PERJANJIAN OSLO DAN REORIENTASI POLITIK REGIONAL NEGARA-NEGARA ARAB


PERJANJIAN OSLO DAN REORIENTASI POLITIK REGIONAL NEGARA-NEGARA ARAB


PENGANTAR

Pada tanggal 2 Agustus 1990 Irak melakukan invasi ke Kuwait. Tindakan Irak tersebut menimbulkan reaksi keras dari Amerika Serikat. Amerika Serikat kemudian berhasil mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengeluarkan resolusi demi memerintahkan Irak keluar dari daerah pendudukannya di Kuwait. Menghadapi situasi tekanan internasional semacam itu, Saddam Husein kemudian mengeluarkan sebuah taktik.

Saddam kemudian mengeluarkan tuntutan agar Israel keluar dari daerah pendudukannya di Palestina sebagai syarat keluarnya Irak dari Kuwait. Pernyataan Irak tersebut spontan menjadikan dunia internasional terutama Amerika Serikat menyimpulkan adanya korelasi antara krisis Teluk tahun 1991 dengan persoalan di Palestina. Semenjak itu dunia internasional terdorong sekali lagi untuk merumuskan sebuah upaya perdamaian di Palestina.

LATAR BELAKANG

Pada Bulan Oktober 1992 diadakan Konferensi Madrid di Spanyol. Konferensi tersebut membicarakan rencana perdamaian antara Palestina dan Israel. Dalam konferensi tersebut Amerika Serikat mengajak sejumlah tokoh berpengaruh Palestina untuk menyusun rencana perdamaian dengan Israel.
Konferensi tersebut dapat terlaksana karena adanya perubahan cara pandang  Amerika dalam memandang pendudukan Israel atas Palestina. 

Pemerintahan Amerika Serikat di bawah Presiden G.H.W.Bush menunjukkan simpati terhadap bangsa Palestina. Pemerintahan Bush melalui menteri luar negerinya, James Baker mendesak Israel untuk membuka diri dalam menghadapi dialog dengan perwakilan bangsa Palestina dan membuka jalan menuju perundingan perdamaian.

Hasil penting dari konferensi Madrid tersebut adalah pentingnya penegasan mengenai ‘Tanah Untuk Perdamaian’ (Land For Peace). Menurut perwakilan bangsa Palestina, perdamaian dengan Israel mustahil dilakukan sepanjang Israel masih menduduki wilayah yang diklaim sebagai milik bangsa Palestina.

Poin penting lainnya yang dihasilkan melalui Konferensi Madrid adalah keputusan bulat delegasi Palestina untuk melibatkan PLO sebagai perwakilan bangsa Palestina dalam perundingan damai dengan Israel. PLO harus diakui keberadaannya mengingat PLO merupakan organisasi perlawanan yang paling menonjol saat itu. PLO juga telah diakui sebagai wakil dari bangsa Palestina oleh sejumlah pemerintahan negara-negara Arab.

Awalnya, gagasan pembicaraan perdamaian yang sudah digagas oleh pemerintahan Bush sempat terhenti ketika Bill Clinton berhasil memenangkan pemilihan presiden di Amerika Serikat. Pemerintahan Clinton terlihat kurang antusias dan tidak memiliki kecakapan untuk terlibat dalam konflik Palestina-Israel. Kondisi itulah yang kemudian mendorong Norwegia mengambil alih peran Amerika Serikat tersebut. Norwegia sebagai negara netral dianggap memiliki kapasitas untuk menyelenggarakan sebuah pembicaraan perdamaian antara Palestina dan Israel.

Di pihak Israel sendiri juga terjadi perubahan yang relatif signifikan. Pemerintahan Israel yang konservatif di bawah Yitzak Samir dari Partai Likud berhasil digantikan oleh Yitzak Rabin yang mewakili Partai Buruh dan dikenal moderat. Langkah menuju pembicaraan damai dengan Palestina semakin terbuka ketika pemerintahan Israel mengamandemen peraturan perundangan yang melarang pejabat Israel menjalin komunikasi dengan Organisasi Perlawanan Palestina, PLO yang dipimpin oleh Yasser Arafat. Sebelumnya Israel menutup upaya pembicaraan damai dengan PLO. Menurut Israel, PLO hanyalah sebuah organisasi teroris yang sering melakukan tindakan terorisme terhadap warga Israel.

Pergeseran strategi politik juga dilakukan oleh PLO. PLO pasca Perang teluk mengalami posisi yang sangat sulit. Hal itu disebabkan karena dukungan PLO terhadap Saddam Husein dalam Perang Teluk. Hal itu mengakibatkan negara-negara Teluk memotong anggaran yang diperuntukkan untuk membiayai operasional PLO. Pasca Perang teluk PLO juga dikucilkan oleh negara-negara Teluk. Kondisi demikian mengakibatkan terjadinya krisis keuangan yang parah. Ribuan pegawai PLO tidak digaji dan menganggur. Padahal dana yang digunakan sehari-hari oleh PLO berasal dari sumbangan negara-negara Arab.


HASIL KESEPAKATAN PERJANJIAN OSLO

Perundingan Oslo dilakukan antara Yasser Arafat yang bertindak mewakili bangsa Palestina dari PLO dan Perdana Menteri Israel, Yitzak Rabin. Perundingan tersebut memuat ketentuan sebagai berikut :

Rencana  partisi untuk wilayah Palestina

Penarikan mundur militer Israel dari Yericho dan Jalur Gaza

Pembentukan Pemerintahan sipil Palestina selama periode interim 5 tahun

Pendirian Dewan Perwakilan Rakyat Palestina

Pembentukan Polisi Palestina yang bertanggungjawab atas keamanan di wilayah Palestina

Pemberian kewenangan kepada Pemerintahan Otoritas Palestina atas sejumlah aspek berikut :

→ pendidikan dan kebudayaan

→ kesehatan

→ kesejahteraan sosial

→ perpajakan

→ pariwisata



PERSOALAN YANG MASIH MENGGANJAL

Walaupun Perundingan Oslo sudah disepakati bersama di Washington dengan mediator Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton, namun kesepakatan tersebut masih memiliki sejumlah ganjalan sebagai berikut :

Status Yerusalem

Hak-hak pengungsi

Status pemukiman

Masalah perbatasan

pengaturan keamanan

Status Negara Palestina Merdeka

Hal-hal di atas membuktikan bahwa Israel sendiri tidak memiliki komitmen kuat untuk melaksanakan isi Perjanjian Oslo. Proses pembentukan pemerintahan otoritas Palestina berjalan tersendat-sendat, demikian pula dengan penarikan mundur tentara Israel dan penghentian pemukiman Yahudi di tepi Barat. Israel juga tidak bersedia mengembalikan pengungsi Palestina yang tersebar di berbagai negara-negara Arab. Bahkan Israel bertekad untuk tetap menjadikan Yerusalem sebagai ibu kotanya dan tidak akan menyerahkannya kepada bangsa Palestina.

DAMPAK PERJANJIAN OSLO

Munculnya penolakan terhadap Perjanjian Oslo

Dikalangan Palestina, penolakan terhadap Perjanjian Oslo diantaranya dilakukan oleh kelompok oposisi yang beraliran nasionalis-kiri seperti Front Palestina untuk Kemerdekaan Palestina (Popular Front for Liberation of Palestine/PFLP) DAN Front Demokrasi untuk Kemerdekaan Palestina (Democratic Front for Liberation of Palestine/DFLP). Kedua kelompok ini menentang kesepakatan Oslo dikarenakan mereka tidak dilibatkan dalam perundingan tersebut. Mereka kemudian melakukan boikot terhadap pemilu tahun 1996 untuk memilih wakil-wakil Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Penentangan terhadap kesepakatan Oslo dari kalangan Palestina juga dilakukan oleh organisasi perlawanan Islam seperti Jihad Islam dan Hamas. Mereka berpendapat bahwa Israel harus keluar dari seluruh wilayah Palestina, dan bukan sekedar keluar dari daerah pendudukan yang dicaplok oleh Israel dalam Perang Enam Hari tahun 1967.

Mereka juga menganggap konflik dengan Israel bukan sekedar konflik politik dan perjuangan mencari ruang hidup, akan tetapi perang dengan Israel merupakan konflik abadi yang memiliki basis doktrinal dalam ajaran agama. Mereka bukan saja menentang perjanjian damai dengan Israel, akan tetapi mereka juga menentang berdirinya negara Israel tersebut.

Pasca Perjanjian Oslo, baik Jihad Islam maupun Hamas mengintensifkan aksi-aksi serangannya terhadap Israel. Tindakan itu tidak pelak menimbulkan reaksi keras dari militer Israel. Israel kemudian melakukan serangkaian penangkapan dan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh Hamas, diantaranya adalah salah seorang tokoh Hamas, Yahya Ayash yang terbunuh oleh Israel pada Januari 1996. Sebelumnya, tokoh lainnya yang dibunuh oleh militer Israel adalah Fathi Shiqaqi. Shiqaqi yang merupakan pimpinan Jihad Islam dibunuh oleh Israel di Malta pada Oktober 1995.

Di sisi lain Perjanjian Oslo juga banyak mendapat tentangan di dalam negeri Israel. Perjanjian Oslo itu sendiri sangat rapuh karena berdasarkan sebuah jajak pendapat, terdapat  sekitar 63 % warga Israel yang menentang Perjanjian Oslo tersebut. Banyak warga Israel yang menganggap kesepakatan perdamaian dengan Palestina hanya akan mengurangi hak-hak mereka, sehingga mereka menolak memberikan konsesi sedikitpun terhadap bangsa Palestina.

Menguatnya ekstremisme di  Israel.

Perjanjian Oslo telah mendorong berkembangnya kelompok-kelompok ekstremisme di Israel. Kelompok ekstremis Israel kemudian memberikan reaksi terhadap kesepakatan Oslo. Diantaranya adalah Baruch Goldsten, seorang Yahudi militan yang merupakan pengikut kelompok ultra radikal Kach. Goldstein melakukan serangan mematikan terhadap jamaah yang  melakukan shalat Subuh di Masjid Ibrahim di Hebron pada tahun 1994. Peristiwa tersebut mengakibatkan puluhan warga Palestina meninggal dunia sementara yang lainnya mengalami luka-luka.

Puncak penolakan terhadap kesepakatan Oslo terjadi ketika Yigal Amir, seorang mahasiswa Hukum Israel melakukan tindakan pembunuhan terhadap Yitzak Rabin pada tanggal 4 November 1995. Menurut Yigal Amir pembunuhan yang dilakukannya merupakan panggilan agama, sebab Rabin dianggap telah menghianati bangsa dan agama Yahudi.

Walaupun mendatangkan sejumlah perlawanan dan resistensi, Perjanjian Oslo secara diam-diam disambut gembira oleh sejumlah negara-negara Arab. Mereka yang sebelumnya mengecam Sadat yang melakukan perundingan dan perjanjian perdamaian dengan Israel melalui Perjanjian Camp David akhirnya berupah menjadi pragmatis.

Berubahnya sikap negara-negara Arab

Pasca Perjanjian Oslo, sejumlah negara Arab secara sepihak melakukan perundingan terpisah dengan Israel. Hal itu dilakukan untuk mengejar kepentingan domestik masing-masing negara. Negara-negara Arab yang melakukan perundingan dan kesepakatan dengan Israel tersebut tidak merasa terbebani dengan stigma sebagai penghianat perjuangan bangsa Palestina, sebab Perjanjian Oslo itu sendiri dilakukan oleh PLO yang dianggap dunia Arab sebagai wakil satu-satunya bangsa Palestina.

Sejumlah negara Arab yang mengadakan perundingan dan kesepakatan terpisah dengan Israel adalah :

♦ Yordania, Juli 1994

♦ Maroko, Oktober 1994

♦ Tunisia, Januari 1996

♦ Mauritania, November 1999

♦ Oman, 1 Januari 1996

♦ Qatar, April 1996



Menguatnya eksistensi Israel

Perjanjian Oslo telah menyebabkan Israel mendapat pengakuan dari dunia Arab yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal itu ditandai oleh adanya pengakuan sejumlah negara Arab terhadap negara Zionis tersebut. Perjanjian Oslo telah mengakibatkan potensi perang yang mungkin dihadapi oleh Israel semakin kecil.







REFERENSI :


Adian Husaini, Pragmatisme Dalam Politik Zionis Israel, Jakarta : Khairul Bayan, 2004

Eugene Rohan, Dari Puncak Khilafah, Sejarah Arab-Islam Sejak Era Kejayaan Khilafah Utsmaniyah, Jakarta : Serambi, 2011



Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN

STATUS OBJEKTIF DAN STATUS SUBJEKTIF

TAWURAN SEBAGAI SUATU GEJALA SOSIAL (ANALISIS SOSIOLOGIS KONFLIK SOSIAL DI PERKOTAAN)