POLITIK AKOMODASI ISLAM ORDE BARU


POLITIK AKOMODASI ISLAM ORDE BARU


PENGANTAR

Hubungan antara Soeharto dan Islam bersifat pasang surut. Pada akhir Demokrasi Terpimpin , Soeharto yang mewakili kubu Angkatan Darat mengadakan aliansi dengan kelompok Islam. Ketika itu Islam dianggap sebagai sekutu alami Soeharto karena sama-sama memiliki kecenderungan anti kiri, yaitu anti terhadap PKI dan juga terhadap Presiden Sukarno yang dianggap banyak memberikan ruang terhadap PKI.Kelompok Islam terutama dari kalangan tradisionalis bersikap aktif dalam membantu Angkatan Darat menghabisi PKI dan para pendukungnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Akan tetapi, setelah kondisi politik semakin stabil dengan tergusurnya rezim Orde Lama, hubungan antara Soeharto dan kelompok Islam menjadi merenggang. Hal itu disebabkan kecurigaan Soeharto terhadap kelompok Ilsam yang memiliki agenda yang berbeda dengan pemerintah Orde Baru.
 Soeharto menganggap kelompok Islam masih memiliki agenda Piagam Jakarta. Hal inilah yang menjadikan hubungan keduanya memburuk. Di sisi lain kelompok Islam mulai menuntut haknya agar mendapat ruang dalam struktur politik Orde Baru. Mereka merasa berjasa telah membantu Orde Baru dalam mengakhiri kekuasaan Sukarno.

Hubungan antara Soeharto dan kelompok Islam semakin memburuk ketika Soeharto berupaya menjinakkan kelompok Islam dengan mengeluarkan kebijakan Asas Tunggal Pancasila. Kebijakkan ini mengharuskan setiap organisasi massa dan partai politik Islam hanya menggunakan asas Pancasila. Kebijakkan ini menimbulkan reaksi yang keras dan semakin menjauhkan Orde Baru dari umat Islam. Penolakan terhadap kebijakkan tersebut yang berujung kepada terjadinya peristiwa Tanjung Priok mendorong pemerintah Orde Baru menjalankan politik represif terhadap umat Islam. Bentuk politik represif pemerintah terhadap umat Islam diantaranya adalah :

pengebirian Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) dengan melarang tokoh-tokoh senior eks Masyumi untuk duduk sebagai pengurus

Menteri Daud Joesoef mengurangi kewenangan Depatermen agama dalam bidang pendidikan

pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang disinyalir mewacanakan pluralisme agama

penghapusan libur puasa

Pencekalan anggota HMI yang ingin menjadi Pegawai Negeri Sipil / Aparatur Sipil Negara

RUU Perkawinan (1973)

Penataran P4

Aliran Kepercayaan Terhadap Tuhan YME masuk ke dalam GBHN

pembersihan terhadap perwira yang cenderung dekat dengan Islam oleh Benny Moerdani

Stigma Islam sebagai oposan pasca Peristiwa Komando Jihad

Peristiwa Tanjung Priok

Peristiwa Warsidi di Talangsari Lampung

Politik represif terhadap umat Islam ini kemudian berakhir pada akhir tahun 1980-an. Pada saat itu terjadi perubahan penting dalam kaitannya antara pemerintah Orde Baru dan umat Islam. Pemerintah Orde Baru kemudian mengambil kebijakkan yang sama sekali berbeda dengan berupaya merangkul dan kemudian menjalankan akomodasi politik terhadap umat Islam.
Perubahan sikap politik Soeharto terhadap umat Islam ini telah banyak menimbulkan pertanyaan pada banyak pihak. Sebagian menganggap  perubahan tersebut hanyalah bagian dari strategi politik Soeharto  belaka. Saat itu Soeharto melihat adanya kebangkitan Islam bukan saja di tingkat global akan tetapi juga di tingkat nasional.

Terjadi Islamisasi yang meluas baik di kalangan rakyat maupun dalam pemerintahan. Kebangkitan Islam tersebut menunjukkan adanya kegairahan baru dalam beragama di kalangan rakyat. Hal itulah yang mendorong Soeharto untuk mendekati umat Islam dan organisasi massa Islam termasuk para cendekiawan muslim.

Pandangan lain melihat perubahan sikap politik Soeharto terhadap Islam memang bersifat personal. Pandangan ini melihat adanya perubahan pandangan keberagaam dalam diri Soeharto. Pasca meninggalnya Soedjono Humardhani yang merupakan teman spiritualnya dalam dunia kebatinan Jawa, Soeharto seakan-akan “mendapatkan hidayah”. Soeharto kemudian mulai melakukan pendekatan terhadap Islam dan melonggarkan tekanannya terhadap umat Islam. Hal itu kemudian berlanjut dengan diakomodasinya sejumlah kepentingan umat Islam oleh Soeharto.


DASAR PERSEKUTUAN ISLAM DAN ORDE BARU

Menurut Robert Hefner, Pemerintah Orde Baru yang didominasi oleh kalangan militer memiliki sejumlah kesamaan dengan kalangan Islamis, diantaranya adalah sebagai berikut :

→ anti Komunis ;

Bagi militer khususnya Angkatan Darat dan kelompok Islam, Komunis merupakan “musuh abadi’. Komunis dianggap telah melakukan permusuhan terhadap militer dan Islam, baik ketika terjadinya pemberontakan PKI di Madiun, di mana banyak tokoh ulama Islam dan kalangan militer yang menjadi korban keganasan PKI, maupun menjelang meletusnya Gerakan Tigapuluh September1965. Pada saat itu PKI secara aktif melakukan ofensif manipolis menyerang pimpinan umat Islam dan jenderal-jenderal Angkatan Darat.

→ sama-sama memiliki kecenderungan totaliter ;

Baik kalangan Islamis, yaitu kalangan Islam Politik dan militer memiliki kecenderungan mengontrol segala aspek kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, kekuasaan para Mullah di Iran menunjukkan betapa kalangan Islamis memiliki kesulitan dalam beradaptasi dengan demokrasi, dan demikian pula dnegan kalangan militer.

→ sama-sama anti-Globalisasi, demokratisasi dan HAM ;

kalangan Islamis sebagaimana kalangan militer menentang segala pranata Barat dan nilai-nilai masyarakat Barat seperti demokrasi, pluralisme dan Hak Asasi Manusia.

→ Islam Modernis dianggap selaras dengan program modernisasi pemerintah ;

pada masa Orde Baru, pemerintah lebih cenderung mengakomodir kalangan Islam modrnis ketimbang kelompok tradisional. Hal itu disebabkan karena paradigma kalangan modernis seperti Muhammadiyah lebih dapat diterima oleh pemerintah Orde Baru.

Pemerintah Orde Baru sedang meaksanakan pembangunan dan modernisasi di berbagai aspek kehidupan. Pemerintah Orde Baru juga lebih memiliki kecenderungan terhadap kalangan modernis yang lebih mengedepankan rasio dan terbuka terhadap adanya gagasan-gagasan yang baru.

→ Kecenderungan adanya santriisasi di kalangan masyarakat abangan dan elit birokrasi Orde Baru ;

Pada era tahun 1990-an, Soeharto melihat adanya gejala santriisasi, di mana banyak kalangan Abangan dan priyayi yang mulai mempelajari agama dan mendekat kepada ajaran-ajaran agama. Hal itu ditandai oleh semakin banyaknya jumlah orang yang menunaikan ibadah haji dan umroh serta maraknya kegiatan keagamaan dan pengajian-pengajian kantor.

→ kecenderungan ijo royo-royo dan ABRI Hijau ;

Islamisasi bukan saja terjadi di kalangan masyarakat sipil di luar pemerintahan. Di dalam tubuh ABRI sendiri terdapat kelompok yang dekat dengan Islam. Mereka tidak seperti “kelompok Benny” yang cenderung dipersepsikan sebagai ‘anti-Islam’ atau Islamo-Phobia. Mereka, para Jenderal Hijau ini seperti Jenderal Prabowo, Feisal Tanjung dan Hartono memiliki pandangan yang positif terhadap Islam dan umat Islam. Naiknya para “jenderal hijau” ini dalam jajaran pimpinan militer tidak pelak telah mengakibatkan terjadinya perubahan budaya di lingkungan ABRI.

Pada era 1990-an anggota dan perwra ABRI tidak lagi khawatir menunjukkan aktivitas keislamannya di lingkungan ABRI, berbeda halnya ketika Benny Moerdani dan kelompoknya memegang kekuasaan di dalam ABRI. Saat itu para anggota dan perwira muslim mengalami kesulitan dalam menjalankan ibadah.

Sampai-sampai Jenderal Try Sutrisno yang notabene dikategorikan sebagai bagian dari kelompok Benny pernah ditegur oleh Benny karena menggunakan “baju muslim” ketika menunaikan ibadah Shalat Jum’at. Hal yang sama dialami oleh seorang perwira yang harus ditegur atasannya hanya karena di ruang kerjanya terdapat sajadah untuk melaksanakan shalat.


LATAR BELAKANG AKOMODASI ISLAM

Perubahan sikap politik Soeharto terhadap Islam sudah melalui proses yang panjang. Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi perubahan sikap dan pandangan Soeharto tersebut. Beberapa hal yang melatarbelakanginya diantaranya adalah :

● Wafatnya Soedjono Humardhani, yang merupakan tokoh klenik dan sekaligus guru mistis Soeharto ;

Soedjono Humardhani adalah salah satu anak buah Soeharto semenjak duduk sebagai Panglima Kodam Diponegoro, Jawa Tengah. Selain itu, Soedjono juga merupakan sahabat Soeharto dalam dunia kebatinan Jawa. Soedjono menurut Jenderal Sumitro seringkali berperan sebagai tokoh supranatural yang berupaya mempertahankan kekuasaan Soeharto melalui klenik.

Akan tetapi, meninggalnya Soedjono telah mengakibatkan terjadinya perubahan pandangan dan sikap Soeharto. Soeharto pasca meninggalnya Soedjono sudah enggan mengikuti aliran kebatinan Jawa. Soeharto kemudian berpaling kepada Islam. Soeharto mulai aktif mempelajari Islam salah satunya dari ceramah-ceramah yang disampaikan oleh Nurcholis Madjid dan Qurays Shihab yang kemudian diangkat oleh Soeharto sebagai Menteri Agama pada masa akhir kekuasaannya.

● Soeharto mulai berjarak dengan ABRI dan mencoba mencari perimbangan kekuasaan baru :

Pada tahun 1990-an Soeharto terlihat memiliki jarak dengan ABRI. Hal itu disebabkan karena Soeharto tidak menyukai sejumlah pimpinan ABRI yang selalu berupaya melakukan oposisi terhadap kebijakkannya. Terdapat sejumlah kebijakkan Soeharto yang ditentang oleh sebagian pimpinan ABRI atau tindakan yang dilakukan oleh elit militer yang dianggap tidak sesuai dengan keinginan Soeharto, misalnya ;

Yoga Sugama mengusulkan agar Soeharto melakukan regenerasi dengan menguslkan seornag tokoh agar menjadi Presiden menggantikan Soeharto

Ali Murtopo dan Sumitro yang terindikasi memiliki ambisi untuk menggantikan Soeharto sebagai presiden

M.Yusuf yang dianggap sudah terlalu populis dan juga memiliki potensi menggalang kekuatan untuk mencalonkan diri sebagai presiden

Benny Moerdani yang disingkirkan oleh Soeharto karena pernah mengusulkan agar Soeharto mencegah anak-anaknya melakukan kegiatan bisnis

● Terjadinya fenomena ijo royo-royo ;

Seiring dengan menjauhnya Soeharto dengan para jenderal binaan Benny Moerdani, terjadi arus Islamisasi di kalangan birokrasi dan pemerintahan. Fenomena ini disebut dengan istilah ijo royo-royo. Ketika itu Golongan Karya banyak diisi oleh para politisi muda yang berlatar belakang Himpunan Mahasiswa Islam  (HMI).

● Soeharto menunaikan ibadah haji pada tahun 1991 ;

peristiwa ketika Soeharto menunaikan ibadah haji oleh sebagian kalngan dianggap sebagai titik tolak perubahan sikap dan pandangan Soeharto terhadap Islam. Setelah itu Soeharto kemudian memberikan keleluasan bagi umat Islam dalam menjalankan ajaran Islam, termasuk memberikan dukungan bagi berkembangnya proses Islamisasi pada masa selanjutnya.


BENTUK AKOMODASI ISLAM OLEH SOEHARTO

Politik akomodasi Islam yang dilakukan oleh Soeharto diantaranya sebagai berikut :

RUU Sisdiknas tentang pelajaran agama

RUU Peradilan Agama

Kasus Monitor

Larangan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB)

Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila

Bank Mualamat Indonesia

Iman dan Taqwa (IMTAQ) masuk ke dalam GBHN

Penghapusan larangan jilbab di dunia pendidikan

Pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)

Pengiriman 1000 da’i untuk daerah-daerah terpencil

 semakin maraknya media massa Islam

Penayangan Pelajaran Bahasa Arab di TVRI

13.Islamisasi tentara dan ABRI Hijau seperti Jenderal Feisal Tanjung dan Hartono

14. Melakukan debennyisasi


DAMPAK POLITIK AKOMODASI ISLAM

Proses Islamisasi dari atas yang didukung oleh pemerintah Orde Baru sejak tahun 1990-an telah menimbulkan pengaruh yang cukup luas. Diantaranya adalah munculnya sejumlah tokoh muslim yang pada masa Reformasi memegang peranan yang cukup penting.

Politik akomodasi Islam oleh Soeharto juga menyebabkan terbukanya jalan bagi proses Islamisasi lebih lanjut pasca tumbangnya pemerintahan Orde Baru. Pada masa Reformasi, agama sebagaimana etnis menjadi wacana yang mengemuka di ruang publik.

Pada masa Reformasi, proses Islamisasi terjadi di berbagai lini kehidupan seperti di dunia pendidikan, terdapat banyak simbol-simbol keislaman baik kaligrafi di sekolah-sekolah negeri dan banyaknya siswi sekolah dasar dan menengah yang menggunakan hijab. Dikalangan aparatur pemerintahan baik sipil dan militer penggunaan hijab baik dari anggota maupun istri aparat juga menjadi sebuah fenomena umum.

Di bidang perekonomian Islamisasi juga berlangsung dengan cepat yang ditandai  oleh berdirinya berbagai lembaga keuangan syariah seperti bank syariah, lembaga amil zakat (Badan Amil Zakat), asuransi syariah, dan lain sebagainya.

Dalam bidang politik Islamisasi terlihat dari adanya pergeseran platform partai politik. Pada masa Reformasi terdapat kecenderungan partai-partai politik yang ada berusaha menampilkan diri sebagai partai yang relijius. Bahkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang dikenal dan dipersepsikan sebagian masyarakat sebagai partai ‘merah’ dan “abangan’ juga berupaya mengakomodasi Islam. Hal itu terlihat dari berdirinya Baitul Muslimin, yang menjadi organisasi sayap PDIP untuk mendapatkan suara dari kalangan pemilih muslim.

Pada awal berlangsungnya era Reformasi bahkan wacana Piagam Jakarta yang sepanjang era Orde Baru menghilang kembali muncul. Sejumlah partai politik Islam sempat mengusung kembali wacana tersebut walaupun tidak menghasilkan dukungan yang signifikan.

Proses legislasi yang berlangsung di parlemen juga menunjukkan adanya ‘proses Islamisasi’. Misalnya sejumlah perundangan yang berkaitan dengan aspek ajaran Islam bermunculan, mulai dari rancangan undang-undang mengenai zakat, haji, sampai kepada sihir dan perzinahan.

Di daerah proses Islamisasi justru semakin terang-terangan. Sejumlah daerah mendeklarasikan sebagai daerah yang mengusung Syariat Islam  seperti di Sulawesi Selatan. Di daerah tersebut berdiri Komite Persiapan Penegakkan Syariat Islam (KPSI) yang dideklarasikan pada Kongres Umat Islam tahun 2000 dan 2001. 

Gerakan ini dilanjutkan dengan berbagai langkah politik melalui perjuangan legislasi di DPRD, pemerintah daerah, dan bahkan melalui DPR RI untuk memperjuangkan otonomi khusus bagi Sulawesi Selatan yang muatan isinya ialah penerapan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.(Nashir, 2013). Hal yang serupa juga terjadi di Aceh.

Di Aceh bahkan sempat terjadi peristiwa yang kontroversial ketika dilaksanakan hukuman cambuk terhadap sejumlah pelaku perjudian, perzinahan, dan pelacuran pada Juni 2005 di Bireun. Pemberlakuan hukum cambuk tersebut menyusul setelah ditandatanganinya Surat Keputusan Pelaksana Gubernur Nanggroe Aceh Darusalam, Azwa Abubakar tanggal 10 Juni 2005.








REFERENSI :

Abdul Azis Thaba, Islam Dan Negara Dalam Politik Orde Baru, Jakarta : Gema Insani Pres,1996

Haedar Nashir, Islam Syariat, Produksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, Bandung : Mizan, 2013

M.J.Ricklef, Mengislamkan Jawa, Jakarta : Serambi, 2013


Ramadhan K.H, Soemitro, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994
Robert Hefner, Civil Islam, Islam Dan Demokratisasi di Indonesia,Yogyakarta : LKiS,2000

Salim Haji Said, Menyaksikan 30 tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto






Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN

STATUS OBJEKTIF DAN STATUS SUBJEKTIF

TAWURAN SEBAGAI SUATU GEJALA SOSIAL (ANALISIS SOSIOLOGIS KONFLIK SOSIAL DI PERKOTAAN)