KELAS MENENGAH DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI


KELAS MENENGAH DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI

PENDAHULUAN

Pembangunan dan proses modernisasi yang dijalankan di negara-negara berkembang telah menimbulkan perubahan sosial yang besar. Masyarakat mengalami transformasi yang meliputi semua aspek kehidupan. 

Pembangunan dan modernisasi tersebut disatu sisi mengakibatkan sebagian anggota masyarakat berhasil mencapai taraf kehidupan yang lebih baik dan berkemampuan dalam memanfaatkan hasil-hasil pembangunan.Kelompok ini berhasil melakukan mobilitas sosial menuju stratifikasi sosial baru yang lebih tinggi dan mendapatkan identitas baru sebagai kelas menengah (middle class).

Sedangkan di sisi lain, proses pembangunan dan modernisasi tersebut telah mengakibatkan sebagian kelompok masyarakat gagal dalam memanfaatkan hasil-hasil pembangunan dan mereka justru kehilangan hak-hak mereka sebagai akibat pembangunan. Kelompok ini sering disebut sebagai massa peripheral. Baik kelompok kelas menengah maupun massa peripheral tersebut, keduanya menjadi fenomena yang hidup baik di pedesaan maupun perkotaan.

Kelompok kelas menengah baru (nouveaux riches) maupun massa peripheral (nouveaux pouvres) dapat dilihat sebagai satu dimensi dislokasi sosial (declasse), yaitu terlepasnya anggota masyarakat dari kelas sosial lama mereka sedangkan pada saat yang sama mereka belum terintegrasi  ke dalam kelas sosial yang baru.(Sarjadi,1994) 

Kedua kelompok ini sulit dilayani aspirasinya. Massa peripheral sebagai kelompok yang kehilangan hak-hak mereka menganggap sistem yang ada adalah tidak adil dan koruptif dan mereka potensial untuk dimobilisasi guna menuntut perubahan-perubahan radikal. Sedangkan kelas menengah baru, karena mobilitas sosial dan psikis mereka semakin meningkat maka termasuk kelompok yang sulit dilayani kemauannya dan mereka juga justru menjadi kelompok yang kritis.

Dalam stratifikasi sosial, kelas menengah adalah tingkat kedua dari kelas sosial yang ada.Tingkat pertama adalah kelas sosial atas yang menempati puncak piramida dari struktur sosial, sedangkan kelompok ketiga adalah kelompok kelas sosial bawah atau yang juga disebut sebagai massa peripheral.

Sedikitnya jumlah kelas menengah di negara-negara berkembang disinyalir sebagai salah satu faktor yang menjadi penyebab keterbelakangan dan kelambanan perekonomian di negara-negara tersebut. Di negara-negara berkembang jumlah golongan miskin masih sangat banyak dibandingkan dnegan golongan kelas menengah dan kelas atas. 

Karena jumlahnya masih relatif sedikit, dan tanpa dukungan ekonomi yang kuat, maka kelas menengah di negara-negara berkembang tidak dapat membentuk suatu lapisan yang tangguh untuk mengambil inisiatif terhadap gagasan-gagasan pembaruan dan perubahan sosial.

Sedangkan di negara-negara maju, hampir tidak ada golongan kelas sosial bawah atau miskin. Hal itu disebabkan hampir seluruh lapisan sosial bawah sudah ditarik ke atas dan masuk ke dalam lapisan kelas sosial menengah, sehingga peranan kelas menengah sangat besar dalam mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial, ekonomi dan politik di negara-negara maju itu.

Secara teoritikal, kelas atau golongan menengah merupakan stratum perantara yang menjembatani golongan bawah dengan golongan atas.Selain itu kelas menengah  juga merupakan stratum transisi, sebab melalui stratum ini pula warga masyarakat yang bersangkutan akan menemukan jalan yang akan membawanya kearah kemajuan posisi dan fungsi tertentu. Artinya, anggota stratum kelas menengah ini diharapkan memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan posisi serta fungsi yang melekat pada stratum yang dimaksud, yakni posisi dan fungsi yang berkaitan dengan keperantaraan maupun juga peralihan.

Secara historikal,golongan menengah ini belum pernah berperan sebagai suatu kenyataan fungsional.Bahkan dapat dipertanyakan , apakah stratum tersebut pernah eksplisit dalam kehadirannya? atau yang dianggap ada itu pada dasarnya tidak lain merupakan suatu golongan kelas menengah semu. Kelas menengah seringkali dianggap sebagai sambungan atau perpanjangan dari kelas sosial atas dalam struktur sosial, sebab mereka masih belum memiliki kesadaran sebagai kelas menengah, selain mereka memiliki gaya hidup yang serupa dengan kelas sosial atas.

Sebenarnya sebutan kelas menengah lebih  mempunyai konotasi sosial-politik daripada ekonomi. Secara teoritis, kelas menengah itu merupakan motor penggerak terhadap perubahan dan pembaruan, baik di lingkungan dekatnya, maupun di lingkungan sosial yang lebih luas.

Mereka diharapkan menjadi faktor yang mendinamisir menuju pertumbuhan sosial.Jikalau untuk mengukur kelas menengah hanya didasarkan atas indikator ekonomi, maka akan didapati jumlah kelas menengah akan sedikit sekali jumlahnya, oleh karena itu analisa mengenai keberadaan kelas menengah harus pula digunakan parameter-parameter non ekonomi, seperti parameter politik, sosial,konsumsi, budaya , dan gaya hidup.

Sebagai contoh, ada kelompok orang yang jika dilihat dari segi ekonominya belum dapat digolongkan sebagai kelas menengah, tetapi jika ditinjau dari kriteria sosial politik sudah dapat dikategorikan sebagai kelas menengah.

DEFINISI DAN SIFAT KELAS SOSIAL

Dalam bahasa popular, kelas menengah biasanya diartikan sebagai suatu kelas yang mencakup kelompok-kelompok sosial yang berkembang, yang dianggap berada di antara kelas buruh dan petani atau kelas sosial bawah, di satu pihak, dan kelas yang berkuasa atau kelas sosial atas, apakah itu feodal, atau kapitalis di pihak lain. Masyarakat kelas menengah dalam pandangan ini memiliki keterampilan, relatif kaya, dan memiliki nilai-nilai individualisme, materialisme, materialisme, sekularisme dan rasionalisme.

Terdapat sejumlah istilah yang seringkali diidentikkan dengan kelas menengah seperti “kelompok tengah” (middle group), dan “kelompok menengah” (intermediate group), yaitu sebuah kumpulan dinamis yang tumbuh dalam ruang di antara dua kelas yang terpolarisasi.

Kelas menengah tidak bersifat monolitik, tetapi bersifat heterogen, bahkan cukup terfragmentasi. Mereka tidak memiliki kesamaan tempat lahir ataupun basis ekonomi, dan karena itu tidak memiliki kesamaan kepentingan. Di satu sisi kelas menengah dapat bersifat revolusioner dan mendorong terjadinya perubahan sosial-politik dan ekonomi, tetapi di sisi lain mereka dapat juga menjadi kekuatan konservatif yang mendukung status quo dan menentang adanya perubahan. Yang jelas, kepentingan kelas menengah cenderung berorientasi kepada kepentingannya sendiri ketimbang mendukung kelas sosial atas maupun kelas sosial bawah.

Meningkatnya pembangunan ekonomi mengakibatkan jumlah kelas menengah semakin bertambah. Hal itu dapat dilihat dari adanya peningkatan konsumsi terhadap barang-barang dan jasa serta kebutuhan lainnya yang bersifat sekunder bahkan tersier. Macetnya jalan-jalan di sejumlah kota besar di Indonesia, penuh-sesaknya bandara di berbagai bandar udara di Indonesia merupakan bukti hadirnya kelas menengah dan konsumen yang memiliki daya konsumsi yang cukup tinggi.

Kelas menengah adalah kelompok masyarakat yang memiliki kualitas hidup (quality of life) yang lebih baik.Mereka menikmati pendidikan, kesehatan perubahan yang lebih baik dibandingkan kelas sosial bawah.

Kelas menengah merupakan fenomena sosial yang kompleks. Kelas menengah dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda, yaitu sisi sebagai konsumen dan sisi sebagai produsen. Sebagai konsumen, kelas menengah merupakan kelompok sosial yang memiliki tingkat konsumsi yang tinggi. 

Kemampuan konsumsi kelas menengah telah mengakibatkan adanya ‘demokrasi konsumsi’ (democratization of consumtion), dimana barang-barang dan jasa yang sebelumnya hanya mampu dibeli oleh kelas sosial atas kini telah mampu dikonsumsi oleh orang kebanyakan, seperti lemari es, Televisi, telepon seluler, kendaraan bermotor dan mobil sekalipun.Terdongkraknya daya beli konsumen kelas menengah juga menjadi penyebab munculnya fenomena ‘mass luxury’ di berbagai industri.

Barang-barang yang dahulunya termasuk dalam kategori barang mewah (superior) , tanpa terasa kini downgrade menjadi barang yang biasa-biasa saja. Berlibur ke Singapura misalnya, sekarang juga dapat dijangkau oleh kalangan kelas menengah.

Dari sisi produsen, kelas menengah juga telah mampu menciptakan produk dan layanan melalui inovasi nilai, yaitu mendongkrak manfaat (benefit) setinggi-tingginya sekaligus menurunkan biaya (cost) serendah mungkin.(Yuswohadi,2015)

Berdasarkan data statistik tahun 2012 terlihat bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia sudah mencapai hampir 130 juta penduduk. Dari jumlah tersebut, proporsi kelas menengah yang berada di Jawa dan luar Jawa berada tidak signifikan, sebagaimana yang tertera dalam tabel berikut :

wilayah
total
Berdasarkan pengeluaran
$ 2-4
$ 4-10
$ 10-20
Nasional
129.187.392
90.759.841
34.484.955
3.942.596
Jawa
73.820.751
51.862.334
19.705.524
2.252.893
Non Jawa
55.366.641
38.897.507
14.779.431
1.689.703
Susenas, 2012, dikutip dari Yuswohady,2015




Sedangkan diseluruh dunia, jumlah kelas menengah antara rentang tahun 2009-2030 dapat dilihat dari data berikut :


2009
2020
2030
Amerika Utara
18 %
10 %
7 %
Eropa
36 %
22 %
14 %
Amerika Tengah dan Selatan
10 %
8 %
6 %
Asia Pasifik
28 %
54 %
66 %
Afrika Sub Sahara
2 %
2 %
2 %
Timur Tengah dan Afrika Utara
6 %
5 %
5 %
dikutip dari Yuswohady,2015


Munculnya kelas menengah menurut Maslow dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lebih advance seperti status sosial, aktualisasi, narsis, bersosialisasi dan berkomunitas. Kebutuhan-kebutuhan ini muncul dikarenakan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat mendasar seperti pangan, sandang, papan, dan seks sudah dapat terpenuhi.

Dengan adanya pergeseran dari masyarakat industrial (industrial society) ke masyarakat berpengetahuan (knowledge society), maka nilai-nilaipun mengalami pergeseran. Di kalangan masyarakat berpengetahuan, kebutuhan untuk bertahan hidup sudah dianggap terpenuhi dengan sendirinya. Karena itu, nilai-nilai mereka mulai bergeser dengan menekankan pentingnya kesejahteraan subjektif (subjektif well-being), ekspresi diri (self-expression) dan kualitas hidup (quality of life) yang kian meningkat.Mereka mulai menekankan pentingnya perlindungan terhadap lingkungan, persamaan gender (gender equality), partisipasi dalam pengambilan keputusan ekonomi atau politik, juga kebebasan individu, toleransi dan kepercayaan (trust).

Karl Marx merupakan salah satu teoritikus sosial terkemuka yang banyak memberikan analisanya mengenai kelas-kelas sosial, tetapi Marx tidak secara jelas menggambarkan tentang kelas menengah. Marx memiliki kecenderungan untuk mengatakan bahwa dalam masyarakat industrial hanya ada dua kelas sosial yang bertentangan yaitu kelas borjuis sebagai pemilik alat-alat produksi dan kelas proletar. 

Tetapi setelah zaman Marx, masyarakat industrial berkembang menjadi lebih kompleks. Akibat perkembangan industri, muncul suatu kelas menengah baru yang terdiri atas pengusaha-pengusaha kecil yang membuka usaha kecil-kecilan seperti usaha bengkel reparasi dan yang sejenisnya. Selain itu, pertumbuhan kelas menengah juga disebabkan oleh berkembangnya perusahaan-perusahaan besar yang mendorong munculnya profesi-profesi baru dibidang administratif. 

Mereka itu sebenarnya juga merupakan kaum buruh yang menjual tenaga, tetapi mereka kurang mengidentifikasikan dirinya dengan kondisi sosial tersebut, dan lebih condong untuk menggolongkan diri sebagai kelas menengah. Selain itu juga terdapat kaum buruh terpelajar atau berpendidikan dan berpengalaman teknis (skilled labour) yang sering digaji dengan upah yang lebih tinggi dibandingkan pegawai-pegawai administratif. Oleh karena itu, sosiologi modern sering menggunakan istilah “kelas menengah baru” untuk semua golongan yang disebutkan di atas. (Polak, 1976)


Sebagaimana kelas sosial atas dan kelas sosial bawah, Kelas sosial menengah mempunyai subkultur tersendiri yang menyiapkan para anggota kelas sosialnya untuk memerankan fungsi-fungsi khusus dalam masyarakat. Para orangtua dari kelas sosial menengah berupaya untuk mendorong anak-anak mereka dengan memberikan harapan-harapan keberhasilan dan bayangan-bayangan yang menakutkan jika mereka jatuh ke dalam kelas sosial bawah.Jadi, diantara kelas sosial yang lain, kelas sosial menengahlah yang paling giat upayanya untuk “memperoleh kemajuan”. 

Orang kelas sosial atas tidak perlu “bekerja untuk hidup” atau berjuang untuk memperoleh status, walaupun demikian mereka mungkin merasa didesak untuk mempertegas status dan pendapatan mereka dengan cara mengamdikan diri pada salah satu bentuk pengabdian masyarakat dan berbagai kegiatan sosial.(Horton, 1990)

Dalam masyarakat yang sedang mengalami transformasi ekonomi, Kelas menengah sering juga disebut sebagai ” kelas sosial baru”. Kelas menengah dianggap sebagai kelas sosial baru karena mereka dipandang memiliki cara pandang dan gaya hidup tersendiri yang khas yang membedakan dengan kelas sosial lainnya. Keanggotaan kelas sosial baru tersebut terdiri atas para pejabat pemerintahan eselon menengah dan atas, serta orang-orang yang bekerja pada bidang komunikasi-staf kantor televisi dan radio, aktor dan aktris, wartawan, dosen dan ulama/pendeta.

Walaupun demikian, Horton membedakan antara kelas menengah dan kelas sosial baru. Horton menganggap kelas menengah baru tidak dapat disamakan dengan kelas menengah pada umumnya  karena mereka memiliki perilaku  yang berbeda dengan orang-orang lain yang berpenghasilan sama.Golongan kelas menengah baru tersebut memiliki perilaku sosial  dan oriantasi politik yang liberal. 

Sumber penghasilan mereka tidak berasal langsung dari keuntungan dunia usaha, dan latar belakang pendidikan mereka memungkinkan mereka berpandangan kritis terhadap keaompok pengusaha. Sepertinya kelas sosial baru berupaya menyaingi kelas pengusaha untuk memperoleh kekuasaan dan prestise




LATAR BELAKANG MUNCULNYA KELAS MENENGAH

terjadinya perubahan struktur sosial dari feodalisme ke Kapitalisme

terjadinya transformasi ekonomi dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri

berkembangnya Kapitalisme

meluasnya pendidikan

dikeluarkannya kebijakan deregulasi yang mendorong perdagangan bebas.Hal ini mengakibatkan iklim perekonomian menjadi dinamis dan membuka peluang-peluang baru dibidang ekonomi

berkembangnya demokratisasi dan keterbukaan politik

runtuhnya sistem feudal dan patronase

meningkatnya kesejahteraan masyarakat

terjadinya urbanisasi


UKURAN ATAU PARAMETER PENGKLASIFIKASIAN KELAS MENENGAH

Kriteria ekonomi : adanya dana tabungan sebanyak 30 % dari total pendapatan

Kriteria sosial : keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan

Kriteria konsumsi/gaya hidup : memiliki kemampuan konsumsi yang cukup tinggi

Kriteria pendidikan : mampu mengecap pendidikan menengah dan pendidikan tinggi


KLASIFIKASI KELAS MENENGAH

Kelas menengah bukan merupakan kelas sosial yang monolitis dan tunggal. Pembagian kelas sosial di dalam masyarakat menjadi kelas sosial atas,tengah dan bawah seringkali berbeda-beda tergantung pada sektor , jenis profesi, dan posisi kelas menengah tersebut. Perbedaan ini  juga terjadi pada kecakapan politik dan peran mereka dalam melakukan pembaruan sistem sosial.

Kamanto Sunarto, mengutip Warner  membagi kelas menengah berdasarkan kriteria berikut :

Kelas menengah atas (middle-upper class)

Kelas menengah tengah (middle-midle class)

Kelas menengah Bawah ( middle-lower class)

James M. Henslin dalam bukunya Sosiologi dengan Pendekatan Membumi membagi kelas menengah di Amerika Serikat menjadi dua kategori. Dalam kategori tersebut Henslin juga menyebutkan adanya kelas kapitalis sebagai kelas sosial atas dan kelas sosial bawah yang merupakan pengangguran atau pekerja paruh waktu atau mereka yang bergantung pada sistem jaminan sosial negara. Kelas menengah yang dimaksud adalah ;

kelas menengah  Atas

kelas menengah bawah

Selain itu terdapat dua kelas sosial lainnya yang tidak secara tegas dikategorikan sebagai bagian dari kelas sosial menengah atau bawah, yakni pekerja dan pekerja miskin.

Karateristik masing-masing kelas tersebut digambarkan melalui tabel tentang tangga kelas sosial di Amerika Serikat berikut :

Kelas sosial
Pendidikan
pekerjaan
Prosentase
Kapitalis
Universitas berprestise
investor
1 %
Menengah atas
Universitas
Professional,manajer tingkat atas
15 %
Menengah bawah
Sekolah menengah atas atau perguruan tinggi
Semiprofessional,manaje rtingkat bawah,pengrajin,mandor
34 %
Pekerja
Sekolah menengah atas
Pekerja pabrik,pekerja kantor,penjual eceran bergaji rendah
30 %
Pekerja miskin
Pernah bersekolah di sekolah menengah atas
Buruh,pekerja jasa,penjual bergaji rendah
16 %
Kelas bawah
Pernah bersekolah di sekolah menengah atas
Pengangguran, pekerja paruh waktu
4 %
Sumber ; diolah dari Henslin, 2007


Kelas menengah juga dapat dikategorkan berdasarkan lokalitas atau tempat tinggal sebagai berikut :

√ kelas menengah perkotaan seperti : kaum profesional, pegawai negeri, guru, dosen, pekerja kantoran dan tenaga administratif yang memiliki keterampilan teknis.

√ kelas menengah pedesaan : tuan tanah,petani menengah,wirasasta, padagang, pemilik toko

Sedangkan Yuswohady dan Kemal E.Gani membagi kelas menengah menjadi 8 wajah dengan karateristiknya masing-masing sebagai berikut :

Ekspert ; kebanyakan adalah kalangan profesional di berbagai bidang seperti dokter,arsitek,konsultan, pengacara  dan mereka ahli dibidangnya.Mereka menjadikan karir mereka sebagai bagian integral dari kehidupannya.

Climber ; mereka adalah para pegawai pabrik (bule collar), salesman, supervisor dan lain sebagainya, yang berusaha keras untuk menaikkan status ekonominya.

Aspirator ; mereka adalah performer yang sudah mapan dan cukup puas dengan kondisi ekonomi saat itu.

Performer ; mereka dalah kalangan profesional dan entrepreneur yang memiliki ambisi untuk membangun kompetisi diri.

Trend-setter ;  memiliki daya beli yang lebih tinggi dan ingin menjadi panutan dalam gaya hidup seperti fashion,gaya selebrity, gadget dan lain sebagainya.Mereka menemukan eksistensinya ketika mereka diikuti dan menjadi center of attention di lingkuangan sosialnya.

Follower ; umumnya kalangan muda (SMA dan Kuliah) yang membutuhkan panutan (role model) untuk menemukan dan menunjukkan eksistensinya.

Settler ; adalah follower yang sudah memiliki kemapanan hidup walaupun dengan tingkat pengetahuan yang terbatas. Karena itulah mereka cenderung memegang nilai-nilai tradisional dan fobia terhadap perkembangan informasi.

Flow-er ; adalah sosok yang tidak puas dengan tingkat kehidupan ekonominya saat itu, namun mereka tidak tahu harus bagaimana untuk mengubahnya Karena keterbatasan tingkat pengetahuan dan pendidikannya, mereka cenderung pasrah dan menjalani kehidupan yang mengalir (flow) di tengah perubahan kehidupan, baik kehidupan teknologi,informasi, sosial dan politik. (Yuswohady,2015)


KARATERISTIK KELAS MENENGAH

♦ memiliki sejumlah sikap seperti : pengakuan terhadap hak milik perseorangan,individualisme,persaingan bebas, mengakui rule of the law

♦ merupakan pelaku kegiatan ekonomi baik sebagai pedagang, pegawai, atau pengusaha

♦ memiliki pandangan politik yang otonom atau independen serta bersikap kritis dan memiliki kesadaran politik dan apolitik/tidak memiliki kesadaran politik

♦ memiliki kemandirian ekonomi dan merupakan kelompok pembayar pajak

♦ umumnya tinggal di daerah perkotaan dan memiliki akses yang baik di bidang informasi

♦ umumnya berada di luar pemerintahan

♦ memiliki gaya hidup modern

♦ kelas menengah memiliki ciri ;semakin aman secara material (materially more secure), semakin otonom secara intelektual (intelektually more autonomous) dan semakin independen secara sosial (socially independent) dalam menetapkan pilihan-pilihan hidupnya.

♦ kelas menengah bersikap terbuka (open mind) terhadap globalisasi dan mengadopsi nilai-nilai universal.

♦ Kelas menengah juga memiliki sikap altruistik, kritis, dan memiliki kepedulian terhadap permasalahan sosial yang ada.Hal itu dikarenakan  secara perekonomian mereka sudah merasa cukup sehingga orientasi hidup mereka tidak lagi selfish atau mementingkan diri mereka sendiri.

♦ kelas menengah cenderung memiliki jumlah anak yang relatif lebih sedikit dibandingkan kelompok masyarakat miskin, dan cukup besar porsi pendapatannya yang dialokaiskan untuk pendidikan anak.

♦kelas menangah juga memiliki akses ke layanan kesehatan secara lebih memadai dibandingkan kelas sosial bawah/miskin. Tidak mengherankan jika porsi pengeluaran kelas menengah untuk kesahatan meningkat tajam seiring dengan meningkatnya pendapatan.

♦ kelas menengah juga memiliki kebutuhan lebih terkait dengan beragam layanan keuangan seperti kartu kredit dan asuransi serta penggunaan uang elektronik (e-money).

♦ kelas menengah juga memiliki sifat  yang lebih berkeadaban dan berkebudayaan (civilized). Hal itu disebabkan naiknya tingkat pendidikan konsumen kelas menengah sehingga mendorong munculnya kesadaran sosial yang lebih tinggi. Kelas menengah lebih gandrung dengan film-film yang memiliki nilai budaya ketimbang film-film picisan.

♦ kelas menengah merupakan kelompok masyarakat yang paling signifikan dalam melakukan aktifitas berselancar dan berjejaring sosial dengan menggunakan media sosial.Hal ini disebabkan mereka memiliki daya beli yang memadai untuk membeli smartphone yang bisa menjalankan berbagai aplikasi media sosial tersebut.

♦kelas menengah memiliki kesadaran dan wawasan yang yang memadai untuk mengejar kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi mereka.

♦ karena kemampuannya dan pendidikannya serta ekspose pada pikiran dan pemikiran politik Barat, kelas menengah mampu menerjemahkan kepentingan ekonomi ke dalam sistem politik dan ideologi yang cocok dengan kepentingan tersebut.


KELAS MENENGAH DAN MOBILITAS SOSIAL

Dilihat dari latar belakangnya, kelas menengah awalnya memengah berasal dari kelas sosial bawah. Dalam masyarakat industrial, kelas sosial bawah adalah golongan buruh. Munculnya kelas menengah dalam konteks masyarakat industrial terjadi dikarenakan adanya perubahan dan perkembangan kapitalisme yang mendorong munculnya jenis-jenis pekerjaan baru yang tidak terjait langsung dengan proses produksi barang.

Pekerjaan baru tersebut terkait dengan keterampilan teknis dan pendidikan tertentu yang tidak dimiliki oleh golongan buruh. Pekerjaan baru tersebut antara lain  pekerja pegawai kantor. Sebagaimana golongan buruh, pegawai pekerja kantor ini tunduk kepada hubungan industrial dan sama-sama menjual tenaga kerja, pengetahuan atau keterampilan mereka kepada pemilik modal atau pemilik alat –alat produksi/pemilik perusahaan.

Dalam kasus ini pekerja yang merupakan pegawai kantor tersebut telah berhasil melakukan mobilitas sosial ke tingkat yang lebih tinggi dibandingkan golongan buruh biasa yang pekerjaannya sekedar memproduksi barang-barang.Tetapi, kenaikan kelas ini sebatas kenaikan dalam struktur status. 

Dengan mempunyai pekerjaan pegawai kantor, si individu berhak mengklaim prestise atau kehormatan/gengsi yang lebih baik dibandingkan golongan buruh biasa, tetapi dalam hal kelas sosial, mereka masih dapat dikatakan tidak terlalu berbeda dengan golongan buruh, karena mereka tidak memiliki dan menguasai alat-alat produksi.

CONTOH KELAS MENENGAH

→ pedagang/wiraswasta
→ pengusaha
→ petani-pengusaha
→ kelompok professional
→ pegawai negeri
→ birokrat
→ cendekiawan berpendidikan Barat
→ kalangan intelektual
→ pengusaha-pengusaha kecil
→ buruh terpelajar atau berpendidikan dan berpengalaman teknis (skilled labour)
→ pegawai-pegawai administratif

FUNGSI KELAS MENENGAH

merupakan kekuatan pendorong terjadinya perubahan sosial,ekonomi dan politik (merupakan agen perubahan sosial/agent of change)

mencegah terjadinya revolusi dan perjuangan kelas

merupakan kekuatan pembaharu (sebagai agen perubahan)

merupakan agen pembawa modernisasi dan demokratisasi

merupakan penggerak utama atau mendinamisasi sektor perekonomian dan politik

kelas menengah merupakan tulang punggung perekonomian di sebuah negara dikarenakan kekuatan konsumsinya.

sebagai sumber utama pendesak perubahan ekonomi,sosial,kultural dan politik

kelas menengah berfungsi sebagai penghubung antara negara dan masyarakat


TEORI KELAS MENENGAH FUNGSIONAL STRUKTURAL

Menurut Emile Durkhein sebagai peletak dasar teori struktural fungsional, kelas menengah muncul sebagai akibat dari terjadinya diferensiasi struktural yang mendorong terjadinya spesialisasi kerja. Dalam masyarakat yang mengalami transformasi berupa proses modernisasi dan industrialisasi, muncul golongan-golongan sosial baru dari berbagai profesi yang berbeda-beda.

Keberadaan kelas menengah menurut Talcott Parson dan Kingsley Davis mendorong terjadinya integrasi dan stabilitas masyarakat. Hal itu disebabkan kelas menengah fungsional bagi struktur sosial, artinya keberadaan kelas menengah memiliki fungsi-fungsi tertentu yang dapat memperkuat integrasi masyarakat. 

Misalnya keberadaan kelas menengah dapat menjadi kelas yang meminimalisir peluang terjadinya konflik antarkelas sosial yaitu antara kelas sosial atas dan kelas sosial bawah. Kelas menengah juga dapat menjadi kelas yang menjembatani kepentingan kelompok sosial atas dan kelas sosial bawah.

Menurut teori fungsional, kelas menengah juga dapat berfungsi mengisi peran-peran sosial yang tidak dapat dilakukan oleh kelas sosial lainnya, misalnya disektor pekerjaan profesional. Keberadaan kelas menengah dianggap bermanfaat bagi keseluruhan kelas sosial dan struktur sosial yang ada, karena kelas menengah mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak dapat dilakukan baik oleh kelas sosial atas maupun oleh kelas sosial bawah, seperti pekerjaan-pekerjaan di bidang administratif yang memiliki keterampilan khusus.


KELAS SOSIAL DAN TEORI MARXIS & NEO MARXIS

Teori kelas sosial Marx umumnya hanya melihat adanya dua kelas sosial yang memiliki posisi oposisional, yaitu kelas pemilik modal yang hidup dari laba atau keuntungan dan kelas buruh yang hidup dari upah. Memang ada kelas sosial lainnya yaitu tuan tanah yang hidup dari rente tanah, tetapi kelas tersebut berada di luar konteks masyarakat industrial yang menjadi pusat dari analisa kelas Karl Marx.

Kelas pemilik modal memiliki alat-alat produksi seperti mesin dan pabrik sednagkan kelas buruh melakukan pekerjaan, tetapi karena mereka sendiri tidak memiliki tempat dan sarana kerja, mereka terpaksa menjual tenaga kerja mereka kepada kelas pemilik itu. Dengan demikian hasil kerja dan kegiatan kerja bukan lagi milik para pekerja itu sendiri, melainkan milik para majikan. Kondisi itulah yang kemudian dikenal dengan nama alienasi.

Dalam sistem produksi kapitalis, dua kelas saling berhadapan, kelas buruh dan kelas pemilik modal.Keduanya saling membutuhkan  ; buruh hanya dapat bekerja apabila pemilik modal membuka lapangan kerja baginya. Dan majikan hanya bergantung dari pabrik-pabrik dan mesin-mesin yang dimilikinya apabila ada buruh yang mengerjakannya.

Tetapi salingketergantungan itu tidak seimbang. Buruh tidak dapat hidup  kalau ia tidak bekerja.Dan ia tidak dapat bekerja kecuali apabila diberi pekerjaan oleh seorang pemilik.Sebaliknya, meskipun si pemilik modal tidak memiliki pendapatan kalau pabriknya tidak berjalan, tetapi ia masih dapat bertahan lama. Ia dapat hidup dari modal yang dikumpulkannya selama pabriknya masih dapat bekerja ; ia dapat menjual pabriknya.(Suseno, 1999)


Teori Marxis berpandangan bahwa sejalan dengan makin matangnya kapitalisme, maka proses proletarianisasi makin meningkat, dimana makin banyak bagian dari golongan borjuasi menjadi menjadi kaum proletariat, karena terjadinya proses konsentrasi dan sentralisasi kapital.

Teori tentang timbulnya kelas menengah, membantah hal  tersebut dengan mendasarkan diri pada kenyataan empiris yang terjadi dalam masyarakat industrial maju.

Penyebaran kepemilikan saham, yang sebagian jatuh ke tangan lembaga asuransi, lembaga dana pensiun dan lembaga sosial ikut mempersulit pendefinisian kelas kapitalis yang berhadapan dengan kelas proletariat. Konsep pembagian secara marxis menurut kapital dan tenaga kerja menjadi sulit diterapkan.

Tradisi Marxis pada dasarnya berurusan dengan proses-proses produksi yang bagi mereka, diartikan sebagai hakekat dari hubungan-hubungan sosial dan politik. Karenanya, unit dasar dari analisa sosial, dan kelas diterjemahkan dalam arti suatu hubungan produktif.

 Marx, yang hidup di abad 19, menaruh perhatian kepada hancurnya feodalisme dan munculnya kelas kapitalis yang baru. Ia tidak pernah secara sistematis menggunakan istilah “kelas menengah” dan kelihatannya ini seringkali menunjuk pada borjuis kecil, yang merupakan satu elemen kelas kapitalis yang menurutnya, secara inheren bersifat reaksioner.


Ketika masyarakat kapitalis menjadi lebih kompleks, kelas penguasa/kelas kapitalis terbukti secara langsung semakin tidak mampu menjalankan kekuasaan politiknya atau mengelola usaha-usaha dan aktivitas-aktivitas ekonomi mereka, atau untuk mengatur apparatus ideologi masyarakat. Lambat laun pengelolaan sistem politik,ekonomi dan “supra struktur ideologi”, semakin diambilalih oleh munculnya kelas para ahli yang bergaji. Dengan berkembangnya kelas bergaji, manajer,pejabat,teknisi dan professional, maka muncullah persoalan teoritis bagi kalangan Marxis.

Kaum Marxis mengalami kesulitan dalam mengklasifikasi posisi ekonomi dan politik kelas menengah. Di satu sisi kalanagan Marxis menganggap kelas menengah termasuk ke dalam kategori kelas proletar. Dalam analisa dua kelas yang ketat, teori Marxisme klasik  membagi kelas atas dasar hubungannya dengan alat-alat produksi, sehingga dengan demikian, “kelas menengah” dapat dikategorikan ke dalam kelas proletariat, mengingat mereka tidak memiliki dan menguasai alat-alat produksi.

Sebagai bagian dari kelas proletar, kelas menengah melakukan oposisi terhadap kelas sosial atas atau kelompok borjuis yang memiliki modal dan alat-alat produksi.Analisa ini sekaligus menjelaskan potensi revolusioner dari kelas menengah.

Tetapi, sebagian kalangan Marxis lainnya justru menganggap kelas menengah termasuk ke dalam bagian dari kepentingan kelas atas atau kelas pemilik modal/kelas kapitalis dan sikap politik mereka cenderung konservatif dan berusaha mempertahankan status quo. Dalam konflik yang terjadi antara kelas atas/borjuis/pemilik modal dan kelas proletar, kelas menengah cenderung memihak kepada kelas yang pertama.(Tanter,1996)

Sudut pandang lain tentang kelas menengah disampaikan oleh Erik Wright. Wright mencoba untuk memutakhirkan sekaligus memperbaiki pandangan teori Marxis khususnya tentang teori kelas sosial. Ia mempertimbangkan bahwa beberapa orang dapat menjadi anggota lebih dari satu kelas sosial pada waktu yang bersamaan. 

Mereka menduduki apa yang dinamakan lokasi kelas kontradiktif (contradictiory class location).Yang dimaksud Wright adalah bahwa posisi orang dalam struktur kelas dapat menghasilkan kepentingan yang kontradiktif. Sebagai contoh, seorang montir mobil yang menjadi pemilik usaha dapat memberikan upah lebih besar kepada para montirnya karena ia pernah merasakan kondisi pekerjaan mereka. Pada waktu yang bersamaan, kepentingannya pada saat ini –untuk memperoleh laba dan tetap kompetitif dengan bengkel reparasi lain—mendorongnya untuk menentang kenaikan upah.

Karena lokasi kelas sosial tersebut Wright memodifikasi model Marx dengan mengidentifikasikan empat kelas sosial dalam struktur sosial,yaitu :

kelas kapitalis ; pemilik usaha yang mempekerjakan  banyak pekerja

para borjuis kecil ; pemilik usaha kecil

para manajer ; yang menjual tenaga mereka tetapi melaksanakan otoritas atas pekerja lain

para pekerja ; yang semata-mata menjual tenaganya pada orang lain.


KONSEP KELAS MENENGAH WEBERIAN

Dalam tradisi Weberian,kelas didefinisikan dalam bentuk posisi pasar yang berkaitan dengan hak kepemilikan, kesejahteraan dan kesempatan-kesampatan hidup (life change) daripada sebagai bentuk hubungan terhadap alat-alat produksi sebagaimana yang menjadi prinsip utama teoritisi Marxis. Karenanya, kesejahteraan, pendapatan dan status menjadi faktor-faktor yang penting di dalam struktur kelas. 

Namun demikian, analisa Weber tentang masyarakat tidak terlalu memperhatikan masalah konflik kelas, meskipun ia mengakui arti pentingnya, tetapi teori Weberian lebih banyak menyoroti tentang transformasi masyarakat dan otoritas politik dari sistem tradisional, patrimonial, dan otoriter ke sistem yang modern, rasional dan teratur secara legal. Dalam masyarakat yang baru ini, hubungan-hubungan personal, politik dan ekonomi digantikan dengan hubungan berdasarkan kontrak, aturan dan hukum.

Menurut Weber, transformasi masyarakat tersebut membutuhkan suatu sistem politik dan otoritas birokratik yang rasional dalam rangka memungkinkan terjadinya akumulasi modal. Akumulasi modal digerakkan oleh penggunaan otoritas birokratik rasional, baik melalui perubahan hambatan-hambatan feodal maupun melalui pembangunan infrastruktur yang diperlukan seperti transportasi,komunikasi, pendidikan dan pelayanan administratif. 

Namun demikian, proses ini berkaitan erat dengan revolusi nilai-nilai dan budaya. Dengan demikian, bagi Weber, munculnya kelompok-kelompok sosial baru sebagai pembawa kebudayaan sekuler dan rasional sangatlah penting, karena sekularisme dan rasionalisme merupakan prasyarat perkembangan kapitalisme. Kelas menengah dalam konteks ini juga dicirikan sebagai golongan sosial yang membawa modernitas dan juga demokrasi (Tanter 1996)


TEORI KELAS MENENGAH RALF DAHRENDORF

Ralf Dahrendorf merupakan salah satu tokoh penganut teori konflik sosial modern yang mewarisi tradisi Marxian. Walaupun demikian, Dahrendorf juga mengkritisi pendekatan Marxian yang dianggap sudah tidak memadai untuk memberikan eksplanasi sosial terkait dengan perkembangan masyarakat pasca industri kontemporer. 

Teori Dahrendorf yang membedakannya dengan teori Marx klasik adalah bahwa Dahrendorf  menyatakan bahwa perkembangan kapitalisme dari kapitalisme klasik menuju kapitalisme Lanjut, atau transformasi masyarakat dari masyarakat industri menuju masyarakat pasca industri telah memunculkan dinamika baru dalam masyarakat industri dan hubungan industrial.

 Dinamika baru tersebut adalah munculnya kelas sosial baru yang disebut kelas menengah (middle class). Kelas menengah ini muncul akibat adanya perubahan pada struktur permodalan dan struktur perburuhan. Istilah yang digunakan oleh Dahrendorf adalah dekomposisi modal dan dekomposisi buruh.

Dekomposisi modal ditandai dengan adanya pemisahan antara pemilik modal dan pengendali modal atau alat-alat produksi. Para manajer perusahaan yang berfungsi mengendalikan modal adalah kelas menengah baru yang memiliki otoritas atau kewenangan dalam mengorganisir modal. Sedangkan dekomposisi buruh ditandai dengan berkembangnya spesialisasi kerja yang mengakibatkan para buruh terdiferensiasi menjadi sejumlah bidang pekerjaan yang berbeda.      


TEORI KELAS MENENGAH NICOS POULANTZAZ

Poulantzas menyebut kelas menengah dengan istilah borjuis kecil (petty bourgeoisie).Kelompok ini dianggap tidka memiliki otonomi posisi kelas politis maupun ekonomis dalam jangka panjang.hal ini berarti mereka dapat berperan untuk dan atas nama kelas borjuis maupun kelas pekerja. Poulantzas sebenarnya juga memiliki kebombangan dlaam memosisikan posisi kelompok borjuis kecil ini. Permasalahan teoritis yang muncul ditandai oleh sejumlah pertanyaan kritis sebagai berikut;

- dimana posisi borjuis kecil tersebut dalam determinasi kelas struktural ? 

- apakah mereka memiliki ciri yang menonjol sebagaimana kelas borjuis dan   kelas pekerja ?

- dan bagaimana posisi ideologis kelompok borjuis kecil ?

- dapatkah borjuis kecil memiliki otonomi posisi kelas tersendiri dalam jangka panjang ?

 Borjuis kecil di satu sisi dapat dikategorikan sebagai kelompok ’’bergaji” dalam kelas borjuis atau telah mengalami proses borjuisasi, tetapi di sisi lain,  kelompok borjuis ini juga dapat dikategorikan sebagai bagian dari kelas pekerja yang “bergaji”.

Karena posisinya yang unik inilah maka borjuis kecil ini dapat disebut sebagai penyangga dan mediator, yakni yang menjembatani kelas borjuis dengan kelas pekerja, sekaligus berfungsi sebagai faktor stabilisator masyarakat borjuis. 

Kelas menengah di sini dilihat sebagai “kelompok yang homogen” yang pada umumnya didefinisikan atas dasar kriteria pendapatan, sikap mental dan motivasi psikologis.

Borjuis kecil dalam artian lama terdiri dari para pedagang, pengusaha industri kecil, tukang yang bebas dan sebagainya. Borjuis kecil dlaam artian lama tidak termasuk ke dalam pola produksi kapitalis, tetapi lebih merupakan bentuk transisi dari pola produksi feodal ke pola kapitalis. Borjuis kecil dalam artian lama secara ideologis biasanya anti kapitalis.

 Mereka takut jika terjadi transformasi sosial secara mendasar. Mereka juga takut terjadi proletarisasi. Karena itu tuntutan mereka adlaah ‘kesempatan yang sama”, “persaingan yang sehat”, ‘anti monopoli” dan lain sebagainya.

Sedangkan borjuis kecil baru  walaupun juga memiliki sikap anti kapitalis, tetapi mereka lebih bersifat reformis. Biasanya mereka lebih berkepentingan dalam soal “partisipasi”,  yang karena kekhawatirannya akan terjadinya proletarisasi, cenderung menginginkan “karir”, “promosi”, “mobilitas vertikal” dan lain sebagainya.

REFERENSI :

-Eugene V.Schneider, Sosiologi Industri,Jakarta ; Aksara Persada,1993

-Dawam Rahardjo (ed), Kapitalisme, Dulu dan Sekarang, Jakarta : LP3ES,tanpa tahun

-Franz Magnis Suseno,Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme,Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,1999

-James Henslin, Sosiologi dengan Pendekatan Membumi,Jakarta : Erlangga,2007

-Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi,Jakarta : Lembaga Penerbit FEUI

-Mayor Polak, Sosiologi,Jakarta : Ichtiar,1976

-Paul Horton, Sosiologi, Jakarta : Erlangga, 1984

-Prisma, Kelas Menengah Indonesia ; Apa Yang Baru ?, Jakarta : LP3ES, 2012

-Prisma, Kelas Menengah Baru : Menggapai Harta dan Kuasa, Jakarta : LP3ES,1984

-Ralf Dahrendorf, Kelas dan Konflik Kelas Dalam Masyarakat Industri,Jakarta : Rajawali

-Richard Tanter & Kenneth Young, Politik Kelas Menengah Indonesia, Jakarta : LP3ES,1996

-Soegeng Sarjadi, Kaum Pinggiran Kelas Menengah Quo Vadis ?, Jakarta : Gramedia,1994

-Yuswohady, 8 Wajah Kelas Menengah, Jakarta : Gramedia,2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN

STATUS OBJEKTIF DAN STATUS SUBJEKTIF

TAWURAN SEBAGAI SUATU GEJALA SOSIAL (ANALISIS SOSIOLOGIS KONFLIK SOSIAL DI PERKOTAAN)