NASIONALISME MODERNISASI & DEMOKRASI:TANTANGAN TERHADAP ISLAM (STUDI KASUS TURKI, IRAN, ARAB SAUDI DAN INDONESIA)


NASIONALISME MODERNISASI & DEMOKRASI: TANTANGAN TERHADAP ISLAM  
(STUDI KASUS TURKI, IRAN, ARAB SAUDI DAN INDONESIA)


NASIONALISME MODERNISASI & DEMOKRASI

Semenjak jatuhnya pemerintahan monarki/kerajaan/kekhalifahan Turki Usmani pada tahun 1923, dunia Islam menghadapi dunia sosial yang baru. Dunia sosial itu harus mendapatkan pemaknaan dan tafsiran yang baru agar umat Islam dapat hidup selaras dengan kehidupan dunia modern. Jatuhnya Turki Usmani diikuti dengan munculnya konsep negara kebangsaan yang diikat oleh aspek etnisitas yang bersifat lintas agama. Pasca jatuhnya Turki Usmani berdiri sejumlah negara baru baik di kawasan Afrika Utara, Timur Tengah, dan kemudian Asia Tenggara pasca Perang Dunia II. Bagi umat Islam, nasionalisme, modernisme dan demokrasi merupakan sesuatu hal yang baru. Tatanan sosial-politik yang baru mengharuskan umat Islam beradaptasi.

Kalangan intelektual dan media massa di Barat cenderung memandang Islam menentang nasionalisme, modernitas dan demokrasi. Mereka melihat Islam menyediakan fundamen bagi pemerintahan yang otoriter. Islam dianggap bercorak patriarkal dan tidak memiliki konsep kewarganegaraan serta kebebasan. Bagi Islam, kebebasan, demokrasi dan keterbukaan merupakan sesuatu yang asing. Pandangan demikian dikuatkan dengan munculnya berbagai kelompok yang mengatasnamakan Islam dan menganggap demokrasi sebagai “konstruksi yang asing” yang bertentangan dengan Kedaulatan Tuhan.

Pandangan bias pemikir Barat terhadap Islam sebagaimana yang digambarkan di atas terlihat sangat dipengaruhi oleh teori-teori sosial Barat yang sudah ketinggalan zaman. Misalnya, Huntington, dalam bukunya Perbenturan Peradaban menilai bahwa Islam secara esensial tidak sesuai dengan demokrasi dan modernitas sehingga tidak mungkin hidup berdampingan antara keduanya.

Islam juga dituding tidak sesuai dengan demokrasi  karena selama ini peradaban Islam sering dianggap tidak mampu menjadi lembaga perantara antara pemerintah dan masyarakat, sehingga Ia menghalangi terbentuknya masyarakat sipil, dan ditambah lagi dengan adanya suatu paham yang selama ini berlaku, yaitu pemerintahan dunia Islam  lebih kali lebih menghargai kepatuhan dan kesepahaman dibandingkan kritik dan inisiatif individu.Para ahli ilmu sosial mengatakan bahwa adanya stratifikasi sosial yang timpang dan kondisi ekonomi yang mengalami stagnasi dan kemunduran semakin memperburuk anggapan terhadap peradaban Islam, ditambah lagi dengan lemahnya posisi kelompok kelas menengah.

Sebenarnya, tidak relevan apakah Islam sesuai dengan demokrasi dan modernitas  atau tidak. Pertanyaan yang lebih penting sesungguhnya adalah apakah umat Islam dan ajaran Islam dapat beradaptasi dengan hal itu atau tidak. Hal inilah yang sesungguhnya lebih berpengaruh kepada eksistensi umat Islam dan ajaran Islam itu sendiri. Lagipula demokrasi yang terjadi di Barat tidak selalu harus diterapkan secara sama dengan di dunia Islam. 

Keberhasilan demokrasi itu sendiri lebih ditentukan oleh seberapa baik kualitas hubungan antara pemerintah dan rakyat sipil, ketimbang dengan hal-hal yang bersifat simbolik. Demokrasi membutuhkan lebih dari sekedar pemilu dan konstitusi.Ia tergantung pada tradisi dan organisasi yang mengajarkan warga awam kebiasaan demokrasi sebenarnya. Kontekstual dengan dunia kehidupan lokal, kebudayaan,dan organisasinya, juga beragam lintas masyarakat.(Hefner, 2000)

Islam itu sendiri merupakan ajaran yang kompleks dan komperhensif. Didalam ajaran dan kebudayaan Islam terdapat aspek-aspek yang membicarakan tentang masa kini dan masa yang akan datang. Dan bersifat materiil. Aspek inilah yang memungkinkan ajaran Islam beradaptasi dengan modernisasi. Di sisi lain juga terdapat ajaran Islam yang bersifat reflektif dan membicarakan aspek-aspek kehidupan yang immaterial dan transcendental. Kelengkapan dan komperhensifitas  ajaran Islam inilah yang kemudian memunculkan banyak tafsir terhadap ajaran Islam, dan konsekuensi selanjutnya adalah berdirinya banyak organisasi keislaman yang memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam menyikapi modernisasi.

Sutan Takdir Alisyabana, yang dikenal sebagai tokoh utama yang mendorong proses modernisasi menyakini bahwa ajaran Islam mempunyai syarat-syarat untuk beradaptasi dengan dunia modern, bahkan ajaran Islam itu sendiri banyak mendorong terciptanya dunia modern dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disumbangkan oleh banyak ilmuan Islam pada Abad Pertengahan.

Pada Abad Pertengahan di dunia Islam sudah dikenal pemisahan kekuasaan secara luas antara otoritas keagamaan dan otoritas negara/pemerintahan. Disebagian besar negara Islam, ulama mengembangkan kebiasaan yang sehat dengan menjaga jarak dengan kekuasaan. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai dasar ajaran Islam dan sejarah kebudayaan dan praktek politik dalam sejarah klasik Islam telah mengembangkan sebagian aspek yang kemudian dikenal oleh Barat sebagai demokrasi.

Beberapa puluh tahun yang lalu para ilmuan sosial juga menganggap bahwa agama Kristen tidak selaras dengan demokrasi, tetapi kemudian, demokrasi justru berkembang di negara-negara yang secara demografis dan kultural menganut Kristen. Keberadaan lembaga kependetaan dan Paus di dalam agama Katolik juga tidak menghalangi berkembangnya demokrasi dan modernitas di negara-negara yang menganut Katolik. Demokrasi juga tumbuh subur di dalam negara-negara yang menganut protestan. Denominasi yang ada dalam agama tersebut tidak memungkinkan adanya golongan yang memiliki kemampuan untuk mendominasi sehingga lebih memungkinkan terjadinya konsensus dan perdamaian. Hal inilah yang terjadi di Amerika Serikat.

Modernisasi merupakan suatu istilah yang mengemuka pasca Perang Dunia II. Modernisasi diawali dari berkembangnya teknologi produksi sejak abad 18 M dengan ditemukannya mesin uap dan mesin pemintal di Inggris. Penemuan kedua hal tersebut mendorong peningkatan produksi secara besar-besaran dan menciptakan kemakmuran.Transformasi yang dialami Inggris tersebut bersamaan waktunya dengan munculnya gerakan kemerdekaan di Amerika Utara yang menghendaki berdirinya sebuah negara nasional yang kemudian dikenal dengan naa Amerika Serikat. 

Terjadinya Revolusi Prancis yang mengikuti Perang Kemerdekaan Amerika juga terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan. Oleh karena itu, maka perkataan ‘modern” (modernisasi) juga memiliki asosiasi dengan nasionalisme dan demokratisasi masyarakat, terutama ditandai dengan hancurnya hak-hak istimewa yang turun temurun dinikmati oleh kalangan bangsawan dan munculnya pernyataan persamaan hak-hak warga negara.

Dimanapun ia terjadi, modernisasi masyarakat lahir dari struktur sosial yang ditandai oleh tidak adanya persamaan, status sosial yang  didasarkan atas ikatan-ikatan kekerabatan, hak-hak istimewa yang turun temurun dan kekuasaan yang sudah mapan. Hancurnya tatanan sosial yang lama itu mengakibatkan munculnya persamaan yang menandai berkembangnya modernisasi.

Dengan demikian, maka modernisasi merupakan suatu jenis perubahan sosial yang terdiri dari adanya kemajuan masyarakat dibidang ekonomi dan politik. Modernisasi idealnya diikuti oleh adanya perubahan diaspek  politik yang ditandai oleh adanya desentralisasi kekuasaan, pelibatan warga negara dalam pemerintahan ,peralihan kekuasaan secara teratur dan berkala melalui pemilihan umum yang adil,  berkembangnya gagasan persamaan (pluralisme) dan adanya kebebasan menyatakan pendapat serta diakuinya hak-hak asani manusia.

Bagaimana sikap umat Islam terkait dengan modernisasi dan demokratisasi ? Pertanyaan tersebut dijawab oleh Syafi’I Anwar yang mencatat bahwa umat Islam menghadapi dilema dalam menghadapi modernisasi yang secara garis besar terpolarisasi menjadi tiga pola : pertama,pola apologi, tetapi kemudian diikuti oleh usaha penyesuaian diri dan adpatasi terhadap proses modernisasi ; kedua, juga melakukan apologi terhadap ajaran-ajaran Islam, tetapi menolak modernisasi yang dinilai sebagai westernisasi dan sekularisasi ; ketiga, pola tanggapan kreatif dengan menempuh jalan dialogis yang mengutamakan pendekatan intelektual dalam menghadapi modernisasi.(Qomar,2012)

Tulisan ini bertujuan untuk melihat dan menganalisa terjadinya proses modernisasi baik dibidang ekonomi dan dibidang politik yang dialami oleh sejumlah negara Islam di Timur Tengah dan Asia, seperti Turki, Iran, Mesir dan Indonesia.

MODALITAS ISLAM DALAM MENGHADAPI MODERNISASI

Ajaran Islam sebenarnya memiliki modalitas untuk dapat beradaptasi dengan zaman modern dengan segala pranatanya dan nilai-nilainya seperti modernisasi dan demokratisasi. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Islam dapat berlaku pada segala zaman dan tempat. Islam tidak terjebak pada tempat dan waktu tertentu, karena yang menjadi misi Islam adalah agar Islam menjadi Rahmatan lil ‘Alamin (rahmat bagi alam semesta). Berikut ini adalah sejumlah gagasan Islam yang dapat selaras dengan modernisasi: 


UNSUR-UNSUR PANDANGAN DUNIA
GAGASAN DAN NILAI ISLAM YANG RELEVAN BAGI MODERNISASI
1.Dunia
Hakekat dunia
Pada dasarnya riil, dunia diciptakan Tuhan dan bersifat riil

Nilai agama tentang materi
Bernilai : kekayaan tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan agama

Signifikansi (arti kepentingan ) sejarah
Menentukan : suatu pola kehidupan tertentu harus dibangun di muka bumi
2.individu
Hakikat individu
Kekal : setiap individu diciptakan sebagai jiwa yang kekal

Persamaan spiritual
Sederajat : kesederajatan semua jiwa

Kebebasan-keterpaksaan
Determinisme : penekanan utama pada predeterminasi kehendak Tuhan,tetapi perjuangan moral juga dituntut
3.Tatanan sosial
Pola kesucian masyarakat
Keseluruhan masyarakat secara teoritis diatur oleh hukum sakral

Egaliter-hierarkis
Egaliter : tekanan kuat pada persamaan orang-orang beriman, meski ada konsep-konsep hirarkis dalam zaman pertengahan Islam

Konsep keadilan sosial
Keadilan transenden : keadilan sosial diatur oleh Tuhan
4.Tatanan Politik
Struktur-struktur keagamaan dan politik
Penyatuan : konsep penyatuan antara kekuasaan spiritual dan keduniawian dlaam masa Nabi SAW dan Khulafaur Rasyiddin

Teori tentang kepemimpinan agama (dominasi kependetaan atas pemerintahan)
Tidak ada kependetaan dalam Islam,tidak ada kekuasaan ulama, khalifah menjalankan kekuasaan spiritual dan duniawi

Konsep hukum
Dalam prakteknya hukum pidana Islam telah hilang dan hukum sipil makin besar membatasi

Penilaian terhadap ideologi-ideologi modern
Tidak ada sikap pasti yang ada hanya sikap individual terhadap nasionalisme,demokrasi dan sosialisme
Kebenaran dan kewenangan agama
Bidang sistem agama
Universal : ajaran Nabi untuk semua manusia

Sifat kebenaran yang diketahui
Mutlak : kebenaran yang diwahyukan adalah final dan sempurna

Sikap terhadap kebenaran
Otoriter : tradisi kekerasan menekan kercayaan-kepercayaan lokal

Kewenangan agama
Dogma yang diwahyukan : al Qur’an adalah kekal,dilengkapi oleh Sunnah

Perkembangan doktrin
Pada dasarnya statis : kecuali perubahan sedikit sejak masa pertengahan, meskipun prinsip-prinsip penilaian (ijtihad), perubahan dan ijma’ memungkinkan perubahan dalam bidang hukum
Kelembagaan eklesistik
Raaison de’ etre kebersamaan internal
Konspe kebersamaan lemah ; fungsi ulama dan raison de etrenya secara keseluruhan berorientasi keluar—pengelolaan pendidikan dan hukum

Konsep eksternal kependetaan
Menghargai : ulama dihargai karena ilmunya dan Karena kesalehannya, tetapi tidak dikultuskan
(Smith, 1985)


SIKAP DAN ADAPTASI TERHADAP NASIONALISME, MODERNISASI & DEMOKRASI

Berbagai organisasi dan gerakan Islam memiliki perbedaan dalam menyikapi sejumlah pranata modern seperti nasionalisme, modernisasi dan demokrasi. Disatu sisi terdapat kubu yang secara ekstrem menolak segala pranata Barat tersebut. Kelompok ini memiliki kecenderungan over religiusitas dengan sejumlah variannya seperti fundamentalisme, konservativisme, fanatisme dan ekstremisme. Kelompok fundamentalis merasa bahwa ajaran Islam seudah sedemikian sempurna sehingga mereka tidak merasa perlu untuk mengadopsi sistem politik/ekonomi/sosial-budaya dari kelompok lain. Sebagai konsekuensinya mereka menolak segala sesuatu yang berasal dari peradaban Barat, termasuk paham negara kebangsaan (nasionalisme), modernisasi dan demokrasi. 

Kelompok ini cenderung skeptis dan apologetik. Metodologi berfikirnya bersifat ekslusif serta literalis dalam memahami teks kitab suci. Penolakan terhadap modernisme dan demokrasi sebenarnya bukan saja terkait dengan hal-hal yang substansial-keagamaan. Kadangkala penolakan itu hanya terkait dengan kepentingan materi dan non-materi dari pihak-pihak yang memegang kekuasaan. Mereka khawatir modernisasi dan demokrasi akan mengurangi kekuasaan dan privilise yang selama ini mereka nikmati. Hal ini terlihat di Iran ketika kelompok Ayatollah menentang keras demokrasi liberal dan agenda reformasi yang dianggap mengancam kepentingan mereka.

Adapula kelompok kedua memiliki prinsip lebih moderat. Mereka berupaya menyelaraskan Islam dan modernitas dengan cara mencoba melakukan reaktualisasi dan interpretasi ajaran Islam dengan disesuaikan kondisi modern. Hal ini mereka lakukan agar umat Islam terhindar dari bentrokan dengan kekuasaan yang hanya akan berujung kepada semakin termarjinalisasinya umat Islam dalam pentas politik global. Salah seorang wakil dari kelompok ini adalah Rashed al Ghannoushi, seorang pemimpin Partai Islam al Dakwah di Tunisia. 

Dia beranggapan bahwa ajaran Islam memiliki gagasan tentang syura (permufakatan) yang menunjukkan kesesuaian Islam dan demokrasi.Islam juga mengafirmasi nilai-nilai kemanusiaan yang berimplikasi kepada kesetaraan gender, ras, etnis dan kebebasan memilih.Kedaulatan yang dianugerahkan Tuhan kepada umatnya mendasari pemerintahan yang demokratis dengan konsep pluralisme, perbedaan dan HAM. Ghannousi menganggap bahwa Islam adalah agama yang toleran, pluralis dan adil, sehingga pemerintahan Islam haruslah memiliki watak demokratis.

Kelompok ketiga merupakan kebalikan dari kelompok pertama. Kelompok ini secara ekstrem menganggap Islam selaras dengan nasionalisme, modernisasi dan demokrasi. Mereka beranggapan prinsip-prinsip dasar Islam klasik mengandung nilai-nilai kebangsaan, modernitas dan pengakuan terhadap hak sasi manusia dan pluralitas sebagaimana yan menjadi substansi demokrasi.


1. TURKI

Nasionalisme berkembang di Turki seiring dengan melemahnya kedudukan dan pengaruh Turki Usmani. Sejak abad 19 M, Turki Usmani mengalami kemunduran di berbagai aspek kehidupan. Kaisar Rusia saat itu, Nicholas I ketika itu menjuluki Turki dengan sebutan The Sick Man of Europe, untuk menggambarkan kondisi Turki yang sudah sedemikian lemah. Disaat yang sama, Turki harus menghadapi berkembangnya gerakan nasionalis di Balkan yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan Turki dan mendirikan negara nasional sendiri yang berbasis etnik. Kelemahan demi kelemahan itulah yang mendorong sekelompok perwira dari Angkatan Bersenjata Turki mendirikan organisasi Turki Muda. 

Kaum Turki Muda perlahan-lahan berhasil mengkonsolidasikan kekuasaannya dan kemudian memaksa sultan Turki untuk mengadakan undang-undang yang membatasi kekuasaannya. Kaum Turki Muda melalui berbagai media memperkenalkan kepada masyarakat umum ide-ide tentang patriotisme, konstitusionalisme dan modernisme Islam. Mereka mempopulerkan suatu ungkapan Arab, Hubb al Wathan Minal Iman. (Cinta Tanah Air adalah bagian dari iman)

Ketika kelompok Turki Muda dengan tokoh utamanya Mustafa Kemal Pahsya berhasil mengambilalih kekuasaan dan berkuasa, mereka berusaha untuk menjadikan Turki sebagai negara nasional dan memperkuat nasionalisme. Langkah pertama yang mereka lakukan adalah menghapuskan sistem kerajaan/kekhalifahan. 

Langkah berikutnya Kemal menghapus segala sesuatu yang tidak berhubungan dengan nasionalisme Turki seperti menghapus Bahasa Arab dalam dunia pendidikan,pemerintahan dan pergaulan sehari-hari, melarang azan dengan Bahasa Arab dan menggantikannya dengan Bahasa Turki dan mengganti  Bahasa Arab dengan alphabet latin.Tindakan-tindakan itu menunjukkan upaya Turki menghadapi tantangan zaman modern. Hal itu juga menunjukkan inferiority complex yang dialami oleh Turki di awal zaman modern.Kaum Kemalis sebenarnya justru telah melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan modernitas.

Percobaan modernisasi keagamaan di Turki juga dilakukan oleh seorang tokoh gerakan Islam Turki, Fethuleh Gulen.Gulen dan pengikutnya telah mencoba memproduksi gerakan politik yang menyokong modernism,nasionalisme dan demokrasi, selain tetap menghargai prinsip-prinsip agama. Gulen juga mengembangkan konsep keagamaan yang bersifat menetang adanya monopoli kebenaran agama dan ekslusivisme. Selain Gulen juga terdapat sejumlah partai politik yang juga memiliki agenda reformasi dan modernisasi keagamaan seperti Partai Refah, Virtue, dan Partai Keadilan dan Pembagunan. Partai-partai tersebut berusaha untuk mencari titik temu antara Islam dan nasionalisme, modernisme dan demokrasi.

2. IRAN

Program reformasi dan liberalisasi serta modernisasi di Iran sebenarnya sudah dilakukan sejak masa kekuasaan Shah.Pada masa pemerintahan Reza Shah (1925-1941) dan dilanjutkan oleh puteranya, Shah terakhir, Muhammad Reza Pahlevi mengakibatkan tumbuhnya kekuatan-kekuatan sosial baru yang mengancam kepentingan kelompok sosial tradisional. Di bidang ekonomi, Shah meluncurkan “White Revolution” dengan program reformasi sistem pertanahan, yang secara khusus membatasi kekuasaan para penguasa feudal, mengkonversi petani menjadi para pemilik tanah kecil atau proletar desa sehingga memperluas relasi-relasi kapitalis di dalam negeri dan meluaskan komunikasi antara desa dan kota hingga ke seluruh negeri.

Naiknya harga minyak bumi de awal tahun 1970-an telah melonjakkan pendapatan dalam negri Iran.Hal ini ikut membantu mulusnya program modernisasi yang dirancang oleh Shah. Akibatnya terjadi peningkatan angka melek huruf,berdirinya sejumlah lembaga-lembaga pendidikan baru dan meningkatnya jumlah mahasiswa dan birokrat. Sebaliknya, kelas-kelas sosial tradisional dan kalangan feodal mulai kehilangan pegangan akibat proses modernisasi tersebut.

Menjelang akhir tahun 1970-an,kelas menengah kaya yang besar, generasi muda modern dan perempuan aktif di sektor publik. Kelompok ini mendapatkan keuntungan dari kemajuan ekonomi ini dan menikmati status sosial yang tinggi dan kualitas hidup yang lebih baik. Akan tetapi, penguasa mencegah dengan gigih lapisan sosial yang sedang berkembang ini untuk berpartisipasi dalam proses politik. Shah  nampaknya ingin membatasi proses modernisasi hanya pada aspek ekonomi dan bukan pada bidang politik. 

Hambatan untuk berpartisipasi dalam bidang politik dan pemerintahan ini menimbulkan ketidakpuasan kelas menengah Iran terhadap pemerintahan Shah. Hal ini kemudian hari mendorong kelompok kelas menengah, kelompok nasionalis dan anti imperialis di Iran memberikan dukungan terhadap revolusi yang dilakukan oleh para Mullah tahun 1979.

Desakan dari pemerintahan Carter agar Iran mengadakan demokrasi dan memperluas program liberalisasi ekonomi dan politik makin mendorong runtuhnya sistem monarki Iran. Ketika revolusi  Iran meletus dan kaum mullah naik kekekuasaan, Amerika Serikat terlihat enggan untuk menolong dan menyelamatkan monarki Iran dari keruntuhan. Kondisi inilah yang akhirnya mengakibatkan tumbangnya monarki Iran dan memunculkan Iran sebagai negara fundamentalis yang siap menantang Barat.

Semenjak Revolusi Iran yang menaikkan kalangan Mullah  kekekuasaan, Iran nampaknya berhati-hati dan cenderung ambigu dalam menyikapi modernisasi. Disatu sisi pemerintah revolusioner Iran merusaha menampilkan rezimnya sebagai pemerintahan puritan dan fundamentalis yang berusaha menjalankan ajaran Islam secara ketat.Tetapi di sisi lain pemerintah baru tersebut juga membutuhkan modernisasi. 

Pemerintahan Revolusioner Iran mencoba memisahkan antara modernisasi, yang dianggap sebagai kebutuhan dengan westernisasi yang dinilai sebagai produk Barat yang menyesatkan. Sebagai contoh, dalam segi berbusana,para diplomat Iran menggunakan setelan Barat, namun mereka tidak memakai dasi untuk menunjukkan penolakan mereka terhadap budaya Barat dan berbagai simbolnya.Karena alasan-alasan  tertentu, mereka menganggap dasi sebagai simbol yang bermakna menyerupai salib. Proses modernisasi, liberalisasi, dan demokratisasi di Iran pasca Revolusi terhambat dengan adanya lembaga Wilayatul Faqih   dengan coraknya yang bersifat; pemerintahan ulama, sistem hukum Islam, dan kebijakan-kebijakan yang membatasi ruang kaum perempuan). Intisari serangan kaum liberal dan reformis di Iran terpusat pada pembatasan atau bahkan penghapusan lembaga wilayatul Faqih yang dianggap menjadi pengahambat modernisasi dan reformasi serta demokratisasi di Iran.

Salah satu figur yang mendorong adanya reformasi pemikiran di Iran adalah Ali Syariati. Sumbangan besar Syariati dalam upayanya melakukan modernisasi dan reformasi pemikiran di Iran adalah upayanya untuk menampilkan suatu konsepsi Islam yang baru, menyegarkan dan memberikan inspirasi. Syariati tetap berpegang pada prinsip dasar ajaran Syiah yang bertumpu kepada gagasan Mesianik/Mahdiisme. 

Dia terus menerus menyerukan perlunya “Islam yang diperbarui dan dipersegar”. Syariati mendorong adanya suatu ‘protestanisme” untuk membantu menjadikan Islam sebagai suatu kekuatan sosio-kultural yang progresif yang dapat menghapuskan masa kegelapan dan menghantarkan kembali masa kebangkitan Islam. Syariati mendefenisikan Syiah sebagai “agama protes’. Intizar (menunggu imam) menurut Syariati selaras dengan modernitas, karena hal itu bercorak “ futurisme”, yang berusaha melihat ke depan dengan harapan dan bukan ke belakang, tidak peduli betapa sangat baiknya masa lalu itu.(Esposito,1985)

 Pemikiran Syariati bertentangan dengan pemikiran kalangan Ayatollah yang dipimpin oleh Khomeini. Kelompok Ayatollah memandang gagasan Syariati dianggap sudah terlalu liberal dan mengancam otoritas fuqaha/ulama Iran.Gagasan Syriati agar setiap orang berhak menafsirkan ajaran agama juga bertentangan dengan lembaga Wilayatul Faqih yang menganggap dirinya sebagi satu-satunya lembaga yang memiliki kredibilitas moral untuk membimbing umat Syiah.

 Percobaan modernisasi dan liberalisasi secara lebih struktural di Republik Islam Iran dimulai ketika berakhirnya Perang Irak-Iran (1988),wafatnya Ayatollah Khomeini (1989) dan naiknya Rafsanjani sebagai presiden Iran. Di bawah pemerintahan Rafsanjani dilakukan berbagai reformasi dan pembaruan termasuk di bidang keagamaan. Kalangan liberal Iran mengintrodusir gagasan bahwa konsep negara Islam merupakan pemikiran yang berbahaya bagi negara dan agama itu sendiri.Oleh itu golongan liberal yang mendapatkan angin pada masa pemerintahan Rafsanjani mencoba menyebarkan paham sekularisasi di masyarakat.

Perubahan di bidang politik dan budaya di Iran akibat proyek modernisasi dan reformasi telah menimbulkan kekhawatiran dikalangan ulama konservatif. Gejala sosial seperti berkebangnya budaya Barat dikalangan generasi muda Iran menyadarkan kalangan ulama konservatif terhadap bahaya penetrasi budaya Barat. Kebiaaan baru golongan muda Iran seperti mendengarkan musik Barat, berkembangnya klub-klub underground heavy metal,band-band pop,rock dan rap yang tumbuh subur di Iran dinilai telah menyerang otoritas moral Iran yang direpresentasikan oleh para ulama/Mullah.

3. Mesir

Pergumulan modernisasi telah berbekas pada golongan elit dari setiap negara Timur Tengah, tetapi taka da yang lebih mendalam dibandingkan Mesir.Frustasi kalangan elit Mesir lebih dalam karena aspirasi mereka lebih tinggi dan rintangan yang dihadapi lebih besar. Elit Mesir, setelah hubungan terus-menerus dengan Inggris selama setengah abad merasa terbiasa dengan dunia modern, tetapi kenyataannya bansa Mesir sendiri masih terlalu kecil dalam melangkah kearah modernisasi.

Banyak pengamat politik Barat memandang dengan skeptis modernisasi dan demokratisasi di Mesir pada khususnya dan Dunia Arab pada umumnya. Mereka beranggapan bahwa struktur dan kultur masyarakat Arab bersifat patriarkal dan minim pengalaman demokrasi. Sebelum  masa modern dunia Arab dikuasai olrh monarki yang cenderung absolut sedangkan pasca tumbangnya monarki di sejumlah negara Arab seperti Irak, Suriah dan Mesir, masyarakat Arab dikuasasi oleh rezim militer yang memerintah secara diktatorial. Pergantian antarrezim juga selalu ditandai oleh kudeta dan perebutan kekuasaan. Sebelum Perang Dunia telah terjadi tujuh kali kup militer di Irak (1936-1941) dan empat di Suriah sesudah Perang (1949-1952).

Pacsa tumbangnya monarki Mesir pada tahun 1952, Mesir mengalami percobaan pembangunan ekonomi dan politik. Di bawah rezim revolusioner diujicobakan pelaksanaan sosialisme ala’ Nasser dengan cara melakukan Landreform. Dibidang politik elit revolusioner mengalami perpecahan terkait dengan pelaksanaan modernisasi di bidang politik.Bagi Naguib, pemerintahan revolusioner harus melibatkan rakyat dalam pemerintahan. Gagasan Naguib ini mendapatkan dukungan dari Ikhwanul Muslimin dan kalangan komunis. Keduanya menghawatirkan Dewan Revolusi Mesir akan bertindak diktator dan mengancam eksistensi keduanya. Sikap politik Naguib itu ditentang keras oleh Nasser yang sebenarnya merupakan pilar utama dalam revolusi Mesir. Nasser menghendaki adanya kekuasaan militer yang absolut agar dapat mempertahankan dan melanjutkan cita-cita revolusi Mesir. Kemenangan Nasser dalam pergulatannya dengan Naguib mengakibatkan Dewan Revolusi Mesir berkonfrontasi secara langsung dengan Ikhwanul Muslimin.

Program reformasi dan liberalisasi Mesir dilakukan secara gencar pada masa pemerintahan Anwar Sadat (1970-1981). Sadat mendeklarasikan Infitah, yang merupakan program reformasi Mesir di bidnag ekonomi. Sebagaimana negara diktator lainnya, program itu baru sebatas menyangkut perbaikan di bidang ekonomi-birokrasi, dan belum mencakup aspek reformasi dan modernisasi serta demokratisasi di bidnag politik. Paradoks dan kesenjangan inilah yang kemudian menumbuhkan ketidakpuasan terutama di kalangan kelas menengah di Mesir.

Kebijakan Infitah Sadat meliputi pembukaan usaha perdagangan yang lebih luas dengan negara lain dan membuka Mesir bagi penanaman modal asing.Kebijakan Infitah ini telah membuka Mesir pada pengaruh ekonomi, politik dan budaya Barat da mendorong Mesir mencari penyesuaian dengan Israel. Pendekatan dengan Israel menurut Sadat tidak dapat dilepaskan dari program reformasi dan modernisasi ekonomi Mesir, karena Israel dianggap sebagai pelopor modernisasi di Timur Tengah. 

Pembukaan hubungan dagang yang lebih luas dengan sejumlah negara maju juga mensyaratkan Mesir menjalin hubungan yang harmonis dengan Israel.Untuk memuluskan proyek Infitahnya, Sadat kemudian melakukan perundingan dan perjanjian damai dengan Israel melalui Perjanjian Camp David pada tahun 1979. 

Program liberalisasi dan modernisasi yang dilakukan oleh Sadat merupakan bentuk penyelesaian permasalahan ekonomi yang merupakan alternatif dari proram sosialisme yang gagal pada masa pemerintahan Nasser. Nasser dianggap gagal menyelesaikan berbagai persoalan ekonomi di Mesir melalui percobaan sosialisme dan nasionalisme Arabnya.

Walapun Sadat melakukan modernisasi dan liberalisasi di bidang ekonomi, tetapi Sadat sedikit sekali  membuka ruang di bidang politik. Sadat membebaskan ribuan tahanan politik yang sebelumnya dipenjara oleh rezim sosialisme Arab Nasser.Kebijakan ini alih-alih menekan radikalisme di Mesir, justru hal inilah yang kemudian makin mengembangkan kelompok-kelompok radikal dan fundamentalisme di Mesir yang berujung kepada pembunuhan Sadat tahun 1981 yang dilakukan oleh salah satu angota kelompok fundamentalis.

Berdasakan data-data statistik baru kemudian diketahui bahwa program Infitah yang dilakukan oleh Sadat mengalami kegagalan. Pada tauh 1979 lebih dari 50 % GNP Mesir digunakan untuk memiayai impor. Mesir yang seharusnya perupakan pengekspor pangan , pada saat itu sepenuhnya tergantung pada impor untuk mengadakan persediaan pangannya. Pada tahun 1980, utang  non militer Mesir telah meningkat sampai 21.000 juat poundseterling dan tiga per empat utang baru itu digunakan untuk membiayai konsumsi yang meningkat.

Bahkan pendapatan yang meningkat dari ekspor minyak bumi, yang tumbuh dengan laju 40 % setiap tahun, digunakan untuk membiayai impor barang konsumsi dan bukan untuk investasi. Dalam bidang sosial, Bank Dunia mencatat semakin meningkatnya jurang antara kleompok kaya dan miskin di Mesir serta implikasi sosial-politisnya yang berbahaya akibat kesenjangan ini. Kemunduran ekonomi ini diperparah dengan semakin merebaknya praktek-praktek korupsi dan nepotism edi kalangan lingkaran dlaam elit Mesir.Pejabat tinggi Mesir bahkan Sadat sendiri seringkali terlibat dalam praktek-praktek kotor tersebut.

Ketidakpuasan yang dialami oleh rakyat miskin Mesir tidak diimbangi dengan adanya saluran untuk menampung kegelisahan sosial tersebut. Kondisi inilah yang kemudian menjadi bom waktu yang akan meledak sebagai bentuk  ekspresi ketidakpuasan berbagai kalangan terhadap rezim yang ada, seperti kaum Naserit,golongan kiri, intelektual liberal sisa-sisa Partai Wfd dan dari kalangan fundamentalis Islam.

Terbunuhnya Sadat tahun 1981 mengakibatkan proyek Infitahnya (pembukaan, modernisasi ekonomi dan pasar bebas) mengalami kegagalan. Kegagalan modernisasi dan liberalisme telah menimbulkan dampak yang merusak dan meluas. Salah satu dampak dari kegagalan modernisasi dalam mengentaskan kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi di Mesir adalah berkembangnya fundamentalisme keagamaan di Mesir.

Fundamentalisme Islam merupakan gerakan yang bisa menjadi sarana untuk melepaskan kebencian dan rasa frustasi yang meningkat setelah kegagalan dalam menggunakan sistem politik dan ekonomi dari Barat seperti liberalisme dan sosialisme. Fundamentalisme Islam di Mesir lahir dikarenakan kegagalan liberalisme yang diterapkan oleh Sadat dan sosialisme, yang sebelumnya dipaksakan oleh.Sebagai dampaknya, banyak kemarahan di kalangan Islam yang ditujukan kepada Barat dan kepada kroni-kroninya di Timur Tengah, tidak terkecuali rezim yang berkuasa di Mesir pasca Sadat.

Kelompok fundamentalisme Mesir lahir bukan akibat dari tidak berdayanya modernisasi, tetapi justru karena adanya modernisasi yang berlebihan, yang mereka lihat sebagai penghianatan terhadap nilai-nilai Islam yang sebenarnya. Menurut mereka modernisasi telah menghadirkan berbagai nilai yang merusak dan makin mengasingkan Islam. Situasi ini mendorong mereka ingin kembali kepada kemurnian dan fundamen ajaran Islam. Kelompok fundamentalis yang bercorak revivalis dan puritan ini menolak, baik modernisasi ekonomi maupun demokrasi, karena keduanya dianggap sebagai bagian dari sistem nilai masyarakat Barat. Kelompok ini mnyerukan kembali kepada al Qur’an dan Sunnah serta mengkampanyekan Islam sebagai Solusi (Islam Huwa al Hal).

Kecenderungan pemikiran yang ekslusif ini otomatis disertai dengan sikap anti-Barat yang dimanifestasikan dengan aksi-aksi terror yang ditujukan kepada orang asing dan kelompok minoritas seperti kelompok Kristen Koptik. Kelompok ini seringkali menjadi sasaran dari kelompok fundamentalis radikal. Jatuhnya Hosni Mubarak (yang menggantikan Anwar Sadat sebagai presiden Mesir ) pada tahun 2011 akibat Arab Spring makin memberikan lahan yang subur bagi perkembangan kelompok fundamentalis. Pasca Arab Spring pemerintah Mesir kembali disibukkan dengan aksi-aksi menumpas terorisme yang dilakukan oleh kelompok fundamentalis radikal ini.

Modernisasi dan liberalisasi serta demokratisasi di Mesir sangat dipengaruhi oleh keberadaan dua pihak yang berpengaruh, pertama adalah Ikhwanul Muslimin dan kedua adalah al Azhar sebagai lembaga keagamaan resmi di Mesir. Ikhwanul Muslimin jelas sangat mewarnai perkembangan politik di Mesir, malaupun keberadaannya seringkali mengkibatkan terjadinya bentrok dengan penguasa, baik pada masa monarki maupun pada masa pemerintahan Gamal Abdel Nasser.

Ikhwanul Muslimin merupakan organisasi politik-keagamaan yang memiliki ideologi Islam fundamentalis. Organisasi ini selain mempunyai karateristik hirarki organisasi yang ketat, dan penekanannya pada penggunaan aksi massa yang seringkali berujung kepada tindak kekerasan. Penekanannya pada sosialisme Islam membuat organisasi ini sulit diklasifikasikan sebagai partai tradisionalis. Beberapa penulis menyebut Ikhwan dengan istilah “neotradisionalis” dan sebagian lainnya melihatnya sebagai sosialis.Organisasi itu juga disebut dengan  ‘neo-totalitarianisme Islam”.

Tetapi karena orientasi Islamnya yang radikal, maka Ikhwan lebih dekat kepada kelompok tradisionalis ketimbang tujuan-tujuan modernisnya. Pada tahu 1948, usaha pembubaran organisasi ini berujung kepada terjadinya pembunuhan terhadap Perdana Menteri Nuqrashi Pasha oleh salah seorang anggota Ikhwan dan setelah hubungan baiknya yang singkat dengan kelompok Dewan Revolusi, Ikhwan akhirnya dibubarkan oleh pemerintah Nasser karena dianggap menghalangi usaha  mewujudkan sosialisme Mesir.

Organisasi lain yang berpengaruh di Mesir adalah al Azhar. Al Azhar semenjak revolusi telah menjadi corong pemerintah. Pada masa Nasser al Azhar banyak menyuarakan kesesuaian antara nasionalisme, sosialisme dan Arabisme dengan Islam, tetapi ketika orientasi politik Mesir berubah pada masa Sadat, al Azhar banyak mengkampanyekan tentang liberalisme dan modernisasi.

4. Arab Saudi

Hubungan antara Islam dan modernisasi dan demokrasi di Arab Saudi ditandai dengan adanya hubungan yang terpisah. Pemerintah Saudi menerima modernisasi yang terkait dengan pengembangan perekonomian. Adapun modernisasi yang berkaitan dengan pembaruan pemahanan keislaman (reaktualisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam) dan modernisasi politik serta demokrasi jelas ditolak mentah-mentah. 

Pemerintahan Saudi dengan corak Wahabinya dengan tegas menolak demokrasi dan pengakuan warga negara secara setara. Saudi Arabiya merupakan negara yang berbentuk monarki /kerajaan dengan hak-hak feodal yang dinikmati oleh para bangsawan di dalamnya secara turun temurun dan tidak dapat digugat. Pemerintah Saudi bahkan mengawasi dengan ketat setiap aspirasi demokrasi yang akan mengancam keberlangsungan monarki. Pemerintah Saudi juga menolak adanya kesetaraan hak antar warga negara. Golongan lain yang berada di luar lingkaran kekuasaan tidak mendapatkan hak yang setara.

Modernisasi dan liberalisasi ekonomi yang dijalankan oleh pemerintahan Saudi pada era 1070-an telah menimbulkan resistensi dari kalangan puritan dan fundamentalis. Upaya kerajaan untuk melibatkan kaum perempuan ke dalam sector publik telah mendapat kecaman dari ulama-ulama Wahabbi seperti Syekh Abdullah Bin Baaz. Bahkan penolakan tersebut berujung kepada terjadinya peristiwa Pendudukan Masjidil Haram yang dilakukan oleh Juhayman al Utaibi yang disinyalir mewarisi tradisi puritanisme-fundamentalisme kelompok Ikhwan yang telah dibubarkan oleh Ibnu Saud tahun 1920-an.
Pada masa pemerintahan Raja Abdullah yang kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Raja Salman, terjadi sejumlah perubahan kultural. Walaupun belum secara signifikan, tetapi beberapa kebijakkan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Saudi seperti membolehkan kaum wanita mengendarai mobil sendiri dan dibolehkannya mereka menonton pertandingan sepakbola memberikan sinyal akan adanya perubahan besar pada masa yang akan datang.

Ancaman berakhirnya era Petrodollar dengan mekin menipisnya cadangan minyak bumi yang dimiliki oleh Saudi Arabiya telah mendorong raja Salman untuk melakukan transformasi ekonomi secara fundamental. Di bawah raja Salman, Saudi dengan gencar melakukan pembukaan hubungan dagang dengan berbagai negara potensial. Hal ini sudah pasti akan diikuti oleh terjadinya reformasi birokrasi dan modernisasi ekonomi. Modernisasi itu sendiri seringkali menjadi awal dari proses sosial lainnya seperti westernisasi dan sekularisme. Disisi lain masih terdapat kelompok-kelompok puritan yang ingin tetap mempertahankan gaya hidup badui dalam masyarakat Saudi. Perbedaan ini dikemudian hari akan menimbulkan pertentangan baru yang belum diperkirakan sebelumnya.

5. Indonesia

Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi besar untuk sukses dalam melaksanakan modernisasi. Struktur dan kultur masyarakat Indonesia memungkinkan dilaksanakannya modernisasi di bidang ekonomi dan politik. Walaupun memang diakui masih terdapat sejumlah hal yang bersifat internal yang dapat menghambat pelaksanaan modernisasi. 

Masyarakat Indonesia dengan populasi muslimnya terbesar di dunia memiliki banyak potensi dalam melaksanakan modernisasi, antara lain :

-         Pertama : moderasi pemikiran dan tindakan.Umat Islam Indonesia dikenal dunia internasional sebagai umat yang memiliki pemikiran dan tindakan yang moderat, sehingga dapat bersikap inklusif terhadap kehadiran orang lain yang berbeda agama, budaya,tradisi dan ideologi ke dalam komunitasnya. Sebagian besar umat Islam Indonesia tidak bersikap ekstrem baik dalam pemikiran maupun tindakan sehingga menjauhkan mereka dari kecenderungan ekstremisme atau radikalisme.

-         Kedua, bersikap toleran terhadap pemeluk agama lain.Sikap ini sudah terbentuk berabad-abad yang lampau sehingga sudah menjadi warisan sejarah sosial bagi masyarakat Indonesia.Sikap toleran sangat dibutuhkan dalam kehidupan modern dan alam berfikir demokratis.Hal itu disebabkan masyarakat Indonesia memiliki tingkat pluralitas dan kemajemukan yang sangat tinggi.

-         Umat Islam Indonesia sudah terbiasa hidup dalam pluralitas. Umat Islam, walaupun secara jumlah merupakan golongan matoritas tetapi terbiasa berinteraksi dan bergaul dengan berbagai golongan yang minoritas.

Selain sejumlah modal sosial dalam menghadapi modernisasi seperti yang disebutkan di atas, umat Islam Indonesia juga masih memiliki sejumlah kelemahan diantaranya :

-Umat Islam baru unggul dalam hal jumlah atau kuantitas, sedangkan dalam aspek kualitas masih jauh tertinggal. Umat Islam masih menjadi golongan marjinal terutama diaspek ekonomi. Tingkat pendidikan umat Islam juga bervariasi, dan banyak yang masih belum mengecap pendidikan tinggi. Hal ini tentu saja berpengaruh kepada penyikapan terhadap modernisasi itu sendiri.

-umat Islam Indonesia terfragmentasi ke dalam berbagai bentuk identitas sosial, kultural dan politik. Terdapat berbagai aliran dan sekte yang satu sama lain seringkali saling menyalahkan dan bertikai. Padahal sikap fanatik (ta’ashub) merupakan sifat yang dicela oleh ajaran Islam dan secara konsisten diperangi oleh Islam sejak kemunculannya pertama kali.

-Umat Islam juga masiih mudah ditunggangi oleh kepentingan politik-ekonomi tertentu. Isu SARA seringkali dihembuskan dengan tujuan tertentu yang secara substansi justru seringkali melemahkan posisi umat Islam.Umat Islam seringkali dituduh sebagai pihak yang intoleran dan tidak dapat menerima perbedaan.

-Kalangan elit umat Islam juga seringkali bukan menjadi pihak yang mengartikulasikan kepentingan umat Islam tetapi justru menjadi broker politik dengan “memperdagangkan” umat Islam terutama pada saat berlangsungnya politik elektoral.

-Umat Islam dan elitnya seringkali masih terjebak pada formalism agama dan terpaku pada simbol-simbol keagamaan. Memang keduanya penting sebagai bentuk identitas sosial, tetapi yang juga sangat penting adalah agar umat Islam memahami substansi ajaran Islam. Umat Islam seringkali sibuk dengan pelbagai seremoni , tetapi kehilangan substansinya misalnya ; meneriakkan takbir tetapi melakukan perusakan dan menghujat orang lain, menampilkan simbol Islam tetapi melakukan korupsi dan lain sebagainya. Mayoritas umat Islam tidak dapat melihat aspek-aspek substansial tersebut (korupsi dan melakukan kerusakan serta menghujat ) sebagai hal yang bertentangan dengan intisari ajaran Islam.

Dikalangan umat Islam memang dilakukan berbagai usaha untuk berdaptasi dengan modenitas seperti yang dilakukan oleh sejumlah organisasi modernis seperti Muhammadiyah. Muhammadiyah berusaha melakukan reaktualisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam dalam tataran riil dengan mendirikan sekolah sekolah dan kegiatan sosial lainnya.

Usaha lainnya juga dilakukan oleh Nahdlatul ulama. Tetapi NU sendiri mengalami dilema dalam memoderasi dirinya. Ketika NU mencoba melakukan modernisasi kultural, sebagian kalangan elit NU tidak siap dengan konsekuensi yang akan ditimbulkannya. Misalnya, modernisasi akan mengakibatkan melemahnya hubungan patronase antara Kyai dan santrinya dan akan memudarkan kharisma para elit yang selama ini mendapatkan penghormatan dari kalangan santrinya. Padahal eksistensi NU selama ini masih sangat tergantung pada dominasi otoritatif elit/ulama dalam aspek keagamaan dan tafsir keagamaan.

Sedangkan organisasi-organisasi lainnya yang lebih berorientasi internasional seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbuttahrir cenderung menerima proses modernisasi sejauh hal itu hanya terkait dengan aspek materil belaka seperti penggunaan teknologi informasi. Sebagian kalangan gerakan Islam juga menerima, mengakui dan menjalankan demokrasi selama demokrasi itu hanya ditafsirkan sebagai metode dan instrumen untuk meraih kekuasaan. Adapun substansi dan esensi demokrasi itu sendiri seperti pluralisme dan kesetaraan  cenderung mengalami penolakan.

Modernisasi dan demokratisasi di Indonesia juga ditentang oleh sebagian kalangan yang menganut fundamentalisme dan revivalisme/puritanisme. Modernisasi dengan gagasan utamanya membawa misi pembaruan jelas berbeda dengan pemurnian. Jika pembaruan berorientasi ke masa depan dengan mencoba mengadaptasikan ajaran Islam dan umat Islam dengan situasi modern yang berubah-ubah.

Gerakan pembaruan berupaya memahami substansi ajaran Islam dan kemudian memikirkan bagaimana caranya agar ajaran Islam dapat diterapkan dalam konteks kehidupan modern.  Walaupun memang tidak dapat disangkal ada upaya agar gerakan rekontekstualisasi ajaran Islam dibelokkan kepada rasionalisme ekstrem dan liberalisasi Islam. Sedangkan gerakan pemurnian (purifikasi) justru berorientasi kepada masa lampau. 

Pemurnian/purifikasi berupaya mengembalikan cara hidup ke 7 M ke dalam kehidupan modern. Kalangan puritan dan fundamentalis secara tegas menolak terlibat secara langsung dengan proses modernisasi dan demokratisasi yang mereka anggap sebagai produk Barat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Sikap dan adaptasi yang adapat dilakukan oleh umat Islam menyangkut modernisasi ekonomi dan politik dapat dilihat dari hal-hal berikut :

Dalam bidang pemikiran :

-merubah pemikiran pragmatis menjadi idealis

-merubah pemikiran konsumtif menjadi produktif

-merubah pemikiran dikotomis menjadi integralistik

-merubah pemikiran apologis menjadi responsif

-merubah pemikiran feodalis menjadi egalitarian

-merubah pemikiran fatalis menjadi dinamis

-merubah pemikiran normatif menjadi metodologis

-merubah pemikiran regresif menjadi progresif

-merubah pemikiran ekslusif menjadi inklusif

-merubah pemikiran sektarian menjadi populis

-merubah pemikiran parsial menjadi komperhensif

-merubah pemikiran monoton menjadi transformatif

-merubah pemikiran ritualis menjadi kreatif


Dalam bidang tindakan :

-merubah perilaku sebagai objek menjadi subjek yang berinisiatif

-merubah perilaku sebagai konsumen menjadi produsen

-merubah perilaku yang imitatif menjadi inovatif

-merubah perilaku pekerja menjadi wiraswasta

-merubah perilaku konflik menjadi persaingan sehat
(Diolah dari Qamar,2012)

REFERENSI :

-Asef Bayat, Pos Islamisme, Yogyakarta :LKiS,2011

-Bernard Lewis, Apa Yang Salah, Sebab-sebab Runtuhnya Khilafah dan Kemunduran Umat Islam,Jakarta : INA Publikatama,2004

-Bernard Lewis, Jihad dan Teror Biadab, Jakarta : Pustaka Bengawan,2005

-Daniel Lerner, Memudarnya Masyarakat Tradisional,Yogyakarta : Gajah Mada University Press,1983

-Donald Eugene Smith, Agama Di Tengah Sekularisasi Politik, Jakarta : Pustaka Panjimas,1985

-John L.Esposito, Agama dan Perubahan Sosiopolitik, Jakarta : Aksara Persada Press,1985

-Mohammed Heikal, Anwar Sadat, Kemarau Kemarahan,Jakarta : Grafity Press,1986

-Mujamil Qomar,Fajar Baru Islam Indonesia,Kajian Komperhensif Ata Arah Sejarah Dan Dinamika Intelektual Islam Nusantara,Bandung : Mizan, 2012.

-Robert Hefner, Civil Islam, Islam Dan Demokratisasi di Indonesia,Yogyakarta : LKiS,2000

-Sutan Takdir Alisjahbana, Pemikiran Islam Dalam Menghadapi Globalisasi Dan Masa Depan Umat Manusia, Jakarta : Dian Rakyat, 1992

-Willard A. Beling, Modernisasi Model Pembangunan, Jakarta : Rajawali,1980

- Yaroslav Trofimov,Kudeta Makkah,Ciputat : Pustaka Alvabet,2007

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN

STATUS OBJEKTIF DAN STATUS SUBJEKTIF

TAWURAN SEBAGAI SUATU GEJALA SOSIAL (ANALISIS SOSIOLOGIS KONFLIK SOSIAL DI PERKOTAAN)