PROGRAM TRANSMIGRASI PADA MASA ORDE BARU
PROGRAM
TRANSMIGRASI PADA MASA ORDE BARU
PENGANTAR
Pasca Orde Baru berhasil mengambilalih kekuasaan dari Orde
Lama, kondisi politik dalam negeri lambat laun mulai bersifat stabil. Relatif
tidak banyak terjadi gonjang-ganjing politik seperti pada masa sebelumnya. Soeharto
juga berhasil melakukan konsolidasi kekuasaannya dengan dukungan dari kalangan
militer khususnya Angkatan Darat. Melalui Komando Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban-sebuah lembaga ekstrakonstitusional yang dibentuk pasca
Suoersemar-Soeharto menekan kelompok oposisi sehingga mereka tidak cukup
efektif dalam mengancam kekuasaan Orde Baru.
Kondisi politik luar negeri khususnya di kawasan regional
Asia Tenggara juga relatif damai. Tindakan Soeharto yang menginisiasi
perdamaian dnegan Malaysia melalui Jakarta Accord yang ditandatangani antara
Indonesia dan Malaysia (dan kemudian Singapura) pada tahun 1966, maka
berakhirlah kampanye ganyang Malaysia yang tidak efektif itu. Penandatanganan
piagam perdamaian antara kadua negara tersebut kemudian mendorong terciptanya
perdamaian di regional Asia Tenggara. Tidak lama setelah itu, bersama dengan
empat negara Asia Tenggara lainnya, Indonesia kemudian mencetuskan berdirinya
kerjasama regional ASEAN pada 8 Agustus 1967.
Kondisi dalam negeri dan luar negeri yang stabil itulah
yang memungkinkan pemerintah Orde Baru dalam menata kehidupan berbangsa dan
bernegara. Salah satu persoalan yang menjadi sasaran utama pemerintah Orde Baru
adalah persoalan kependudukan, yaitu masalah tidak meratanya persebaran
penduduk di Indonesia. Semenjak zaman kolonial, Pulau Jawa telah menjadi
konsentrasi atau pemusatan penduduk. Penduduk Indonesia banyak berkumpul di
Pulau Jawa sehingga mengancam daya dukung pulau tersebut.
AWAL
MULA KEBIJAKKAN TRANSMIGRASI
Kegiatan transmigrasi ini sebetulnya bukanlah sesuatu yang
baru. Sejak zaman kolonial transmigrasi (ketika itu disebut kolonisasi) sudah
dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam rangka mengurangi tekanan
penduduk dan ketidakseimbangan antara rasio petani dan luas lahan pertanian di
Jawa serta dalam rangka menyediakan tenaga kerja pada perkebunan-perkebunan
swasta dan sektor pertambangan di Sumatera.
Pada akhir abad 19 M, Belanda berhasil menuntaskan politik
pasifikasi, yaitu politik penaklukkan terhadap kekuatan-kekuatan lokal yang ada
di Pulau Sumatera. Pada saat itu perlawanan sejumlah kekuasaan lokal seperti
Perang Padri, Perang Aceh, Perang Palembang dan Perang Tapanuli berhasil
dimenangkan oleh Belanda.
Sesudah itu Belanda kemudian membuka wilayah Sumatera sebagai
tempat pengembangan perkebunan-perkebunan swasta. Kondisi itu meluas ketika
Belanda kemudian mengeluarkan Undang-Undang Agraria tahun 1870 yang membuka
Sumatera bagi investasi asing seluas-luasnya. Dampaknya, ratusan pengusaha
swasta berbondong-bondong menanamkan modalnya dengan membuka
perkebunan-perkebunan tembakau dan karet di Pulau Sumatera.
Permasalahannya adalah luasnya lahan perkebunan yang dibuka
di Sumatera tidak diimbangi oleh ketersediaan buruh. Penduduk Sumatera saat itu
masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan penduduk di Pulau Jawa. Oleh
karena itu Belanda kemudian merancang program pemindahan penduduk dari Pulau
Jawa ke Sumatera. Akhirnya pada awal abad 20 M. atas gagasan dari Van De
Venter, Belanda mengeluarkan Politik Etis atau Politik Balas Budi. Politik itu
memuat ketentuan sebagai berikut :
❶ Edukasi
❷ Irigasi
❸Tansmigrasi (kolonisasi)
Melalui politik Etis Belanda kemudian secara
berangsung-angsur memulai program pemindahan penduduk dari Pulau Jawa ke
Sumatera guna mengisi kekosongan buruh di pulau tersebut. Beberapa daerah yang
menjadi sasaran pemindahan penduduk tersebut adalah wilayah Sumatera Selatan
dan Lampung serta kawasan Sumatera Timur (Pantai Timur Sumatera). Selain Pulau
Sumatera, daerah lain yang menjadi sasaran pemindahan penduduk oleh pemerintah
kolonial Belanda adalah Pulau Kalimantan. Pada tahun 1902 dilaksanakan migrasi
ke Ketapang. Kemudian sekitar tahun 1910 ke Pontianak dan sekitar tahun 1930 ke
Sambas.
BENTUK-BENTUK
TRANSMIGRASI
Transmigrasi itu sendiri terbagi menjadi
beberapa bentuk :
♦ transmigrasi umum ; biayanya
ditanggung oleh pemerintah
♦ transmigrasi khusus :
transmigrasi yang didasarkan pada tujuan atau alasan tertentu
♦ trasnmigrasi keluarga : yaitu
transmigrasi yang diajukan oleh keluarga transmigran agar diberangkatkan oleh
pemerintah
♦ transmigrasi lokal : yakni
transmigrasi hanya berpindah di dalam satu provinsi
♦ transmigrasi spontan atau
swakarsa : yaitu transmigrasi yang dilakukan secara sukarela dengan biaya dari
pihak yang bersangkutan
PROGRAM
TRANSMIGRASI
Program transmigrasi merupakan salah satu upaya yang
dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dalam mengatasi persoalan persebaran
penduduk. Melalui program transmigrasi pemerintah Orde Baru memfasilitasi
sejumlah migran dari daerah-daerah yang padat penduduknya seperti Pulau Jawa
untuk pindah dan menetap di daerah yang dianggap masih sedikit penduduknya.
Beberapa daerah yang menjadi tujuan transmigrasi antara
lain Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Papua, Aceh, Sumatera Selatan dan
Lampung.
Khusus mengenai Pulau Kalimantan, pulau ini merupakan salah satu
tujuan utama program transmigrasi pemerintah Orde Baru. Hal ini disebabkan
karena pulau Kalimantan memiliki luas lahan yang sangat memadai dan jumlah
penduduknya masih relatif sedikit.
Gagasan menjadikan Pulau Kalimantan sebagai daerah tujuan
migran pernah dicetuskan sebelumnya oleh Presiden Sukarno. Presiden Sukarno
pernah mengemukakan wacana pemindahan ibukota Indonesia ke Kota Palangkaraya,
Kalimantan Barat. Gagasan tersebut kemudian berkembang lagi pada masa
pemerintahan Joko Widodo yang mengembangkan kembali wacana pemindahan ibukota
ke Pulau Kalimantan.
Selain itu, pemilihan pulau Kalimantan sebagai sasaran
migran dari Jawa didorong oleh dibukanya pelayaran langsung dari Surabaya ke
Kalimantan Barat. Hal itu mengakibatkan terjadinya peningkatan arus
transmigrasi, bukan saja transmigrasi yang disponsori oleh pemerintah, tetapi
juga transmigrasi yang bersifat swakarsa.
Kebijakkan transmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah
Orde Baru memiliki beberapa tujuan sebagaimana yang ditetapkan melalui
Undang-Undang No.15 tahun 1997, yaitu ;
→ transmigrasi dilakukan agar mengurang tingkat kemiskinan
dengan melakukan penyebaran penduduk. Penduduk Indonesia diharapkan tidak hanya
terpusat di Pulau Jawa saja.
→meningkatkan kesejahteraan transmigran dan penduduk
setempat
→meningkatkan dan menyebarkan pemerataan pembangunan daerah
→memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa
→ pemerintah Orde Baru berharap dengan adanya transmigrasi
dapat terjadi proses interaksi sosial antaretnik yang pada akhirnya diharapkan
dapat mendorong terjadinya asimilasi dan amalgamasi antarkelompok etnik yang
ada.
Tujuan yang terakhir ini lebih bersifat politik. Pemerintah
Orde Baru berharap para transmigran yang berasal dari Pulau Jawa dan berlatar
belakang etnik Jawa dapat meredam potensi separatisme yang ada di sejumlah
daerah. Perimbangan demografis baru yang akan terjadi dengan adanya para
pendatang dari Pulau Jawa tersebut diharapkan akan semakin mengintegrasikan
pulau-pulau di luar Jawa ke dalam struktur politik Orde Baru yang cenderung
sentralistik.
Dalam perjalanannya, program transmigrasi mengalami
pergeseran tujuan, terutama setelah program pelita dijalankan. Setelah program
pelita diselenggarakan, transmigrasi bukan lagi sekedar kebijakkan demografis untuk memperbaiki
keseimbangan persebaran penduduk antara Jawa dan luar Jawa, tetapi juga
memiliki tujuan-tujuan lainnya. Program transmigrasi juga diharapkan bisa
mempercepat pelaksanaan pembangunan daerah dan memperkuat ketahanan nasional.
Program transmigrasi yang diselenggarakan oleh Orde Baru
menyasar daerah-daerah yang memiliki potensi lahan pertanian yang memadai
seperti di Pulau Kalimantan. Program transmigrasi selain untuk mengatasi
ketidakseimbangan penduduk dan pembangunan juga dilatarbelakangi oleh adanya
penurunan tingkat kesuburan di Jawa dan Bali.
Selama tahun 1970-an terjadi peningkatan jumlah transmigran
melebihi 70.000 orang pada tahun 1973-1974 dan juga tahun 1976-1977.
DAMPAK
PROGRAM TRANSMIGRASI
Program transmigrasi ini telah menimbulkan dampak yang
luas, baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif. Berikut ini yang
merupakan dampak dari program transmigrasi antara lain ;
❶
tersebarnya sistem pertanian beririgasi yang biasa dilakukan oleh etnik Jawa di
Kalimantan.
❷
terjadinya perkawinan antaretnis dan proses asimilasi budaya
❹
terjadinya sejumlah konflik bernuansa etnik di sejumlah daerah pasca runtuhnya
Orde Baru, antara lain di daerah berikut :
√ Konflik antara
etnis Madura dan etnik Dayak di Sampit, Kalimantan Tengah
√ Konflik antara etnik Melayu dan etnik Madura di
Kalimantan Barat
√ Konflik antara etnik Bali dan etnik Lampung di Lampung
√ munculnya sentimen anti-Jawa di Aceh oleh Gerakan Aceh Merdeka
√ Kerusuhan antara Suku Dayak dan Madura di Kalimantan
Barat tahun 1979,1983,1996,1997
❺
Termarjinalisasinya penduduk pribumi baik di bidang politik, ekonomi, sosial
dan budaya
❻ Dibangunnya infrastruktur untuk pengembangan
daerah yang menjadi tujuan para migran
REFERENSI
:
Agus Dwiyanto, Migrasi Dan Otonomi Daerah, Dapatkah
Berjalan Bersama ? Dalam Tukiran (ed),
Mobilitas Penduduk Indonesia, Tinjauan Lintas Disiplin, Yogyakarta : Pusat
Studi Kependudukan dan Kebijakkan UGM, 2002
Anne Booth & Peter Mc Cawley (ed), Ekonomi Orde Baru,
Jakarta : LP3ES, 1979
H.W.Arndt, Pembangunan Dan Pemerataan, Indonesia Di Masa
Orde Baru, Jakarta : LP3ES, 1983
Hendro Suroyo Sudagung, Mengurai
Pertikaian Etnis, Migrasi Swakarsa Etnis Madura Ke Kalimantan Barat, Jakarta :
ISAI, 2001
Situmorang (ed), Sisi Gelap Kalimantan Barat, Perseteruan
Etnis Dayak-Madura, Jakarta : ISAI, 1999
Komentar
Posting Komentar