PASANG SURUT POLITIK ALIRAN DI INDONESIA


PASANG SURUT POLITIK ALIRAN DI INDONESIA


LATAR BELAKANG

Politik aliran adalah gagasan yang ingin menjadikan politik dan partisipasi politik sebagai sarana dan instrumen untuk memperjuangkan aliran atau ideologi tertentu. Aliran yang dimaksud dapat berupa aliran keagamaan atau sektarianisme, aliran politik yang bersifat sekuler maupun yang bercorak sosio-kultural.

Menurut Ruth McVey, pengertian aliran adalah sebagai berikut :

Arus” atau “sungai” identifikasi ideologis-budaya, (yang) merupakan sebuah konsep penting dalam perpolitikan Indonesia dari 1945 sampai 1965. Istilah tersebut merujuk pada pembagian masyarakat Jawa, secara khusus menjadi kaum santri muslim yang taat dan kaum Jawa abangan, kelompok-kelompok yang dimobilisasi menurut partai politik serta organisasi massa di bawahnya. Organisasi-organisasi ini menyediakan lingkungan bagi aktifitas sosial para pengikutnya dan memisahkan mereka dari berbagai komunitas pesaing. Perbedaan yang menentukan aliran dari seseorang tidak didasarkan pada agama formal, Bahasa atau teritori melainkan lebih pada derajat ketaatan Islaminya, dan karenanya batas-batasnya ditetapkan berdasarkan adat dan afiliasi organisasi alih-alih pada berbagai penanda yang lebih tetap…’ (Ricklef, 2013)

Konsep aliran ini antara lain pernah dikemukakan oleh Clifford Geertz dalam studinya yang fenomenal   “Santri, Abangan, dan Priyayi”. Dalam kajiannya Geertz mengemukakan bahwa terdapat tiga aliran sosio-kultural di Jawa yang didasarkan atas perbedaan corak kebudayaan dan pandangan hidup. Secara garis besar konsepsi Geertz mengklasifikasikan perbedaan komunitas budaya/keagamaan di Jawa sebagai berikut :

santri
abangan
priyayi
Ketaatan pada ajaran Islam
Ritual selamatan,praktik pengobatan tradisional,kepercayaan terhadap makhluk halus
Menekankan aspek-aspek animistik
Dipengaruhi oleh kebudayaan mistik Hindu Budha dan kebudayaan Barat
aktivitas di pasar dan pedesaan

Kehidupan pedesaan
Merupakan kelompok elit “kerah putih”
kegiatan di sektor perdagangan sebagai pengusaha
petani
Bagian dari birokrasi pemerintahan
di perkotaan
Mendukung Masyumi dan NU
Mendukung PKI
Mendukung PNI

Selain itu konsep aliran juga pernah dianalisa oleh seorang Indonesianis, Herbert Feith. Penelitiannya berlatarbelakang dinamika politik di Indonesia era 1950-an yang ditandai oleh hingar-bingar politik dan instabilitas politik. Feith terutama mengkaji corak aliran dan orientasinya masing-masing sebagai berikut :
aliran
Partai politik
orientasi
Tradisionalisme Jawa
PIR Wongsonegoro
Revivalisme
Nasionalisme Radikal
PNI
Nasionalisme populis
Sosialisme Demokrat
PSI
intelektualisme
Agama
Masyumi & NU
Modernis & tradisionalis
Komunisme
PKI
internasionalisme

POLITIK ALIRAN PADA AWAL KEMERDEKAAN
Pada awal kemerdekaan politik aliran berkembang pesat. Hal ini disebabkan karena adanya kesinambungan politik aliran yang sudah berlangsung pada masa pergerakan nasional. Walaupun sempat terhambat perkembangannya pada masa Pendudukan Jepang, pasca proklamasi kemerdekaan, politik aliran kembali mewarnai perpolitikan di Indonesia. 

Salah satu latarbelakangnya adalah kebijakkan pemerintah mengeluarkan Maklumat tanggal 3 November 1945 yang memperbolehkan, bahkan menghimbau rakyat untuk mendirikan partai-partai politik sesuai dengan alirannya masing-masing. Dampak kebijakkan tersebut adalah munculnya banyak partai politik yang memiliki aliran yang beraneka ragam seperti aliran keagamaan (Masyumi), Nasionalisme (PNI), Sosialisme (PSI) dan Komunis (PKI,Murba,Partai Rakyat Djelata).

Partai-partai dengan aliran yang berbeda-beda ini kemudian secara aktif berupaya mendapatkan pengaruh dikalangan rakyat dan mendapatkan akses kepada kekuasaan termasuk berupaya membentuk lasykar-lasykar bersenjata.
Dalam konteks konsep aliran yang dikemukakan oleh Geertz, Revolusi Nasional dan Revolusi Sosial memang telah banyak mengikis dan merubah aliran politik-kebudayaan yang ada. Revolusi telah memudarkan sistem nilai priyayi dan makin melemahkan golongan tersebut.

Kepemimpinan politik pada masa revolusi telah dipegang oleh kalangan massa. Revolusi sosial yang terjadi di beberapa tempat seperti di Tegal, Pemalang, dan Brebes serta Surakarta telah makin melemahkan kedudukan golongan priyayi.

Revolusi telah mengakibtakan pudarnya garis demarkasi sosial yang selama ini mengkotak-kotakkan dan memisahkan kehidupan sosial kelompok santri, abangan dan priyayi. Dampaknya adalah ketiga golongan sosial tersebut mengalami peningkatan proses interaksi timbal balik.

Sebagai akibatnya adalah terbentuknya identitas ganda dan pertukaran identitas dan simbol budaya diantara ketiga golongan tersebut. Seorang santri yang berkedudukan tinggi sering memiliki lebih banyak persamaan dengan seorang priyayi daripada dengan seorang santri yang berkedudukan rendah. Seorang abangan yang sukses dalam usahanya , dalam tingkat tertentu seringkali memandang sebuah persoalan dari sudut pandang seorang santri, sekalipun ia tidak melakukan sembahyang. (Abdullah,1987)

Masa Revolusi juga ditandai oleh adanya kekerasan Abangan dan Santri. Peristiwa Pemberontakan PKI tahun 1948 adalah tahun yang krusial dalam menegaskan ketagangan antara kaum kiri versus Islam-dengan kata lain abangan versus santri yang kemudian mencapai tingkatan yang lebih tinggi dan ditandai oleh pertumpahan darah. Peristiwa ini juga menandai berakhirnya episode kerjasama di antara kedua golongan yang sempat terlihat dalam beberapa kesempatan di awal masa revolusi.(Ricklef,2013) 

Dalam pemberontakan di Madiun, PKI menyerbu pesantren-pesantren dan membunuh banyak kaum muda muslim dan kiai yang militan. Bukan saja kalangan Masyumi yang menjadi korban, sejumlah tokoh PNI dari kalangan pamong praja juga dibunuh oleh PKI dalam peristiwa tersebut.

Warisan dari peristiwa Madiun adalah terbangunnya antipati santri-abangan yang pada waktu selanjutnya makin dipertegas dan dipupuk oleh persaingan partai politik. Peristiwa Madiun mengakibatkan gagasan tentang persatuan dan kerjasama antara Islam dan Komunisme yang pernah di lakukan pada era 1920-an dalam pemberontakan di Banten dan Silungkang menjadi sesuatu yang tidak mungkin dapat diulang lagi. Peristiwa tersebut mengakibatkan partai-partai yang beraliran Islam dan merepresentasikan konstituensi santri tampil berhadap-hadapan dengan PKI dan konstituensi abangannya.

POLITIK ALIRAN PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL

Periode parlementer dari 1950-1959 ditandai oleh semakin berkembangnya identifikasi komunal sebagai landasan politik. Posisi abangan direpresentasikan terutama oleh Partai Nasional Indonesia (PNI), yang mencerminkan nilai-nilai priyayi bangsawan dari kaum abangan elite yang konservatif, sementara daya tarik PKI yang komunis sebagai partainya masyarakat kelas bawah terus menggerus basis petani dan buruh PNI.
Kaum santri terbelah antara Masyumi, yang modernis…dan Nahdlatul Ulama (NU), yang merepresentasikan masyarakat pedesaan Jawa yang saleh. …

Diantara kaum Jawa abangan, kemandekan politik dan kemiskinan ekonomis mengakibatkan semakin tumbuh suburnya paham komunis. Masa Demokrasi Liberal juga ditandai oleh meradangnya relasi santri-abangan dan membuat PKI dan (hingga kadar yang lebih kecil, PNI tumbuh menjadi lawan yang kuat bagi proyek Islamisasi yang dijalankan pihak santri. PKI pada masa tersebut menjadi representasi politik anti-santri yang paling penting. (Ricklef, 2013)

Pada masa Demokrasi Liberal, kebebasan berpolitik yang sebelumnya sudah berkembang semakin menyuburkan perkembangan politik aliran dan secara otomatis juga semakin memperkuat fragmentasi dan persaingan politik antarpartai dengan alirannya masing-masing.Hal itu disebabkan karena ancaman dari luar sudah relatif berhasil diatasi.

Hengkangnya Belanda dari wilayah Indonesia kecuali Papua Barat pasca Konferensi Meja Bundar tahun 1949 mengakibatkan kontestasi politik semakin menajam. Masing-masing partai berupaya mengerahkan segala kemampuan mereka untuk memenangkan pemilihan umum yang digelar pada tahun 1955.
Berkembangnya politik aliran ini dituding menjadi salah satu sebab utama ketidakstabilan politik dan ekonomi pada masa Demokrasi Liberal. 

Perbedaan aliran dan ideologi antar partai mengakibatkan sulitnya mencapai konsensus antarkekuatan politik dan partai politik yang ada. Kehidupan dan dinamika politik pada masa Demokrasi Liberal lebih ditentukan oleh keseimbangan kekuatan antarpartai politik yang ada sebagai kelompok kepentingan dan kelompok penekan (pressure group)

Seringkali jatuhnya sebuah pemerintahan lebih karena tidak kokohnya koalisi pemerintahan yang ada sehingga dapat dengan mudah dijatuhkan oleh partai oposisi. Contohnya, Kabiner Nasir yang jatuh karena tidak diakomodirnya PNI sebagai kekuatan politik kalangan nasionalis/ kebangsaan yang memiliki suara cukup signifikan di dalam parlemen.

Selain itu jatuhnya kabinet Natsir juga disebabkan oleh makin menguatnya fragmentasi aliran politik di kubu Masyumi antara aliran Islam modernis yang menguasai jajaran pimpinan Masyumi dan aliran keislaman konservatif yang diwakili oleh NU. Puncak ketegangan aliran kedua aliran keislaman ini adalah ketika NU memutuskan keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik yang independen pada tahun 1953.

Contoh lainnya adalah kabinet Wilopo. Kabinet Wilopo terbentuk setelah jatuhnya kabinet Sukiman akibat skandal kesepakatan Mutual Security Act antara Indonesia dan Amerika Serikat. Wilopo merupakan politisi PNI yang beraliran liberal. Kubu ini bersedia bekerjasama dengan PSI dan Masyumi kelompok Natsir tetapi ditentang oleh kelompok radikal PNI pimpinan Ali Sastroamijoyo yang cenderung dekat dengan PKI. Kabinet Wilopo jatuh akibat mosi mengenai Paristiwa Tnajung Morawa dari Sidik Kertapati yang berasal dari organisasi SAKTI, yang berafiliasi dengan PKI.

Kementerian Penerangan Republik Indonesia pada tahun 1951 mengeluarkan buku Kepartaian Indonesia yang membuat pengklasifikasian partai politik berdasarkan aliran sebagai berikut :

DASAR ALIRAN/IDEOLOGI
PARTAI POLITIK
DASAR KEAGAMAAN
Masyumi
PSII
Perti
Parkindo
Partai Katolik
DASAR KEBANGSAAN/NASIONALISME
PNI
PIR
Parindra
Partai Rakyat Indonesia (PRI)
Partai Demokrasi Rakyat (Banteng)
Partai Rakyat Nasional (PRN)
Partai Wanita Rakyat (PWR)
Partai Kebangsaan Indonesia (Parki)
Partai Kedaulatan Rakyat (PKR)
Serikat Kerakyatan Indonesai (SKI)
Ikatan Nasional Indonesia (INI)
Partai Rakyat Jelata (PRJ)
Partai Tani Indonesia (PTI)
Wanita Demokrat Indonesia (WDI)
DASAR MARXISME
PKI
PSI
Partai Murba
Partai Buruh
Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai)
DAN LAIN-LAIN
Partai Demokrat Tionghoa Indonesia
Partai Indo Nasional
Rusli Karim,1983


Sedangkan Alfian mengelompokkan partai politik sesuai dengan aliran atau ideologinya sebagai berikut :

ALIRAN/IDEOLOGI
PARTAI POLITIK
Aliran Nasionalis
PNI
PRN
PIR Hazairin
Parindra
Partai Buruh
SKI
PIR Wongsonegoro
Partai Islam
Masyumi
NU
PSII
Perti
Aliran Komunis
PKI
SOBSI
BTI
Aliran Sosialis
PSI
GTI
Aliran Kristen
Partai Katolik
Parkindo
Rusli Karim,1983

Masa Demokrasi Liberal khususnya pasca Pemilihan Umum tahun 1955 merupakan puncak dari politik aliran di Indonesia. Dala siding-sidang Konstituante ketika merumuskan dasar negara bagi konstitusi baru terjadi perdebatan terbuka dari sejumlah kekuatan politik .

Perdebatan tersebut menyangkut tentang apakah yang akan menjadi dasar bagi Undang-Undang Dasar yang baru tersebut. Kalangan partai politik Islam jelas-jelas menginginkan agar dasar negara tersebut adalah Islam, sedangkan PNI menghendaki Pancasila dan PKI menghendaki Sosio-Demokrasi.

Salah satu tokoh dari kalangan Islam yang terkenal radikal, yaitu K.H.Isa Anshari bahkan menuding kelompok-kelompok yang menolak Islam sebagai dasar negara adalah termasuk golongan zindig, yaitu mereka yang mengaku Islam tapi menolak ajaran dan hukum Islam.

“…Bagi saya saudara ketua, jiikalau saya mendengar seorang Kristen atau Komunis menolak Islam dijadikan dasar negara adalah logis dan masuk akal, sesuai dengan keyakinan dan pandangan hidupnya. Sikap yang demikian itu adalah wajar. Akan tetapi, adalah tidak masuk akal, tidak logis jikalau ada orang yang mengaku Islam,tapi menolak hukum dan ajaran Islam….’

“…Hidup yang demikian itu, hanyalah kita temui pada golongan atau kaum zindig, yang mengaku Islam, tapi menolak ajaran dan hukum Islam”.

Isa Anshari bahkan juga secara tegas menolak Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dengan alasan Pancasila menurut tafsiran Sukarno tidak dapat disinonimkan dengan ajaran dan doktrin agama Islam. Lebih lanjut Isa Ansari menyatakan :

“…Saudara ketua,kami dari fraksi-fraksi Islam menentang dan menolak paham Ketuhanan dalam Pancasila yang tafsirnya demikian itu.Kami menolak dan menentang Pancasila dijadikan dasar negara.Kami menolak karena bertentangan dengan pandangan dan keyakinan Islam, tidak menggambarkan Aqidah Islamiyah, yang menjadi dasar dan keyakinan kami”.

Selanjutnya dikatakan bahwa :

“…Yah saudara ketua,perjuangan melaksanakan ajaran dan hukum Islam supaya dijadikan Dasar dan Ideologi Negara bukan saja perjuangan kami dari partai dan fraksi Islam semata-mata, tapi adalah perjuangan dan kepentingan seluruh anggota yang mengaku beragama Islam dalam Konstituante ini, yang walaupun terpecah dan atau memasuki partai-partai bukan Islam”.(Yusran,2001)

POLITIK ALIRAN PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN

Pada masa Demokrasi Terpimpin, pemerintahan Sukarno berupaya membatasi aliran politik di indonesia menjadi tiga kelompok saja, yaitu aliran Nasionalisme, Agama, dan Komunisme, yang kemudian lebih dikenal dengan nama NASAKOM. Aliran-aliran tersebut ditandai dengan adanya tiga partai politik utama yang menjadi tulang punggung sistem Demokrasi Liberal, yaitu PNI mewakili aliran Nasionalisme, Nahdlatul Ulama merepresantasikan golongan agama, sedangkan PKI mewakili unsur Komunisme. 

Dengan adanya konstelasi ini maka sebagai konsekuensinya adalah setiap organisasi politik dan organisasi massa yang ada harus menginduk kepada salah satu dari tiga aliran politik tersebut. Pengelompokkan organisasi politik dan organisasi massa berdasarkan tiga aliran tersebut dapat dilihat dari keterangan berikut :


aliran
Partai politik utama
Organisasi afiliasi
Nasionalis
PNI
Lembaga Kesenian Nasional
Agama
NU
Sarbumusi,Ansor,Fatayat
komunis
PKI
Gerwani,Lekra,SOBSI,BTI

Sebagai konsekuensinya maka organisasi dan partai politik yang tidak dapat bergabung ke dalam tiga aliran tersebut maka keberadaannya tidak diakui bahkan dilarang, seperti contoh berikut :

Masyumi dibubarkan pada tahun 1960 dengan alasan merintangi revolusi Indonesia dan tokoh-tokohnya dituduh terlibat dalam Peristiwa PRRI/Permesta

Partai Sosialis Indonesia dibubarkan dengan alasan yang sama

Partai Murba dilarang, walaupun sebagian tokohnya diakomodasi ke dalam pemerintahan seperti Chairul Saleh

Badan Pendukung Sukarnoisme, yang merupakan organisasi yang diusung oleh kelompok sosialis dilarang oleh pemerintah.Presiden Sukarno menuding Badan Pendukung Sukarnoisme merupakan organisasi yang bertujuan menjatuhkan Sukarno (To Kill Sukarno with Sukarnoism)

Presiden Sukarno melarang gagasan Nasionalisme, Agama dan Sosialisme yang bertujuan melindungi Presiden Sukarno dari pengaruh PKI.

Walaupun Presiden Sukarno berusaha menyatukan ketiga aliran politik yang ada melalui konsep Nasakomnya, namun hal tersebut tetap tidak meredakan konflik, terutama antara NU yang menjadi satu-satunya representasi kalangan santri yang terpenting setelah Masyumi dibubarkan dan PKI yang merupakan manifestasi dari saluran politik golongan abangan.

 Puncak pertikaian santri-abangan tersebut terjadi ketika PKI berupaya melancarkan Aksi Sepihak untuk menumpas ‘setan-setan desa’ yang sebenarnya ditujukan kepada tuan-tuan tanah yang banyak berafiliasi ke NU.
Ketika G30S mengalami kegagalan, ketegangan dan konflik santri dan abangan yang selama ini terpendam kemudian meledak menjadi peperangan terbuka. Di banyak tempat di pulau Jawa, kekerasan berdarah santri-abangan telah banyak menimbulkan korban jiwa.

Bagi kaum santri, membunuh kader-kader PKI bukan saja diperbolehkan akan tetapi bahkan merupakan sebuah kewajiban agama, karena para anggota PKI tersebut memiliki paham ateisme yang menolak keberadaan Tuhan. Penumpasan PKI di Jawa Tengah dan Timur dalam kurun waktu 1965-1967 dianggap sebagai Perang Jihad karena kaum komunis dianggap sebagai golongan penghianat yang murtad.

POLITIK ALIRAN PADA MASA ORDE BARU

Sejak kegagalan G30S tahun 1965, aliran Komunisme umumnya menghilang dari kancah perpolitikan di Indonesia. Pemerintah Orde Baru melarang dengan tegas eksistensi aliran Komunisme dengan segala 
manifestasinya.Pemerintahan Orde Baru terus dibayangi oleh trauma kebangkitan komunisme sehingga selalu mengutarakan pandangan tentang bahaya laten Komunisme untuk melegitimasi tindakan represifnya terhadap kalangan masyarakat sipil.

Sedangkan aliran Nasionalisme radikal juga telah surut masa kejayaannya. Mundurnya aliran Nasionalisme radikal disebabkan sebagian pemimpinnya dituding dekat dengan PKI dan selalu menggunakan retorika revolusioner sebagaimana PKI.

Aliran nasionalisme radikal juga surut pasca tahun 1965 karena pemerintahan Orde Baru memiliki konsep pembangunan yang lebih menekankan pada stabilitas ekonomi-politik dan menjalankan politik luar negeri “Bertetangga Dengan Baik” dengan negara-negara di dunia khususnya negara taetangga di kawasan Asia Tenggara.

Hal ini menyebabkan program populisme yang selama ini diusung oleh golongan nasionalisme radikal dianggap tidak sesuai dengan visi pembangunan Orde Baru. PNI memang masih diberi hak hidup oleh pemerintah Orde Baru tetapi sudah sedemikian terkooptasi dan diharuskan beradaptasi dengan iklim politik yang baru.

Adapun aliran Keagamaan khususnya Islam berhasil mendapat tempat dalam struktur politik Orde Baru. Hanya saja pemerintah Orde Baru memaksa aliran keislaman harus menyesuaikan diri dengan keinginan pemerintah. Pemerintah Orde Baru menentang dipulihkannya Masyumi dan melarang tokoh-tokohnya untuk tampil dalam politik nasional.

Pemerintah Orde Baru juga melarang aspirasi tentang Piagam Jakarta dan menganggap hal tersebut sebagai subversif sebagaimana halnya dengan gagasan perjuangan kelas dari PKI. Hal ini mengakibatkan munculnya fenomena baru dalam khazanah pemikiran keislaman yang ditandai dengan adanya aliran Neo-Reformisme dengan tokoh sentralnya Nurcholis Madjid.
Gagasan Neo Reformis Nurcholis bukanlah merupakan kelanjutan dari gagasan modernisme dan reformasi yang sebelumnya diusung oleh Masyumi. Nurcholis berupaya menghindarkan Ummat Islam dari konfrontasi dengan pemerintah Orde Baru. 

Oleh karena itu ia menolak gagasan negara Islam, yang selama ini merupakan sentral dari perjuangan Masyumi di era 1950-an.
Ia juga berupaya menitikberatkan perjuangan Islam melalui pembaruan keagamaan dan etika serta membuka diri terhadap kerjasama dengan kelompok-kelompok masyarakat di luar ummat Islam. Dengan menempatkan diri sebagai reformis dan modernis gaya baru, Ia menentang pemisahan yang tegas yang dibuat oleh kaum reformis sebelumnya yang menjauhi kaum Jawa abangan, kaum mistik sufi, kaum intelek sekuler dan kaum Kristen. (Feith, 1988)

Berkembangnya aliran dan kelompok Neo Reformis yang menolak gagasan tentang Negara Islam dan formalisme Islam, serta lebih menonjolkan aspek saintifisme dan substansi Islam antara lain disebabkan karena pasca ditumpasnya G30S/PKI, tidak ada lagi ancaman nyata Komunisme yang harus diimbangi dengan gagasan dan konsepsi Negara Islam. 

Dalam hal ini Islam telah berubah dan bermetamorfosa dari ideologi menjadi ilmu. Islam sebagai ilmu menganggap bahwa yang paling penting adalah sistem, dan bukan negara. Negara dianggap hanya merupakan satu aspek dari sistem. Sehingga perjuangan Islam tidak hanya bergantung pada parlemen, manun dapat lebih luas lagi.(Kuntowijoyo,1994)

Tentang aliran tradisionalisme Jawa dan Sosialisme Demokratis, dapatlah dikatakan bahwa keduanya masih terus memiliki peran dalam masa Orde Baru, tetapi keduanya telah banyak mengalami modifikasi. Walapun PSI tidak dipulihkan pada masa Orde Baru, tetapi banyak tokoh dari eks partai ini yang kemudian bergabung ke dalam pemerintahan sebagai teknokrat dan ekonom. Salah satu yang paling terkemuka adalah Sumitro Djoyohadikusumo yang menjadi salah satu ekonom utama pemerintahan Orde Baru.

Salah satu paradigma pembangunan politik pada pemerintahan Orde Baru adalah berupaya menciptakan kestabilan politik dalam negeri. Oleh karena itu pemerintah Orde Baru berupaya menghapuskan politik aliran. Hal itu disebabkan Presiden Soeharto menganggap politik aliran sebagai salah satu sumber dan potensi munculnya ketidakstabilan politik.

Gagalnya pemerintahan masa Demokrasi Liberal dan jatuhnya pemerintahan Orde Lama menurut Soeharto disebabkan karena politik dan pemerintahan di Indonesia terlalu diwarnai oleh adanya politik aliran. Salah satu bentuk kebijakkan Soeharto untuk menghapus politik aliran adalah dengan mencanangkan Asas Tunggal Pancasila pada tanggal 19 Februari 1985 yang ditetapkan melalui Undang-Undang No.3/1985.

 Kebijakkan tersebut mengharuskan setiap partai politik, organisasi politik dan organisasi massa yang ada untuk menggunakan asas Pancasila. Kebijakkan tersebut kemudian diikuti dengan serangkaian peraturan untuk membuat sebuah tafsir tunggal atas Pancasila melalui penataran P4 dan indoktrinasi lainnya seperti melalui pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang diajarkan mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan menengah atas.
Pemberlakuan Asas Tunggal ini dilatar belakang oleh beberapa hal sebagai berikut :

masih adanya “Bahaya Laten Komunisme” yang melakukan gerakan melalui Organisasi Tanpa Bentuk (OTB)

Masih adanya aspirasi mengenai Piagam Jakarta

Pemerintah Orde Baru menyadari bahwa agama selain memiliki peranan integratif yang menimbulkan harmoni dalam masyarakat, dapat juga memiliki potensi disintegratif yang memecah belah masyarakat

kemenangan Partai Persatuan Pembangunan dalam pemilihan umum di Jakarta dan Aceh tahun 1977

Munculnya Peristiwa Komando Jihad seperti Peristiwa Pembajakan Pesawat Woyla tahun 1981 dan teror Warman tahun 1982

Terjadinya Insiden Peristiwa Lapangan Banteng tahun 1982 ketika sejumlah massa pendukung PPP bentrok dengan massa pendukung Golkar di Lapangan Banteng menjelang Pemilihan Umum tahun 1982

Kebijakkan Asas Tunggal tersebut bertujuan selain untuk mengendalikan kekuatan-kekuatan politik yang ada juga bertujuan untuk mengeliminasi perbedaan-perbedaan dalam kekuatan-kekuatan sosial politik itu sendiri.
Dengan adanya asas tunggal Pancasila yang berlaku bagi semua partai politik (PPP dan PDI) maka simbol-simbol keagamaan (Islam,Katolikisme, Protestanisme) dan simbol sekuler seperti Marhaenisme yang selama ini digunakan akan terhapus dari tubuh partai dan dengan sendirinya proses memudarnya hubungan antara partai dengan masyarakat akan berlangsung cepat, karena simbol-simbol itulah yang selama ini menjadi penghubung antara rakyat dan partai politik. (Fachry Ali, 1984)

Selain itu menurut Eep Saefulloh Fattah pemberlakuan Asas Tunggal memiliki beberapa tujuan lainnya, diantaranya ;

♦ pemerintah berupaya menempatkan Islam sebagai  ‘musuh’ negara dengan mempertentangkan antara Islam dan Pancasila. Pemberlakuan Asas Tunggal tidak pelak mengakibatkan munculnya tafsir bahwa yang menggunakan asas selain Pancasila berarti bertentangan dengan kehendak negara, dan Islam dipersepsikan sebagai sebuah ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.

♦ mengeliminasi Islam sebagai musuh potensial Orde Baru yang masih tersisa

♦ melemahkan peran partai politik (PPP dan PDI) dengan membatasi peran partai politik dari pelbagai kelompok kekuatan yang pluralistik yang melegitimasikan gerakan yang  berdasarkan pluralitas ideologis.

♦ melakukan mobilisasi ke arah ideologi “pembangunan ekonomi, stabilitas politik dan negara integralistik” (Fatah,2010)

Dampak dari kebijakkan Asas Tunggal tersebut adalah tereliminasinya peran ideologi terutama Islam dalam kehidupan perpolitikan di Indonesia terutama dalam kaitannya dengan politik elektoral. Selain itu penetapan Asas Tunggal juga berdampak kemenangan Golongan Karya dalam pemilihan umum tahun 1987.

Sebaliknya, PPP mengalami dilema dlaam beradaptasi dengan kebijakkan pemerintah tersebut. Terjadinya metamorphosis PPP menajdi partai politik yang terbuka dengan melepaskan panji-panji dan lekatan ideologis Islam dari tubuhnya telah menyebabkan PPP mengalami krisis identitas diri yang sangat serius. Krisis identitas ini telah menyebabkan satu kesulitan yang serius pula bagi PPP untuk melakukan aktualisasi dirinya sebagai representasi masyarakat mayoritas yaitu Islam. (Fatah,2010)

Akan tetapi, pada dasawarsa 1990-an awal, Presiden Soeharto terlihat berupaya mengaktifkan kembali politik aliran ini dengan merestui berdirinya organisasi cendekiawan muslim, ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Organisasi ini mengumpulkan sejumlah tokoh akademisi dan cendekiawan muslim ke dalam satu wadah.

Tujuan kebijakkan ini adalah agar pemerintah dapat dengan mudah mengawasi dan mengooptasi tokoh-tokoh muslim yang selama ini potensial menjadi oposisi bagi pemerintah Orde Baru. ICMI merupakan wujud politik aliran karena dengan berdirinya ICMI maka kalangan cendekiawan dan masyarakat akan terkotak-kotak berdasarkan orientasi keagamaan atau aliran/ideologi tertentu.

Tidak dipungkiri bahwa pendekatan yang dilakukan oleh Soeharto ini dilatarbelakangi oleh adanya perubahan realitas politik yang ditandai oleh kebangkitan semangat keberagaman. Terjadi gejala “santriisasi”, yaitu kecenderungan kalangan ‘abangan” untuk mempelajari dan menghayati ajaran agama (Islam) baik di dalam birokrasi pemerintahan maupun di kalangan masyarakat luas.

Kecenderungan Soeharto untuk memunculkan kembali politik aliran dengan tindakannnya mendekati kelompok muslim yang selama ini mengalami marjinalisasi politik merupakan salah satu upayanya untuk membentuk keseimbangan politik baru. 

Tahun-tahun terakhir kekuasaannya ditandai oleh semakin renggangnya hubungan antara Soeharto dengan kalangan militer.
Sebagian kalangan militer resah dengan semakin diakomodasinya kelompok modernis muslim ke dalam pemerintahan, sehingga sebagian klik militer tertentu mulai membuat jarak dengan Soeharto. 

Hal ini disadari sepenuhnya oleh Soeharto yang kemudian berupaya membangun aliansi politik dengan kalangan muslim terutama dari kalangan konservatif, walaupun ada juga kalangan modernis muslim yang terus melakukan oposisi dan perlawanan terhadap Soeharto sperti yang dilakukan oleh Amien Rais. Soeharto juga berupaya memproduksi isu sektarian dan rasial dengan melakukan propaganda anti-Cina dan anti-Kristen. Tindakan ini menurut sebagian pengamat merupakan bentuk “penghianatan’ terhadap cita-cita Pancasila yang pernah ia agung-agungkan sebelumnya.


POLITIK ALIRAN PADA MASA REFORMASI
Setelah sempat meredup pada masa Orde Baru, politik aliran kembali muncul dan berkembang pesat pasca jatuhnya pemerintahan Orde Baru. Pada masa pemerintahan B.J.Habibie, pemerintah menghapus segala macam bentuk pengekangan kebebasan berpolitik termasuk kebijakkan Asas Tunggal Pancasila. Dampaknya adalah, semenjak awal masa Reformasi, bermunculan berbagai partai politik dengan aliran yang beraneka ragam. 

Belum lagi banyaknya organisasi massa dengan identitas agama dan etnik tertentu.
Fenomena ini disebabkan karena aspirasi rakyat yang selama ini ditekan dan dikekang oleh pemerintah Orde Baru dapat kembali tersalurkan. Pada masa Reformasi, agama dan etnisitas kembali menjadi identitas utama yang menjadi dasar dari sejumlah organisasi politik/partai politik, organisasi massa dan dimensi sosio-kemasyarakatan lainnya.

Pemerintahan Habibie sendiripun terpaksa meneruskan sektarianisme yang dilakukan sebelumnya diakhir masa pemerintahan Soeharto. Hal ini dikarenakan pemerintahan Habibie mendapat tekanan dan oposisi yang kuat dari kalangan ‘kiri”. Pembentukan PAM Swakarsa yang bertujuan mengamankan polisi politik Habibie dalam Sidang Istimewa MPR merupakan salah satu bentuknya. Bahkan pendukung Habibie sempat menyatakan bahwa melawan Habibie sama artinya dengan melawan Islam.

Pada masa selanjutnya politik aliran semakin menguat. Pada pemilu tahun 1999 muncul berbagai partai politik dengan aliran dan ideologinya yang beranekaragam. Perdebatan-perdebatan pada sidang MPR di awal reformasi juga ditandai dengan adanya aspirasi pemulihan kembali Piagam Jakarta oleh sejumlah partai politik.

Berkembangnya politik aliran bersamaan waktunya dengan kebangkitan nasionalisme etnik. Di sejumlah daerah politik identitas etnik dan agama mengemuka dan beberapa diantaranya meledak menjadi kerusuhan berlatar belakang etnik dan agama seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah (Sampit), Poso, Sulawesi Tengah dan Maluku.

Hal tersebut merupakan gejala sosial yang dapat dipahami, mengingat pemerintah Orde Baru yang mengagung-agungkan harmoni dan menegasikan konflik selalu berusaha menekan isu-isu dan wacana etnisitas dan keagamaan di ruang publik. Pemerintah Orde Baru juga selama ini menutup erat-erat realitas dan menutup mata adanya persaingan, ketegangan, dan konflik berlatarbelakang dimensi etnisitas dan keagamaan/aliran yang ada di masyarakat.

Pasca tumbangnya pemerintah Orde Baru, sentimen etnik dan agama menjadi isu utama di sejumlah daerah. Beberapa daerah bahkan menyatakan bahwa pemimpin daerah haruslah berlatar belakang etnik dan agama tertentu.
Sejak dekade kedua masa Reformasi terjadi sebuah fenomena yang unik. Di satu sisi pada level kenegaraan dan pemerintahan partai-partai politik cenderung bergerak ke tengah mendekat ceruk pemilih terbesar. Hal itu mengakibatkan perbedaan antarpartai politik yang ada sulit didefinisikan sebagai perbedaan ideologi. 

Partai-partai “sekuler” mulai menampilkan diri sebagai partai nasionalis relijius dengan digunakannya simbol-simbol keagamaan sebagai atribut partai. Sebaliknya, partai-partai Islam semakin mengadopsi gagasan pluralisme dan kebangsaan sehingga identitas keislamannya hanya nampak dalam wujud simbolik belaka. Akan tetapi, di kalangan akar rumput, politik aliran atau politik identitas justru makin menguat.

 Sejak berakhirnya Orde Baru bermunculan berbagai organisasi keagamaan khususnya keislaman, baik yang berorientasi lokal, nasional maupun internasional seperti Hizbuttahrir Indonesia (HTI) (yang kemudian dibubarkan oleh pemerintah). Beberapa organisasi tersebut memang sudah ada embrionya jauh sebelum berdiri dalam bentuk organisasi formal. 

Selain Hizbuttahrir juga terdapat organisasi seperti Front Pembela Islam (FPI) yang berfokus pada kegiatan Nahi Munkar (memberantas kejahatan dan kemaksiatan), Forum Komunikasi Ahlu Sunnah Wal Jamaah (FKASWJ) yang merupakan organisasi salafi radikal dengan pemimpinnya Ja’far Umar Thalib serta Majelis Mujahiddin yang mengagendakan penerapan Syariat Islam di Indonesia.

REFERENSI :

Bibit Suprapto, Perkembangan Kabinet Dan Pemerintahan Di Indonesia,Jakarta ; Ghalia Indonesia,1985

B.Wibowo dan Banjar Chaeruddin, Jenderal Yog Loyalis di Balik Layar, Jakarta : Kompas, 2018

Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Jakarta : Pustaka Jaya, 1983

Eep Saefulloh Fatah, Konflik, Manipulasi Dan Kebangkrutan Orde Baru, Manajemen Konflik Malari,Petisi 50 dan Tanjung Priok, Jakarta : Burungnerak Press,2010

Fachry Ali, Islam,Pancasila Dan Pergulatan Politik,Jakarta : Pustaka Antara,1984

Herbert Feith, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, Jakarta : LP3ES,1988
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, Jakarta : LPFEUI,2000

Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1994

M.Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik Di Indonesia, Sebuah Pasang Surut,Jakarta : Rajawali,1983

M.C.Ricklef, Mengislamkan Jawa, Sejarah Islamisasi di Jawad an Penentangnya dari Tahun 1930 Sampai Sekarang,  Jakarta : Serambi, 2013

Robert W.Hefner, Civil Islam, Islam dan Demokratisasi di Indonesia,Jakarta : ISAI, 2000

Taufik Abdullah, Sejarah Dan Masyarakat, Lintasan Historis Islam di Indonesia, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1987

Yusran (Ed), Debat Dasar Negara Islam Dan Pancasila Konstituante 1957,Jakarta : Pustaka Panjimas, 2001


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN

STATUS OBJEKTIF DAN STATUS SUBJEKTIF

TAWURAN SEBAGAI SUATU GEJALA SOSIAL (ANALISIS SOSIOLOGIS KONFLIK SOSIAL DI PERKOTAAN)