POSITIVISME DAN METODE PENELITIAN KUANTITATIF


POSITIVISME DAN
METODE PENELITIAN KUANTITATIF


POSITIVISME

Positivisme merupakan aliran filsafat yang berkembang pertama kali di Eropa pada abad 18 M. Positivisme pertama kali dikemukakan oleh Isidore  Auguste Marie Francois Xavier atau yang lebih dikenal dengan August Comte (1798-1857 M). Filsafat Positivisme Comte sebenarnya berakar dari pemikiran Henri de Saint Simon, seorang tokoh filsafat Inggris.

Positivisme telah berhasil melakukan perubahan besar dalam kehidupan umat manusia. Manusia modern enggan untuk melakukan hal-hal yang tidak dapat dimengerti secara rasional. Positivisme telah mengembangkan akal budi manusia.  Meningkatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan kebudayaan materiil menunjukkan salah satu pengaruh dari Positivisme.

Pemikiran Positivisme Comte sebagaimana yang tertera dalam bukunya Course of Positive Philosophy, lahir ditengah perubahan sosial yang terjadi di Eropa yang ketika itu mengalami berbagai revolusi, diantaranya Revolusi Prancis. Revolusi tersebut mengakibatkan tatanan sosial yang sudah mapan dan ajeg dalam jangka waktu yang lama dapat runtuh begitu saja dalam waktu yang singkat.

Comte sangat prihatin terhadap anarki yang terjadi di masyarakat Prancis dan mencela para pemikir Prancis yang menimbulkan Pencerahan dan revolusi. Filsafat Positivismenya dimunculkan untuk memberantas sesuatu yang ia anggap sebagai filsafat negatif dan destruktif dari Abad Pencerahan.

Pemikiran Comte ditujukan untuk melakukan reformasi sosial, terutama pada meluasnya penyakit-penyakit sosial yang diciptakan oleh Revolusi Prancis. Comte tidak menginginkan perubahan revolusioner karena Ia merasa evolusi masyarakat secara alamiah akan membuat segala sesuatu menjadi lebih baik. (Ritzer)

Hal itulah yang mendorong keprihatinan Comte. Comte kemudian berupaya memikirkan tentang perlunya membangun sebuah tatanan sosial seajeg mungkin sehingga membentuk keteraturan sosial. Comte juga berupaya untuk melakukan reformasi sosial untuk mengatasi berbagai penyakit sosial yang muncul akibat perubahan besar yang meruntuhkan tatanan sosial lama.

Comte beranggapan pembaharuan sosial yang terbatas sifatnya dan tambal sulam tidak akan berhasil mengatasi permasalahan di masyarakat, kiranya diperlukan reorganisasi masyarakat secara menyeluruh. (Turner,1979) Comte kemudian memikirkan tentang perlunya mengembangkan sebuah ilmu yang berfungsi sebagai agama kemanusiaan dan menyempurnakan harmoni sosial.

Suasana politik dan sosial yang muncul sebagai buntut dari Revolusi Prancis, termasuk serangkaian pergolakan yang berkesinambungan, pergantian monarki, revolusi dan periode republik telah mendorong Comte untuk menyusun konsep kehidupan masyarakat yang stabil.

Oleh karena itulah Comte menitikberatkan pentingnya keteraturan sosial. Dalam pernyataannya bahwa masyarakat diancam oleh kekacauan intelektual dan sosial politik, serta menegakkan kembali keteraturan atas dasar pengetahuan hukum masyarakat positif yang logis sangat penting untuk menjamin kemajuan yang berjalan terus. (Johnson,1988)

Pemikiran Comte kemudian dikenal dengan nama Positivisme. Positisme sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendirinya yang sebelumnya merupakan seorang fisikawan. Terobsesi oleh metode yang ada dalam ilmu alam/ fisika, Comte kemudian mengembangkan Positivisme yang bertujuan untuk menemukan hukum-hukum kemasyarakatan sebagaimana terdapat juga hukum yang mengatur kehidupan alam.

Comte menarik kesimpulan, bahwa pengintegrasian kembali masyarakat atas dasar prinsip-prinsip Positivisme hanya mungkin dilaksanakan melalui “agama gaya baru”, yaitu agama sekuler dengan lambangnya, upacaranya, hari-hari raya, dan orang “sucinya”. Hanya agama yang mampu menyemangati akal budi maupun perasaan dan kemauan.

Oleh karena itulah, Comte dalam masa tuanya mendirikan agama baru itu. Menurut Comte Sosiologi Positivislah yang   akan menjadi agama baru tersebut. Dalam agama Comte, yang disembah sebagai Yang Maha Tinggi bukan Tuhan, melainkan humanitas atau manusia. Agama Humanitas Comte merupakan satu gagasan utopis untuk mereorganisasi masyarakat secara sempurna.

Selain itu, menurut Comte, Sosiologi akan menjadi ratu ilmu pengetahuan seperti teologi di Abad Pertengahan. Comte bahkan sempat menyusun hirarki ilmu pengetahuan yang menempatkan sosiologi berada dipuncak hirarki tersebut karena Comte menganggap sosiologi sebagai ilmu yang paling logis.

Hirarki ilmu pengetahuan yang disusun oleh Comte didasarkan atas perbedaan tingkat kompleksitas analisa masing-masing ilmu pengetahuan tersebut. Setelah sosiologi secara berturut-turut terdapat ilmu biologi, kimia, fisika,astronomi, kemudian matematika.

Berbasis pada filsafat Positivisme, Comte kemudian mengembangkan sebuah ilmu baru yang Ia sebut dengan nama Sosiologi. Sosiologi positivis Comte kemudian menjadi aliran yang mendominasi Sosiologi terutama di era 1940-1960an. Sosiologi positivis Comte terutama mempelajari statika sosial (struktur sosial) dan dinamika sosial (perubahan sosial) dengan tekanan utama pada dinamika sosial ketimbang statika sosial.Hal ini menunjukkan perhatian Comte yang besar terhadap gagasan reformasi sosial yang dicita-citakan oleh Comte itu sendiri.

Meski dalam beberapa segi, Positivisme mengandung kebaruan, namun pandangan ini bukan merupakan sesuatu yang baru, karena sebelum Comte dan Imanuel Kant sudah berkembang empirisme yang dalam beberapa hal bersesuaian dengan Positivisme.

Lebih tepat dikatakan bahwa Positivisme merupakan peruncingan trend sejarah pemikiran Barat modern yang telah mulai menyingsing sejak runtuhnya tatanan dunia Abad Pertengahan, melalui rasionalisme dan empirisme. Apa yang baru dalam Positivisme adalah sorotan khususnya terhadap metodologi ilmu pengetahuan, bahkan dapat dikatakan bahwa pandangan ini sangat menitikberatkan metodologi dalam refleksi filsafatnya.

Kalau dalam empirisme dan rasionalisme pengetahuan masih direfleksikan, dalam Positivisme kedudukan pengetahuan diganti metodologi, dan satu-satunya metodologi yang  berkembang secara meyakinkan sejak Renaissance, dan subur pada masa Aufklarung adalah metodologi ilmu-ilmu alam. Oleh karena itu, Positivisme menempatkan metodologi ilmuilmu alam pada ruang yang dahulunya menjadi wilayah refleksi epistemologi, yaitu pengetahuan manusia tentang kenyataan.

Positivisme adalah paham filsafat, yang cenderung untuk membatasi pengetahuan benar manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh dengan memakai metode ilmu pengetahuan (sains). Positivisme adalah ajaran bahwa hanya fakta atau hal yang dapat diuji yang melandasi pengetahuan yang sah. Oleh karena itu, teologi dan metafisika harus dianggap sebagai sebuah spekulasi saja.

Sebagai konsekuensinya Comte berpendapat bahwa agama dan metafisika harus dipinggirkan. Semua lembaga kemasyarakatan, yang pembenarannya dan pendasarannya ditemukan dalam pandangan yang bersifat keagamaan dan metafisik, harus diperbarui atau diganti dengan lembaga-lembaga yang berpedoman pada ilmu pengetahuan positif.

Positivisme bercirikan metode evaluasi sains dan saintifik positif pada tingkat ekstrem. Seperti layaknya suatu sistem pemikiran, positivisme pada dasarnya mempunyai  pijakan ; logika empirisme,realitas objektif,reduksionisme,determinisme, dan asumsi bebas-nilai. Positivisme manganggap pernyataan tanpa bukti empiris, seperti etika, estetika, dan metafisika ialah omong kosong.(Susan,2009)

Positivisme relatif sering diasosiasikan sebagai pendangan keilmuan yang menarik asumsi-asumsi metodologisnya dari ilmu alam. Pengetengahan Positivisme dalam ilmu sosial dianggap sebagai upaya untuk menjadikan ilmu sosial sebagai ilmu yang pasti dan akurat, atau mencoba menyerupakannya dengan ilmu alam.

Positivisme merupakan pandangan yang kemudian mendominasi teori-teori dalam ilmu sosial dan menjadikan ilmu sosial memiliki pandangan keilmuan yang dingin, mekanis dan tidak humanis.Positivisme menurut sebagian sosiolog seperti Ian Craib dapat menuntut kepastian sehingga mengikuti metodologi ilmu alam khususnya dengan mengkuantifikasi segala hal yang ditelitinya.


Potitivisme dikembangkan pertama kali oleh Auguste Comte. Comte kemudian dirumuskan dalam norma-norma metodologis yang berbasiskan pada Positivisme sebagai  berikut :

Semua pengetahuan harus terbukti lewat rasa kepastian (sense of certainty) pengamatan sistematis yang menjamin secara intersubjektif.

Kepastian metodis sama pentingnya dengan rasa kepastian. Kesahihan pengetahuan ilmiah dijamin oleh kesatuan metode.

Ketepatan pengetahuan kita dijamin hanya oleh bangunan teori-teori yang secara formal kokoh yang mengikuti deduksi hipotesis-hipotesis yang menyerupai hukum.

Pengetahuan ilmiah harus dapat dipergunakan secara teknis. Ilmu pengetahuan memungkinkan kontrol teknis atas proses-proses alam maupun sosial.

Pengetahuan pada prinsipnya tak pernah selesai dan relatif, sesuai dengan ‘sifat relatif dan semangat positif’

Gagasan Comte tentang ilmu-ilmu positif yang mencapai puncaknya dalam sosiologi, dengan ditandai oleh sejumlah prinsip sebagai berikut :

● Positivisme menolak perbedaan ilmu-ilmu alam dan sosial

● Positivisme menganggap pernyataan-pernyataan yang tidak dapat diverifikasikan secara empiris, seperti etika,estetika,agama,metafisika sebagai nonsense

● Positivisme berusaha menyatukan semua ilmu pengetahuan di dalam satu Bahasa ilmiah yang universal

● Positivisme memendang tugas filsafat sebagai analisis atas kata-kata atau pernyataan-pernyataan

Karena Positivisme oleh Comte hendak diterapkan pada ilmu-ilmu sosial, maka sebagai konsekuensinya ilmu-ilmu sosial modern menganut tiga prinsip utama : berifat empiris-objektif, deduktif-nomologis, dan instrumental-bebas nilai.

Ketiga asumsi Positivis dalam ilmu-ilmu sosial ini oleh Anthony Giddens dijelaskan sebagai berikut :

→ Prosedur-prosedur metodologis ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu-ilmu sosial. Dengan cara ini, objek observasi ilmu-ilmu sosial disejajarkan dengan dunia alamiah.

→ Hasil-hasil riset dapat dirumuskan dalam bentuk “hukum-hukum” seperti dalam ilmu-ilmu alam.

→ Ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni. Pengetahuan itu harus dapat dipakai untuk keperluan apa saja sehingga tidak bersifat etis dan juga tidak terkait pada dimensi politis. Ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu-ilmu alam, bersifat bebas nilai (value free)

Adapun Positivisme memiliki ciri sebagai berikut :

● melihat kehidupan sosial sebagai proses yang alamiah

● menganggap pengetahuan bersifat netral dan bebas nilai

● mengabaikan 'aktor" dan menurunkan  "aktor' kederajat pasif yang ditentukan oleh kekuatan ilmiah.

● berwatak konservatif yang ingin mengembangkan suatu dasat tatanan masyarakat yang permanen

● memiliki metode observasi empiris,eksperimentasi dan perbandingan.

● menggunakan metode/pendekatan ilmu alam untuk menemukan hukum-hukum kehidupan sosial. Hal ini diharapkan akan menghindarkan ilmu sosial dari filsafat sosial spekulatif yang berkembang pada masa-masa sebelumnya.

● menganggap kehidupan sosial sebagai realitas objektif

● merupakan reaksi terhadap metafisika yang dianggap tidak dapat dibuktikan secara indrawi/empiris.

● menganggap bahwa premis-premis yang tidak dapat diverifikasikan seperti etika,estetika,metafisika dan agama sebagai nonsense

● berusaha menyatukan semua ilmu pengetahuan di dalam suatu bahasa ilmiah dan universal

● menganggap ilmu sosial menganut prinsip ; empiris-objektif, deduktif-nomologis dan instrumental-bebas nilai

● bersifat ahistoris dan asosial ; tidak terkait dengan konteks sejarah dan lingkungan sosial tertentu

● reduksionisme dan determinisme

● memisahkan antara teori dan kepentingan/moralitas

● menganggap manusia sebagai objek yang dapat digeneralisasikan

● analisis makro

● metode kuantitatif

● melahirkan teori fungsionalisme dan teori modernisasi

● menilai dunia sosial selalu sebagai proses yang netral dan ingin membawa sosiologi ke jalur ilmiah seperti ilmu eksakta

● mengakibatkan teori sosial mengalami stagnasi

● terlalu menekankan penjelasan kausal atas perilaku manusia

● sering menimbulkan bias karena terlalu eksak

● terlalu khawatir pada spekulasi sehingga menteknikalisasi ilmu sosial

● bertujuan memproduksi hukum sosial



PENGARUH POSITIVISME TERHADAP SOSIOLOGI KUANTITATIF

Positivisme Comte telah berpengaruh besar terhadap perkembangan sosiologi klasik yang umumnya bercorak konservatisme, reformisme, dan scentisme. Sosiologi Positivis Comte tidak berpusat pada individu, tetapi pada kesatuan sosial yang lebih   besar, seperti keluarga dan struktur sosial.

Pengaruh Positivisme dalam sosiologi ditandai oleh munculnya fungsionalisme yang kemudian menjadi teori dominan di dalam Sosiologi. Melalui sejumlah tokoh, seperti Emile Durkheim yang kemudian dilanjutkan oleh Talcott parson dan R.K.Merton teori fungsionalisme mengalami perkembangan yang pesat walaupun pengaruhnya makin berkurang pada dekade 1960-an.

Emile Durkheim (1858-1917) merupakan perintis fungsionalisme struktural yang terpengaruh oleh Positivisme. Durkheim adalah seorang liberal dalam politik tetapi konservatif dalam intelektual. Pengaruh positivisme dalam sosiologi Durkheim terlihat dengan adanya konsep sosiologi Durkheim yang menggunakan metode objektif, empiris dan bebas nilai. Pengaruh Comte terhadap Durkheim tidak secara langsung, tetapi melalui seorang tokoh Darwinisme Sosial Inggris, yaitu Herbert Spencer.

Spencer merupakan suatu mata rantai penting antara Auguste Comte dan Emile Durkheim. Hanya saja terdapat perbedaan penting antara Comte dan Spencer. Kalau Comte memiliki gagasan reformasi sosial, Spencer justru menentangnya. Menurut Spencer, tidak ada yang dapat mencampuri  proses evolusi masyarakat. (Henslin, 2006)

Menurut Durkhem Fakta Sosial adalah landasan bagi ilmu sosial. Fakta sosial adalah kenyataan masyarakat yang tidak dapat disingkirkan adanya, dan tidak dapat direduksi menjadi fakta individu. Fakta sosial ini dapat diperoleh melalui penelitian empiris.

Durkheim melanjutkan gagasan-gagasan dan konsep-konsep penting Comte mengenai keharusan konsensus, agama yang diintegrasikan dan mengenai kepaduan antara tata dan kemajuan.Hal itu kemudian diperhalus oleh Durkheim ke dalam sosiologi dan menjelma menjadi fungsionalisme.

Pengaruh Comte lainnya terhadap Durkheim dapat dilihat dari konsepsi Durkheim mengenai agama. Dalam bukunya The Elementary Form Of Religious Life, Durkheim memandang kekuatan agama yang merosot dimasa lalu dan ingin menggantikannya dengan “agama sipil”, kendati sedikit berbeda dengan konsepsi agamanya Saint Simon yang menjadi gurunya Comte.

Durkheim secara implisit mengikuti Hukum Tiga Tahap Comte, dimana agama akhirnya akan diganti oleh paham Positivisme-yakni penggunaan pengetahuan berbasis empiris untuk mengorganisasikan masyarakat.

Dibanyak sisi, Durkheim memperluas wawasan awal Comte. Maksudnya, Durkheim merupakan pendukung intelektual karya Saint Simon dan Comte. Durkheim menerima teori evolusi dimasanya dan menerima anggapan Comte bahwa hukum itu menuntun kemajuan manusia. Durkheim juga mengikuti pendapat Comte bahwa ilmu kemasyarakatan yang didasarkan pada pengamatan empiris juga mungkin dan perlu menciptakan tatanan sosial yang lebih baik.

Bahkan Durkheim menyediakan bagi sosiologi beberapa contoh awal analisis statistik dan metodologisnya. Dan yang paling penting, Durkheim melanjutkan tradisi kolektivis Prancis dengan menyatakan bahwa masyarakat merupakan suatu realitas yang terlahir sui generis dan dengan demikian harus dipahami berdasarkan prinsip-prinsip uniknya sendiri. (Turner, 2010)

Walaupun dipengaruhi oleh Positivisme Comte, Durkheim juga menolak beberapa pandangan Comte. Diantaranya adalah penolakan Durkheim mengenai Hukum Tiga Tahap. Menurut Durkheim, Hukum Tiga Tahap tersebut “ lebih sebagai perintah daripada berdasarkan pembenaran secara empiris..”

Selain itu Durkheim juga berupaya keras menjadikan sosiologi sebagai ilmu yang otonom dan independen dengan berusaha melepaskan sosiologi dari alam filsafat positif Comte untuk kemudian meletakkan sosiologi ke atas dunia empiris. Menurut Durkheim, walaupun Positivisme Comte menjadi dasar dari ilmu sosiologi, tetapi metode yang digunakan oleh Comte masih belum bersifat empiris dan cenderung spekulatif.

Upaya Durkheim tersebut ditandai oleh disusunnya dua buku karya Durkheim yaitu Suicide dan The Rule Of Sociological Method yang berintikan konsep-konsep dasar tentang metode yang dapat dipakai untuk melakukan penelitian empiris dalam lapangan sosiologi. Kedua karya tersebut dengan jelas telah meninggalkan cara-cara kerja yang sebelumnya dikembangkan oleh Comte dan juga Spencer dalam memahami kehidupan masyarakat. (Ritzer, 2004)

Konsep Comte tentang pembagian antara statika sosial dan dinamika sosial juga berpengaruh kepada dua tokoh sosiologi klasik, yaitu Herbert Spencer dan Emile Durkheim. Berdasarkan pembagian itulah Herbert Spencer (1820-1903) menganalogikan masyarakat dengan organisme biologis.

Statika sosial mempelajari anatomi masyarakat yang terdiri dari bagian-bagian dan susunannya seperti mempelajari anatomi tubuh manusia yang terdiri dari organ, kerangka dan jaringannya. Sedangkan Dinamika Sosial memusatkan perhatiannya pada psikologi, yakni pada proses yang berlangsung dalam masyarakat seperti berfungsinya tubuh (pernafasan, metabolisme tubuh dan sirkulasi darah) dan menciptakan hasil akhir berupa perkembangan masyarakat yang dianalogikan dengan pertumbuhan organik (dari embrio ke kedewasaan).

Implikasinya, masyarakat dibayangkan berada dalam keadaan tetap yang dapat dianalisis sebelum terjadi, atau terlepas dari perubahan. (Stompka, 2014)

Spencer mempertahan pandangan serupa dengan Comte, hanya dengan mengubah terminologinya saja.Ia membedakan antara struktur dan fungsi.Terminologi inilah yang sudah seabad lebih menjadi inti bahasan sosiologi. Struktur menandai susunan internal, bentuk masyarakat sebagai satu kesatuan.Fungsi menandai  cara beroperasi atau perubahannya.Implikasi serupa adalah terbukanya peluang untuk membayangkan masyarakat seperti sejenis kesatuan yang utuh atau objek yang lepas dari operasinya.Dengan kata lain, kemungkinan untuk memisahkan struktur dan fungsi makin diperkuat. (Stompka, 2014)


KARATERISTIK PENDEKATAN  KUANTITATIF

● Lahir dan berkembang dari tradisi atau arus utama (mainstream) ilmu-ilmu sosial Prancis dan Inggris yang kental dipengaruhi oleh tradisi ilmu-ilmu alam (natural science)

● Dipengaruhi oleh tradisi berfikir Prancis yang cenderung positivis / naturalis / Saintifis / empiris / behavioris

● Dipengaruhi oleh aliran filsafat materialisme, realisme, naturalisme, empirisme, dan positivisme

● Dipengaruhi oleh ilmu sosial Positivisme dengan tanpa syarat menerima doktrin ‘angka’, “representatif’, “reduksionisme”, “netralitas”, dan “validitas data”

● Jenis penelitian dalam metode kuantitatif dapat berupa penelitian Korelasional, penelitian survei, penelitian eksperimen, dan penelitian Komparasi

● Menggunakan analisis statistik

● Memfokuskan diri pada pencarian hubungan kausalitas atau hubungan antarvariabel

● Bertujuan menjelaskan fenomena sosial (explanation)

● Kata kunci antara lain ; faktor, variabel, instrumen pengukuran, validitas, realibilitas,objektivitas, populasi, sampel, responden (Bungin, 2012)

● Berpijak pada diskursus resmi atau arus utama seperti : angka,statistik, uji hipotesis dan lain sebagainya

● Percaya bahwa realitas sosial itu bersifat tunggal atau sekurang-kurangnya “ganda’, ‘statis”, dan ‘hasil dari tindakan”

● Mengasumsikan realitas sosial sebagai sesuatu yang ‘monolitik’, sebagaimana yang diyakini oleh ilmu alam

● Sangat mempercayai metode pengetahuan tunggal yang antara lain diambil dari fisika sehingga menempatkan ‘kebenaran’ dengan standar pengukuran

● Meyakini bahwa semua konsep, variabel harus dapat diukur

● Percaya bahwa metode survei sebagai instrumen final untuk menangkap realitas sosial

● Mereduksi makna ke dlaam pola dominan untuk memperoleh tren, pola, tipologi yang dianggapnya sebagai kebenaran yang ‘objektif”, ‘valid”, dan “reliabilitas”

● Melihat hubungan antara peneliti dan yang diteliti bersifat sangat hierarkis, peneliti memosisikan diri secara independen (otonom, canggih dan intelektual) yang membedakan dengan yang diteliti yang diposisikan sebagai responden

● Cenderung menekankan pada representasi

● Lebih suka menguji teori atau hipotesis, mencari tren dan faktor-faktor penyebab (kausalitas)

● Menolak metode yang menekankan pada subjektivitas, refleksivitas, multi paradigma, multi metode, sebagaimana yang dikembangkan oleh metode kualitatif

● Penelitiannya berhenti pada tradisi baku kuesioner, teknik sampling, sebuah metode yang eksploitatif karena memosisikan subjek sebagai ‘mesin data’, sebuah metode yang menekankan pada aspek-aspek prosedur dan membanggakan alat yang tunggal dalam sebuah survei

● Menandaskan pada teori tertentu untuk menyusun variabel, hipotesis

● Bertujuan menguji kebenaran sebuah teori, yaitu menerima atau menolak sebuah teori (Jacky, 2015)


VARIABEL KUANTITATIF

Variabel adalah fakta sosial yang memiliki lebih dari satu nilai. Jika ciri-ciri  dari suatu fakta sosial dapat dinilai dengan angka, maka ciri-ciri itu dinamakan variabel kuantitatif. Contoh dari variabel kuantitatif adalah :

√ umur ; dalam ukuran tahun dari para kepala keluarga

√ penghasilan pertahun ; dalam ukuran rupiah

√ tinggi badan ; dalam ukuran meter dari sekelompok anak sekolah

Variabel kuantitatif dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu :

→ Variabel Diskret (Discrete quantitative variables) : 

tiap nilai variabel dipisahkan yang satu dengan yang lainnya oleh satu kesatuan tertentu. Misalnya, kalau penghasilan seseorang diukur dalam rupiah, tiap kesatuan  terpisah dari yang lain oleh sekurang-kurangnya satu rupiah.

 Variabel Kontinu (Continuous qantitative variables) : 

kesatuan pengukuran dapat dibagi dalam bagian-bagian secara tidak terbatas. Artinya, betapa dekat pun dua nilai dari satu variabel, masih ada kemungkinan memasukkan nilai-nilai lain di antaranya. Misalnya, pengukuran waktu dapat dibagi secara kontinu dalam menit, detik, sepersepuluh detik, seperseratus detik, dan seterusnya. (Koentjaraningrat, 1994)


KRITIK TERHADAP POSITIVISME DAN SOSIOLOGI KUANTITATIF

Sebagian besar kritik terhadap Positivisme adalah sekaligus merupakan kritik terhadap fungsionalisme, karena fungsionalisme struktural dengan jelas didasarkan atas filsafat Positivisme Comte. Fungsionalisme struktural ini merupakan arus dominan dalam teori-teori sosiologi. Berikut ini adalah sejumlah kritik terhadap Positivisme dan sosiologi kuantitatif : 

 Positivisme dan sosiologi kuantitatif  dianggap gagal dalam penerapannya pada ilmu-ilmu sosial, Hal itu dikarenakan objek observasinya berbeda dengan objek pada ilmu-ilmu alam, yaitu manusia dan masyarakat. Berbeda dari proses-proses alam yang dapat diprediksi dan dikuasai secara teknis, proses-proses sosial terdiri dari tindakan-tindakan manusia yang tidak dapat begitu saja dapat diprediksi, apalagi dikuasai secara teknis.

♦ Kritik terhadap Positivisme dan sosiologi kuantitatif  juga diberikan oleh seorang teoritikus Jerman yang sekaligus pengusung Teori Kritis, Jurgen Habermas. Menurutnya, Positivisme akan menghasilkan teknologi sosial yang pada akhirnya akan menjadi determinan dan menimbulkan dominasi. Dalam Positivisme, peranan subjek dalam membentuk “fakta sosial” disingkirkan. Yang terjadi disini adalah objektivisme, dimana subjek hanya bertugas menyalin fakta objektif yang diyakini dapat dijelaskan menurut mekanisme yang objektif. (Hardiman, 2003)

Selain itu Habermas mengkritik Positivisme dengan mengkritik Marxisme Ortodoks. Menurut Habermas, Marxisme Ortodoks tidak lain merupakan pandangan determinis ekonomi yang didasarkan oleh Positvisme. Teori Kritis berusaha menekankan peranan kesadaran (subjek) untuk mengubah struktur-struktur objektif.

 Edmund Husserl, pendiri pendekatan Fenomenologi memberikan kritik terhadap Positivisme dalam kaitannya dengan “Dunia Kehidupan” (Lebenswelt). Menurut Husserl, Positivisme dan saintifisme telah mengakibatkan konsep Dunia-Kehidupan mengalami krisis, padahal konsep itu merupakan dasar makna yang sering dilupakan oleh ilmu pengetahuan.

Dunia Kehidupan merupakan unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan sosial manusia. Konsep Dunia Kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu ini menafsirkan suatu dunia, yaitu Dunia Sosial. Dunia Sosial dibentuk melalui suatu tindakan subjektif bermakna yang memiliki asal-usul sosialnya. Dunia Kehidupan sosial itu bersifat pra-teoritis dan pra-ilmiah, bukan sekedar penjumlahan makna pra perilaku individual seperti yang biaa dilakukan oleh Positivisme.

♦ Positivisme dan sosiologi kuantitatif juga dikritik karena tidak dapat memenuhi janjinya mengenai reformasi sosial dalam kehidupan manusia. Ketika menyusun filsafat Positivisnya Comte berharap, Positivisme dapat membantu membentuk sebuah dunia baru yang lebih beradab dan manusiawi. Kenyataannya, justru pada abad ke 20 kita menyaksikan berbagai peperangan terjadi, terorisme dan kejahatan terhadap kemanusiaan, padahal di zaman modern ilmu pengetahuan (positivis) telah berhasil mengembangkan sebuah dunia yang lebih rasional dan modern.

♦ Teori Positivisme Comte dan sosiologi kuantitatif  dianggap gagal dalam menerangkan tentang hukum perubahan sosial di masyarakat. Teori Perkembangan yang berdasarkan Positivisme mengembangkan sebuah diktum bahwa masyarakat berkembang melalui sebuah proses yang bersifat unilinier, tetapi kita menghadapi kenyataan lain.

Kemajuan unilinier ternyata tidak tampak atau tidak jelas dalam berbagai bidang kehidupan seperti religiositas,etik dan kehidupan bersama. P.A.Sorokin, seorang sosiolog Amerika kelahiran Rusia melihat sejarah manusia bukan sebagai jalan yang makin memuncak, melainkan bagaikan garis bergelombang / siklus. Kemajuan dan kemunduran silih berganti. Masa Idealisme disusul masa Materialisme, masa Materialisme disusul masa Idealisme, dan seterusnya.

Sorokin bersikap skeptis terhadap zaman modern ini, dimana orang menjunjung tinggi kecerdasan otak dan keberhasilan di bidang-bidang ilmu pengetahuan positif dan teknik, dan cenderung meremehkan atau mengingkari kebenaran yang lebih luhur dan nilai-nilai kerohanian.

♦ Positivisme dikritik karena Ia dianggap terlalu gegabah dalam mangandaikan bahwa kesadaran manusia semestinya hanya diarahkan kepada hal-hal yang empiris.Pada kenyataannya, kesadaran manusia tidak dapat dibelenggu atau dipersempit ke dalam aspek yang bersifat empiris semata.

Kesadaran manusia tidak dapat dipaksa untuk hanya memikirkan segi realitas yang langsung nyata bagi indera. Banyak aspek kehidupan manusia tidak dapat diarahkan kepada kategori-kategori benar atau salah, karena seringkali minat dan kecenderungan manusia lebih didorong oleh pilihan apakan hal itu menarik atau tidak menarik.

♦ Positivisme dan sosiologi kuantitatif tidak mengakui prinsip relativitas pikiran manusia.Comte menganggap hanya cara berfikir yang positif di zaman modern ini yang dapat menghasilkan kebenaran dan bentuk kehidupan bersama yang paling baik.

♦ Positivisme dan sosiologi kuantitatif yang akhirnya menyamakan pengetahuan dengan ilmu pengetahuan objektif dan kemudian mendewakan objektivitas. Objektivitas segera memisahkan teori dari praxis, pengetahuan dari kehidupan, ilmu dari etika, karena pengetahuan menjadi barang asing dihadapan subjek yang sebetulnya turut membentuknya. (Hardiman, 1990)

♦ Positivisme dan sosiologi kuantitatif  dinilai tidak mampu melihat realitas sosial yang terjadi dalam tataran mikro. Sosiologi Positivis memiliki kecenderungan menganalisa realitas sosial dalam aspek makro seperti struktur sosial. Oleh karena itu muncullah teori-teori sosiologi yang mengisi kekosongan ruang analisa tersebut. Teori interaksionisme simbolik dengan tokohnya G.H.Mead misalnya mengembangkan sosiologi mikro yang memfokuskan analisanya pada pola interaksi individu.

Para interaksionis mengambil cara pandang dalam melihat masyarakat dari bawah, sebagaimana situasi yang diciptakan oleh individu-individu tersebut melalui interaksi.Pada konteks ini bisa dikatakan masyarakat merupakan produk dari individu (manusia) yang dipandang sebagai aktor yang bersifat aktif dan terus menerus berproses. Hal ini merupakan kebalikan dari sosiologi positivis/naturalis yang menganggap strukturlah/masyarakat yang menciptakan individu.

♦ Kritik terhadap Positivis dan sosiologi kuantitatif juga dikemukakan oleh Peter L.Berger, seorang penganut teori Konstruksi Sosial. Berbeda halnya dengan kalangan Positivis yang menganggap agama sebagai salah satu fase yang akan dilampaui dalam evolusi kehidupan manusia, Berger justru beranggapan bahwa agama dapat bertahan, beradaptasi dan berdampingan dengan modernitas.

Berger membalikkan logika yang mengatakan bahwa modernisasi sesungguhnya menyebabkan kemerosotan agama, baik dalam ranah masyarakat (makro) maupun dalam ranah individu (mikro). Institusi agama memang telah kehilangan kekuatan dan pengaruhnya akibat modernisasi dalam skala tertentu, tetapi sekularisasi yang menyertai modernisasi sesungguhnya tidak berimbas pada level kesadaran individu. Agama dan praktek-praktek keagamaan lama maupun baru terus berkembang dalam kehidupan individu   dan bahkan membentuk institusi baru .

Menurut Weber agama (tertentu) memiliki kemampuan beradaptasi dengan modernitas, dan pada realitanya sejumlah agama dan praktek keagamaan tumbuh subur di negara-negara yang mengalami modernisasi sekalipun.

♦ Dari segi metodologi, teori Kritis awal mulanya hadir sebagai reaksi terhadap dominasi pendekatan Positivisme dan sosiologi kuantitatif  yang dinilai cenderung mereifikasi dunia sosial dan melihatnya melulu sebagai proses yang netral, sehingga tidak mengabaikan aktor. Dalam perkembangan ilmu sosial, selama ini Positivisme harus diakui telah cukup lama mendominasi kerangka berfikir teoretisi ilmu sosial, dan diyakini sebagai media yang membawa sosiologi ke jalur ilmiah layaknya ilmu eksakta.

Namun dalam perkembangannya kemudian Positivisme disadari telah menyebabkan teori sosial mengalami stagnasi, cenderung bersifat konservatif, serta tidak mampu menentang sistem.Teori Kritis umumnya mengkritik Positivisme yang terlalu menekankan penjelasan kausal atas perilaku manusia, dimana hal itu dinilai tidak dimungkinkan, sebab tindakan, institusi dan keyakinan manusia pada dasarnya mengandung makna.

Tugas ilmu sosial bukan menspesifikasikan hukum perilaku manusia yang serba seragam, melainkan memahaminya dengan menginterpretasikannya dalam kaitannya dengan niat subjektif individu. Positivisme dinilai para teoretisi Kritis terlalu mengedepankan hukum tindakan manusia, padahal fakta-fakta ilmiah sesungguhnya akan selalu ditaklukkan dan dikonstruksi.
Teori Kritis dari Mazhab Frankfurt menolak Positivisme yang dianggap terlalu mengagungkan sains, karena yang namanya kebenaran bukanlah diperoleh semata-mata hanya lewat pengukuran dan sejenisnya, karena di mata mereka dunia sosial sesungguhnya adalah dunia yang ditafsirkan.










REFERENSI :


Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif ; Aktualisasi Metodologis Ke Arah Ragam Varian Kontemporer, Jakarta : Rajawali, 2012
Damsar, Pengantar Teori Sosiologi, Jakarta : Kencana,2015
F.Budi Hardiman, Melampaui positivisme dan modernitas, Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Jakarta : Kanisius,2003
F.Budi Hardiman, Kritik Ideologi,  Jakarta : Kanisius,1990
Geger Riyanto, Peter L.Berger, Pespektif Metateori Pemikiran, Jakarta : LP3ES,2009
George Ritzer, Teori sosiologi modern, Jakarta : Kencana, tanpa tahun
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda,Jakarta : RajaGrafindo,2004
James Henslin, Sosiologi dengan pendekatan membumi, Jakarta : Erlangga,2006
K.J.Veeger, Realitas Sosial, Refleksi filsafat sosial atas hubungan individu-masyarakat dalam cakrawala sejarah sosiologi, Jakarta : Gramedia, 1985
M.Jacky, Sosiologi, Konsep, Teori, dan Metode, Surabaya : Mitra Wacana Media, 2015
Mely Tan, Penggunaan Data Kuantitatif, Dalam Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : Gramedia, 1994








Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN

STATUS OBJEKTIF DAN STATUS SUBJEKTIF

TAWURAN SEBAGAI SUATU GEJALA SOSIAL (ANALISIS SOSIOLOGIS KONFLIK SOSIAL DI PERKOTAAN)