JATUHNYA PEMERINTAHAN ORDE BARU


JATUHNYA PEMERINTAHAN ORDE BARU


PENGANTAR

Jatuhnya pemerintaha Orde Baru yang sudah berlangsung sekitar 32 tahun lamanya merupakan sebuah peristiwa yang sangat fenomenal bagi bangsa Indonesia. Peristiwa tersebut menandari berakhirnya suatu pemerintahan otoritarian yang selama masa kekuasaannya menggunakan aparat birokrasi dan keamanan untuk menindas dan mengekang hak-hak rakyat.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintahan Orde Baru telah mencapai sejumlah keberhasilan. Keberhasilan pemerintahan Orde Baru terutama terjadi dalam aspek ekonomi. Masa pemerintahan Orde Baru ditandai oleh menurunnya tingkat kemiskinan dan pengangguran, adanya pengandalian harga kebutuhan bahan pokok (sembako) dan tingkat inflasi yang relatif rendah.

Akan tetapi semua hal tersebut kemudian seakan-akan tidak lagi berarti ketika terjadi badai krisis ekonomi yang melanda sebagian negara di Asia Pasifik dan Asia Tenggara. Krisis yang diawali oleh adanya krisis moneter tersebut telah mengakibatkan guncangan ekonomi yang parah.

Pertumbuhan ekonomi sampai mencapai minus, ribuan orang di PHK dari perusahaan akibat bangkrutnya perusahaan dan pabrik tempat mereka bekerja. Hal itu kemudian mendorong meluasnya ketidakpuasan dilakangan rakyat terhadap pemerintah. Rakyat tidak lagi mempercayai kemampuan pemerintah Orde Baru untuk menyelesaikan krisis yang terjadi.

Pemerintahan Orde Baru juga ditandai oleh kegagalan pembangunan politik. Politik represi yang dilakukan untuk mempertahankan kekuasaan telah mengakibatkan rakyat kehilangan hak-haknya dalam bidang politik. 

Pemerintahan Orde Baru merupakan pemerintahan yang cenderung memasung dan membatasi hak-hak politik warga negaranya. Pemilihan umum yang dilakukan secara berkala hanya merupakan simbolisasi demokrasi ketimbang manifestasi dari demokrasi itu sendiri. Pemilihan umum sudah sedemikian direkayasa untuk memenangkan Golongan Karya yang merupakan kendaraan politik bagi Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya.


LATAR BELAKANG POLITIK DALAM NEGERI

Tumbangnya pemerintahan Orde Baru bukan semata-mata disebabkan oleh faktor tunggal. Jauh sebelum rezim itu jatuh, telah terjadi pembusukan politik dan sejumlah kegagalan dan malfungsi dari sejumlah kebijakkan di bidang perekonomian. Berikut ini adalah beberapa latar belakang berakhirnya pemerintahan Orde Baru.

Terjadinya fragmentasi dan konflik internal pemerintahan yang ditandai oleh adanya sejumlah gejala seperti berikut ;

● ketegangan di dalam Golongan Karya yang sudah dikuasai oleh HMI dan ABRI ; Di era 1990-an, terjadi gejala “ijo royo-royo” di mana anggota dari sejumlah organisasi massa Islam seperti Himpunan Mahasiswa Islam telah banyak masuk ke dalam keanggotaan dan struktur organisasi Golongan Karya. Hal itu berdampak kepada semakin banyaknya kalangan kelas menengah muslim yang menduduki jabatan strategis baik di legislatif maupun di eksekutif.

● rivalitas antara ABRI Merah Putih dan ABRI hijau ; mereka yang distigma sebagai golongan ABRI Merah Putih adalah Wiranto sedangkan yang dianggap sebagai ABRI Hijau antara lain Prabowo, Feisal Tanjung dan Hartono. Perbedaan dan persaingan yang terjadi diantara keduanya lebih disebabkan adanya persaingan untuk memperebutkan akses kepada kekuasaan di lingkar dalam kekuasaan Orde Baru.

● perpecahan ABRI dan Presiden ; Hal itu dilatarbelakang oleh adanya perbedaan antara keduanya. Soeharto di satu sisi ingin  mengakomodasi Islam agar Islam dapat “dijinakkan” dan dijadikan “sekutu” oleh Soeharto untuk menghadapi lawan-lawan politiknya di dalam tubuh ABRI.

● Adanya rivalitas  di internal ABRI ; Kondisi itu ditandai oleh adanya persaingan antara ABRI profesional dan ABRI politik-finansial. ABRI profesional adalah mereka yang memiliki keinginan agar ABRI semakin profesional dengan memosisikan diri sebagai alat negara dan bukan alat kekuasaan, sedangkan kalangan ABRI politik/finansial adalah mereka yang ingin menjadikan ABRI sebagai ‘kuda tunggangan’ demi mendapatkan keuntungan materil dan finansial.

● Adanya kesenjangan generasi dan rivalitas ABRI antara ABRI Jawa dan Non Jawa, Dionegoro dan , angkatan 45 dan AMN

terjadinya sejumlah kerusuhan sosial seperti di Tasikmalaya (1996), Sambas (1998), dan terjadinya Peristiwa Dukun Santet  di Jawa Timur khususnya di kawasan Tapal Kuda pada tahun 1996

bertambahnya kelas menengah kritis. Kalangan ini merupakan kalangan yang relatif terdidik. Mereka menuntut hak-hak yang lebih yang selama ini tidak diakomodir oleh struktur politik dan ekonomi Orde Baru.

kejenuhan terhadap sistem politik otoriter. Menurut Taufik Abdullah, masyarakat pada umumnya dan kelas menengah serta kalangan cendekiawan dan mahasiswa merasa bahwa selama beberapa dasawarsa pemerintahan Orde Baru telah terjadi stagnasi di bidang politik.

menipisnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan. Hal itu dapat dilihat dari semakin banyaknya terjadi kriminalitas di kawasan perkotaan dan kerusuhan di beberapa daerah. Ketidakmampuan aparat menyelesaikan segala persoalan tersebut semakin membuktikan betapa tidak efisiennya pemerintahan Orde Baru dalam mengelola dinamika masyarakat.

menguatnya ekspresi ketidakpuasan. Berbagai ketidakpuasan di kalangan rakyat yang selama ini tidak menemukan salurannya akhirnya diartikulasikan oleh media massa. Walaupun pemerintah Orde Baru telah sedemikian menekan dan merepresi media massa, akan tetapi media tetap melakukan kritik terhadap penyelenggaraan pemerintahan Orde Baru. Bahkan diakhir pemerintahan Orde Baru terjadi peningkatan kritik yang dilancarkan oleh berbagai media massa, terutama terkait dengan persoalan korupsi yang dilakuakn oleh birokrasi pemerintahan.

Tidak berfungsinya lembaga-lembaga perwakilan. Selama pemerintahan Orde Baru, lembaga perwakilan rakyat baik di tingkat daerah maupun di pusat telah kehilangan fungsinya. Seharusnya DPR/DPRD merupakan lembaga yang mampu menyampaikan aspirasi rakyat akan tetapi sudah sejak lama lembaga-lembaga tersebut mengalami disfungsi. MPR dan DPR/DPRD telah berubah menjadi lembaga yang sekedar memberikan legitimasi bagi kekuasaan Orde Baru.

kecurangan Golkar dalam pemilu 1997 dan terbentuknya kabinet KKN. Pemilihan Umum tahun 1997 merupakan pemilihan umum yang dianggap sebagai pemilihan umum yang paling banyak terdapat kecurangan. Pemilu tersebut menghasilkan pemerintahan yang sangat kental nuansa kolusinya. Kabinet Pembangunan VII ditandai oleh adanya sejumlah anggota  keluarga dan kerabat serta kroni Soeharto, misalnya dengan duduknya Siti Hediati Rukmana atau yang lebih dikenal dengan nama Tutut sebagai Menteri Sosial.


LATAR BELAKANG POLITIK LUAR NEGERI

Selain faktor-faktor yang berasal dari dalam negeri, juga terdapat sejumlah faktor dari luar negeri yang mendorong jatuhnya pemerintahan Orde Baru sebagai berikut ;

→ dicanangkannya Glasnost dan Perestroika oleh Mikhail Gorbachev. Hal itu menandai semakin kuatnya aspirasi demokrasi di tataran global. Bukan saja Amerika dan negara-negara Eropa Barat yang mengusung gagasan demokratisasi dan pengakuan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia, tetapi juga Uni Soviet yang selama ini dikenal sebagai negara yang mendukung pemerintahan diktator. Perestroika yang dicanangkan oleh Gorbachev telah mendorong proses demokratisasi di Eropa Timur yang berdampak kepada tumbangnya pemerintahan negara-negara diktator di kawasan tersebut.

→ Terjadinya People Power di Philipina. People Power yang berlangsung di Filiphina pada tahun 1986 telah berhasil menumbangkan pemerintahan diktator Marcos yang telah berkuasa sewenang-wenang.

→ Terjadinya Peristiwa Tiananmen pada Juni 1989. Peristiwa Tiananmen merupakan puncak dari tuntutan demokrasi dan pengakuan Hak-Hak Asasi manusia yang disuarakan oleh para mahasiswa di China. Walaupun gagal mengubah kebijakkan dalam negeri China dan tewasnya ribuan demonstran akibat serangan brutal yang dilakukan oleh Tentara Pembebasan Rakyat, akan tetapi peristiwa tersebut telah menunjukkan bahwa keinginan untuk bebas dari segala penindasan dan ketidakadilan akan tetap berlangsung walaupun dengan korban jiwa yang sedemikian besar.

LATAR BELAKANG EKONOMI

Selain karena faktor politik dan sosial, penyebab dari tumbangnya pemerintahan Orde Baru adalah dikarenakan oleh persoalan ekonomi. Pada awalnya pembangunan ekonomi Orde Baru telah mencapai hasil-hasil yang mengagumkan, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan menurunnya angka pengangguran dan kemiskinan, akan tetapi krisis moneter dan ekonomi yang menimpa Indonesia di tahun 1997-1998 telah mengakibatkan runtuhnya perekonomian Orde Baru.

Krisi ekonomi di Asia tahun 1997 pada akhirnya memukul Indonesia jauh lebih keras dibandingkan dengan negara-negara lain yang sebelumnya menjadi korban seperti Thailand dan Korea Selatan. Hal itu disebabkan tingkat korupsi di Indonesia jauh lebih parah dibandingan negara-negara lainnya. Politik Indonesia juga jauh lebih tidak demokratis  dibandingkan kedua negara tersebut.

Diantara persoalan di bidang perekonomian yang terjadi menjelang berakhirnya pemerintahan Orde Bau adalah sebagai berikut :

gagal panen tahun 1997 yang mengakibatkan terjadinya krisis pangan dan terbatasnya pasokan barang kebutuhan pokok rakyat.

terjadinya pembusukan sistem ekonomi  dengan dilaksanakannya pola pembangunan hiperpragmatis yang semaat-mata berorientasi bisnis dan mengabaikan dimensi sosial dalam pembangunan

kebijakan deregulasi perbankan dengan adanya Paket Oktober/Pakto 1988 yang tidak diimbangi oleh sistem pengawasan perbankan yang efektif. Hal ini mengakibatkan menjamurnya bank-bank bermasalah yang kemudian mengalami krisis likuiditas dan mendorong terjadinya kredit macet

adanya “Ekonomi Balon” (Buble Economy) . Ekonomi Balon adalah sebuah konsep yang menggambarkan keadaan makro ekonomi yang seakan-akan terlihat baik akan tetapi hal tersebut tidak menggambarkan kondisi yang sesungguhnya. Pada kenyataannya kondisi perekonomian riil masyarakat sedang mengalami keterpurukan. Menurut Paul Krugman kondisi ini terjadi karena dominasi  sektor non perdagangan terutama sektor properti dan pasar uang. Pemerintah Orde Baru telah mengambil strategi ekonomi yang tidak tepat dengan lebih mengutamakan dan memprioritaskan pengembangan sektor finansial lebih dominan dibandingkan sektor riil.

Hutang luar negeri yang sangat besar, baik hutang pemerintah maupun hutang swasta. Hutang-hutang tersebut pada akhirnya melonjak seiring dengan jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar ketika terjadinya krisis moneter tahun 1997-1998.

strategi pembangunan yang tidak tepat : Pada tataran makro ekonomi, pemerintah menggunakan strategi pembangunan ekonomi berdasarkan konglomerasi. Sistem ini memungkinkan para pemilik perusahaan-perusahaan besar atau para konglomerat menikmati berbagai fasilitas kekuangan dan perbankan dari pemerintah.

Hal ini diharapkan akan mengakibatkan kemajuan perusahaan-perusahaan tersebut yang pada akhirnya akan memberikan efek domino kepada pertumbuhan perekonomian rakyat. Akan tetapi strategi ini terbukti gagal, sebab keuntungan besar yang didapatkan oleh para konglomerat tersebut tidak sebanding dengan hasil yang didapatkan oleh rakyat. Upah buruh masih sangat kecil dengan ketiadaan jaminan sosial bagi tenaga kerja.

berlangsungnya KKN dan praktek-praktek monopoli seperti terigu,kacang kedelai oleh Salim Group dan cengkeh oleh BPPC. Praktek-praktek semacam ini telah mengakibatkan perekonomian telah kehilangan kedinamisannya. Persaingan usaha yang diharapkan akan memicu produktifitas telah digantikan oleh sistem perburuan  rente, di mana pihak yang dekat dengan kekuasaan akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

Keterpurukan perekonomian Orde Baru mencapai puncaknya ketika pemerintah Orde Baru harius menerima sejumlah saran dari IMF melalui program penyesuaian struktural yang cenderung dipaksakan. kesalahan rekomendasi IMF melalui Letter of Inten yang ditandatangani pada tahun 1997 oleh pemerintah Orde Baru meliputi  hal berikut ;

→ pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM)  dan Tarif Dasar Listrik (TDL)

→ penghentian dukungan non-budgeter ke IPTN

→ penundaan 12 mega proyek

→ merger sejumlah bank BUMN

→ kebebasan bank asing beroperasi di Indonesia

→ swastanisasi bank-bank negara

→ pembatasan monopoli BUMN hanya pada beras

→ kebebasan impor beras












REFERENSI :


Adrinov Chaniago, Gagalnya Pembangunan, Membaca Ulang Keruntuhan Orde Baru, Jakarta : LP3ES, 2012

Edward Aspinal (ed), Tittik Tolak Reformasi, Hari-Hari Terakhir Presiden Soearto, Yogyakarta : LKiS, 2000

Muhammad Hisyam (Ed), Krisis Masa Kini Dan Orde Baru, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2003





Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEBERHASILAN DAN KEGAGALAN ORDE BARU