POLITIK PANGAN ORDE BARU DAN KRITIK TERHADAP REVOLUSI HIJAU
POLITIK
PANGAN ORDE BARU DAN KRITIK TERHADAP REVOLUSI HIJAU
Masalah pangan merupakan masalah stretegis yang dihadapi
oleh pemerintah Indonesia. Semenjak Indonesia merdeka, pemerintah berupaya
mengantisipasi persoalan pangan ini. Masalah pangan bukan semata-mata persoalan
ekonomi akan tetapi juga menyangkut masalah politik dan nasionalisme. Pemerintah
Indonesia merdeka menilai bahwa persoalan pangan harus segera diatasi karena
berkaitan langsung dengan politik pemerintah yang saat itu sedang menghadapi
sekutu dan NICA yang hendak mengembalikan kolonialismenya di Indonesia.
Beberapa
kebijakan dan rancangan strategi pangan nasional, diantaranya adalah :
→ Mengadakan
Konferensi Ekonomi dalam rangka membahas permasalahan sandang, pangan, dan paan
serta status perkebunan-perkebunan Belanda di Indonesia
→ Kasimo Plan, yaitu program swasembada beras berupa
penanaman bibit unggul, penanaman lahan-lahan kosong di Sumatera Timur dan
pelarangan pemotongan hewan ternak.
Pada masa Demokrasi Liberal, kebijakkan pangan cenderung
berjalan tersendat-sendat, demikian pula dengan program ekonomi lainnya. Hal
itu disebabkan kondisi politik yang sangat tidak stabil. Sistem parlementer
yang memungkinkan adanya kelompok oposisi telah mengakibatkan kabinet yang ada
jatuh silih berganti. Hal itu diperparah dengan terjadinya sejumlah
pemberontakan dan gerakan separatis yang sebagian terjadi di daerah pedesaan
dan pertanian. Semua hal ini turut menjadikan sektor pertanian dan pangan
mengalami ketertinggalan.
Pada masa Demokrasi Terpimpin kondisi pangan juga tidak
membaik. Kebijakkan perekonomian saat itu lebih banyak dikooptasi dengan
kepentingan politik. Politik pemerintah cenderung tidak memberikan dukungan
terhadap ketersediaan pangan. Selama awal tahun 1960-an lebih dari 1 juta ton
beras diimpor setiap tahun untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri. Harga
beras sebagai kebutuhan dasar pendudukpun teru mengalami kenaikan dan hal ini
memperkuat tekanan inflasi. Oleh karena itu hal ini mendorong munculnya
ketidakpuasan terhadap pemerintah yang berujung kepada terjadinya kerusuhan
politik seperti Peristiwa Gerakan Tigapuluh September 1965.
Ketika Demokrasi Terpimpin berakhir, pemerintah Orde Baru
berupaya menata kembali permasalahan pangan di Indonesia. Pemerintah Orde Baru
menganggap bahwa masalah perekonomian dan pangan hanya dapat diselesaikan
apabila kondisi politik relatif stabil.
Oleh sebab itu pemerintah Orde Baru berupaya merombak dan
menyesuaikan struktur politik yang ada sehingga mendukung tumbuhnya kondisi
yang kondusif bagi terlaksananya pembangunan ekonomi dan pangan. Sebagai
konsekuensinya, pada masa Orde Baru demokrasi disesuaikan dengan kepentingan
pemerintah untuk mewujudkan stabilitas politik.
Dalam rangka menunjang keberhasilan politik pangan,
pemerintah Orde Baru berupaya mendorong para petani agar fokus pada kegiatan
produksi pertanian. Sebagai konsekuensinya pemerintah kemudian merancang sistem
politik yang memastikan wilayah pedesaan steril terhadap aktivitas politik.
Pemerintah Orde Baru kemudian mengadakan sistem massa mengambang (Floating
Mass).
Konsep ini melarang adanya aktivitas politik dan partai
politik di tingkat pedesaan. Partai politik dalam hal ini Partai Persatuan
Perjuangan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) tidak diperbolehkan
memiliki kepengurusan di tingkat desa. Hal ini dilakukan dalam rangka menjamin
fokusnya para petani dalam melakukan kegiatan produksi bahan pangan dan
terselenggaranya program pengadaan pangan oleh pemerintah.
KEBIJAKKAN
PANGAN PADA MASA ORDE BARU
Kebijakkan pangan pada masa awal Orde Baru memberikan
tekanan pada bidang produksi dan konsumsi beras. Pada waktu itu kebijakkan
beras adalah identik dengan kebijakkan pangan. Alat-alat kebijaksanaan yang
digunakan tidak banyak berbeda dengan alat-alat kebijaksanaan pada masa
sebelumnya. Perbedaannya terletak pada perencanaan yang lebih baik, keahlian
yang makin mantab dan konsistensi yang makin besar dalam pelaksanaan alat-alat
kebijaksanaan tersebut.
Menjelang akhir
tahun 1970-an, setelah mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, Indonesia
dihadapkan pada pilihan yang sulit di bidang kebijaksanaan pangan, yang
merupakan konsekuensi dari keberhasilan kebijaksanaan beras dan pembangunan
ekonomi. Di dalam Repelita III, swasembada beras telah diganti dengan tujuan kebijaksanaan
yang lebih luas, yaitu swasembada di bidang pangan.(Booth, 1979)
Kebijakkan pangan Orde Baru sebagian merupakan kelanjutan
dari program yang dirumuskan sebelumnya. Misalnya, program Panca Usaha tani
yang dirumuskan pertama kali pada tahun
1963 dan diperluas pada tahun 1964 kembali digunakan oleh Orde Baru. Panca
Usaha tani antara lain mencakup :
❶ penggunaan
air
❷ pengendalian
air yang lebih baik
❸ penggunaan
bibit pilihan, pupuk dan pestisida
❹ cara-cara
bercocoktanam yang baik
❺ pembentukan
koperasi pertanian
REVOLUSI
HIJAU
Revolusi Hijau adalah upaya melipatgandakan hasil produksi
pertanian yang berujuan mencapai swasembada pangan. Revolusi Hijau ini
dilatarbelakangi oleh adanya ramalan dari Malthus tentang akan adanya krisis
pangan sebagai akibat dari adanya kesenjangan antara pertumbuhan penduduk yang
sangat tinggi dan lambatnya pertumbuhan produksi pertanian. Kondisi ini
diperparah dengan rusaknya jutaan hektar lahan pertanian akibat Perang Dunia
Kedua dan Perang Vietnam.
Di Indonesia sendiri Revolusi Hijau dilatarbelakangi oleh
adanya kemunduran sektor pertanian terutama beras. Ketika Orde Baru
mengambilalih kekuasaan, sektor pertanian di Indonesia berada dalam keadaan
yang menyedihkan. Produksi beras di Jawa dalam tahun 1965 hanya 2 % lebih
tinggi dari pada produksi tahun 1954. Tingkat produksi yang terakhir inipun
hanya kurang lebih sama dengan tingkat produksi sebelum Perang Dunia II.
Hasil beras perhektar
untuk seluruh Indonesia tidak menunjukkan kenaikkan selama sepuluh tahun
. Kenaikan produksi bersumber semata-mata dari luar Jawa yang menunjukkan
kenaikkan rata-rata sebesar 1 % setahun karena adanya perluasan areal produksi.
Dengan pertumbuhan penduduk sebesar 2 % setiap tahun mengakibatkan makin
membesarnya defisit beras bagi negara.
Kebijakkan impor beraspun juga tidak dapat dilakukan terus
menerus. Hal ini disebabkan pasaran beras dunia juga tidak stabil.
Ketergantungan Indonesia terhadap impor beras sangat mengkhawatirkan. Dalam
tahun 1977 impor Indonesia mencapai 1/3 dari seluruh beras yang diperdagangkan
di pasar dunia. Hal ini tentu saja
mengandung kerawahan pada aspek ketahanan pangan.
Di sisi lain, pertumbuhan tanaman substitusi pengganti
beras juga tidak menunjukkan hal-hal yang menggembirakan. Produksi ubi jalar
tidak menunjukkan kenaikan, meskipun produksi ubi kayu, jagung, kacang tanah,
kacang kedele menunjukkan kenaikan, dan hanya produksi jagung yang tumbuh
melebihi tingkat pertumbuhan
penduduk.Sumber kenaikan produksi terutama sekali berasal dari pertambahan
areal dan bukannya dari kenaikkan hasil per hektar. (Booth, 1979)
Dalam
rangka memaksimalkan produksi bahan makanan pokok pemerintah Orde Baru
melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
● Memberikan akses petani kepada kredit pertanian dalam
rangka mempermudah pembiayaan sarana produksi melalui BRI.
● Pada pertengahan 1966 dibentuk Kolognas, suatu badan yang
baru dibentuk untuk menangani masalah logistik distribusi barang kebutuhan
pokok.
Kolognas memiliki tugas tambahan untuk menyalurkan dana kepada para anggota Bimas melalui para gubernur dan bupati di Jawa Timur, Jawa Barat dan Sumatera Utara yang ketika itu menjadi provinsi-provinsi utama bagi program Bimas.
Kolognas memiliki tugas tambahan untuk menyalurkan dana kepada para anggota Bimas melalui para gubernur dan bupati di Jawa Timur, Jawa Barat dan Sumatera Utara yang ketika itu menjadi provinsi-provinsi utama bagi program Bimas.
Dalam perjalanannya, dengan semakin mantabnya Orde Baru,
Kolognas dibubarkan dalam tahun 1967 diganti dengan Bulog, sebuah badan yang
mengelola persediaan pangan dan bertanggungjawab langsung kepada presiden.
Badan ini kemudian tumbuh menjadi salah satu lembaga ekonomi terpenting pada
masa Orde Baru.Melalui Bulog pemerintah menetapkan beberapa kebijakkan
menyangkut tata niaga, seperti penetapan harga beras, impor kedelai, impor
terigu dan lain-lain. Dalam hal ini Bulog
berperanan dominan dalam stabilitas harga, distribusi dan penimbunan
komoditi pangan utama.
Selain Bulog, pemerintah juga membentuk lembaga-lembaga
baru lainnya seperti Badan Usaha Unit Desa (BUUD) DAN Koperasi Unit Desa (KUD).
Kedua lembaga ini dibentuk bertujuan untuk ikut serta dalam kegiatan pembelian
beras dalam negeri dan pemasarannya dalam waktu singkat.
Melalui BUUD dan KUD pemerintah berharap dapat memperbaiki
sistem pemasaran dan pengelolaan beras di dalam negeri dengan tujuan utama
melindungi kesejahteraan petani. Lembaga-lembaga ini diharapkan berperanan di
bidang distribusi pupuk, penyuluhan pertanian dan kredit pedesaan di
waktu-waktu yang akan datang.
● Pemerintah berupaya melakukan difersifikasi, bukan saja
difersifikasi produksi bahan pangan selain beras, akan tetapi juga
difersifikasi impor. Tingginya impor beras mendorong meningkatnya pengeluaran
pemerintah mengingat tingginya harga beras di pasaran dunia. Pemerintah
kemudian berencana meningkatkan impor bahan pangan susbtitusi beras seperti
gandum. Impor gandum dinilai memiliki sejumlah keuntungan tersendiri.
Harga gandum adalah setengah harga beras, dan gandum
menghasilkan kalori dua kali lipat untuk setiap devisa yang dibelanjakan. Di
samping itu, pasaran dunia bagi gandum jauh lebih besar dibandingkan dengan
beras, misalnya untuk tahun 1977, semua kebutuhan kalori Indonesia yang harus
diimpor dapat diperoleh dengan mengimpor gandum sejumlah kurang dari 2 % dari
seluruh gandum yang diperdagangkan di pasaran dunia.
Diversifikasi produk pertanian selain beras baru dilakukan
setelah Repelita III.Pada saat itu pemerintah sedang berupaya menggalakkan
ekspor non-migas untuk mengantisipasi melesunya oil boom. Produk bahan pangan yang dikembangkan dan dibudidayakan
saat itu antara lain jagung dan ketela.
● Mengadakan transmigrasi. Kegiatan transmigrasi ini
sebetulnya bukanlah sesuatu yang baru. Sejak zaman kolonial transmigrasi
(ketika itu disebut kolonisasi) sudah dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia
Belanda dalam rangka mengurangi tekanan penduduk dan ketidak seimbangan antara
rasio petani dan luas lahan pertanian di Jawa serta dalam rangka menyediakan
tenaga kerja pada perkebunan-perkebunan swasta dan sektor pertambangan di
Sumatera.
Program transmigrasi yang diselenggarakan oleh Orde Baru
menyasar daerah-daerah yang memiliki potensi lahan pertanian yang memadai
seperti di Pulau Kalimantan. Program transmigrasi selain untuk mengatasi
ketidakseimbangan penduduk dan pembangunan juga dilatarbelakangi oleh adanya
penurunan tingkat kesuburan di Jawa dan Bali.
Selama tahun 1970-an terjadi peningkatan jumlah transmigran
melebihi 70.000 orang pada tahun 1973-1974 dan juga tahun 1976-1977.
● Mengadakan program Keluarga Berencana. Program penyediaan
bahan pangan tidak dapat dilepaskan dari pertumbuhan jumlah penduduk.
Pemerintah Orde Baru menilai bahwa pertumbuhan jumlah penduduk harus dapat
dikendalikan mengingat terjadinya penurunan tingkat kesuburan lahan pertanian
di Jawa dan Bali yang berpengaruh pada berkurangnya pasokan kebutuhan pangan.
Pengendalian penduduk dilakukan melalui program Keluarga Berencana (KB).
Program ini terutama menyasar penduduk di Pulau Jawa dan Bali yang tingkat
pertumbuhan penduduknya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daerah
lainnya.
KRITIK
TERHADAP REVOLUSI HIJAU
Revolusi Hijau tidak lepas dari adanya berbagai kritik yang
terkait dengan dampak sosial dan ekologis yang ditimbulkannya. Memang Revolusi
Hijau telah menaikkan produksi pangan menjadi cukup signifikan. Pada tahun 1984
Indonesia mencapai swasembada pangan (baca ; beras) dan mendapatkan penghargaan
dari organisasi Pangan Dunia (FAO). Melalui Revolusi Hijau Indonesia berubah
dari negara pengimpor beras terbesar menjadi negara pengekspor beras. Produksi
beras tahun 1970-1990 secara spektakuler meningkat dari 19.180.000 ton menjadi
43.864.000 ton. Jawa secara konstan menyumbang 60 % produksi beras nasional.
Terlepas dari keberhasilannya, Revolusi Hijau juga telah
menimbulkan efek negatif yang mengundang sejumlah kritik, diantaranya adalah ;
→ Kebijakkan dan program Revolusi Hijau dianggap bias kota.
Kebijakkan tersebut dianggap lebih bertjuan untuk memenuhi kebutuhan pangan
khususnya masyarakat kota dan memosisikan para petani hanya sebatas penyedia
kebutuhan pangan masyarakat kota.
→ Revolusi Hijau di satu sisi berhasil menaikkan tingkat
produksi beras, akan tetapi di sisi lain memicu terjadinya inflasi. Produksi
beras yang berlebih mengakibatkan jatuhnya harga beras.
→ Revolusi
Hijau telah mengakibatkan kerusakan lingkungan dan ekologis yang diakibatkan
oleh penggunaan pupuk anorganik dan pestisida yang berlebihan.
→Revolusi Hijau telah mengakibatkan marjinalisasi kaum
perempuan dari sektor pertanian, dengan digunakannya alat-alat pertanian
modern. Modernisasi pertanian telah menyingkirkan kaum perempuan terhadap
pekerjaan produktif. Sejak Revolusi Hijau, dengan diperkenalkannya tipe padi
baru disertai pengenalan teknologi baru, secara sistematik telah mengusur peran
perempuan.
Perempuan yang biasanya menjadi tenaga utama di musim tanam
dan musim panen menjadi menganggur. Modernisasi dalam hal ini telah
menggantikan sistem subsisten dengan sistem pertanian berorientasi profit.
Revolusi Hijau telah menyingkirkan penggunaan ani-ani dalam kegiatan panen, padahal alat tersebut biasa digunakan
oleh perempuan pada kegiatan produksi pertanian. Berarti dalam hal ini Revolusi
Hijau dilaksanakan tanpa mempertimbangkan aspek gender.
→ Revolusi Hijau merupakan salah satu bentuk program
industrialisasi dan modernisasi pertanian yang bersumber dari ideologi
pembangunanisme yang sepenuhnya menganut logika pertumbuhan. Model ini mencoba
melakukan homogenisasi suatu model pertanian. Revolusi Hijau dianggap lebih
memberikan keuntungan kepada pemodal yang memiliki benih, pupuk dan pestisida
serta peralatan modern yang diganakan dalam pertanian.
Melalui Revolusi Hijau, benih menjadi komoditas komersial
dan privat. Dalam setiap musim tanam, petani harus membeli benih kepada
industri pertanian. Revolusi Hijau juga telah menggusur tidak saja ribuan jenis
atau varietas padi tradisional tetapi juga merampas keseluruhan tanaman padi
yang asal muasalnya berada di tangan petani Dunia Ketiga.
→ “Bibit unggul” yang selama ini didengung-dengungkan dalam
Revolusi Hijau ternyata tidak selalu unggul. Dalam beberapa kasus seperti di
Filiphina, padi yang dihasilkan dari bibit unggul ternyata dapat dirusak oleh
hama. Pada tahun 1970-1971 Wereng Tungro
telah menghancurkan jenis padi bibit unggul IR-8 di seluruh Filiphina.
→ Adanya lembaga-lembaga pertanian seperti Koperasi Unit
Desa (KUD) sebagai satu-satunya koperasi di tingkat kecamatan telah menggusur
lembaga rembug desa sebagai salah satu bentuk kearifan lokal. KUD dalam
pelaksanaannya juga telah berfungsi membatasi peran politik petani dengan memperkuat
adanya kontrol kepada petani di pedasaan.
→ Revolusi Hijau juga telah melanggengkan konsep
pembangunan yang berbasis hutang dan memunculkan ekonomi rente. Pengadaan
berbagai sarana dan infrastruktur pertanian seperti bibit, pupuk dan pestisida,
semuanya bersumber dari penjaman Bank Dunia. (Fakih, 2003)
REFERENSI
:
Anne Booth & Peter Mc Cawley (ed), Ekonomi Orde Baru,
Jakarta : LP3ES, 1979
Eddie Sius Riyadi (ed), Pembangunan
Tanpa Perasaan, Evaluasi Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta :
ELSAM, 2003
H.W.Arndt, Pembangunan Dan Pemerataan, Indonesia Di Masa
Orde Baru, Jakarta : LP3ES, 1983
Mansour Fakih, Analisis Gender Dan Transformasi Sosial,
Yogyakarta : InsistPress, 2008
Mansour Fakih,Bebas Dari Neoliberalisme, Yogyakarta :
Insist, 2003
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut
kesaksian nyata dan kabar baik !!!
BalasHapusNama saya mohammad, saya baru saja menerima pinjaman saya dan telah dipindahkan ke rekening bank saya, beberapa hari yang lalu saya melamar ke Perusahaan Pinjaman Dangote melalui Lady Jane (Ladyjanealice@gmail.com), saya bertanya kepada Lady jane tentang persyaratan Dangote Loan Perusahaan dan wanita jane mengatakan kepada saya bahwa jika saya memiliki semua persyarataan bahwa pinjaman saya akan ditransfer kepada saya tanpa penundaan
Dan percayalah sekarang karena pinjaman rp11milyar saya dengan tingkat bunga 2% untuk bisnis Tambang Batubara saya baru saja disetujui dan dipindahkan ke akun saya, ini adalah mimpi yang akan datang, saya berjanji kepada Lady jane bahwa saya akan mengatakan kepada dunia apakah ini benar? dan saya akan memberitahu dunia sekarang karena ini benar
Anda tidak perlu membayar biayaa pendaftaran, biaya lisensi, mematuhi Perusahaan Pinjaman Dangote dan Anda akan mendapatkan pinjaman Anda
untuk lebih jelasnya hubungi saya via email: mahammadismali234@gmail.comdan hubungi Dangote Loan Company untuk pinjaman Anda sekarang melalui email Dangotegrouploandepartment@gmail.com