CSIS, OPSUS, DAN ASPRI


CSIS, OPSUS, DAN ASPRI SERTA PERTARUNGAN MENUJU KEKUASAAN DALAM POLITIK ORDE BARU



PENDAHULUAN

Ali Murtopo merupakan salah satu tokoh penting dibalik naiknya Jenderal Soeharto kepanggung politik Indonesia. Bersama dengan koleganya, Yoga Sugama, keduanya yang merupakan anak buah dari Soeharto di Kostrad (Komando cadangan strategis) bahu membahu dalam menyingkirkan segala rintangan yang menghambat karir Soeharto ke pucuk pimpinan. Setelah melalui serangkaian operasi intelejen dan aksi penggalangan politik, Ali dan Yoga berhasil menghantarkan Soeharto sebagai Presiden Indonesia menggantikan Sukarno.

Tentu saja buka hanya Ali Murtopo damn Yoga Sugama yang berjasa dalam menaikkan karir Soeharto, sejumlah nama lainnya juga tidak kalah pentingnya seperti Kemal Idris dan H.R.Dharsono. Hanya saja dua nama terakhir ini kemudian disingkirkan oleh Soeharto karena dianggap tidak kompromistis dan memiliki agenda politik yang berbeda dengan Soeharto. Sedangkan Ali Murtopo dan Yoga Sugama dianggap Soeharto sebagai orang yang loyalitasnya kepada Soeharto tidak diragukan lagi.

Hanya saja ssetelah terjadinya Peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari 1974 atau yang lebih dikenal dengan nama Malari, Soeharto kemudian berselisih jalan dengan Ali Mutopo. Ali pelan-pelan disingkirkan oleh Soeharto, pertama-tama disingkirkan dari dunia intelejen dan penggalangan dengan dijadikan sebagai Menteri Penerangan dan kemudian menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung.

Di tempat terakhir itulah karir Ali Murtopo akhirnya tamat. Sedangkan nasib Yoga Sugama juga tidak jauh berbeda. Soeharto dan Yoga Sugama akhirnya terlibat dalam ‘perang dingin” setelah Soeharto kesal dengan tindakan Yoga yang pernah mengusulkan agar Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden.


CSIS (CENTRAL FOR STRATEGIC AND INTERNATIONAL STUDIES)

Keberadaan CSIS memiliki kaitan yang sangat erat dengan Peristiwa Malari. CSIS didirikan pada tanggal 1 September 1971 dengan Ali Murtopo dan Sudjono Humardhani sebagai pelindungnya. Lembaga itu berupaya memosisikan dirinya sebagai lembaga think tank yang memberikan blue print pembangunan politik dan ekonomi. Kedua tokoh tersebut memiliki kedekatan khusus dengan Soeharto. Ali Murtopo merupakan salah satu figur penting dibalik kesuksesan karir politik Soeharto sedangkan Soedjono Humardhani dikenal sebagai pengikut aliran kejawen sebagaimana Soeharto.

CSIS didirikan oleh Ali Murtopo antara lain bertujuan untuk membentuk keseimbangan baru. Ali yang dinilai sangat mencurigai Islam berupaya menggunakan “double minority” yaitu kalangan China dan Katolik sebagai kekuatan penyeimbang dalam menghadapi golongan Islam, walaupun Ali Murtopopun seringkali memanfaatkan kalangan Islam seperti eks DI dan Masyumi untuk kepentingannya.

Hal ini terlihat jelas dalam Peristiwa Malari dan Komando Jihad (1968-1982). Menurut Yusuf Wanandi, Soeharto merasa tidak nyaman dengan keberadaan kalangan Tionghoa di dalam pemerintahannya, sehingga sebagian ekonom dari kalangan tersebut memutuskan memberikan masukan tentang konsep pembangunan ekonomi dan politik kepada pemerntah dengan mendirikan CSIS. Beberapa tokoh dari kalangan China seperti Liem Bian Kie-Liem Bian Khoen bersaudara, Harry Tjan dan Moerdopo banyak memberikan kontribusi pemikiran di dalam CSIS.

Menurut Kenneth Ward, mereka memiliki orientasi politik yang khawatir terhadap perkembangan Islam dan ada kecenderungan mengidentikkan Islam dengan Darul Islam, serta berupaya keras menghambat aspirasi politik umat Islam. (Cahyono, 1992) Beberapa rancangan perundang-undangan seperti RUU Perkawinan konon dirancang oleh kelompok ini. RUU tersebut kemudian menimbulkan protes keras dari berbagai kalangan umat Islam. Penolakan dan ketidakpuasan kalangan umat Islam terhadap RUU Perkawinan ini kemudian berkembang menjadi situasi yang turut memanaskan kondisi menjelang terjadinya Peristiwa Malari.

Dalam perkembangan selanjutnya, sejumlah tokoh kemudian bergabung menjadi ekonom CSIS seperti Hadi Soesastro,Djisman Simanjuntak,Pande Radja Silalahi dan Marie Elka Pangestu.Bergabungnya mereka ke dalam CSIS kemudian menjadikan organisasi tersebut menjadi lebih mapan dalam hal kajian ekonomi.

Keberadaan sejumlah analis ekonomi dalam CSIS selain untuk memberikan gagasan pembangunan ekonomi kepada pemerintahan Orde Baru juga bertujuan untuk mengimbangi peran para ekonom dan teknokrat di bawah pimpinan Prof. Widjojo. Kelompok CSIS sangat tidak menyukai kelompok teknokrat tersebut. Bahkan Ali Murtopo pernah menyebut para teknokrat yang menjadi tim penasehat ekonomi pemerintah dengan sebutan Mafia Berkeley. Serangan yang dilakukan oleh kelompok CSIS terhadap para teknokrat tersebut mengakibatkan Ali dan kelompok CSISnya berhadapan dengan Jenderal Soemitro.

Soemitro dalam biografinya mneyebut bahwa dalam kapasitasnya sebagai Panglima Komando Keamanan Dan Ketertiban (PANGKOMKAMTIB) merasa memiliki tugas untuk menjamin kelancaran dan keamanan tugas para teknokrat. Soemitro juga berkomitmen untuk melindungi para teknokrat tersebut dari serangan-serangan yang dilancarkan oleh kelompok CSIS.

Tokoh lain yang turut mengembangkan CSIS adalah Daoed Joesoef. Daoed Joesoef bahkan pernah dianggkat sebagai Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan. Pada masa inilah Daoed terlibat konflik dengan kalangan umat Islam yang menentang sejumlah kebijakkannya diantaranya adalah larangan bagi siswi muslim untuk mengenakan jilbab. Tindakan Daoed Joesof tersebut beserta beberapa hal yang kontroversial lainnya seperti Rancangan Undang-Undang Perkawinan mengakibatkan CSIS dimusuhi oleh umat Islam dan mendapatkan stigma sebagai nati-Islam. Kebijakan tersebut pada akhirnya dihapus oleh Soeharto menjelang akhir masa kekuasaannya, ketika saat itu bandul politik pemerintahan Orde Baru cenderung mendekati kelompok Islam.

Keberadaan CSIS memudar seiring dengan wafatnya Ali Murtopo. Setelah Ali Murtopo wafat, Soeharto cenderung mengambil jarak dan menjauh dari CSIS. Sikap Soeharto terhadap lembaga pemikir ini semakin keras ketika Soeharto tidak lagi mengambil pandangan-pandangan serta gagasan CSIS, sebagai gantinya pemerintah Orde Baru lebih banyak menjadikan lembaga pemikir lain sebagai sumber referensi, diantaranya adalah CIDES yang berafiliasi dengan HMI dan KAHMI.

Sikap keras Soeharto terhadap CSIS juga ditunjukkan dengan dilarangnya organisasi tersebut hadir dalam pembukaan pertemuan puncak Gerakan Non Blok. Soeharto semakin mengucilkan CSIS ketika Soeharto juga melarang lembaga pemikir tersebut untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi APEC yang diselenggarakan di Bogor tahun 1994.


OPSUS (OPERASI KHUSUS)

Menurut Sumitro, Peristiwa Malari merupakan buah dari kesemerawutan birokrasi penyelenggaraan negara terutama dibidang keamanan, pertahanan dan intelejen. Menurut Sumitro, keruwetan itu ditandai dengan adanya ketidakharmonisan antara lembaga-lembaga resmi dengan yang tidak resmi (non institusional seperti Aspri (Asisten Pribadi), OPSUS (Operasi Khusus) Maupun Kopkamtib sendiri.

Terkait dengan Kopkamtib sendiri Sumitro sebenarnya pernah mengusulkan kepada Presiden Suharto agar keberadaan lembaga itu dibubarkan saja, karena menurutnya kondisi politik Indonesia sudah stabil yang ditandai dengan berhasil diselenggarakannya pemilihan umum pertama sejak Orde Baru tahun 1971 dengan relatif aman dan damai, tetapi usulan tersebut ditolak oleh Presiden Suharto yang ingin tetap menjadikan Kopkamtib sebagai instrumen utama untuk menjaga keamanan sekaligus mengantisipasi ancaman terhadap kekuasaan Orde Baru.

Adapun mengenai Aspri dan OPSUS, Sumitro mengusulkan agar kedua organisasi tersebut dibubarkan, mengingat keduanya seringkali melakukan tindakan-tindakan non institusional dengan seringnya melakukan ‘potong kompas’ terhadap prosedur yang ada.

OPSUS sebagaimana Kopkamtib menurut Sumitro merupakan sebuah kreasi untuk mengatasi kondisi yang ekstra-ordiner dan ekstra struktural pada masa darurat, sehingga ketika zaman sudah normal dan kehidupan bahaya sudah dilewati, maka lembaga-lembaga semacam itu harusnya ditiadakan.

Pada masa sebelumnya, OPSUS melakukan kegiatan penggalangan dalam rangka integrasi Papua Barat dan Timor-Timur ke dalam wilayah Indonesia, termasuk menggalang reformasi politik (political reform) guna memperkuat poros Pancasila dan menetralisasi kekuatan Nasakom melalui rekayasa-rekayasa terhadap semua orsospol dan organisasi kemasyarakatan dan organisasi profesi, tetapi seiring dengan berjalannya waktu lembaga intelejen non-organik ini seringkali disalahgunakan dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis.

Tugas OPSUS adalah menyelesaikan dengan mendobrak dan merekayasa dalam jangka pendek, guna menciptakan struktur politik yang terbebas dari Nasakom dan mendukung kepemimpinan Orde Baru.OPSUS dalam hal ini berperan untuk merombak dan merestrukturisasi struktur politik yang sebelumnya bercorak nasakom menjadi pro terhadap kepemimpinan Orde Baru. Pada awal transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, OPSUS melakukan sejumlah kegiatan terkait dengan politik dalam dan luar negeri seperti :

mengubah kepemimpinan organisasi kemasyarakatan atau profesi, seperti mengubah orientasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang awalnya berorientasi kepada Sukarno menjadi berorientasi kepada Soeharto.

memperkuat Sekber Golkar

merekayasa dan mengintervensi kepemimpinan di partai-partai politik seperti PNI dengan cara melemahkan pengaruh dari pendukung PNI ASU (Ali-Surachman) yang Soekarnois

melakukan intervensi politik terhadap Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) dengan tujuan agar tokoh-tokoh Masyumi tidak dapat duduk di dalam kepengurusan Parmusi


melakukan penjajakan terkait dengan rencana mengintegrasikan Timor-Portugis ke dalam Negara Republik Indonesia melalui Operasi Komodo.

mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dan Singapura

melakukan konsolidasi politik dalam rangka memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Barat.

Hasil dari kegiatan OPSUS tersebut adalah makin kokohnya kedudukan pemerintahan Orde Baru. Hal itu terbukti dari kemenangan Golongan Karya dalam pemilihan umum pertama pada masa Orde Baru yang diselenggarakan pada tahun 1971. Golka memenangi pemilu dengan total suara lebih dari 62, 8 %. Sebaliknya  PNI dan Parmusi masing-masing hanya memperoleh suara 6,9 % dan 5,3 %.

OPSUS juga menjadi tempat untuk mengembangkan disinformasi secara vertikal dengan tujuan memberikan pengaruh keputusan politik penting. Selain itu disinformasi atau manipulasi informasi yang dikembangkan oleh OPSUS membawa pengaruh secara horizontal ke berbagai lapisan masyarakat dan lapisan kelembagaan. Konsekuensinya antara lain mengakibatkan adanya tindakan represif dan praktek menghilangkan jejak dengan berbagai macam cara, termasuk menyingkirkan orang yang sudah dianggap tidak lagi berguna bagi OPSUS.

Bidang garapan OPSUS sangat luas meliputi aspek ekonomi dan intelejen, sampai melaksanakan penyelundupan besar-besaran terutama dari Singapura. Di OPSUS, Ali Murtopo memiliki sejumlah orang kepercayaan seperti Kolonel Ngaeran dan Kolonel Giyanto yang bertugas mencari dana untuk kegiatan penggalangan mereka. Kolonel Sumardan bertindak sebagai bidang operasi, sedangkan Kolonel Pitut Soeharto bertugas melakukan penggalangan politik Islam seperti menggarap PPP, NU dan eks Darul Islam.

OPSUS di bawah Ali Murtopo secara aktif merekrut sejumlah tokoh Darul Islam seperti Haji Ismail Pranoto dan Danu Muhammad Hasan untuk kepentingan politiknya. Setelah direkrut, eks Darul Islam tersebut dipancing untuk mengembalikan Darul Islam melalui Komando Jihad. Setelah Komando Jihad melakukan aksinya akhirnya pemerintah kemudian melakukan tindakan keras terhadap Komando Jihad dan para eks Darul Islam tersebut.

Menurut sejumlah kalangan hal itu dilakukan agar memberikan citra dan stigma negatif terhadap politik Islam dan umat Islam. Melalui Komando Jihad yang direkayasa oleh OPSUS, umat Islam kemudian terpojok dan cenderung menjadi tersangka. Umat Islam di mata pemerintah Orde Baru dianggap memiliki keinginan untuk melakukan pembangkangan politik bahkan pemberontakan.

Tindakan Ali Melalui OPSUS yang melakukan pembinaan dan perekrutan terhadap eks Darul Islam ini sebenarnya sudah ditentang oleh sejumlah pejabat intelejen. Jenderal Sutopo Yuwono dan Jenderal Nicklani misalnya menentang keras tindakan Ali tersebut. Nicklani juga merasa tersinggung dengan tindakan Ali yang memberikan fasilitas terhadap mantan kombatan Darul Islam tersebut, padahal pada saat terjadinya pemberontakan Darul Islam banyak anggota TNI ynag menjadi korban.

Keanggotaan OPSUS dibagi menjadi dua, disamping ada anggota organik juga terdapat anggota jaring. Anggota jaring kurang terikat, bila suatu proyek selesai maka bubar pula mereka, karena yang ada di dalamnya biasanya bertujuan mencari uang atau sekedar petualangan politik.

Tokoh yang dianggap termasuk dalam anggota organik OPSUS antara lain :

● Pitut Soeharto

● Sugiyanto

● Letkol Utomo

sedangkan yang termasuk anggota jaring adalah:

● Bambang Trisulo

● Leo Tomasoa

● Lim Bian Khoen

● Liem Bian Kie

● Monang Pasaribu

● Daoed Joesoep (Cahyono, 1998)

Penolakan keberadaan OPSUS juga dikemukakan oleh sejumlah kalangan aktivis mahasiswa dan cendekiawan. Mereka menganggap Ali Murtopo beserta OPSUS dengan para penasihat dan sekutunya termasuk Liem Bian Kie,Harry Tjan,Daoed Joesoep dan Jenderal Benny Moerdani berupaya menggiring pemerintahan Orde Baru menjadi semakin otoriter.

Keberadaan OPSUS juga dapat melemahkan institusi intelejen resmi / organik. Hal itu disebabkan lembaga intelejen yang resmi seperti BAKIN memiliki prinsip dan metode kerja yang berbeda dengan OPSUS. BAKIN bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip intelejen diantaranya adalah sebagai berikut :

Intelejen tidak boleh “bermain” atau ‘politicking”, karena ia bekerja secara teknis di mana kalaupun ;bermain” hanyalah atas instruksi komandan yang bersangkutan.

Intelejen dilarang melakukan usaha manipulasi informasi.

Intelejen tidak boleh mengambil keputusan. Intelejen tidak boleh beranggapan bahwa ia memutuskan. Keputusan ini ada di tangan pimpinan politik. Intelejen dalam hal ini bukan lembaga yang mengambil keputusan politik atau memaksakan keputusan intelejen.


ASISTEN PRIBADI (ASPRI)

Sejarah berdirinya ASRI berawal dari pembentukan Kabinet Ampera sesuai dengan mandat dari Sidang MPRS tahun 1966. Dalam kabinet Ampera Soeharto menjabat sebagai ketua presidium kabinet sedangkan Sukarno hanya bertindak sebagai presiden simbolik yang tidak memiliki kekuasaan apa-apa. Soeharto kemudian membentuk Staf Pribadi yang diketuai oleh Alamsjah Ratuprawiranegara. Staf Pribadi tersebut bertindak sebagai penasehat dalam bidang keuangan, politik, intelejen luar negeri, kesejahteraan sosial, dan pemilihan umum. Dalam Staf Pribadi tersebut Soedjono Humardhani dan Ali Murtopo duduk sebagai penasehat urusan ekonomi dan intelejen serta politik.

Staf Pribadi kemudian dibubarkan pada tahun 1969 dan diganti dengan Asisten Pribadi (ASPRI) di mana Soedjono dan Ali masih duduk di dlaamnya sebagai penasehat pribadi Presiden. Setelah terjadinya kisruh Malari, ASPRI akhirnya dibubarkan pada tahun 1974.

Aspri  didirikan oleh Presiden Soeharto dengan tujuan agar Soeharto dapat mengakses aspek-aspek kelembagaan tertentu yang tidak mungkin ditanganinya secara langsung. Seperti misalnya penataan Golongan Karya. Soeharto tidak mungkin hanya mengandalkan Depatermen Dalam Negeri untuk menangani Golkar. Golkar dianggap sangat istimewa, karena Golkar oleh Soeharto diposisikan sebagai kuda Troya untuk melanggengkan kekuasaannya sepanjang masa pemerintahan Orde Baru.

Asisten Pribadi atau disingkat Aspri adalah lembaga semi formal yang diciptakan oleh Preseiden Soeharto dengan tokoh utamanya Ali Murtopo. Aspri dimaksudkan Soeharto untuk merangkul Ali Murtopo yang selama ini berjasa membuka jalan bagi Soeharto untuk berkuasa. Melalui Aspri Ali Murtopo memiliki kedudukan yang sangat kuat. Berbekal dengan posisinya sebagai Aspri, Ali seringkali melakukan tindakan ekstra-prosedural dengan melakukan by-pass dalam melakukan agenda politiknya. Tindakan Ali ini kemudian memancing ketegangan dan konflik dengan para pejabat birokrasi baik sipil maupun militer yang formal.

Salah satu tokoh yang terlibat konflik dengan Ali adalah Jenderal Sumitro, yang ketika itu menjabat sebagai Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) dan sekaligus sebagai Wakil Panglima ABRI. Sumitro seringkali mengecam Ali yang kerap melakukan tindakan-tindakan yang tidak prosedural dan melanggar tata pemerintahan yang baik. Ali berkilah bahwa yang Ia lakukan selama ini berkaitan dengan posisinya sebagai Aspri dan sepengetahuan Presiden Soeharto. Hal itu mengakibatkan Ali tidak merasa perlu untuk menempuh jalur birokrasi formal.

Dalam praktek politik, Aspri seringkali digunakan oleh Ali Murtopo untuk membangun karir politiknya. Ali Murtopo misalnya sering memberikan ‘bocoran’ kepada seorang pejabat yang namanya akan dipromosikan pada jabatan tertentu. Hal itu merupakan tindakan by-pass yang melanggar tata administratif birokrasi, karena yang seharusnya menyampaikan informasi semacam itu adalah Menteri Dalam Negeri yang memang ditugaskan untuk menangani hal-hal semacam itu.

Tujuan Ali Murtopo melakukan hal tersebut adalah agar ia bisa menanamkan jasa kepada orang yang dipromosikan tersebut seakan-akan karirnya dapat naik atas bantuan dari Ali murtopo. Tindakan Ali Murtopo yang seperti ini pada akhirnya menimbulkan ketegangan dan antipati terhadap Ali Murtopo . Ia dianggap sebagai orang yang ambisius dan menggunakan segala macam cara untuk mencapai tujuannya.

Selain itu tugas ASPRI adlaah mengupayakan agar pengusaha-penguasa asing khususnya dari Jepang mau menanamkan investasinya di Indonesia. Tugas ini lebih banyak dilakukan oleh Soedjono Humardhani. Akan tetapi masuknya para pengusaha dari Jepang tersebut pada akhirnya menimbulkan keresahan yang berujung pada terjadinya Peristiwa Malari. 

Menurut Jenderal Soemitro, kebencian sebagian kalangan di Indonesia terhadap Jepang disebabkan para pengusaha Jepang tersebut tidak dibekali dengan pengetahuan yang memadai terhadap aspek kehidupan sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Pengusaha Jepang saat itu banyak tidak disukai oleh masyarakat Indonesia karena dianggap mengeksploitasi tenaga rakyat Indonesia.







REFERENSI :

B.Wiwoho Dan Banjar Chaeruddin, Jenderal Yoga,  Loyalis Di Balik Layar, Jakarta ; KompasGramedia, 2018

Heru Cahyono, Pangkopkamtim Jenderal Soemitro Dan Peristiwa 15 Januari 1974, Jakarta : Sinar Harapan, 1998

Salim Haji Said, Menyaksikan tigapuluh tahun pemerintahan otoriter Soeharto, Jakarta :

Yusuf  Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru, Jakarta : Kompas, 2014


MAJALAH :

Tempo, Rahasia-Rahasia Ali Murtopo, Jakarta, 2013

Historia, Jakarta, 2013






Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN

STATUS OBJEKTIF DAN STATUS SUBJEKTIF

TAWURAN SEBAGAI SUATU GEJALA SOSIAL (ANALISIS SOSIOLOGIS KONFLIK SOSIAL DI PERKOTAAN)