KELAS MENENGAH DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI
KELAS MENENGAH DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI
PENDAHULUAN
Pembangunan dan proses modernisasi
yang dijalankan di negara-negara berkembang telah menimbulkan perubahan sosial
yang besar. Masyarakat mengalami transformasi yang meliputi semua aspek
kehidupan.
Pembangunan dan modernisasi tersebut disatu sisi mengakibatkan
sebagian anggota masyarakat berhasil mencapai taraf kehidupan yang lebih baik
dan berkemampuan dalam memanfaatkan hasil-hasil pembangunan.Kelompok ini
berhasil melakukan mobilitas sosial menuju stratifikasi sosial baru yang lebih
tinggi dan mendapatkan identitas baru sebagai kelas menengah (middle
class).
Sedangkan di sisi lain, proses pembangunan dan modernisasi tersebut
telah mengakibatkan sebagian kelompok masyarakat gagal dalam memanfaatkan hasil-hasil
pembangunan dan mereka justru kehilangan hak-hak mereka sebagai akibat
pembangunan. Kelompok ini sering disebut sebagai massa peripheral. Baik kelompok
kelas menengah maupun massa peripheral tersebut, keduanya menjadi fenomena yang
hidup baik di pedesaan maupun perkotaan.
Kelompok kelas menengah baru
(nouveaux riches) maupun massa peripheral (nouveaux pouvres) dapat dilihat
sebagai satu dimensi dislokasi sosial (declasse), yaitu terlepasnya anggota
masyarakat dari kelas sosial lama mereka sedangkan pada saat yang sama mereka
belum terintegrasi ke dalam kelas sosial
yang baru.(Sarjadi,1994)
Kedua kelompok ini sulit dilayani aspirasinya. Massa
peripheral sebagai kelompok yang kehilangan hak-hak mereka menganggap sistem
yang ada adalah tidak adil dan koruptif dan mereka potensial untuk dimobilisasi
guna menuntut perubahan-perubahan radikal. Sedangkan kelas menengah baru,
karena mobilitas sosial dan psikis mereka semakin meningkat maka termasuk
kelompok yang sulit dilayani kemauannya dan mereka juga justru menjadi kelompok
yang kritis.
Dalam stratifikasi sosial, kelas
menengah adalah tingkat kedua dari kelas sosial yang ada.Tingkat pertama adalah
kelas sosial atas yang menempati puncak piramida dari struktur sosial,
sedangkan kelompok ketiga adalah kelompok kelas sosial bawah atau yang juga
disebut sebagai massa peripheral.
Sedikitnya jumlah kelas menengah di
negara-negara berkembang disinyalir sebagai salah satu faktor yang menjadi penyebab
keterbelakangan dan kelambanan perekonomian di negara-negara tersebut. Di
negara-negara berkembang jumlah golongan miskin masih sangat banyak
dibandingkan dnegan golongan kelas menengah dan kelas atas.
Karena jumlahnya
masih relatif sedikit, dan tanpa dukungan ekonomi yang kuat, maka kelas
menengah di negara-negara berkembang tidak dapat membentuk suatu lapisan yang
tangguh untuk mengambil inisiatif terhadap gagasan-gagasan pembaruan dan
perubahan sosial.
Sedangkan di negara-negara maju, hampir tidak ada golongan
kelas sosial bawah atau miskin. Hal itu disebabkan hampir seluruh lapisan
sosial bawah sudah ditarik ke atas dan masuk ke dalam lapisan kelas sosial
menengah, sehingga peranan kelas menengah sangat besar dalam mendorong
terjadinya perubahan-perubahan sosial, ekonomi dan politik di negara-negara maju
itu.
Secara teoritikal, kelas atau
golongan menengah merupakan stratum perantara yang menjembatani golongan bawah
dengan golongan atas.Selain itu kelas menengah
juga merupakan stratum transisi, sebab melalui stratum ini pula warga
masyarakat yang bersangkutan akan menemukan jalan yang akan membawanya kearah
kemajuan posisi dan fungsi tertentu. Artinya, anggota stratum kelas menengah ini
diharapkan memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan posisi serta fungsi
yang melekat pada stratum yang dimaksud, yakni posisi dan fungsi yang berkaitan
dengan keperantaraan maupun juga peralihan.
Secara historikal,golongan menengah
ini belum pernah berperan sebagai suatu kenyataan fungsional.Bahkan dapat
dipertanyakan , apakah stratum tersebut pernah eksplisit dalam kehadirannya? atau
yang dianggap ada itu pada dasarnya tidak lain merupakan suatu golongan kelas
menengah semu. Kelas menengah seringkali dianggap sebagai sambungan atau
perpanjangan dari kelas sosial atas dalam struktur sosial, sebab mereka masih
belum memiliki kesadaran sebagai kelas menengah, selain mereka memiliki gaya
hidup yang serupa dengan kelas sosial atas.
Sebenarnya sebutan kelas menengah
lebih mempunyai konotasi sosial-politik
daripada ekonomi. Secara teoritis, kelas menengah itu merupakan motor penggerak
terhadap perubahan dan pembaruan, baik di lingkungan dekatnya, maupun di
lingkungan sosial yang lebih luas.
Mereka diharapkan menjadi faktor yang
mendinamisir menuju pertumbuhan sosial.Jikalau untuk mengukur kelas menengah
hanya didasarkan atas indikator ekonomi, maka akan didapati jumlah kelas
menengah akan sedikit sekali jumlahnya, oleh karena itu analisa mengenai
keberadaan kelas menengah harus pula digunakan parameter-parameter non ekonomi,
seperti parameter politik, sosial,konsumsi, budaya , dan gaya hidup.
Sebagai
contoh, ada kelompok orang yang jika dilihat dari segi ekonominya belum dapat
digolongkan sebagai kelas menengah, tetapi jika ditinjau dari kriteria sosial
politik sudah dapat dikategorikan sebagai kelas menengah.
DEFINISI DAN SIFAT KELAS SOSIAL
Dalam bahasa popular, kelas
menengah biasanya diartikan sebagai suatu kelas yang mencakup kelompok-kelompok
sosial yang berkembang, yang dianggap berada di antara kelas buruh dan petani
atau kelas sosial bawah, di satu pihak, dan kelas yang berkuasa atau kelas
sosial atas, apakah itu feodal, atau kapitalis di pihak lain. Masyarakat kelas
menengah dalam pandangan ini memiliki keterampilan, relatif kaya, dan memiliki
nilai-nilai individualisme, materialisme, materialisme, sekularisme dan rasionalisme.
Terdapat sejumlah istilah yang
seringkali diidentikkan dengan kelas menengah seperti “kelompok tengah” (middle
group), dan “kelompok menengah” (intermediate group), yaitu sebuah kumpulan
dinamis yang tumbuh dalam ruang di antara dua kelas yang terpolarisasi.
Kelas menengah tidak bersifat
monolitik, tetapi bersifat heterogen, bahkan cukup terfragmentasi. Mereka tidak
memiliki kesamaan tempat lahir ataupun basis ekonomi, dan karena itu tidak
memiliki kesamaan kepentingan. Di satu sisi kelas menengah dapat bersifat
revolusioner dan mendorong terjadinya perubahan sosial-politik dan ekonomi,
tetapi di sisi lain mereka dapat juga menjadi kekuatan konservatif yang
mendukung status quo dan menentang
adanya perubahan. Yang jelas, kepentingan kelas menengah cenderung berorientasi
kepada kepentingannya sendiri ketimbang mendukung kelas sosial atas maupun
kelas sosial bawah.
Meningkatnya pembangunan ekonomi
mengakibatkan jumlah kelas menengah semakin bertambah. Hal itu dapat dilihat
dari adanya peningkatan konsumsi terhadap barang-barang dan jasa serta
kebutuhan lainnya yang bersifat sekunder bahkan tersier. Macetnya jalan-jalan di
sejumlah kota besar di Indonesia, penuh-sesaknya bandara di berbagai bandar
udara di Indonesia merupakan bukti hadirnya kelas menengah dan konsumen yang
memiliki daya konsumsi yang cukup tinggi.
Kelas menengah adalah kelompok
masyarakat yang memiliki kualitas hidup (quality of life) yang lebih
baik.Mereka menikmati pendidikan, kesehatan perubahan yang lebih baik
dibandingkan kelas sosial bawah.
Kelas menengah merupakan fenomena
sosial yang kompleks. Kelas menengah dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda,
yaitu sisi sebagai konsumen dan sisi sebagai produsen. Sebagai konsumen, kelas
menengah merupakan kelompok sosial yang memiliki tingkat konsumsi yang tinggi.
Kemampuan
konsumsi kelas menengah telah mengakibatkan adanya ‘demokrasi konsumsi’
(democratization of consumtion), dimana barang-barang dan jasa yang sebelumnya
hanya mampu dibeli oleh kelas sosial atas kini telah mampu dikonsumsi oleh
orang kebanyakan, seperti lemari es, Televisi, telepon seluler, kendaraan
bermotor dan mobil sekalipun.Terdongkraknya daya beli konsumen kelas menengah
juga menjadi penyebab munculnya fenomena ‘mass luxury’ di berbagai industri.
Barang-barang
yang dahulunya termasuk dalam kategori barang mewah (superior) , tanpa terasa
kini downgrade menjadi barang yang
biasa-biasa saja. Berlibur ke Singapura misalnya, sekarang juga dapat dijangkau
oleh kalangan kelas menengah.
Dari sisi produsen, kelas menengah
juga telah mampu menciptakan produk dan layanan melalui inovasi nilai, yaitu
mendongkrak manfaat (benefit) setinggi-tingginya sekaligus menurunkan biaya
(cost) serendah mungkin.(Yuswohadi,2015)
Berdasarkan data statistik tahun 2012
terlihat bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia sudah mencapai hampir 130
juta penduduk. Dari jumlah tersebut, proporsi kelas menengah yang berada di
Jawa dan luar Jawa berada tidak signifikan, sebagaimana yang tertera dalam
tabel berikut :
wilayah
total
|
Berdasarkan pengeluaran
|
|||
$ 2-4
|
$ 4-10
|
$ 10-20
|
||
Nasional
|
129.187.392
|
90.759.841
|
34.484.955
|
3.942.596
|
Jawa
|
73.820.751
|
51.862.334
|
19.705.524
|
2.252.893
|
Non Jawa
|
55.366.641
|
38.897.507
|
14.779.431
|
1.689.703
|
Susenas, 2012, dikutip dari
Yuswohady,2015
Sedangkan diseluruh dunia, jumlah
kelas menengah antara rentang tahun 2009-2030 dapat dilihat dari data berikut :
|
2009
|
2020
|
2030
|
Amerika Utara
|
18 %
|
10 %
|
7 %
|
Eropa
|
36 %
|
22 %
|
14 %
|
Amerika Tengah dan Selatan
|
10 %
|
8 %
|
6 %
|
Asia Pasifik
|
28 %
|
54 %
|
66 %
|
Afrika Sub Sahara
|
2 %
|
2 %
|
2 %
|
Timur Tengah dan Afrika Utara
|
6 %
|
5 %
|
5 %
|
dikutip dari Yuswohady,2015
Munculnya kelas menengah menurut
Maslow dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan yang lebih advance seperti
status sosial, aktualisasi, narsis, bersosialisasi dan berkomunitas. Kebutuhan-kebutuhan
ini muncul dikarenakan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat mendasar seperti
pangan, sandang, papan, dan seks sudah dapat terpenuhi.
Dengan adanya pergeseran dari
masyarakat industrial (industrial society) ke masyarakat berpengetahuan
(knowledge society), maka nilai-nilaipun mengalami pergeseran. Di kalangan
masyarakat berpengetahuan, kebutuhan untuk bertahan hidup sudah dianggap
terpenuhi dengan sendirinya. Karena itu, nilai-nilai mereka mulai bergeser
dengan menekankan pentingnya kesejahteraan subjektif (subjektif well-being),
ekspresi diri (self-expression) dan kualitas hidup (quality of life) yang kian
meningkat.Mereka mulai menekankan pentingnya perlindungan terhadap lingkungan,
persamaan gender (gender equality), partisipasi dalam pengambilan keputusan
ekonomi atau politik, juga kebebasan individu, toleransi dan kepercayaan
(trust).
Karl Marx merupakan salah satu
teoritikus sosial terkemuka yang banyak memberikan analisanya mengenai
kelas-kelas sosial, tetapi Marx tidak secara jelas menggambarkan tentang kelas
menengah. Marx memiliki kecenderungan untuk mengatakan bahwa dalam masyarakat
industrial hanya ada dua kelas sosial yang bertentangan yaitu kelas borjuis
sebagai pemilik alat-alat produksi dan kelas proletar.
Tetapi setelah zaman
Marx, masyarakat industrial berkembang menjadi lebih kompleks. Akibat perkembangan
industri, muncul suatu kelas menengah baru yang terdiri atas
pengusaha-pengusaha kecil yang membuka usaha kecil-kecilan seperti usaha
bengkel reparasi dan yang sejenisnya. Selain itu, pertumbuhan kelas menengah
juga disebabkan oleh berkembangnya perusahaan-perusahaan besar yang mendorong
munculnya profesi-profesi baru dibidang administratif.
Mereka itu sebenarnya
juga merupakan kaum buruh yang menjual tenaga, tetapi mereka kurang
mengidentifikasikan dirinya dengan kondisi sosial tersebut, dan lebih condong
untuk menggolongkan diri sebagai kelas menengah. Selain itu juga terdapat kaum
buruh terpelajar atau berpendidikan dan berpengalaman teknis (skilled labour)
yang sering digaji dengan upah yang lebih tinggi dibandingkan pegawai-pegawai administratif. Oleh
karena itu, sosiologi modern sering menggunakan istilah “kelas menengah baru”
untuk semua golongan yang disebutkan di atas. (Polak, 1976)
Sebagaimana kelas sosial atas dan
kelas sosial bawah, Kelas sosial menengah mempunyai subkultur tersendiri yang
menyiapkan para anggota kelas sosialnya untuk memerankan fungsi-fungsi khusus
dalam masyarakat. Para orangtua dari kelas sosial menengah berupaya untuk
mendorong anak-anak mereka dengan memberikan harapan-harapan keberhasilan dan
bayangan-bayangan yang menakutkan jika mereka jatuh ke dalam kelas sosial
bawah.Jadi, diantara kelas sosial yang lain, kelas sosial menengahlah yang
paling giat upayanya untuk “memperoleh kemajuan”.
Orang kelas sosial atas tidak
perlu “bekerja untuk hidup” atau berjuang untuk memperoleh status, walaupun
demikian mereka mungkin merasa didesak untuk mempertegas status dan pendapatan
mereka dengan cara mengamdikan diri pada salah satu bentuk pengabdian
masyarakat dan berbagai kegiatan sosial.(Horton, 1990)
Dalam masyarakat yang sedang
mengalami transformasi ekonomi, Kelas menengah sering juga disebut sebagai ”
kelas sosial baru”. Kelas menengah dianggap sebagai kelas sosial baru karena mereka
dipandang memiliki cara pandang dan gaya hidup tersendiri yang khas yang
membedakan dengan kelas sosial lainnya. Keanggotaan kelas sosial baru tersebut
terdiri atas para pejabat pemerintahan eselon menengah dan atas, serta
orang-orang yang bekerja pada bidang komunikasi-staf kantor televisi dan radio,
aktor dan aktris, wartawan, dosen dan ulama/pendeta.
Walaupun demikian, Horton
membedakan antara kelas menengah dan kelas sosial baru. Horton menganggap kelas
menengah baru tidak dapat disamakan dengan kelas menengah pada umumnya karena mereka memiliki perilaku yang berbeda dengan orang-orang lain yang
berpenghasilan sama.Golongan kelas menengah baru tersebut memiliki perilaku
sosial dan oriantasi politik yang
liberal.
Sumber penghasilan mereka tidak berasal langsung dari keuntungan dunia
usaha, dan latar belakang pendidikan mereka memungkinkan mereka berpandangan
kritis terhadap keaompok pengusaha. Sepertinya kelas sosial baru berupaya
menyaingi kelas pengusaha untuk memperoleh kekuasaan dan prestise
LATAR BELAKANG MUNCULNYA KELAS MENENGAH
❶ terjadinya
perubahan struktur sosial dari feodalisme ke Kapitalisme
❷ terjadinya
transformasi ekonomi dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri
❸ berkembangnya
Kapitalisme
❹ meluasnya
pendidikan
❺ dikeluarkannya
kebijakan deregulasi yang mendorong perdagangan bebas.Hal ini mengakibatkan
iklim perekonomian menjadi dinamis dan membuka peluang-peluang baru dibidang
ekonomi
❻ berkembangnya
demokratisasi dan keterbukaan politik
❼ runtuhnya
sistem feudal dan patronase
❽ meningkatnya
kesejahteraan masyarakat
❾ terjadinya
urbanisasi
UKURAN ATAU PARAMETER PENGKLASIFIKASIAN KELAS MENENGAH
❶ Kriteria
ekonomi : adanya dana tabungan sebanyak 30 % dari total pendapatan
❷ Kriteria
sosial : keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan
❸ Kriteria
konsumsi/gaya hidup : memiliki kemampuan konsumsi yang cukup tinggi
❺ Kriteria
pendidikan : mampu mengecap pendidikan menengah dan pendidikan tinggi
KLASIFIKASI KELAS MENENGAH
Kelas menengah bukan merupakan
kelas sosial yang monolitis dan tunggal. Pembagian kelas sosial di dalam
masyarakat menjadi kelas sosial atas,tengah dan bawah seringkali berbeda-beda
tergantung pada sektor , jenis profesi, dan posisi kelas menengah tersebut. Perbedaan
ini juga terjadi pada kecakapan politik
dan peran mereka dalam melakukan pembaruan sistem sosial.
Kamanto Sunarto, mengutip Warner membagi kelas menengah berdasarkan kriteria
berikut :
❶ Kelas
menengah atas (middle-upper class)
❷ Kelas
menengah tengah (middle-midle class)
❸ Kelas
menengah Bawah ( middle-lower class)
James M. Henslin dalam bukunya
Sosiologi dengan Pendekatan Membumi membagi kelas menengah di Amerika Serikat
menjadi dua kategori. Dalam kategori tersebut Henslin juga menyebutkan adanya
kelas kapitalis sebagai kelas sosial atas dan kelas sosial bawah yang merupakan
pengangguran atau pekerja paruh waktu atau mereka yang bergantung pada sistem
jaminan sosial negara. Kelas menengah yang dimaksud adalah ;
❶ kelas
menengah Atas
❷ kelas
menengah bawah
Selain itu terdapat dua kelas
sosial lainnya yang tidak secara tegas dikategorikan sebagai bagian dari kelas
sosial menengah atau bawah, yakni pekerja dan pekerja miskin.
Karateristik masing-masing kelas
tersebut digambarkan melalui tabel tentang tangga kelas sosial di Amerika
Serikat berikut :
Kelas sosial
|
Pendidikan
|
pekerjaan
|
Prosentase
|
Kapitalis
|
Universitas berprestise
|
investor
|
1 %
|
Menengah atas
|
Universitas
|
Professional,manajer tingkat atas
|
15 %
|
Menengah bawah
|
Sekolah menengah atas atau
perguruan tinggi
|
Semiprofessional,manaje rtingkat
bawah,pengrajin,mandor
|
34 %
|
Pekerja
|
Sekolah menengah atas
|
Pekerja pabrik,pekerja
kantor,penjual eceran bergaji rendah
|
30 %
|
Pekerja miskin
|
Pernah bersekolah di sekolah
menengah atas
|
Buruh,pekerja jasa,penjual
bergaji rendah
|
16 %
|
Kelas bawah
|
Pernah bersekolah di sekolah
menengah atas
|
Pengangguran, pekerja paruh waktu
|
4 %
|
Sumber ; diolah dari Henslin, 2007
Kelas menengah juga dapat
dikategorkan berdasarkan lokalitas atau tempat tinggal sebagai berikut :
√ kelas menengah perkotaan seperti
: kaum profesional, pegawai negeri, guru, dosen, pekerja kantoran dan tenaga
administratif yang memiliki keterampilan teknis.
√ kelas menengah pedesaan : tuan
tanah,petani menengah,wirasasta, padagang, pemilik toko
Sedangkan Yuswohady dan Kemal
E.Gani membagi kelas menengah menjadi 8 wajah dengan karateristiknya
masing-masing sebagai berikut :
❶ Ekspert ;
kebanyakan adalah kalangan profesional di berbagai bidang seperti
dokter,arsitek,konsultan, pengacara dan
mereka ahli dibidangnya.Mereka menjadikan karir mereka sebagai bagian integral
dari kehidupannya.
❷ Climber ;
mereka adalah para pegawai pabrik (bule collar), salesman, supervisor dan lain
sebagainya, yang berusaha keras untuk menaikkan status ekonominya.
❸ Aspirator
; mereka adalah performer yang sudah mapan dan cukup puas dengan kondisi
ekonomi saat itu.
❹ Performer
; mereka dalah kalangan profesional dan entrepreneur yang memiliki ambisi untuk
membangun kompetisi diri.
❺ Trend-setter
; memiliki daya beli yang lebih tinggi
dan ingin menjadi panutan dalam gaya hidup seperti fashion,gaya
selebrity, gadget dan lain sebagainya.Mereka menemukan eksistensinya ketika
mereka diikuti dan menjadi center of attention di lingkuangan sosialnya.
❼ Follower ;
umumnya kalangan muda (SMA dan Kuliah) yang membutuhkan panutan (role model)
untuk menemukan dan menunjukkan eksistensinya.
❽ Settler ;
adalah follower yang sudah memiliki kemapanan hidup walaupun dengan tingkat
pengetahuan yang terbatas. Karena itulah mereka cenderung memegang nilai-nilai
tradisional dan fobia terhadap perkembangan informasi.
❽ Flow-er ;
adalah sosok yang tidak puas dengan tingkat kehidupan ekonominya saat itu,
namun mereka tidak tahu harus bagaimana untuk mengubahnya Karena keterbatasan
tingkat pengetahuan dan pendidikannya, mereka cenderung pasrah dan menjalani
kehidupan yang mengalir (flow) di tengah perubahan kehidupan, baik kehidupan
teknologi,informasi, sosial dan politik. (Yuswohady,2015)
KARATERISTIK KELAS MENENGAH
♦ memiliki sejumlah sikap seperti :
pengakuan terhadap hak milik perseorangan,individualisme,persaingan bebas,
mengakui rule of the law
♦ merupakan pelaku kegiatan ekonomi
baik sebagai pedagang, pegawai, atau pengusaha
♦ memiliki pandangan politik yang
otonom atau independen serta bersikap kritis dan memiliki kesadaran politik dan
apolitik/tidak memiliki kesadaran politik
♦ memiliki kemandirian ekonomi dan merupakan
kelompok pembayar pajak
♦ umumnya tinggal di daerah
perkotaan dan memiliki akses yang baik di bidang informasi
♦ umumnya berada di luar
pemerintahan
♦ memiliki gaya hidup modern
♦ kelas menengah memiliki ciri
;semakin aman secara material (materially more secure), semakin otonom secara
intelektual (intelektually more autonomous) dan semakin independen secara
sosial (socially independent) dalam menetapkan pilihan-pilihan hidupnya.
♦ kelas menengah bersikap terbuka
(open mind) terhadap globalisasi dan mengadopsi nilai-nilai universal.
♦ Kelas menengah juga memiliki
sikap altruistik, kritis, dan memiliki kepedulian terhadap permasalahan sosial
yang ada.Hal itu dikarenakan secara
perekonomian mereka sudah merasa cukup sehingga orientasi hidup mereka tidak
lagi selfish atau mementingkan diri
mereka sendiri.
♦ kelas menengah cenderung memiliki
jumlah anak yang relatif lebih sedikit dibandingkan kelompok masyarakat miskin,
dan cukup besar porsi pendapatannya yang dialokaiskan untuk pendidikan anak.
♦kelas menangah juga memiliki akses ke layanan kesehatan secara lebih memadai dibandingkan kelas sosial
bawah/miskin. Tidak mengherankan jika porsi pengeluaran kelas menengah untuk
kesahatan meningkat tajam seiring dengan meningkatnya pendapatan.
♦ kelas menengah juga memiliki kebutuhan
lebih terkait dengan beragam layanan keuangan seperti kartu kredit dan asuransi
serta penggunaan uang elektronik (e-money).
♦ kelas menengah juga memiliki
sifat yang lebih berkeadaban dan
berkebudayaan (civilized). Hal itu disebabkan naiknya tingkat pendidikan
konsumen kelas menengah sehingga mendorong munculnya kesadaran sosial yang
lebih tinggi. Kelas menengah lebih gandrung dengan film-film yang memiliki nilai
budaya ketimbang film-film picisan.
♦ kelas menengah merupakan kelompok
masyarakat yang paling signifikan dalam melakukan aktifitas berselancar dan
berjejaring sosial dengan menggunakan media sosial.Hal ini disebabkan mereka
memiliki daya beli yang memadai untuk membeli smartphone yang bisa menjalankan berbagai aplikasi media sosial
tersebut.
♦kelas menengah memiliki kesadaran
dan wawasan yang yang memadai untuk mengejar kepentingan-kepentingan politik
dan ekonomi mereka.
♦ karena kemampuannya dan
pendidikannya serta ekspose pada pikiran dan pemikiran politik Barat, kelas
menengah mampu menerjemahkan kepentingan ekonomi ke dalam sistem politik dan
ideologi yang cocok dengan kepentingan tersebut.
KELAS MENENGAH DAN MOBILITAS SOSIAL
Dilihat dari latar belakangnya,
kelas menengah awalnya memengah berasal dari kelas sosial bawah. Dalam
masyarakat industrial, kelas sosial bawah adalah golongan buruh. Munculnya
kelas menengah dalam konteks masyarakat industrial terjadi dikarenakan adanya
perubahan dan perkembangan kapitalisme yang mendorong munculnya jenis-jenis
pekerjaan baru yang tidak terjait langsung dengan proses produksi barang.
Pekerjaan baru tersebut terkait
dengan keterampilan teknis dan pendidikan tertentu yang tidak dimiliki oleh
golongan buruh. Pekerjaan baru tersebut antara lain pekerja pegawai kantor. Sebagaimana golongan
buruh, pegawai pekerja kantor ini tunduk kepada hubungan industrial dan sama-sama
menjual tenaga kerja, pengetahuan atau keterampilan mereka kepada pemilik modal
atau pemilik alat –alat produksi/pemilik perusahaan.
Dalam kasus ini pekerja yang
merupakan pegawai kantor tersebut telah berhasil melakukan mobilitas sosial ke
tingkat yang lebih tinggi dibandingkan golongan buruh biasa yang pekerjaannya
sekedar memproduksi barang-barang.Tetapi, kenaikan kelas ini sebatas kenaikan
dalam struktur status.
Dengan mempunyai pekerjaan pegawai kantor, si individu
berhak mengklaim prestise atau kehormatan/gengsi yang lebih baik dibandingkan
golongan buruh biasa, tetapi dalam hal kelas sosial, mereka masih dapat
dikatakan tidak terlalu berbeda dengan golongan buruh, karena mereka tidak
memiliki dan menguasai alat-alat produksi.
CONTOH KELAS MENENGAH
→ pedagang/wiraswasta
→ pengusaha
→ petani-pengusaha
→ kelompok professional
→ pegawai negeri
→ birokrat
→ cendekiawan berpendidikan Barat
→ kalangan intelektual
→ pengusaha-pengusaha kecil
→ buruh terpelajar atau
berpendidikan dan berpengalaman teknis (skilled labour)
→ pegawai-pegawai administratif
FUNGSI KELAS MENENGAH
❶ merupakan
kekuatan pendorong terjadinya perubahan sosial,ekonomi dan politik (merupakan
agen perubahan sosial/agent of change)
❷ mencegah
terjadinya revolusi dan perjuangan kelas
❸ merupakan
kekuatan pembaharu (sebagai agen perubahan)
❹ merupakan
agen pembawa modernisasi dan demokratisasi
❺ merupakan
penggerak utama atau mendinamisasi sektor perekonomian dan politik
❻ kelas
menengah merupakan tulang punggung perekonomian di sebuah negara dikarenakan
kekuatan konsumsinya.
❼ sebagai
sumber utama pendesak perubahan ekonomi,sosial,kultural dan politik
❽ kelas
menengah berfungsi sebagai penghubung antara negara dan masyarakat
TEORI KELAS MENENGAH FUNGSIONAL STRUKTURAL
Menurut Emile Durkhein sebagai
peletak dasar teori struktural fungsional, kelas menengah muncul sebagai akibat
dari terjadinya diferensiasi struktural yang mendorong terjadinya spesialisasi
kerja. Dalam masyarakat yang mengalami transformasi berupa proses modernisasi
dan industrialisasi, muncul golongan-golongan sosial baru dari berbagai profesi
yang berbeda-beda.
Keberadaan kelas menengah menurut
Talcott Parson dan Kingsley Davis mendorong terjadinya integrasi dan stabilitas
masyarakat. Hal itu disebabkan kelas menengah fungsional bagi struktur sosial,
artinya keberadaan kelas menengah memiliki fungsi-fungsi tertentu yang dapat
memperkuat integrasi masyarakat.
Misalnya keberadaan kelas menengah dapat
menjadi kelas yang meminimalisir peluang terjadinya konflik antarkelas sosial
yaitu antara kelas sosial atas dan kelas sosial bawah. Kelas menengah juga
dapat menjadi kelas yang menjembatani kepentingan kelompok sosial atas dan
kelas sosial bawah.
Menurut teori fungsional, kelas
menengah juga dapat berfungsi mengisi peran-peran sosial yang tidak dapat
dilakukan oleh kelas sosial lainnya, misalnya disektor pekerjaan profesional.
Keberadaan kelas menengah dianggap bermanfaat bagi keseluruhan kelas sosial dan
struktur sosial yang ada, karena kelas menengah mampu melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang tidak dapat dilakukan baik oleh kelas sosial atas
maupun oleh kelas sosial bawah, seperti pekerjaan-pekerjaan di bidang
administratif yang memiliki keterampilan khusus.
KELAS SOSIAL DAN TEORI MARXIS & NEO MARXIS
Teori kelas sosial Marx umumnya
hanya melihat adanya dua kelas sosial yang memiliki posisi oposisional, yaitu
kelas pemilik modal yang hidup dari laba atau keuntungan dan kelas buruh yang
hidup dari upah. Memang ada kelas sosial lainnya yaitu tuan tanah yang hidup
dari rente tanah, tetapi kelas tersebut berada di luar konteks masyarakat
industrial yang menjadi pusat dari analisa kelas Karl Marx.
Kelas pemilik modal memiliki
alat-alat produksi seperti mesin dan pabrik sednagkan kelas buruh melakukan
pekerjaan, tetapi karena mereka sendiri tidak memiliki tempat dan sarana kerja,
mereka terpaksa menjual tenaga kerja mereka kepada kelas pemilik itu. Dengan
demikian hasil kerja dan kegiatan kerja bukan lagi milik para pekerja itu
sendiri, melainkan milik para majikan. Kondisi itulah yang kemudian dikenal
dengan nama alienasi.
Dalam sistem produksi kapitalis,
dua kelas saling berhadapan, kelas buruh dan kelas pemilik modal.Keduanya
saling membutuhkan ; buruh hanya dapat
bekerja apabila pemilik modal membuka lapangan kerja baginya. Dan majikan hanya
bergantung dari pabrik-pabrik dan mesin-mesin yang dimilikinya apabila ada
buruh yang mengerjakannya.
Tetapi salingketergantungan itu tidak seimbang. Buruh
tidak dapat hidup kalau ia tidak
bekerja.Dan ia tidak dapat bekerja kecuali apabila diberi pekerjaan oleh
seorang pemilik.Sebaliknya, meskipun si pemilik modal tidak memiliki pendapatan
kalau pabriknya tidak berjalan, tetapi ia masih dapat bertahan lama. Ia dapat
hidup dari modal yang dikumpulkannya selama pabriknya masih dapat bekerja ; ia dapat menjual
pabriknya.(Suseno, 1999)
Teori Marxis berpandangan bahwa
sejalan dengan makin matangnya kapitalisme, maka proses proletarianisasi makin
meningkat, dimana makin banyak bagian dari golongan borjuasi menjadi menjadi
kaum proletariat, karena terjadinya proses konsentrasi dan sentralisasi kapital.
Teori
tentang timbulnya kelas menengah, membantah hal
tersebut dengan mendasarkan diri pada kenyataan empiris yang terjadi
dalam masyarakat industrial maju.
Penyebaran kepemilikan saham, yang sebagian
jatuh ke tangan lembaga asuransi, lembaga dana pensiun dan lembaga sosial ikut
mempersulit pendefinisian kelas kapitalis yang berhadapan dengan kelas
proletariat. Konsep pembagian secara marxis menurut kapital dan tenaga kerja
menjadi sulit diterapkan.
Tradisi Marxis pada dasarnya
berurusan dengan proses-proses produksi yang bagi mereka, diartikan sebagai
hakekat dari hubungan-hubungan sosial dan politik. Karenanya, unit dasar dari
analisa sosial, dan kelas diterjemahkan dalam arti suatu hubungan produktif.
Marx,
yang hidup di abad 19, menaruh perhatian kepada hancurnya feodalisme dan
munculnya kelas kapitalis yang baru. Ia tidak pernah secara sistematis
menggunakan istilah “kelas menengah” dan kelihatannya ini seringkali menunjuk
pada borjuis kecil, yang merupakan satu elemen kelas kapitalis yang menurutnya,
secara inheren bersifat reaksioner.
Ketika masyarakat kapitalis menjadi
lebih kompleks, kelas penguasa/kelas kapitalis terbukti secara langsung semakin
tidak mampu menjalankan kekuasaan politiknya atau mengelola usaha-usaha dan
aktivitas-aktivitas ekonomi mereka, atau untuk mengatur apparatus ideologi
masyarakat. Lambat laun pengelolaan sistem politik,ekonomi dan “supra struktur
ideologi”, semakin diambilalih oleh munculnya kelas para ahli yang bergaji. Dengan
berkembangnya kelas bergaji, manajer,pejabat,teknisi dan professional, maka
muncullah persoalan teoritis bagi kalangan Marxis.
Kaum Marxis mengalami kesulitan
dalam mengklasifikasi posisi ekonomi dan politik kelas menengah. Di satu sisi
kalanagan Marxis menganggap kelas menengah termasuk ke dalam kategori kelas
proletar. Dalam analisa dua kelas yang ketat, teori Marxisme klasik membagi kelas atas dasar hubungannya dengan
alat-alat produksi, sehingga dengan demikian, “kelas menengah” dapat
dikategorikan ke dalam kelas proletariat, mengingat mereka tidak memiliki dan
menguasai alat-alat produksi.
Sebagai bagian dari kelas proletar, kelas menengah
melakukan oposisi terhadap kelas sosial atas atau kelompok borjuis yang
memiliki modal dan alat-alat produksi.Analisa ini sekaligus menjelaskan potensi
revolusioner dari kelas menengah.
Tetapi, sebagian kalangan Marxis
lainnya justru menganggap kelas menengah termasuk ke dalam bagian dari
kepentingan kelas atas atau kelas pemilik modal/kelas kapitalis dan sikap
politik mereka cenderung konservatif dan berusaha mempertahankan status quo. Dalam konflik yang terjadi
antara kelas atas/borjuis/pemilik modal dan kelas proletar, kelas menengah
cenderung memihak kepada kelas yang pertama.(Tanter,1996)
Sudut pandang lain tentang kelas
menengah disampaikan oleh Erik Wright. Wright mencoba untuk memutakhirkan
sekaligus memperbaiki pandangan teori Marxis khususnya tentang teori kelas
sosial. Ia mempertimbangkan bahwa beberapa orang dapat menjadi anggota lebih
dari satu kelas sosial pada waktu yang bersamaan.
Mereka menduduki apa yang
dinamakan lokasi kelas kontradiktif (contradictiory class location).Yang
dimaksud Wright adalah bahwa posisi orang dalam struktur kelas dapat
menghasilkan kepentingan yang kontradiktif. Sebagai contoh, seorang montir
mobil yang menjadi pemilik usaha dapat memberikan upah lebih besar kepada para
montirnya karena ia pernah merasakan kondisi pekerjaan mereka. Pada waktu yang
bersamaan, kepentingannya pada saat ini –untuk memperoleh laba dan tetap
kompetitif dengan bengkel reparasi lain—mendorongnya untuk menentang kenaikan
upah.
Karena lokasi kelas sosial tersebut
Wright memodifikasi model Marx dengan mengidentifikasikan empat kelas sosial
dalam struktur sosial,yaitu :
❶ kelas
kapitalis ; pemilik usaha yang mempekerjakan
banyak pekerja
❷ para
borjuis kecil ; pemilik usaha kecil
❸ para
manajer ; yang menjual tenaga mereka tetapi melaksanakan otoritas atas pekerja
lain
❹ para
pekerja ; yang semata-mata menjual tenaganya pada orang lain.
KONSEP KELAS MENENGAH WEBERIAN
Dalam tradisi Weberian,kelas
didefinisikan dalam bentuk posisi pasar yang berkaitan dengan hak kepemilikan,
kesejahteraan dan kesempatan-kesampatan hidup (life change) daripada sebagai
bentuk hubungan terhadap alat-alat produksi sebagaimana yang menjadi prinsip
utama teoritisi Marxis. Karenanya, kesejahteraan, pendapatan dan status menjadi
faktor-faktor yang penting di dalam struktur kelas.
Namun demikian, analisa
Weber tentang masyarakat tidak terlalu memperhatikan masalah konflik kelas,
meskipun ia mengakui arti pentingnya, tetapi teori Weberian lebih banyak
menyoroti tentang transformasi masyarakat dan otoritas politik dari sistem
tradisional, patrimonial, dan otoriter ke sistem yang modern, rasional dan
teratur secara legal. Dalam masyarakat yang baru ini, hubungan-hubungan
personal, politik dan ekonomi digantikan dengan hubungan berdasarkan kontrak, aturan
dan hukum.
Menurut Weber, transformasi
masyarakat tersebut membutuhkan suatu sistem politik dan otoritas birokratik
yang rasional dalam rangka memungkinkan terjadinya akumulasi modal. Akumulasi
modal digerakkan oleh penggunaan otoritas birokratik rasional, baik melalui
perubahan hambatan-hambatan feodal maupun melalui pembangunan infrastruktur
yang diperlukan seperti transportasi,komunikasi, pendidikan dan pelayanan
administratif.
Namun demikian, proses ini berkaitan erat dengan revolusi
nilai-nilai dan budaya. Dengan demikian, bagi Weber, munculnya
kelompok-kelompok sosial baru sebagai pembawa kebudayaan sekuler dan rasional
sangatlah penting, karena sekularisme dan rasionalisme merupakan prasyarat
perkembangan kapitalisme. Kelas menengah dalam konteks ini juga dicirikan
sebagai golongan sosial yang membawa modernitas dan juga demokrasi (Tanter
1996)
TEORI KELAS MENENGAH RALF DAHRENDORF
Ralf Dahrendorf merupakan salah
satu tokoh penganut teori konflik sosial modern yang mewarisi tradisi Marxian.
Walaupun demikian, Dahrendorf juga mengkritisi pendekatan Marxian yang dianggap
sudah tidak memadai untuk memberikan eksplanasi sosial terkait dengan
perkembangan masyarakat pasca industri kontemporer.
Teori Dahrendorf yang
membedakannya dengan teori Marx klasik adalah bahwa Dahrendorf menyatakan bahwa perkembangan kapitalisme
dari kapitalisme klasik menuju kapitalisme Lanjut, atau transformasi masyarakat
dari masyarakat industri menuju masyarakat pasca industri telah memunculkan
dinamika baru dalam masyarakat industri dan hubungan industrial.
Dinamika baru
tersebut adalah munculnya kelas sosial baru yang disebut kelas menengah (middle
class). Kelas menengah ini muncul akibat adanya perubahan pada struktur
permodalan dan struktur perburuhan. Istilah yang digunakan oleh Dahrendorf adalah
dekomposisi modal dan dekomposisi buruh.
Dekomposisi modal ditandai dengan
adanya pemisahan antara pemilik modal dan pengendali modal atau alat-alat
produksi. Para manajer perusahaan yang berfungsi mengendalikan modal adalah
kelas menengah baru yang memiliki otoritas atau kewenangan dalam mengorganisir
modal. Sedangkan dekomposisi buruh ditandai dengan berkembangnya spesialisasi
kerja yang mengakibatkan para buruh terdiferensiasi menjadi sejumlah bidang
pekerjaan yang berbeda.
TEORI KELAS MENENGAH NICOS POULANTZAZ
Poulantzas menyebut kelas menengah
dengan istilah borjuis kecil (petty bourgeoisie).Kelompok ini dianggap tidka
memiliki otonomi posisi kelas politis maupun ekonomis dalam jangka panjang.hal
ini berarti mereka dapat berperan untuk dan atas nama kelas borjuis maupun
kelas pekerja. Poulantzas sebenarnya juga memiliki kebombangan dlaam
memosisikan posisi kelompok borjuis kecil ini. Permasalahan teoritis yang
muncul ditandai oleh sejumlah pertanyaan kritis sebagai berikut;
- dimana posisi borjuis kecil
tersebut dalam determinasi kelas struktural ?
- apakah mereka memiliki ciri yang
menonjol sebagaimana kelas borjuis dan
kelas pekerja ?
- dan bagaimana posisi ideologis
kelompok borjuis kecil ?
- dapatkah borjuis kecil memiliki
otonomi posisi kelas tersendiri dalam jangka panjang ?
Borjuis kecil di satu sisi dapat dikategorikan
sebagai kelompok ’’bergaji” dalam kelas borjuis atau telah mengalami proses
borjuisasi, tetapi di sisi lain, kelompok borjuis ini juga dapat dikategorikan
sebagai bagian dari kelas pekerja yang “bergaji”.
Karena posisinya yang unik
inilah maka borjuis kecil ini dapat disebut sebagai penyangga dan mediator,
yakni yang menjembatani kelas borjuis dengan kelas pekerja, sekaligus berfungsi
sebagai faktor stabilisator masyarakat borjuis.
Kelas menengah di sini dilihat
sebagai “kelompok yang homogen” yang pada umumnya didefinisikan atas dasar
kriteria pendapatan, sikap mental dan motivasi psikologis.
Borjuis kecil dalam artian lama
terdiri dari para pedagang, pengusaha industri kecil, tukang yang bebas dan
sebagainya. Borjuis kecil dlaam artian lama tidak termasuk ke dalam pola
produksi kapitalis, tetapi lebih merupakan bentuk transisi dari pola produksi
feodal ke pola kapitalis. Borjuis kecil dalam artian lama secara ideologis
biasanya anti kapitalis.
Mereka takut jika terjadi transformasi sosial secara mendasar.
Mereka juga takut terjadi proletarisasi. Karena itu tuntutan mereka adlaah
‘kesempatan yang sama”, “persaingan yang sehat”, ‘anti monopoli” dan lain sebagainya.
Sedangkan borjuis kecil baru walaupun juga memiliki sikap anti kapitalis,
tetapi mereka lebih bersifat reformis. Biasanya mereka lebih berkepentingan
dalam soal “partisipasi”, yang karena
kekhawatirannya akan terjadinya proletarisasi, cenderung menginginkan “karir”,
“promosi”, “mobilitas vertikal” dan lain sebagainya.
REFERENSI :
-Eugene V.Schneider, Sosiologi
Industri,Jakarta ; Aksara Persada,1993
-Dawam Rahardjo (ed), Kapitalisme,
Dulu dan Sekarang, Jakarta : LP3ES,tanpa tahun
-Franz Magnis Suseno,Pemikiran Karl
Marx, Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme,Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama,1999
-James Henslin, Sosiologi dengan
Pendekatan Membumi,Jakarta : Erlangga,2007
-Kamanto Sunarto, Pengantar
Sosiologi,Jakarta : Lembaga Penerbit FEUI
-Mayor Polak, Sosiologi,Jakarta :
Ichtiar,1976
-Paul Horton, Sosiologi, Jakarta :
Erlangga, 1984
-Prisma, Kelas Menengah Indonesia ;
Apa Yang Baru ?, Jakarta : LP3ES, 2012
-Prisma, Kelas Menengah Baru :
Menggapai Harta dan Kuasa, Jakarta : LP3ES,1984
-Ralf Dahrendorf, Kelas dan Konflik
Kelas Dalam Masyarakat Industri,Jakarta : Rajawali
-Richard Tanter & Kenneth
Young, Politik Kelas Menengah Indonesia, Jakarta : LP3ES,1996
-Soegeng Sarjadi, Kaum Pinggiran
Kelas Menengah Quo Vadis ?, Jakarta : Gramedia,1994
-Yuswohady, 8 Wajah Kelas Menengah,
Jakarta : Gramedia,2015
Komentar
Posting Komentar