POLITIK ISLAM HINDIA BELANDA
POLITIK ISLAM HINDIA
BELANDA
LATAR
BELAKANG POLITIK ISLAM HINDIA BELANDA
Sejak tahun 1816 Belanda mencanangkan Pax Nederlandica (Pembulatan jajahan) yang bertujuan untuk
menyatukan seluruh jajahan Belanda untuk kemudian diletakkan di bawah kekuasaan
Belanda.Sebagai realisasinya, Belanda kemudian menjalankan Politik Pasifikasi,
yaitu melakukan perang-perang kolonial untuk menguasai seluruh kepulauan
Nusantara.Hal itu kemudian menimbulkan perlawanan di seluruh wilayah Indonesia.
Sebelum akhir abad XIX Belanda belum memiliki strategi
khusus untuk menghadapi Islam. Pada masa VOC, Belanda hanya berusaha semaksimal
mungkin mengeruk keuntungan dengan cara memonopoli perdagangan rempah-rempah.
Hal itu mendorong munculnya banyak sekali perlawanan dari sejumlah kerajaan
Islam di Nusantara. Ketika VOC dituntut untuk menyebarkan agama Kristen maka
yang dilakukannya hanyalah meniru apa yang selama ini dilakukan oleh Portugis
dan Spanyol, yaitu dengan cara paksa. Hal ini tentu saja menimbulkan perlawanan
terhadap VOC makin kuat dan menimbulkan antipati yang meluas terhadap orang-orang
Belanda.
Perlawanan terhadap VOC makin meluas ketika pada tahun 1661 VOC
melarang umat Islam Hindia Belanda menunaikan ibadah haji ke Mekkah.
Sebelum munculnya Snouck Hurgronje yang merupakan arsitek
Politik Islam Hindia Belanda, Belanda kurang memiliki pengetahuan yang mendalam
tentang Islam dan dinamikanya di dunia/Hindia Belanda.
Pada abad ke XIX terjadi sejumlah perlawanan terhadap
kekuasaan kolonial Hindia Belanda seperti Perang Jawa (1825-1830), Perang Padri
(1821-1837) dan Perang Aceh (1873-1903). Ketiga perang tesebut memiliki corak
Islam yang sangat kental. Belanda menyimpulkan bahwa ketiga peperangan tersebut
didorong oleh motivasi keagamaan yang kuat dan sarat dengan simbol-simbol
keagamaan. Para pemimpin perlawanan tersebut juga diantaranya adalah para
pemimpin keagamaan yang menyerukan umatnya untuk melancarkan Perang Sabil
terhadap kekuasaan Belanda yang Kafir.
Kesulitan yang dihadapi oleh Belanda
dalam menghadapi sejumlah perang Pasifikasi tersebut mendorong Belanda mencoba
merumuskan sebuah strategi komperhensif untuk mengantisipasi Islam di Hindia
Belanda.
Sejak dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869 makin banyak
orang Indonesia yang menunaikan ibadah haji. Jumlah jamaah haji dari Indonesia
bisa berjumlah ribuan tiap tahunnya.Banyak diantara mereka yang setibanya di
Tanah Suci kemudian bermukim di sana untuk menuntut ilmu. Sepulangnya mereka
dari menunaikan ibadah haji, mereka kembali dengan membawa pandangan baru yang
berkembang di Hijjaz saat itu yaitu ajaran puritanisme Islam yang kemudian
dikenal dengan nama Wahabiyah/Salafiyah. Lambat laun ajaran tersebut
menggantikan kedudukan aliran mistik Islam dan sinkretisme yang selama ini
dianut oleh masyarakat Indonesia. Aliran tersebut juga bersikap sangat anti
terhadap kekuasaan asing yang dianggap kafir dan menduduki negeri-negeri Islam.
Dampaknya, semenjak kedatangan para jamaah haji itulah suasana di Hindia
Belanda mulai mengalami radikalisasi.Belandapun melihat ada korelasinya antara
kedatangan para jamaah haji itu dengan merebaknya sejumlah perlawanan terhadap
kekuasaan kolonial Belanda di sejumlah daerah.
Pertumbuhan sentimen ke-islaman di abad keduapuluh adalah
refleksi dari posisi dan fungsi agama di dalam kehidupan masyarakat
Indonesia.Bagi orang Indonesia, Islam adalah lebih dari sekedar agama- ia
adalah tuntunan hidup.Dengan demikian, Islam lambat laun berkembang menjadi
sesuatu yang dianggap asli dan identik
dengan bumiputera, sebagai lawan dari yang asing. Islam menjadi suatu faktor
pemersatu dalam kesadaran akan diri sendiri dalam kalangan orang Indonesia dan
dalam waktu yang bersamaan menjadi faktor yang membentuk solidaritas nasional
yang membedakan antara bumiputera dan penjajah.
Faktor lain yang mendorong pemerintah kolonial Hindia
Belanda mengeluarkan Politik Islam adalah berkembangnya gagasan Pan Islam yang
digagas oleh Jamaluddin al Afghani dan Sultan Turki, Abdul Hamid. Pada saat itu
pengaruh Pan Islam cukup mewarnai kehidupan masyarakat Hindia Belanda, salah
satunya adalah berkembangnya penggunaan tutup kepala yang dilakukan oleh
orang-orang keturunan Arab yang ketika itu biasa digunakan oleh orang-orang
Turki.
Phobia Belanda terhadap Turki dan gerakan Pan Islam mencapai puncaknya
ketika Turki mencapai kemenangan yang menentukan terhadap Yunani.Turki Islam
yang sejak lama terus menerus mengalami kemunduran sejak negara itu mengepung
kota Wina seakan-akan bangkit kembali dengan kemenangannya terhadap
Yunani-Kristen.
Sebelum abad XX, politik kolonial hanya mementingkan
tuntutan ekonomi, sehingga penghisapan kekayaan Hindia Belanda selama ini
dilakukan sama sekali tanpa memperhitungkan kepentingan rakyat Hindia Belanda
itu sendiri. Sesudah tahun 1901, Pemerintah Belanda secara praktis
memperhatikan ‘kewajiban moral Belanda terhadap rakyat Hindia Belanda”. Politik
humanisme yang dijalankan oleh Belanda tersebut kemudian dipadukan dengan
Politik Islam dan Kristenisasi.
Pada awal abad XX partai-partai agama mendapatkan
kemenangan dalam pemilihan umum di Negeri Belanda. Hal itu mengakibatkan
terjadinya perubahan pada politik kolonial di Hindia Belanda. Politik Liberal
yang sudah menguasai politik di Hindia Belanda selama limapuluh tahun
kehilangan kekuasaannya. Pemerintahan baru Belanda yang sudah banyak
dipengaruhi oleh partai-partai agama kemudian berupaya memperkuat upaya
penyebaran agama Kristen di Hindia Belanda.Sejumlah kebijakkan dalam rangka itu
dikeluarkan untuk menekan agama Islam dan mengembangkan kristenisasi/zending
(kersteningspolitiek) seperti larangan melakukan kegiatan di hari Minggu dalam
rangka menghormati agama Kristen.
Politik Islam yang
dilakukan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda didasarkan atas pandangan
bahwa agama dan ajaran Islam belum sepenuhnya terserap dalam masyarakat dan
kebudayaaan Indonesia. Masih banyak orang Indonesia yang belum sepenuhnya
mengamalkan ajaran Islam walaupun secara formal mereka menganut ajaran Islam.
Hal inilah yang dianggap sebagai peluang untuk menanamkan gagasan supremasi
Belanda dan menyebarkan kebudayaan Belanda terutama dikalangan elit
bumiputera.Belanda beranggapan bahwa masyarakat Indonesia masih terbuka bagi
pengaruh kebudayaan lain, termasuk kebudayaan Belanda dan agama Kristen.
BENTUK
POLITIK ISLAM HINDIA BELANDA
Politik Islam yang dipelopori oleh Snouck Hurgronje pada dasarnya
adalah politik asosiasi.Kata asosiasi lebih bersifat mempertemukan antara dua
kebudayaan yang berbeda sebagai teman/rekan, sedangkan asimilasi cenderung menyatukan kedudukannya. Walaupun
antara keduanya, yaitu asosiasi dan asimilasi sama-sama berupaya menyatukan
atau melakukan unifikasi atau kesatuan hukum bagi seluruh penduduk.
Politik Islam Hindia Belanda merupakan upaya memperkuat
ikatan antara daerah jajahan dengan penjajahnya, dalam rangka memperkuat
penjajahan itu sendiri.Snouck menyatakan bahwa kerajaan Belanda diperkukuh oleh
asosiasi orang Indonesia dengan kebudayaan Belanda.
Dengan membolehkan orang
Indonesia mendapatkan pendidikan misalnya, akan menjamin loyalitas mereka
terhadap Belanda. Ditegaskannya pula bahwa asosiasi akan menghilangkan
cita-cita Pan Islam dari segala kekuatannya yang secara tidak langsung akan
memberikan manfaat bagi penyebaran agama Kristen dan memperkuat sistem kolonial
secara keseluruhan.
Menurut Snouck, politik asosiasi menempatkan Belanda
sebagai wali, dan fungsi wali inilah yang mewajibkan Belanda untuk ‘mendidik’ Indonesia
dengan menyelenggarakan pendidikan untuk bumiputera. Politik asosiasi ini
diharapkan akan memenangkan Belanda dalam persaingannya dengan Islam. Umat Islam
Indonesia diharapkan akan mengadopsi kebudayaan Belanda dan meninggalkan
ajaran-ajaran Islam.
Pada tahun 1898 dibentuk Kantor Penasehat Urusan Arab dan
Islam (Adviseur Voor Arabische en Islamitische Zaken) dengan Snouck Hurgronje
sebagai ketua pertamanya. Menurut Benda, Snouck sebagai seorang indolog dan
orientalis berperan besar dalam mewujudkan Politik Islam Hindia
Belanda.Pemerintah Hindia Belanda menaruh kepercayaan besar kepada Snouck
karena perannya dalam mengakhiri perlawanan rakyat Aceh melaui pemikirannya yang
tertuang dalam bukunya De Aceheers.
Politik Islam Hindia Belanda antara lain diwujudkan dengan
hal-hal berikut :
❶ Belanda
mencoba memisahkan antara agama dan politik.
Terkait dengan masalah agama, pemerintah Kolonial
menjalankan sikap netral, sedangkan terhadap masalah politik dijalankan
pengawasan yang sangat ketat terhadap ancaman dari Pan Islam. Belanda
membedakan antara Islam sebagai agama yang menurut Snouck Hurgronje bukan
merupakan musuh kolonialisme, tetapi doktrin politik Islamlah yang diangggap
sebagai penghambat upaya kolonialisme Belanda untuk menguasai Indonesia.
❷ Diangkatnya
penghulu sebagai pegawai negeri, yang antara lain bertugas membantu para bupati
dalam mengawasi umat Islam.
Para Bupati yang terpilihpun diharuskan melakukan
pemantauan terhadap segala aktivitas yang dilakukan oleh para Kiai dan guru
agama yang ada di wilayah administrasi mereka. Para bupati yang dipilih oleh
Belanda biasanya adalah orang yang memiliki keyakinan keislaman yang tipis atau
bahkan memiliki pandangan yang negatif terhadap Islam.
❸ Pemerintah
Hindia Belanda bekerjasama dengan para kepala adat, dan menggunakan lembaga
adat untuk membendung pengaruh Islam di kepulauan Nusantara.
Belanda berupaya mempertegas perbedaan antara adat dan
Islam dalam berbagai kebijakkan legislatifnya dan jikalau terjadi benturan
antara adat dan Islam maka Belanda akan memberikan dukungan kepada golongan
adat.
Belanda kemudian menugaskan Cornelis Van Vollen Hoven
mendirikan sekolah hukum adat yang antara lain bertujuan mengembangkan sistem
apartheid yang memisahkan penduduk menjadi sejumlah komunitas yang terpisah secara
hukum.Hukum Islam diakui di masing-masing aturan hukum komunitasnya hanya jika
para penasehat kolonial mengatur bahwa adat mengakuinya secara eksplisit.Hal
ini menunjukkan bahwa penguasa kolonial berupaya memisahkan antara Islam dan
adat.
❹Mengadakan
pendidikan Barat.
Pendidikan yang diselenggarakan semenjak diberlakukannya
Politik Etis tersebut tidak terlepas dari upaya Belanda melakukan modifikasi
atas penjajahannya di Hindia Belanda. Seringkali dalam pelaksanaan pendidikan
Barat tersebut guru-guru yang mengajar adalah seorang yang fanatik dan bersikap
anti terhadap agama Islam. Pendidikan sekuler yang diselenggarakan oleh
pemerintah kolonial dirancang untuk mencegah elite pribumi dari pengaruh Islam
❺ Snouck
sebagai arsitek Politik Islam Hindia Belanda berupaya menempuh jalan halus dan
non konfrontatif, antara lain berupaya agar umat Islam menjauhi agamanya
melalui asosiasi kebudayaan
❻ Belanda
berupaya membatasi kegiatan kristenisasi/zending di daerah-daerah yang pengaruh
Islamnya kurang kuat seperti kawasan Tapanuli Utara, sedangkan di daerah-daerah
yang Islamnya kuat seperti Aceh Belanda cenderung membatasi upaya
Kristenisasi/zending. Walaupun demikian di sisi lain pemerintah kolonial juga
sangat aktif dalam menyokong upaya kristenisasi baik dari kalangan Katolik
maupun Protestan.Misalnya misi Katolik pada akhir abad XIX telah berhasil masuk
Nias (1866), Sumatera Timur (1890), Mojokerto (1844) dan Kalimantan (1836).
❼ Mengeluarkan
Ordonansi Guru pada tahun 1905 yang mewajibkan guru-guru agama (Islam) meminta
izin penyelenggaraan pendidikan Islam
❽ Mengeluarkan
Ordonansi Perkawinan pada 1929 dan 1931 untuk Jawa dan pada 1932 untuk luar
Jawa. Ordonansi ini mengatur tentang pemindahan hak mengatur waris dari
pengadilan agama ke pengadilan negeri dan mengadakan pencatatan pernikahan.
❾ Melakukan
segregasi sosial
Usaha lainya yang dilakukan oleh Belanda adalah berusaha
memisahkan antara kalangan keturunan Arab dengan mayoritas umat Islam di Hindia
Belanda. Belanda melakukan hal tersebut dengan cara menempatkan kalangan
keturunan Arab sebagai golongan sosial yang disebut sebagai Timur Asing
(Vreemde Oosterlingen). Aturan itu termuat dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling.
Dalam prakteknya hal ini diperkuat dengan
diberlakukannya Wijkenstelsel dan Passenstelsel. Wijkenstelsel adalah
peraturan yang mewajibkan kelompok etnik yang ada untuk tidak berbaur dalam
wilayah yang sama dengan kelompok etnik lainnya.Setiap kelompok etnik harus
hidup di lingkungan yang terpisah dengan kelompok etnik yang berbeda. Aturan
ini diperkuat dengan Passenstelsel
yang mengharuskan setiap orang yang hendak keluar dari wilayah kantong etnisnya
untuk meminta izin kepada apparat colonial setempat. Aturan Wijkenstelsel dan Passenstelsel ini juga diberlakukan kepada kalangan keturunan Arab.
Selain itu, Belanda juga berupaya keras melarang atau
membatasi masuknya imigran yang berasal dari Arab.Larangan ini bukanlah
didasarkan atas kepentingan ekonomi, tetapi lebih didasarkan atas faktor
politik. Larangan itu antara lain dengan mempersulit pembelian tiket kapal ke
Hindia Belanda dan mempersulit peraturan keimigrasian bagi orang Arab yang
hendak ke Hindia Belanda.
❿ Historiografi
Kolonial
Upaya Belanda untuk menghambat Islam di Hindia Belanda
dilakukan dengan menyusun penulisan sejarah versi Belanda atau Historiografi
Kolonial. Historiografi Kolonial ini bersifat Nerlando Sentris dan merendahkan peranan para ulama Islam dalam
perjuangan kemerdekaan.
Historiografi Kolonial sebagai bentuk Politik Islam dapat
dilihat dari contoh berikut :
√ melalui penulisan sejarah kolonial Belanda berupaya
menggambarkan bahwa Islam masuk ke Indonesia bukan dari Arab secara langsung,
tetapi melalui India/Gujarat.Snouck Hurgronje yang merupakan tokoh utama
pengusung teori ini berupaya agar teori tersebut dapat menggambarkan Islam di
Hindia Belanda sebagai Islam dengan corak yang berbeda dengan Arab yang
merupakan pusat Islam dunia.
Politik serupa juga dilakukan oleh Inggris di India dengan
mengembangkan aliran-aliran atau sekte seperti Ahmadiyyah yang menyerukan umat Islam
India agar tidak melakukan Jihad atau perlawanan bersenjata terhadap kekuasaan
Inggris di India.
√ Historiografi Kolonial mencoba mereduksi motif perlawanan
Pangeran Diponegoro semata-mata dikarenakan ingin mempertahankan tanah miliknya
yang dirampas oleh Belanda. Belanda juga mencoba merusak kredibilitas Pangeran
Diponegoro dengan menuduh Pangeran Diponegoro memiliki ambisi pribadi untuk menjadi
raja dan merebut kekuasaan dari Sultan Yogyakarta.
√ Demikian pula dengan penyerahan Habiburrahman Al Zahir
yang merupakan Perdana Menteri Kesultanan Aceh kepada Belanda semata-mata
dilatarbelakangi oleh keinginan mendpaatkan pensiun dari Belanda.
√ Belanda menganggap perlawanan Abdurrahman Al Qadri dari
Pontianak terhadap Belanda, Prancis dan Inggris sebagai bajak laut.
⓫ Belanda
juga berupaya mendiskreditkan Islam dan umat Islam Indonesia dengan memberikan
label-label yang negatif seperti ‘kaum kolot”, ‘kaum sarungan” dan “pribumi
malas” dan lain sebagainya.
⓬ Politik
Islam Hindia Belanda juga dilakukan dengan melakukan westernisasi.Pembaratan
atau westrenisasi tersebut terjadi seiring dengan proses modernisasi yang
dilaksanaan terkait dengan dilaksanakannya pendidikan Barat/modern. Hal itu antara
lain dilakukan untuk mengubah tradisi keislaman masyarakat Indonesia dalam
kehidupan sehari-hari. sebagai contoh, sistem waktu yang ditetapkan oleh
Belanda telah mengubah konsepsi waktu masyarakat pribumi yang selama ini
didasarkan atas azan shalat wajib. Demikian pula dengan penggunaan nama-nama
bulan yang menggantikan nama-nama bulan dalam kalender hijriah yang sebelumnya
biasa digunakan oleh umat Islam.
13.Belanda melakukan diskriminasi terhadap umat Islam antara lain dengan dikeluarkannya Ketetapan
Umum Perundang-undangan (Algemeene Bepaling Van Wetgevig) tahun 1849 yang
menyatakan bahwa golongan pribumi yang
menganut agama Kristen menikmati hak hukum yang sama dengan orang Eropa.
Walaupun peraturan ini kemudian dihapuskan berdasarkan Peraturan Pemerintah
tahun 1854 (Regeeringsreglement) yang kembali menempatkan posisi hukum mereka
dalam kategori yang sama dengan penduduk pribumi lain pada umumnya, namun hal
ini tidak menghilangkan kenyataan bahwa penganut Kristen pada umumnya lebih
diuntungkan oleh pemerintah Kolonial seperti dalam hal mencari lapangan
pekerjaan serta dalam hal memperoleh kenaikan pangkat dalam birokrasi
pemerintahan.
14. Belanda juga berupaya untuk membatasi umat Islam yang
hendak menunaikan ibadah haji. Hal ini dilakukan dengan cara mewajibkan para
calon jamaah haji untuk membayar berbagai pungutan yang dinilai sangat
memberatkan.Setelah para jamaah haji pulang dari tanah suci, mereka juga
diharuskan menjalani sejumlah tes atau ujian untuk mengurangi pengaruh haji
yang tida disukai oleh pemerintah kolonial.J ikalau mereka lulus dari tes
tersebut barulah mereka deperbolehkan menggunakan gelar haji di depan nama
mereka.
REAKSI
TERHADAP POLITIK ISLAM HINDIA BELANDA
Politik Islam yang dijalankan oleh pemerintah kolonial,
baik berupa cara konvensional dengan melakukan Kristenisasi/zending atau
melalui cara halus melalui asosiasi budaya seperti yang sudah dijelaskan di
atas menimbulkan sejumlah reaksi sebagai berikut :
→ Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) melakukan aksi
penolakan terhadap Ordonenasi Perkawinan yang dianggap bertentangan dengan
ajaran-ajaran Islam. Akhirnya atas desakan dari Adviseur Voor Indlandsche Zaken, Ordonansi ini akhirnya dibatalkan.
→ Pada tahun 1926 Muktamar
Alam Islamy Far’ul Hindias Syarqiyah dalam konresnya mengungkapkan
kemarahannya terhadap pemerintah kolonial yang dianggap terlalu mencampuri
urusan keagamaan, padahal Belanda selalu menyatakan bahwa mereka bersikap
netral dalam masalah agama.
→ Reaksi terhadap Politik Islam juga datang dari
Muhammadiyah dan Jamiatul Khair. Muhammadiyah dan Jamiatul Khair berdiri dengan
tujuan salah satunya menghambat perkembangan kristenisasi yang ketika itu
berpadu dengan Politik Asosiasi Kebudayaan yang diusung oleh Snouck. Bentuk
antisipasi lain yang dilakukan oleh Muhammadiyah terhadap Politik Islam adalah
dengan memodifikasi sistem pendidikannya dengan memadukan antara pembelajaran
agama dengan pelajaran modern.
→ Berdirinya Jong Islamieten Bond (JIB) juga menunjukkan
adanya reaksi terhadap Politik Islam Hindia Belanda. JIB berdiri dengan tujuan
menyebarkan paham modernis Islam, dan oleh karenanya JIB memiliki warna Islam
Nasionalis dan anti-Belanda.
→ Berdirinya Partai Islam Indonesia (PAI) pada 4 Oktober 1934
di Semarang. Organisasi ini berdiri dengan dasar bahwa Indonesia adalah tanah
air mereka. Organisasi yang didirikan oleh keturunan Arab di Indonesia ini
berusaha menghapus citra buruk yang selama ini dikonstruksi oleh Belanda
terhadap kalangan keturunan Arab. Selama ini Belanda menganggap kalangan
keturunan Arab sebagai orang asing yang berbeda dengan orang bumiputera. Orang
keturunan Arab juga digambarkan sebagai rentenir yang seringkali memeras dan
merugikan kalangan bumiputera.
→ reaksi terhadap Politik Islam Hindia Belanda juga
dilakukan oleh sebagian kalangan keturunan Arab dengan tidak menyekolahkan
anak-anaknya ke sekolah Belanda. Hal ini dilakukan karena adanya kekhawatiran,
bahwa pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kolonial memiliki tujuan
terselubung untuk ‘merusak” agama anak-anak mereka.
REFERENSI :
-Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta:
LP3ES,1984
-Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942,
Jakarta: LP3ES,1982
-Denys Lombard, Nusa Jawa; Silang Budaya III, Jakarta :
Gramedia, 2008
-Hamid Algadri, Snouck Hurgronje, Politik Belanda Terhadap
Islam Dan Keturunan Arab, Jakarta: Sinar Harapan, 1984
-Robert Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, Jakarta:
Pustaka Jaya,1984
-Robert W.Hefner, Civil Islam,Jakarta : ISAI,2001
Komentar
Posting Komentar