan diikuti oleh
terjadinya reformasi birokrasi dan modernisasi ekonomi. Modernisasi itu sendiri
seringkali menjadi awal dari proses sosial lainnya seperti westernisasi dan
sekularisme. Disisi lain masih terdapat kelompok-kelompok puritan yang ingin
tetap mempertahankan gaya hidup badui dalam masyarakat Saudi. Perbedaan ini
dikemudian hari akan menimbulkan pertentangan baru yang belum diperkirakan
sebelumnya.
5. Indonesia
Indonesia
merupakan negara yang memiliki potensi besar untuk sukses dalam melaksanakan
modernisasi. Struktur dan kultur masyarakat Indonesia memungkinkan
dilaksanakannya modernisasi di bidang ekonomi dan politik. Walaupun memang
diakui masih terdapat sejumlah hal yang bersifat internal yang dapat menghambat
pelaksanaan modernisasi.
Masyarakat Indonesia dengan populasi muslimnya
terbesar di dunia memiliki banyak potensi dalam melaksanakan modernisasi,
antara lain :
-
Pertama
: moderasi pemikiran dan tindakan.Umat Islam Indonesia dikenal dunia
internasional sebagai umat yang memiliki pemikiran dan tindakan yang moderat, sehingga
dapat bersikap inklusif terhadap kehadiran orang lain yang berbeda agama,
budaya,tradisi dan ideologi ke dalam komunitasnya. Sebagian besar umat Islam
Indonesia tidak bersikap ekstrem baik dalam pemikiran maupun tindakan sehingga menjauhkan
mereka dari kecenderungan ekstremisme atau radikalisme.
-
Kedua,
bersikap toleran terhadap pemeluk agama lain.Sikap ini sudah terbentuk
berabad-abad yang lampau sehingga sudah menjadi warisan sejarah sosial bagi
masyarakat Indonesia.Sikap toleran sangat dibutuhkan dalam kehidupan modern dan
alam berfikir demokratis.Hal itu disebabkan masyarakat Indonesia memiliki
tingkat pluralitas dan kemajemukan yang sangat tinggi.
-
Umat
Islam Indonesia sudah terbiasa hidup dalam pluralitas. Umat Islam, walaupun secara
jumlah merupakan golongan matoritas tetapi terbiasa berinteraksi dan bergaul
dengan berbagai golongan yang minoritas.
Selain
sejumlah modal sosial dalam menghadapi modernisasi seperti yang disebutkan di
atas, umat Islam Indonesia juga masih memiliki sejumlah kelemahan diantaranya :
-Umat Islam
baru unggul dalam hal jumlah atau kuantitas, sedangkan dalam aspek kualitas
masih jauh tertinggal. Umat Islam masih menjadi golongan marjinal terutama
diaspek ekonomi. Tingkat pendidikan umat Islam juga bervariasi, dan banyak yang
masih belum mengecap pendidikan tinggi. Hal ini tentu saja berpengaruh kepada
penyikapan terhadap modernisasi itu sendiri.
-umat Islam
Indonesia terfragmentasi ke dalam berbagai bentuk identitas sosial, kultural
dan politik. Terdapat berbagai aliran dan sekte yang satu sama lain seringkali
saling menyalahkan dan bertikai. Padahal sikap fanatik (ta’ashub) merupakan
sifat yang dicela oleh ajaran Islam dan secara konsisten diperangi oleh Islam
sejak kemunculannya pertama kali.
-Umat Islam
juga masiih mudah ditunggangi oleh kepentingan politik-ekonomi tertentu. Isu
SARA seringkali dihembuskan dengan tujuan tertentu yang secara substansi justru
seringkali melemahkan posisi umat Islam.Umat Islam seringkali dituduh sebagai
pihak yang intoleran dan tidak dapat menerima perbedaan.
-Kalangan
elit umat Islam juga seringkali bukan menjadi pihak yang mengartikulasikan
kepentingan umat Islam tetapi justru menjadi broker politik dengan “memperdagangkan” umat Islam terutama pada
saat berlangsungnya politik elektoral.
-Umat Islam
dan elitnya seringkali masih terjebak pada formalism agama dan terpaku pada
simbol-simbol keagamaan. Memang keduanya penting sebagai bentuk identitas
sosial, tetapi yang juga sangat penting adalah agar umat Islam memahami
substansi ajaran Islam. Umat Islam seringkali sibuk dengan pelbagai seremoni ,
tetapi kehilangan substansinya misalnya ; meneriakkan takbir tetapi melakukan
perusakan dan menghujat orang lain, menampilkan simbol Islam tetapi melakukan
korupsi dan lain sebagainya. Mayoritas umat Islam tidak dapat melihat
aspek-aspek substansial tersebut (korupsi dan melakukan kerusakan serta
menghujat ) sebagai hal yang bertentangan dengan intisari ajaran Islam.
Dikalangan
umat Islam memang dilakukan berbagai usaha untuk berdaptasi dengan modenitas
seperti yang dilakukan oleh sejumlah organisasi modernis seperti Muhammadiyah.
Muhammadiyah berusaha melakukan reaktualisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam
dalam tataran riil dengan mendirikan sekolah sekolah dan kegiatan sosial lainnya.
Usaha
lainnya juga dilakukan oleh Nahdlatul ulama. Tetapi NU sendiri mengalami dilema
dalam memoderasi dirinya. Ketika NU mencoba melakukan modernisasi kultural,
sebagian kalangan elit NU tidak siap dengan konsekuensi yang akan
ditimbulkannya. Misalnya, modernisasi akan mengakibatkan melemahnya hubungan
patronase antara Kyai dan santrinya dan akan memudarkan kharisma para elit yang
selama ini mendapatkan penghormatan dari kalangan santrinya. Padahal eksistensi
NU selama ini masih sangat tergantung pada dominasi otoritatif elit/ulama dalam
aspek keagamaan dan tafsir keagamaan.
Sedangkan
organisasi-organisasi lainnya yang lebih berorientasi internasional seperti
Ikhwanul Muslimin dan Hizbuttahrir cenderung menerima proses modernisasi sejauh
hal itu hanya terkait dengan aspek materil belaka seperti penggunaan teknologi
informasi. Sebagian kalangan gerakan Islam juga menerima, mengakui dan
menjalankan demokrasi selama demokrasi itu hanya ditafsirkan sebagai metode dan
instrumen untuk meraih kekuasaan. Adapun substansi dan esensi demokrasi itu
sendiri seperti pluralisme dan kesetaraan
cenderung mengalami penolakan.
Modernisasi
dan demokratisasi di Indonesia juga ditentang oleh sebagian kalangan yang
menganut fundamentalisme dan revivalisme/puritanisme. Modernisasi dengan
gagasan utamanya membawa misi pembaruan jelas berbeda dengan pemurnian. Jika
pembaruan berorientasi ke masa depan dengan mencoba mengadaptasikan ajaran
Islam dan umat Islam dengan situasi modern yang berubah-ubah.
Gerakan
pembaruan berupaya memahami substansi ajaran Islam dan kemudian memikirkan
bagaimana caranya agar ajaran Islam dapat diterapkan dalam konteks kehidupan
modern. Walaupun memang tidak dapat
disangkal ada upaya agar gerakan rekontekstualisasi ajaran Islam dibelokkan
kepada rasionalisme ekstrem dan liberalisasi Islam. Sedangkan gerakan pemurnian
(purifikasi) justru berorientasi kepada masa lampau.
Pemurnian/purifikasi
berupaya mengembalikan cara hidup ke 7 M ke dalam kehidupan modern. Kalangan
puritan dan fundamentalis secara tegas menolak terlibat secara langsung dengan
proses modernisasi dan demokratisasi yang mereka anggap sebagai produk Barat
yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Sikap dan
adaptasi yang adapat dilakukan oleh umat Islam menyangkut modernisasi ekonomi
dan politik dapat dilihat dari hal-hal berikut :
Dalam bidang
pemikiran :
-merubah pemikiran
pragmatis menjadi idealis
-merubah
pemikiran konsumtif menjadi produktif
-merubah
pemikiran dikotomis menjadi integralistik
-merubah
pemikiran apologis menjadi responsif
-merubah
pemikiran feodalis menjadi egalitarian
-merubah
pemikiran fatalis menjadi dinamis
-merubah
pemikiran normatif menjadi metodologis
-merubah
pemikiran regresif menjadi progresif
-merubah
pemikiran ekslusif menjadi inklusif
-merubah
pemikiran sektarian menjadi populis
-merubah
pemikiran parsial menjadi komperhensif
-merubah pemikiran
monoton menjadi transformatif
-merubah
pemikiran ritualis menjadi kreatif
Dalam bidang
tindakan :
-merubah
perilaku sebagai objek menjadi subjek yang berinisiatif
-merubah
perilaku sebagai konsumen menjadi produsen
-merubah
perilaku yang imitatif menjadi inovatif
-merubah
perilaku pekerja menjadi wiraswasta
-merubah
perilaku konflik menjadi persaingan sehat
(Diolah dari
Qamar,2012)
REFERENSI :
-Asef Bayat,
Pos Islamisme, Yogyakarta :LKiS,2011
-Bernard
Lewis, Apa Yang Salah, Sebab-sebab Runtuhnya Khilafah dan Kemunduran Umat
Islam,Jakarta : INA Publikatama,2004
-Bernard
Lewis, Jihad dan Teror Biadab, Jakarta : Pustaka Bengawan,2005
-Daniel
Lerner, Memudarnya Masyarakat Tradisional,Yogyakarta : Gajah Mada University
Press,1983
-Donald
Eugene Smith, Agama Di Tengah Sekularisasi Politik, Jakarta : Pustaka
Panjimas,1985
-John
L.Esposito, Agama dan Perubahan Sosiopolitik, Jakarta : Aksara Persada
Press,1985
-Mohammed
Heikal, Anwar Sadat, Kemarau Kemarahan,Jakarta : Grafity Press,1986
-Mujamil
Qomar,Fajar Baru Islam Indonesia,Kajian Komperhensif Ata Arah Sejarah Dan
Dinamika Intelektual Islam Nusantara,Bandung : Mizan, 2012.
-Robert
Hefner, Civil Islam, Islam Dan Demokratisasi di Indonesia,Yogyakarta :
LKiS,2000
-Sutan
Takdir Alisjahbana, Pemikiran Islam Dalam Menghadapi Globalisasi Dan Masa Depan
Umat Manusia, Jakarta : Dian Rakyat, 1992
-Willard A.
Beling, Modernisasi Model Pembangunan, Jakarta : Rajawali,1980
- Yaroslav Trofimov,Kudeta Makkah,Ciputat
: Pustaka Alvabet,2007
Komentar
Posting Komentar