POSITIVISME DAN METODE PENELITIAN KUANTITATIF
POSITIVISME DAN
METODE PENELITIAN KUANTITATIF
POSITIVISME
Positivisme merupakan aliran
filsafat yang berkembang pertama kali di Eropa pada abad 18 M. Positivisme
pertama kali dikemukakan oleh Isidore Auguste
Marie Francois Xavier atau yang lebih dikenal dengan August Comte (1798-1857
M). Filsafat Positivisme Comte sebenarnya berakar dari pemikiran Henri de Saint
Simon, seorang tokoh filsafat Inggris.
Positivisme telah berhasil
melakukan perubahan besar dalam kehidupan umat manusia. Manusia modern enggan
untuk melakukan hal-hal yang tidak dapat dimengerti secara rasional.
Positivisme telah mengembangkan akal budi manusia. Meningkatnya perkembangan ilmu pengetahuan
dan kemajuan kebudayaan materiil menunjukkan salah satu pengaruh dari
Positivisme.
Pemikiran Positivisme Comte sebagaimana yang tertera dalam bukunya Course of Positive Philosophy, lahir ditengah perubahan sosial yang terjadi di Eropa yang ketika itu mengalami berbagai revolusi, diantaranya Revolusi Prancis. Revolusi tersebut mengakibatkan tatanan sosial yang sudah mapan dan ajeg dalam jangka waktu yang lama dapat runtuh begitu saja dalam waktu yang singkat.
Comte sangat prihatin terhadap
anarki yang terjadi di masyarakat Prancis dan mencela para pemikir Prancis yang
menimbulkan Pencerahan dan revolusi. Filsafat Positivismenya dimunculkan untuk
memberantas sesuatu yang ia anggap sebagai filsafat negatif dan destruktif dari
Abad Pencerahan.
Pemikiran Comte ditujukan untuk
melakukan reformasi sosial, terutama pada meluasnya penyakit-penyakit sosial
yang diciptakan oleh Revolusi Prancis. Comte tidak menginginkan perubahan
revolusioner karena Ia merasa evolusi masyarakat secara alamiah akan membuat
segala sesuatu menjadi lebih baik. (Ritzer)
Hal itulah yang mendorong
keprihatinan Comte. Comte kemudian berupaya memikirkan tentang perlunya
membangun sebuah tatanan sosial seajeg mungkin sehingga membentuk keteraturan
sosial. Comte juga berupaya untuk melakukan reformasi sosial untuk mengatasi berbagai
penyakit sosial yang muncul akibat perubahan besar yang meruntuhkan tatanan
sosial lama.
Comte beranggapan pembaharuan
sosial yang terbatas sifatnya dan tambal sulam tidak akan berhasil mengatasi
permasalahan di masyarakat, kiranya diperlukan reorganisasi masyarakat secara
menyeluruh. (Turner,1979) Comte kemudian memikirkan tentang perlunya
mengembangkan sebuah ilmu yang berfungsi sebagai agama kemanusiaan dan
menyempurnakan harmoni sosial.
Suasana politik dan sosial yang
muncul sebagai buntut dari Revolusi Prancis, termasuk serangkaian pergolakan
yang berkesinambungan, pergantian monarki, revolusi dan periode republik telah
mendorong Comte untuk menyusun konsep kehidupan masyarakat yang stabil.
Oleh karena itulah Comte
menitikberatkan pentingnya keteraturan sosial. Dalam pernyataannya bahwa
masyarakat diancam oleh kekacauan intelektual dan sosial politik, serta
menegakkan kembali keteraturan atas dasar pengetahuan hukum masyarakat positif
yang logis sangat penting untuk menjamin kemajuan yang berjalan terus. (Johnson,1988)
Pemikiran Comte kemudian dikenal dengan nama Positivisme. Positisme sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendirinya yang sebelumnya merupakan seorang fisikawan. Terobsesi oleh metode yang ada dalam ilmu alam/ fisika, Comte kemudian mengembangkan Positivisme yang bertujuan untuk menemukan hukum-hukum kemasyarakatan sebagaimana terdapat juga hukum yang mengatur kehidupan alam.
Comte menarik kesimpulan, bahwa
pengintegrasian kembali masyarakat atas dasar prinsip-prinsip Positivisme hanya
mungkin dilaksanakan melalui “agama gaya baru”, yaitu agama sekuler dengan
lambangnya, upacaranya, hari-hari raya, dan orang “sucinya”. Hanya agama yang
mampu menyemangati akal budi maupun perasaan dan kemauan.
Oleh karena itulah, Comte dalam
masa tuanya mendirikan agama baru itu. Menurut Comte Sosiologi Positivislah
yang akan menjadi agama baru tersebut.
Dalam agama Comte, yang disembah sebagai Yang Maha Tinggi bukan Tuhan,
melainkan humanitas atau manusia. Agama Humanitas Comte merupakan satu gagasan
utopis untuk mereorganisasi masyarakat secara sempurna.
Selain itu, menurut Comte,
Sosiologi akan menjadi ratu ilmu pengetahuan seperti teologi di Abad
Pertengahan. Comte bahkan sempat menyusun hirarki ilmu pengetahuan yang
menempatkan sosiologi berada dipuncak hirarki tersebut karena Comte menganggap
sosiologi sebagai ilmu yang paling logis.
Hirarki ilmu pengetahuan yang
disusun oleh Comte didasarkan atas perbedaan tingkat kompleksitas analisa
masing-masing ilmu pengetahuan tersebut. Setelah sosiologi secara
berturut-turut terdapat ilmu biologi, kimia, fisika,astronomi, kemudian
matematika.
Berbasis pada filsafat Positivisme, Comte kemudian mengembangkan sebuah ilmu baru yang Ia sebut dengan nama Sosiologi. Sosiologi positivis Comte kemudian menjadi aliran yang mendominasi Sosiologi terutama di era 1940-1960an. Sosiologi positivis Comte terutama mempelajari statika sosial (struktur sosial) dan dinamika sosial (perubahan sosial) dengan tekanan utama pada dinamika sosial ketimbang statika sosial.Hal ini menunjukkan perhatian Comte yang besar terhadap gagasan reformasi sosial yang dicita-citakan oleh Comte itu sendiri.
Meski dalam beberapa segi,
Positivisme mengandung kebaruan, namun pandangan ini bukan merupakan sesuatu
yang baru, karena sebelum Comte dan Imanuel Kant sudah berkembang empirisme
yang dalam beberapa hal bersesuaian dengan Positivisme.
Lebih tepat dikatakan bahwa
Positivisme merupakan peruncingan trend sejarah pemikiran Barat modern yang
telah mulai menyingsing sejak runtuhnya tatanan dunia Abad Pertengahan, melalui
rasionalisme dan empirisme. Apa yang baru dalam Positivisme adalah sorotan
khususnya terhadap metodologi ilmu pengetahuan, bahkan dapat dikatakan bahwa
pandangan ini sangat menitikberatkan metodologi dalam refleksi filsafatnya.
Kalau dalam empirisme dan
rasionalisme pengetahuan masih direfleksikan, dalam Positivisme kedudukan
pengetahuan diganti metodologi, dan satu-satunya metodologi yang berkembang secara meyakinkan sejak
Renaissance, dan subur pada masa Aufklarung adalah metodologi ilmu-ilmu alam.
Oleh karena itu, Positivisme menempatkan metodologi ilmuilmu alam pada ruang
yang dahulunya menjadi wilayah refleksi epistemologi, yaitu pengetahuan manusia
tentang kenyataan.
Positivisme adalah paham filsafat,
yang cenderung untuk membatasi pengetahuan benar manusia kepada hal-hal yang
dapat diperoleh dengan memakai metode ilmu pengetahuan (sains). Positivisme
adalah ajaran bahwa hanya fakta atau hal yang dapat diuji yang melandasi pengetahuan
yang sah. Oleh karena itu, teologi dan metafisika harus dianggap sebagai sebuah
spekulasi saja.
Sebagai konsekuensinya Comte
berpendapat bahwa agama dan metafisika harus dipinggirkan. Semua lembaga
kemasyarakatan, yang pembenarannya dan pendasarannya ditemukan dalam pandangan
yang bersifat keagamaan dan metafisik, harus diperbarui atau diganti dengan
lembaga-lembaga yang berpedoman pada ilmu pengetahuan positif.
Positivisme bercirikan metode
evaluasi sains dan saintifik positif pada tingkat ekstrem. Seperti layaknya
suatu sistem pemikiran, positivisme pada dasarnya mempunyai pijakan ; logika empirisme,realitas
objektif,reduksionisme,determinisme, dan asumsi bebas-nilai. Positivisme
manganggap pernyataan tanpa bukti empiris, seperti etika, estetika, dan
metafisika ialah omong kosong.(Susan,2009)
Positivisme relatif sering
diasosiasikan sebagai pendangan keilmuan yang menarik asumsi-asumsi
metodologisnya dari ilmu alam. Pengetengahan Positivisme dalam ilmu sosial
dianggap sebagai upaya untuk menjadikan ilmu sosial sebagai ilmu yang pasti dan
akurat, atau mencoba menyerupakannya dengan ilmu alam.
Positivisme merupakan pandangan
yang kemudian mendominasi teori-teori dalam ilmu sosial dan menjadikan ilmu
sosial memiliki pandangan keilmuan yang dingin, mekanis dan tidak
humanis.Positivisme menurut sebagian sosiolog seperti Ian Craib dapat menuntut
kepastian sehingga mengikuti metodologi ilmu alam khususnya dengan
mengkuantifikasi segala hal yang ditelitinya.
Potitivisme dikembangkan pertama kali
oleh Auguste Comte. Comte kemudian dirumuskan dalam norma-norma metodologis
yang berbasiskan pada Positivisme sebagai
berikut :
❶ Semua
pengetahuan harus terbukti lewat rasa kepastian (sense of certainty) pengamatan
sistematis yang menjamin secara intersubjektif.
❷ Kepastian
metodis sama pentingnya dengan rasa kepastian. Kesahihan pengetahuan ilmiah
dijamin oleh kesatuan metode.
❸ Ketepatan
pengetahuan kita dijamin hanya oleh bangunan teori-teori yang secara formal
kokoh yang mengikuti deduksi hipotesis-hipotesis yang menyerupai hukum.
❹ Pengetahuan
ilmiah harus dapat dipergunakan secara teknis. Ilmu pengetahuan memungkinkan
kontrol teknis atas proses-proses alam maupun sosial.
❺ Pengetahuan
pada prinsipnya tak pernah selesai dan relatif, sesuai dengan ‘sifat relatif
dan semangat positif’
Gagasan Comte tentang ilmu-ilmu
positif yang mencapai puncaknya dalam sosiologi, dengan ditandai oleh sejumlah
prinsip sebagai berikut :
● Positivisme menolak perbedaan
ilmu-ilmu alam dan sosial
● Positivisme menganggap
pernyataan-pernyataan yang tidak dapat diverifikasikan secara empiris, seperti
etika,estetika,agama,metafisika sebagai nonsense
● Positivisme berusaha menyatukan
semua ilmu pengetahuan di dalam satu Bahasa ilmiah yang universal
● Positivisme memendang tugas
filsafat sebagai analisis atas kata-kata atau pernyataan-pernyataan
Karena Positivisme oleh Comte
hendak diterapkan pada ilmu-ilmu sosial, maka sebagai konsekuensinya ilmu-ilmu
sosial modern menganut tiga prinsip utama : berifat empiris-objektif,
deduktif-nomologis, dan instrumental-bebas nilai.
Ketiga asumsi Positivis dalam
ilmu-ilmu sosial ini oleh Anthony Giddens dijelaskan sebagai berikut :
→ Prosedur-prosedur metodologis
ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu-ilmu sosial. Dengan cara
ini, objek observasi ilmu-ilmu sosial disejajarkan dengan dunia alamiah.
→ Hasil-hasil riset dapat
dirumuskan dalam bentuk “hukum-hukum” seperti dalam ilmu-ilmu alam.
→ Ilmu-ilmu sosial itu harus
bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental
murni. Pengetahuan itu harus dapat dipakai untuk keperluan apa saja sehingga
tidak bersifat etis dan juga tidak terkait pada dimensi politis. Ilmu-ilmu
sosial, seperti ilmu-ilmu alam, bersifat bebas nilai (value free)
Adapun Positivisme memiliki ciri sebagai berikut :
● melihat kehidupan sosial sebagai
proses yang alamiah
● menganggap pengetahuan bersifat
netral dan bebas nilai
● mengabaikan 'aktor" dan
menurunkan "aktor' kederajat pasif yang ditentukan oleh kekuatan
ilmiah.
● berwatak konservatif yang ingin
mengembangkan suatu dasat tatanan masyarakat yang permanen
● memiliki metode observasi
empiris,eksperimentasi dan perbandingan.
● menggunakan metode/pendekatan
ilmu alam untuk menemukan hukum-hukum kehidupan sosial. Hal ini diharapkan akan
menghindarkan ilmu sosial dari filsafat sosial spekulatif yang berkembang pada
masa-masa sebelumnya.
● menganggap kehidupan sosial
sebagai realitas objektif
● merupakan reaksi terhadap
metafisika yang dianggap tidak dapat dibuktikan secara indrawi/empiris.
● menganggap bahwa premis-premis
yang tidak dapat diverifikasikan seperti etika,estetika,metafisika dan agama
sebagai nonsense
● berusaha menyatukan semua ilmu
pengetahuan di dalam suatu bahasa ilmiah dan universal
● menganggap ilmu sosial menganut
prinsip ; empiris-objektif, deduktif-nomologis dan instrumental-bebas nilai
● bersifat ahistoris dan asosial ;
tidak terkait dengan konteks sejarah dan lingkungan sosial tertentu
● reduksionisme dan determinisme
● memisahkan antara teori dan
kepentingan/moralitas
● menganggap manusia sebagai objek
yang dapat digeneralisasikan
● analisis makro
● metode kuantitatif
● melahirkan teori fungsionalisme
dan teori modernisasi
● menilai dunia sosial selalu
sebagai proses yang netral dan ingin membawa sosiologi ke jalur ilmiah seperti
ilmu eksakta
● mengakibatkan teori sosial
mengalami stagnasi
● terlalu menekankan
penjelasan kausal atas perilaku manusia
● sering menimbulkan bias
karena terlalu eksak
● terlalu khawatir pada spekulasi
sehingga menteknikalisasi ilmu sosial
● bertujuan memproduksi hukum
sosial
PENGARUH
POSITIVISME TERHADAP SOSIOLOGI KUANTITATIF
Positivisme Comte telah berpengaruh besar terhadap
perkembangan sosiologi klasik yang umumnya bercorak konservatisme, reformisme,
dan scentisme. Sosiologi Positivis Comte tidak berpusat pada individu, tetapi
pada kesatuan sosial yang lebih besar,
seperti keluarga dan struktur sosial.
Pengaruh Positivisme dalam
sosiologi ditandai oleh munculnya fungsionalisme yang kemudian menjadi teori
dominan di dalam Sosiologi. Melalui sejumlah tokoh, seperti Emile Durkheim
yang kemudian dilanjutkan oleh Talcott parson dan R.K.Merton teori
fungsionalisme mengalami perkembangan yang pesat walaupun pengaruhnya makin
berkurang pada dekade 1960-an.
Emile Durkheim (1858-1917)
merupakan perintis fungsionalisme struktural yang terpengaruh oleh Positivisme.
Durkheim adalah seorang liberal dalam politik tetapi konservatif dalam
intelektual. Pengaruh positivisme dalam sosiologi Durkheim terlihat dengan
adanya konsep sosiologi Durkheim yang menggunakan metode objektif, empiris dan
bebas nilai. Pengaruh Comte terhadap Durkheim tidak secara langsung, tetapi
melalui seorang tokoh Darwinisme Sosial Inggris, yaitu Herbert Spencer.
Spencer merupakan suatu mata rantai
penting antara Auguste Comte dan Emile Durkheim. Hanya saja terdapat perbedaan
penting antara Comte dan Spencer. Kalau Comte memiliki gagasan reformasi
sosial, Spencer justru menentangnya. Menurut Spencer, tidak ada yang dapat
mencampuri proses evolusi masyarakat.
(Henslin, 2006)
Menurut Durkhem Fakta Sosial adalah
landasan bagi ilmu sosial. Fakta sosial adalah kenyataan masyarakat yang tidak
dapat disingkirkan adanya, dan tidak dapat direduksi menjadi fakta individu.
Fakta sosial ini dapat diperoleh melalui penelitian empiris.
Durkheim melanjutkan
gagasan-gagasan dan konsep-konsep penting Comte mengenai keharusan konsensus,
agama yang diintegrasikan dan mengenai kepaduan antara tata dan kemajuan.Hal
itu kemudian diperhalus oleh Durkheim ke dalam sosiologi dan menjelma menjadi
fungsionalisme.
Pengaruh Comte lainnya terhadap
Durkheim dapat dilihat dari konsepsi Durkheim mengenai agama. Dalam bukunya The Elementary Form Of Religious Life,
Durkheim memandang kekuatan agama yang merosot dimasa lalu dan ingin
menggantikannya dengan “agama sipil”, kendati sedikit berbeda dengan konsepsi
agamanya Saint Simon yang menjadi gurunya Comte.
Durkheim secara implisit mengikuti
Hukum Tiga Tahap Comte, dimana agama akhirnya akan diganti oleh paham
Positivisme-yakni penggunaan pengetahuan berbasis empiris untuk
mengorganisasikan masyarakat.
Dibanyak sisi, Durkheim memperluas
wawasan awal Comte. Maksudnya, Durkheim merupakan pendukung intelektual karya
Saint Simon dan Comte. Durkheim menerima teori evolusi dimasanya dan menerima
anggapan Comte bahwa hukum itu menuntun kemajuan manusia. Durkheim juga
mengikuti pendapat Comte bahwa ilmu kemasyarakatan yang didasarkan pada
pengamatan empiris juga mungkin dan perlu menciptakan tatanan sosial yang lebih
baik.
Bahkan Durkheim menyediakan bagi
sosiologi beberapa contoh awal analisis statistik dan metodologisnya. Dan yang
paling penting, Durkheim melanjutkan tradisi kolektivis Prancis dengan
menyatakan bahwa masyarakat merupakan suatu realitas yang terlahir sui generis dan dengan demikian harus
dipahami berdasarkan prinsip-prinsip uniknya sendiri. (Turner, 2010)
Walaupun dipengaruhi oleh
Positivisme Comte, Durkheim juga menolak beberapa pandangan Comte. Diantaranya
adalah penolakan Durkheim mengenai Hukum Tiga Tahap. Menurut Durkheim, Hukum
Tiga Tahap tersebut “ lebih sebagai perintah daripada berdasarkan pembenaran
secara empiris..”
Selain itu Durkheim juga berupaya
keras menjadikan sosiologi sebagai ilmu yang otonom dan independen dengan
berusaha melepaskan sosiologi dari alam filsafat positif Comte untuk kemudian
meletakkan sosiologi ke atas dunia empiris. Menurut Durkheim, walaupun
Positivisme Comte menjadi dasar dari ilmu sosiologi, tetapi metode yang
digunakan oleh Comte masih belum bersifat empiris dan cenderung spekulatif.
Upaya Durkheim tersebut ditandai
oleh disusunnya dua buku karya Durkheim yaitu Suicide dan The Rule Of
Sociological Method yang berintikan konsep-konsep dasar tentang metode yang
dapat dipakai untuk melakukan penelitian empiris dalam lapangan sosiologi. Kedua
karya tersebut dengan jelas telah meninggalkan cara-cara kerja yang sebelumnya
dikembangkan oleh Comte dan juga Spencer dalam memahami kehidupan masyarakat.
(Ritzer, 2004)
Konsep Comte tentang pembagian antara statika sosial dan dinamika
sosial juga berpengaruh kepada dua tokoh sosiologi klasik, yaitu Herbert
Spencer dan Emile Durkheim. Berdasarkan pembagian itulah Herbert Spencer
(1820-1903) menganalogikan masyarakat dengan organisme biologis.
Statika sosial mempelajari anatomi masyarakat yang terdiri
dari bagian-bagian dan susunannya seperti mempelajari anatomi tubuh manusia
yang terdiri dari organ, kerangka dan jaringannya. Sedangkan Dinamika Sosial
memusatkan perhatiannya pada psikologi, yakni pada proses yang berlangsung dalam
masyarakat seperti berfungsinya tubuh (pernafasan, metabolisme tubuh dan
sirkulasi darah) dan menciptakan hasil akhir berupa perkembangan masyarakat
yang dianalogikan dengan pertumbuhan organik (dari embrio ke kedewasaan).
Implikasinya, masyarakat dibayangkan berada dalam keadaan
tetap yang dapat dianalisis sebelum terjadi, atau terlepas dari perubahan.
(Stompka, 2014)
Spencer mempertahan pandangan serupa dengan Comte, hanya
dengan mengubah terminologinya saja.Ia membedakan antara struktur dan
fungsi.Terminologi inilah yang sudah seabad lebih menjadi inti bahasan
sosiologi. Struktur menandai susunan internal, bentuk masyarakat sebagai satu
kesatuan.Fungsi menandai cara beroperasi
atau perubahannya.Implikasi serupa adalah terbukanya peluang untuk membayangkan
masyarakat seperti sejenis kesatuan yang utuh atau objek yang lepas dari
operasinya.Dengan kata lain, kemungkinan untuk memisahkan struktur dan fungsi
makin diperkuat. (Stompka, 2014)
KARATERISTIK
PENDEKATAN KUANTITATIF
● Lahir dan berkembang dari tradisi
atau arus utama (mainstream) ilmu-ilmu sosial Prancis dan Inggris yang kental
dipengaruhi oleh tradisi ilmu-ilmu alam (natural science)
● Dipengaruhi oleh tradisi berfikir Prancis
yang cenderung positivis / naturalis / Saintifis / empiris / behavioris
● Dipengaruhi oleh aliran filsafat
materialisme, realisme, naturalisme, empirisme, dan positivisme
● Dipengaruhi oleh ilmu sosial Positivisme
dengan tanpa syarat menerima doktrin ‘angka’, “representatif’, “reduksionisme”,
“netralitas”, dan “validitas data”
● Jenis penelitian dalam metode kuantitatif
dapat berupa penelitian Korelasional, penelitian survei, penelitian eksperimen,
dan penelitian Komparasi
● Menggunakan analisis statistik
● Memfokuskan diri pada pencarian hubungan
kausalitas atau hubungan antarvariabel
● Bertujuan menjelaskan fenomena sosial
(explanation)
● Kata kunci antara lain ; faktor, variabel,
instrumen pengukuran, validitas, realibilitas,objektivitas, populasi, sampel,
responden (Bungin, 2012)
● Berpijak pada diskursus resmi atau arus utama
seperti : angka,statistik, uji hipotesis dan lain sebagainya
● Percaya bahwa realitas sosial itu bersifat
tunggal atau sekurang-kurangnya “ganda’, ‘statis”, dan ‘hasil dari tindakan”
● Mengasumsikan realitas sosial sebagai sesuatu
yang ‘monolitik’, sebagaimana yang diyakini oleh ilmu alam
● Sangat mempercayai metode pengetahuan tunggal
yang antara lain diambil dari fisika sehingga menempatkan ‘kebenaran’ dengan
standar pengukuran
● Meyakini bahwa semua konsep, variabel harus
dapat diukur
● Percaya bahwa metode survei sebagai instrumen
final untuk menangkap realitas sosial
● Mereduksi makna ke dlaam pola dominan untuk
memperoleh tren, pola, tipologi yang dianggapnya sebagai kebenaran yang
‘objektif”, ‘valid”, dan “reliabilitas”
● Melihat hubungan antara peneliti dan yang
diteliti bersifat sangat hierarkis, peneliti memosisikan diri secara independen
(otonom, canggih dan intelektual) yang membedakan dengan yang diteliti yang
diposisikan sebagai responden
● Cenderung menekankan pada representasi
● Lebih suka menguji teori atau hipotesis,
mencari tren dan faktor-faktor penyebab (kausalitas)
● Menolak metode yang menekankan pada
subjektivitas, refleksivitas, multi paradigma, multi metode, sebagaimana yang
dikembangkan oleh metode kualitatif
● Penelitiannya berhenti pada tradisi baku
kuesioner, teknik sampling, sebuah metode yang eksploitatif karena memosisikan
subjek sebagai ‘mesin data’, sebuah metode yang menekankan pada aspek-aspek
prosedur dan membanggakan alat yang tunggal dalam sebuah survei
● Menandaskan pada teori tertentu untuk
menyusun variabel, hipotesis
● Bertujuan menguji kebenaran sebuah teori,
yaitu menerima atau menolak sebuah teori (Jacky, 2015)
VARIABEL
KUANTITATIF
Variabel adalah fakta sosial yang memiliki lebih dari satu
nilai. Jika ciri-ciri dari suatu fakta
sosial dapat dinilai dengan angka, maka ciri-ciri itu dinamakan variabel
kuantitatif. Contoh dari variabel kuantitatif adalah :
√ umur
;
dalam ukuran tahun dari para kepala keluarga
√ penghasilan
pertahun ; dalam ukuran rupiah
√ tinggi
badan ; dalam ukuran meter dari sekelompok anak sekolah
Variabel
kuantitatif dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu :
→ Variabel
Diskret (Discrete quantitative variables) :
tiap nilai variabel dipisahkan yang satu dengan yang lainnya oleh satu kesatuan tertentu. Misalnya, kalau penghasilan seseorang diukur dalam rupiah, tiap kesatuan terpisah dari yang lain oleh sekurang-kurangnya satu rupiah.
tiap nilai variabel dipisahkan yang satu dengan yang lainnya oleh satu kesatuan tertentu. Misalnya, kalau penghasilan seseorang diukur dalam rupiah, tiap kesatuan terpisah dari yang lain oleh sekurang-kurangnya satu rupiah.
→ Variabel Kontinu (Continuous qantitative
variables) :
kesatuan pengukuran dapat dibagi dalam bagian-bagian secara tidak terbatas. Artinya, betapa dekat pun dua nilai dari satu variabel, masih ada kemungkinan memasukkan nilai-nilai lain di antaranya. Misalnya, pengukuran waktu dapat dibagi secara kontinu dalam menit, detik, sepersepuluh detik, seperseratus detik, dan seterusnya. (Koentjaraningrat, 1994)
kesatuan pengukuran dapat dibagi dalam bagian-bagian secara tidak terbatas. Artinya, betapa dekat pun dua nilai dari satu variabel, masih ada kemungkinan memasukkan nilai-nilai lain di antaranya. Misalnya, pengukuran waktu dapat dibagi secara kontinu dalam menit, detik, sepersepuluh detik, seperseratus detik, dan seterusnya. (Koentjaraningrat, 1994)
KRITIK
TERHADAP POSITIVISME DAN SOSIOLOGI KUANTITATIF
Sebagian besar kritik terhadap Positivisme adalah sekaligus
merupakan kritik terhadap fungsionalisme, karena fungsionalisme struktural
dengan jelas didasarkan atas filsafat Positivisme Comte. Fungsionalisme
struktural ini merupakan arus dominan dalam teori-teori sosiologi. Berikut ini
adalah sejumlah kritik terhadap Positivisme dan sosiologi kuantitatif :
♦ Positivisme dan
sosiologi kuantitatif dianggap gagal
dalam penerapannya pada ilmu-ilmu sosial, Hal itu dikarenakan objek
observasinya berbeda dengan objek pada ilmu-ilmu alam, yaitu manusia dan
masyarakat. Berbeda dari proses-proses alam yang dapat diprediksi dan dikuasai
secara teknis, proses-proses sosial terdiri dari tindakan-tindakan manusia yang
tidak dapat begitu saja dapat diprediksi, apalagi dikuasai secara teknis.
♦ Kritik terhadap Positivisme dan sosiologi
kuantitatif juga diberikan oleh seorang
teoritikus Jerman yang sekaligus pengusung Teori Kritis, Jurgen Habermas.
Menurutnya, Positivisme akan menghasilkan teknologi sosial yang pada akhirnya
akan menjadi determinan dan menimbulkan dominasi. Dalam Positivisme, peranan
subjek dalam membentuk “fakta sosial” disingkirkan. Yang terjadi disini adalah
objektivisme, dimana subjek hanya bertugas menyalin fakta objektif yang
diyakini dapat dijelaskan menurut mekanisme yang objektif. (Hardiman, 2003)
Selain itu Habermas mengkritik Positivisme dengan
mengkritik Marxisme Ortodoks. Menurut Habermas, Marxisme Ortodoks tidak lain
merupakan pandangan determinis ekonomi yang didasarkan oleh Positvisme. Teori
Kritis berusaha menekankan peranan kesadaran (subjek) untuk mengubah
struktur-struktur objektif.
♦ Edmund Husserl,
pendiri pendekatan Fenomenologi memberikan kritik terhadap Positivisme dalam
kaitannya dengan “Dunia Kehidupan” (Lebenswelt). Menurut Husserl, Positivisme
dan saintifisme telah mengakibatkan konsep Dunia-Kehidupan mengalami krisis,
padahal konsep itu merupakan dasar makna yang sering dilupakan oleh ilmu
pengetahuan.
Dunia Kehidupan merupakan unsur-unsur sehari-hari yang
membentuk kenyataan sosial manusia. Konsep Dunia Kehidupan ini dapat memberikan
inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu ini menafsirkan
suatu dunia, yaitu Dunia Sosial. Dunia Sosial dibentuk melalui suatu tindakan
subjektif bermakna yang memiliki asal-usul sosialnya. Dunia Kehidupan sosial
itu bersifat pra-teoritis dan pra-ilmiah, bukan sekedar penjumlahan makna pra
perilaku individual seperti yang biaa dilakukan oleh Positivisme.
♦ Positivisme dan sosiologi kuantitatif juga dikritik
karena tidak dapat memenuhi janjinya mengenai reformasi sosial dalam kehidupan
manusia. Ketika menyusun filsafat Positivisnya Comte berharap, Positivisme
dapat membantu membentuk sebuah dunia baru yang lebih beradab dan manusiawi.
Kenyataannya, justru pada abad ke 20 kita menyaksikan berbagai peperangan
terjadi, terorisme dan kejahatan terhadap kemanusiaan, padahal di zaman modern
ilmu pengetahuan (positivis) telah berhasil mengembangkan sebuah dunia yang
lebih rasional dan modern.
♦ Teori Positivisme Comte dan sosiologi kuantitatif dianggap gagal dalam menerangkan tentang
hukum perubahan sosial di masyarakat. Teori Perkembangan yang berdasarkan
Positivisme mengembangkan sebuah diktum bahwa masyarakat berkembang melalui
sebuah proses yang bersifat unilinier, tetapi kita menghadapi kenyataan lain.
Kemajuan unilinier ternyata tidak tampak atau tidak jelas
dalam berbagai bidang kehidupan seperti religiositas,etik dan kehidupan
bersama. P.A.Sorokin, seorang sosiolog Amerika kelahiran Rusia melihat sejarah
manusia bukan sebagai jalan yang makin memuncak, melainkan bagaikan garis
bergelombang / siklus. Kemajuan dan kemunduran silih berganti. Masa Idealisme
disusul masa Materialisme, masa Materialisme disusul masa Idealisme, dan
seterusnya.
Sorokin bersikap skeptis terhadap zaman modern ini, dimana
orang menjunjung tinggi kecerdasan otak dan keberhasilan di bidang-bidang ilmu
pengetahuan positif dan teknik, dan cenderung meremehkan atau mengingkari
kebenaran yang lebih luhur dan nilai-nilai kerohanian.
♦ Positivisme dikritik karena Ia dianggap terlalu gegabah
dalam mangandaikan bahwa kesadaran manusia semestinya hanya diarahkan kepada
hal-hal yang empiris.Pada kenyataannya, kesadaran manusia tidak dapat
dibelenggu atau dipersempit ke dalam aspek yang bersifat empiris semata.
Kesadaran manusia tidak dapat dipaksa untuk hanya
memikirkan segi realitas yang langsung nyata bagi indera. Banyak aspek
kehidupan manusia tidak dapat diarahkan kepada kategori-kategori benar atau
salah, karena seringkali minat dan kecenderungan manusia lebih didorong oleh
pilihan apakan hal itu menarik atau tidak menarik.
♦ Positivisme dan sosiologi kuantitatif tidak mengakui
prinsip relativitas pikiran manusia.Comte menganggap hanya cara berfikir yang
positif di zaman modern ini yang dapat menghasilkan kebenaran dan bentuk
kehidupan bersama yang paling baik.
♦ Positivisme dan sosiologi
kuantitatif yang akhirnya menyamakan pengetahuan
dengan ilmu pengetahuan objektif dan kemudian mendewakan objektivitas.
Objektivitas segera memisahkan teori dari praxis, pengetahuan dari kehidupan,
ilmu dari etika, karena pengetahuan menjadi barang asing dihadapan subjek yang
sebetulnya turut membentuknya. (Hardiman, 1990)
♦ Positivisme dan sosiologi
kuantitatif dinilai
tidak mampu melihat realitas sosial yang terjadi dalam tataran mikro. Sosiologi
Positivis memiliki kecenderungan menganalisa realitas sosial dalam aspek makro
seperti struktur sosial. Oleh karena itu muncullah teori-teori sosiologi yang
mengisi kekosongan ruang analisa tersebut. Teori interaksionisme simbolik
dengan tokohnya G.H.Mead misalnya mengembangkan sosiologi mikro yang
memfokuskan analisanya pada pola interaksi individu.
Para interaksionis mengambil cara
pandang dalam melihat masyarakat dari bawah, sebagaimana situasi yang
diciptakan oleh individu-individu tersebut melalui interaksi.Pada konteks ini
bisa dikatakan masyarakat merupakan produk dari individu (manusia) yang
dipandang sebagai aktor yang bersifat aktif dan terus menerus berproses. Hal
ini merupakan kebalikan dari sosiologi positivis/naturalis yang menganggap
strukturlah/masyarakat yang menciptakan individu.
♦ Kritik terhadap Positivis dan sosiologi kuantitatif juga
dikemukakan oleh Peter L.Berger, seorang penganut teori Konstruksi Sosial. Berbeda
halnya dengan kalangan Positivis yang menganggap agama sebagai salah satu fase
yang akan dilampaui dalam evolusi kehidupan manusia, Berger justru beranggapan
bahwa agama dapat bertahan, beradaptasi dan berdampingan dengan modernitas.
Berger membalikkan logika yang mengatakan bahwa modernisasi
sesungguhnya menyebabkan kemerosotan agama, baik dalam ranah masyarakat (makro)
maupun dalam ranah individu (mikro). Institusi agama memang telah kehilangan
kekuatan dan pengaruhnya akibat modernisasi dalam skala tertentu, tetapi
sekularisasi yang menyertai modernisasi sesungguhnya tidak berimbas pada level
kesadaran individu. Agama dan praktek-praktek keagamaan lama maupun baru terus
berkembang dalam kehidupan individu dan bahkan membentuk institusi baru .
Menurut Weber agama (tertentu) memiliki kemampuan
beradaptasi dengan modernitas, dan pada realitanya sejumlah agama dan praktek
keagamaan tumbuh subur di negara-negara yang mengalami modernisasi sekalipun.
♦ Dari segi metodologi, teori Kritis awal mulanya hadir
sebagai reaksi terhadap dominasi pendekatan Positivisme dan sosiologi
kuantitatif yang dinilai cenderung
mereifikasi dunia sosial dan melihatnya melulu sebagai proses yang netral,
sehingga tidak mengabaikan aktor. Dalam perkembangan ilmu sosial, selama ini
Positivisme harus diakui telah cukup lama mendominasi kerangka berfikir
teoretisi ilmu sosial, dan diyakini sebagai media yang membawa sosiologi ke
jalur ilmiah layaknya ilmu eksakta.
Namun dalam perkembangannya kemudian Positivisme disadari
telah menyebabkan teori sosial mengalami stagnasi, cenderung bersifat
konservatif, serta tidak mampu menentang sistem.Teori Kritis umumnya mengkritik
Positivisme yang terlalu menekankan penjelasan kausal atas perilaku manusia, dimana
hal itu dinilai tidak dimungkinkan, sebab tindakan, institusi dan keyakinan
manusia pada dasarnya mengandung makna.
Tugas ilmu sosial bukan menspesifikasikan hukum perilaku
manusia yang serba seragam, melainkan memahaminya dengan menginterpretasikannya
dalam kaitannya dengan niat subjektif individu. Positivisme dinilai para
teoretisi Kritis terlalu mengedepankan hukum tindakan manusia, padahal
fakta-fakta ilmiah sesungguhnya akan selalu ditaklukkan dan dikonstruksi.
Teori Kritis dari Mazhab Frankfurt menolak Positivisme yang
dianggap terlalu mengagungkan sains, karena yang namanya kebenaran bukanlah
diperoleh semata-mata hanya lewat pengukuran dan sejenisnya, karena di mata
mereka dunia sosial sesungguhnya adalah dunia yang ditafsirkan.
REFERENSI :
Burhan Bungin, Metode Penelitian
Kualitatif ; Aktualisasi Metodologis Ke Arah Ragam Varian Kontemporer, Jakarta
: Rajawali, 2012
Damsar, Pengantar Teori Sosiologi, Jakarta : Kencana,2015
F.Budi Hardiman, Melampaui positivisme dan modernitas, Diskursus Filosofis
tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Jakarta : Kanisius,2003
F.Budi Hardiman, Kritik Ideologi,
Jakarta : Kanisius,1990
Geger Riyanto, Peter L.Berger, Pespektif Metateori Pemikiran,
Jakarta : LP3ES,2009
George Ritzer, Teori sosiologi modern, Jakarta : Kencana, tanpa
tahun
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma
Ganda,Jakarta : RajaGrafindo,2004
James Henslin, Sosiologi dengan pendekatan membumi, Jakarta :
Erlangga,2006
K.J.Veeger, Realitas Sosial, Refleksi filsafat sosial atas
hubungan individu-masyarakat dalam cakrawala sejarah sosiologi, Jakarta :
Gramedia, 1985
M.Jacky, Sosiologi, Konsep, Teori, dan Metode, Surabaya : Mitra
Wacana Media, 2015
Mely Tan, Penggunaan Data Kuantitatif, Dalam Koentjaraningrat,
Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : Gramedia, 1994
Komentar
Posting Komentar