SOSIOLOGI BIMBINGAN BELAJAR


SOSIOLOGI BIMBINGAN BELAJAR



PENGANTAR
Merebaknya pendidikan luar sekolah berupa bimbingan belajar di Indonesia merupakan sebuah fenomena yang banyak disaksikan oleh masyarakat. Bimbingan belajar yang berkembang di Indonesia ada yang bersifat nasional dan lokal. Bahkan ada juga bimbingan belajar yang bersifat rumahan yang berfokus pada bimbingan dalam mengerjakan pekerjaan rumah (PR).

Terdapat berbagai jenis bimbingan belajar sesuai dengan tujuan dan orientasinya masing-masing, seperti bimbingan belajar untuk masuk sekolah kedinasan, bimbingan belajar untuk menghadapi tes masuk pegawai negeri atau anggota Polri. Akan tetapi dalam tulisan singkat ini yang akan menjadi bahasan adalah bimbingan belajar yang bertujuan membantu siswa dalam menghadapi ujian, baik ujian sekolah maupun ujian masuk perguruan tinggi negeri.

Sejumlah bimbingan belajar terkemuka yang ada di Indonesia  memiliki cabang di sejumlah kota besar di Indonesia seperti Bimbingan Dan Konsultasi Belajar Nurul Fikri (NF), Ganesha Operation (GO), Salemba Group, Neutron, Primagama dan lain sebagainya.

Berkembangnya kursus seperti bimbingan belajar di satu sisi menunjukkan tingginya antusias anak didik dalam mengupayakan masa depannya. Akan tetapi di sisi lain tumbuhsuburnya bimbingan belajar menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem pendidikan formal di sekolah. Banyak murid sebagai peserta didik tidak merasa puas dan cukup dengan pendidikan yang mereka jalani di sekolah.

Padahal waktu yang mereka habiskan untuk belajar di sekolah tidaklah singkat. Seorang siswa sekolah menengah misalnya rata-rata menghabiskan waktu antara 6-8 jam setiap harinya di sekolah, belum lagi dengan adanya program Pendalaman Materi (PM) yang diselenggarakan oleh pihak sekolah.

Tumbuhsuburnya bimbingan belajar (bimbel) juga disebabkan karena adanya kesenjangan antara sistem pembelajaran di sekolah dengan sistem ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Sistem ujian masuk PTN dinilai lebih memiliki tingkat kesulitan yang tinggi yang tidak dapat diantisipasi oleh sistem pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu bimbingan belajar melihat hal tersebut sebagai peluang untuk mendapatkan segmen pasar yang potensial untuk digarap.

Merebaknya bimbingan belajar juga dilatarbelakangi oleh adanya sistem ujian yang diselenggarakan baik oleh sekolah  seperti ulangan harian, ulangan pekanan, ulangan tengah dan akhir semester maupun oleh pemerintah pusat seperti Ujian Nasional Berbasis Komputer serta ujian-ujian yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi Negeri seperti SIMAK UI, Ujian Tulis UGM, Ujian Mandiri dan lain sebagainya.

Faktor lain yang mendorong berkembangnya bisnis bimbingan belajar adalah karena adanya program wajib belajar yang ditetapkan oleh pemerintah. Program tersebut berkonsekuensi tidak adanya biaya pendidikan bagi anak yang bersekolah di sekolah negeri yang dikelola oleh pemerintah nilai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Hal inilah yang mendorong orangtua siswa mengalihkan alokasi dana pendidikan untuk membiayai kursus anaknya di bimbingan belajar.

Motivasi orangtua mengirim anaknya mengikuti bimbingan belajar bukan saja terkait dengan peningkatan prestasi belajar di sekolah. Bahkan ada motivasi lain yang tidak meiliki korelasi langsung dengan prestasi belajar di sekolah. Sebagian orangtua siswa mengirim anaknya untuk mengikuti bimbingan belajar antara lain didorong oleh kekhawatiran akan lingkungan pergaulan sosial si anak.

Orangtua khawatir jika anak memiliki banyak waktu luang yang dapat disalahgunakan untuk hal-hal yang negatif seperti pacaran, terlibat tawuran, penggunakan narkoba dan lain sebagainya. Kekhawatiran orangtua tersebut beralasan mengingat usia sekolah merupakan usia rentan. Anak masih berusaha mencari identitas dan cenderung ingin mencoba berbagai pengalaman hidup.

Hubungan antara pihak sekolah sebagai representasi dari sistem pendidikan formal dengan bimbingan belajar sangat variatif. Ada diantara penyelenggara pendidikan formal yang melihat hubungan antara sekolah dengan bimbingan belajar bersifat simbiosis mutualis, yaitu hubungan fungsional dan komplementer yang saling melengkapi. Mereka beranggapan bahwa bimbingan belajar pada hakekatnya membantu tugas  guru di sekolah dalam memberikan pemahaman tentang konsep materi pelajaran sekolah kepada para muridnya. 

Bahkan tidak jarang sekolah mengadakan kerjasama dengan sejumlah bimbingan belajar untuk mengisi pendalaman materi di sekolahnya.
Akan tetapi ada juga pihak sekolah atau pemerintah yang melihat bimbingan belajar sebagai ancaman yang mengganggu keteraturan sosial. Mereka melihat bimbingan belajar dengan sebelah mata. Bahkan tidak jarang dikalangan penyelenggara pendidikan formal yang memberikan stigma atau label yang negatif kepada bimbingan belajar. Misalnya mereka menganggap bimbingan belajar sering memberikan “bocoran soal” ujian kepada para muridnya.

Hubungan antara sekolah dan bimbingan belajar dapat menjadi buruk dan berkembang ke arah persaingan ketika guru sekolah merasa ‘tersaingi’ oleh keberadaan guru/tentor bimbingan belajar. Tidak jarang penjelasan yang diberikan oleh guru bimbel berbeda dengan penjelasan guru di sekolah dan siswa cenderung mengikuti penjelasan dari guru/tentor dari bimbingan belajarnya ketimbang mengikuti pendapat guru sekolahnya.


ANALISIS SOSIOLOGIS BIMBINGAN BELAJAR

√ Analis struktural fungsional

Kajian mengenai bimbingan belajar dapat dianalisa dalam sosiologi makro atau meso. Diantara perspektif yang menganalisasi dimensi kehidupan sosial pada ruang lingkup makroskopik adalah teori Fungsionalisme Struktural dan teori Struktural Konflik. Kedua teori tersebut memiliki cara pandang yang seringkali berbeda dan bertolak belakang dalam melihat relaitas sosial di masyarakat, termasuk dalam melihat munculnya fenomena bimbingan belajar.

Analis struktural fungsional atau teori fungsionalisme melihat bahwa munculnya bimbingan belajar menunjukkan adanya proses diferensiasi struktural yang menandari perkembangan dalam masyarakat yang organik.  Dalam masyarakat yang berstruktur organik, terjadi proses spesialisasi, di mana fungsi-fungsi dari unsur-unsur sosial menjadi semakin rinci. Masyarakat organik tidak merasa cukup dengan keberadaan sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, oleh karena itu keberadaan bimbingan belajar dianggap sebagai sesuatu yang bersifat fungsional.

Menurut Emile Durkheim, masyarakat organik memiliki sejumlah ciri yang membedakan dengan masyarakat mekanik sebagai berikut :


pembagian kerja
tinggi
hubungan salingtergantung
tinggi
kesadaran kolektif
rendah
hukum dominan
bersifat restitutif
individualisme
tinggi
penghukuman
dilakukan oleh lembaga khusus
konsensus terpenting
nilai abstrak dan umum
pengikat
pembagian kerja


Selanjutnya analis fungsionalis mengatakan bahwa munculnya bimbingan belajar menunjukkan sebuah proses yang fungsional mengingan bimbingan belajar berperan melengkapi fungsi-fungsi dan peran sekolah formal terutama dalam membantu siswa dlama memahami pelajaran-pelajaran di sekolah.
Bimbingan belajar dalam hal ini bersifat komplementer dengan sekolah formal, yang hubungan antara keduanya bersifat saling mengisi bahkan saling bergantung satu sama lain. Kedua saling membutuhkan. Sekolah membutuhkan bimbingan belajar untuk membantu murid-muridnya sebagaimana bimbingan belajar juga membutuhkan sekolah.

Pada aspek yang lain, keberadaan bimbingan juga fungsional bagi sistem sosial yang lebih luas. Bimbingan belajar berperan membantu para lulusan universitas dlaam mencari pekerjaan. Mahasiswa dan lulusan sarjana banyak yang mengajar di bimbingan belajar sembari menunggu kesempatan untuk dapat bekerja di bidang yang menjadi tujuan utama mereka seperti bekerja di birokrasi pemerintahan atau di perusahaan swasta.

Sebuah bimbingan belajar yang berskala nasional misalnya dapat menyerap ribuan tenaga kerja dan mereka dapat menghidupi keluarganya dari pekerjaan yang mereka dapatkan. Oleh karena itu bimbingan belajar dapat dikatakan sebagai katup penyelamat bagi sistem sosial yang ada, mengingat pemerintah seringkali belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai bagi rakyatnya terutama sekali adalah para lulusan sarjana.

√ Analis teori konflik

Pandangan analis fungsional bahwa boimbingan belajar bersifat fungsional bagi sistem sosial ditolak oleh analisis teori konflik. Teori konflik melihat analisis fungsional terlalu menyederhanakan permasalahan. Para penganut teori konflik mengemukakan bahwa terdapat faktor-faktor yang mungkin lebih penting dan berpengaruh daripada faktor kebutuhan tenaga kerja, yang menyebabkan lahirnya lembaga pendidikan seperti bimbingan belajar.

Keberadaan bimbingan belajar juga dianggap sebagai faktor yang melanggengkan ketidaksetaraan sosial. Hanya anak-anak ynag memiliki orangtua yang berpenghasilan tinggi saja yang dpaat mengirimkan anaknya untuk mengikuti bimbingan belajar, mengingat biaya pendidikan di bimbingan belajar tidak dapat dikatakan murah. Bahkan ada bimbingan belajar yang mengadakan program belajar dengan biaya pendidikan yang sangat mahal dan otomatis tidak terjangkau oleh anak dari lapisan sosial yang di bawah.

Mengingat bahwa bimbingan belajar membuka peluang lebih besar bagi siswa untuk melanjutkan pendidikan ke universitas yang terbaik, maka anak dari kelas sosial atas yang mengikuti bimbingan belajar yang memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan kesempatan tersebut, dan hal ini akan melanggengkan ketidaksetaraan dan kesenjangan dalam masyarakat.

Analisa teori konflik juga memandang hubungan antara sekolah formal atau pemerintah dan bimbingan belajar tidak harmonis. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan kepentingan diantara keduanya. Pemerintah dan sekolah formal menganggap keberadaan bimbingan belajar dapat melemahkan kedudukan mereka dan mengancam kepentingan mereka pula. 
Pemerintah seringkali menganggap bimbingan belajar tidak mengajarkan pendidikan seseungguhnya dan hanya mengajarkan pragmatisme dalam belajar. Bimbingan belajar dinilai hanya mengajarkan ‘cara cepat’ dlaam mengerjakan soal dan tidak menyentuh substansi pendidikan. Bimbingan belajar juga dianggap mereduksi konsep pendidika menjadi hanya sebatas melatih keterampilan mengerjakan soal belaka.


PENDIDIKAN FORMAL :

• dilaksanakan pada ruang dan waktu tertentu ; konsep ruang dalam sekolah bukan semata ruang dalam arti spasial tetapi juga ruang sosial dan ruang budaya. Ruang sosial menggambarkan adanya ruang untuk berinteraksi dengan orang lain terkait dengan status masing-masing, apakah sebagai siswa atau guru. Ruang budaya merupakan ruang yang memberikan kesempatan terjadinya difusi budaya antarsiswa yang berbeda latar belakang budayanya.

• ada pengklasifikasian/ pengelompokkan ; pendidikan formal mengklasifikasian dan mengkategorikan siswa berdasarkan ukuran dan parameter tertentu, seperti jenjang pendidikan, jurusan (IPA/IPS/Budaya) dengan tujuan tertentu.

• berlangsung pada jangka waktu tertentu  : Pendidikan formal seperti sekolah merupakan kelompok sekunder yang menjalankan sosialisasi sekunder. Proses sosialisasi tersebut dibatasi pada waktu tertentu. Terdapat kecenderungan penggunaan waktu belajar di sekolah menjadi lebih banyak dengan semakin banyaknya tuntutan kurikulum dengan adanya kegiatan pendalaman materi, ekstra kurikuler dan lain sebagainya.Hal ini mengakibatkan sebagian besar waktu siswa dihabiskan di sekolah.

• dilaksanakan secara sistematis dan tertib : pendidikan formal memiliki berbagai aturan yang bertujuan membentuk sikap kedisiplinan. Atuan tersebut dirancang dengan sistematis dan bersifat kelembagaan.

• terdapat sistem evaluasi : Untuk mengukur tingkat keberhasilan belajar. Sekolah memiliki sistem evaluasi baik yang bersifat kuantitatif (seperti dalam kurikulum KTSP 2006) maupun yang bersifat kualitatif berupa narasi (seperti dalam kurikulum 2013 yang direvisi/kurikulum 2016).

• ada anggaran tertentu : Sistem penganggaran merupakan sesuatu yang vital dalam pendidikan formal. Pendidikan formal yang diselenggarakan oleh negara menggunakan APBN/APBD sedangkan pendidikan formal yang dilakukan oleh pihak swasta menggunakan dana swadaya.
Perbedaan sistem penganggaran inilah yang nanti menimbulkan kesenjangan.Sekolah swasta yang memiliki anggaran terbatas akan kesulitan menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas karena keterbatasan infrastruktur/prasarana pendidikan seperti gaji guru,buku sekolah atau bangunan dan laboratorium untuk penunjang kegiatan belajar.


PENDIDIKAN NON FORMAL

Pendidikan non formal merupakan jenis pendidikan yang memiliki karateristik dan tujuan yang berbeda dengan pendidikan formal. Pendidikan non formal biasanya bertujuan agar peserta didik memiliki keterampilan yang khusus dan bersifat segmental. Contoh pendidikan non formal diantaranya adalah kursus dan bimbingan belajar.

Terkait dengan bimbingan belajar, pendidikan non formal tersebut bertujuan agar peserta didik memiliki keterampilan terkait dengan materi pembelajaran yang diajarkan di sekolah seperti keterampilan mengerjakan soal-soal yang diujikan di sekolah atau soal yang diujikan dalam ujian masuk perguruan tinggi.

Oleh karenanya Bimbingan belajar memiliki sifat praktis dengan kompetensi memberikan metode penguasaan materi belajar secara singkat. Berkembangnya bimbingan belajar dilihat dari perspektif sosiologi menunjukkan adanya disfungsi dalam lembaga pendidikan, khususnya pendidikan formal.

 Sekolah sebagai asosiasi dari lembaga pendidikan formal dinilai kurang mampu menjalankan perannya mendidik para peserta didik dalam menguasasi materi belajar sesuai dengan tuntutan kurikulum. Masih banyak siswa dan sekolah, bahkan guru yang memiliki indeks prestasi yang kurang memadai sesuai dengan target yang dicanangkan oleh pemerintah.

Para siswapun menyadari keterbatasan sekolah dan guru dalam mengajarkan materi pembelajaran sehingga banyak siswa yang kemudian melihat bimbingan belajar sebagai suatu kebutuhan. Sikap sekolah dalam melihat fenomena ini beragam. Ada sekolah atau guru yang berpandangan positif dengan melihat hubungan antara sekolah sebagai pendidikan formal dan bimbingan belajar sebagai pendidikan non formal menjalankan peran yang saling mengisi.

Guru merasa terbantu dengan adanya bimbingan belajar, bahkan sejumlah sekolah banyak yang mengadakan kerjasama dengan pihak bimbingan belajar, bahkan banyak juga guru sekolah yang juga merangkap menjadi guru dari bimbingan belajar.

Walaupun demikian ada juga pandangan miring dari pihak sekolah atau bahkan pemerintah yang menilai bimbingan belajar sebagai pesaing dalam dunia pendidikan. Pemerintah juga kerap menuding bimbingan belajar mengajarkan pragmatisme dengan memberikan bocoran kunci jawaban ujian-ujian sekolah.

Perbedaan antara pendidikan formal dan non formal dapat dilihat dari tabel berikut ini :

pendidikan formal
pendidikan non formal
sekolah
kursus atau bimbingan belajar
bersifat formal
bersifat non formal
peraturan cenderung ditegakkan secara ketat
peraturan kurang ditegakkan secara ketat
bersifat resmi
kurang bersifat resmi
meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik
cenderung pada aspek kognitif
teoritis dan aplikatif
cenderung teoritis atau aplikatif
sosialisasi represif dan partisipatoris
sosialisasi partisipatoris
interaksi sosial berjangka waktu relatif lama
interaksi sosial berjangka waktu relatif singkat
merupakan prioritas utama
bersifat mendukung pendidikan formal
meliputi dimensi kognitif, afektif dan psikomotorik
lebih terfokus pada aspek kognitif
bersifat idealis dan normatif
bersifat praktis dan cenderung pragmatis


PENDIDIKAN INFORMAL

Pendidikan informal adalah pendidikan yang kontras dengan pendidikan formal. Pendidikan informal tidak terikat ruang dan waktu, tidak terikat jenjang usia, dapat berlangsung tanpa adanya guru,tidak menggunakan metode-metode khusus dan tidak memiliki  kurikulum tertentu. Kegiatan pendidikan informal dapat sangat bervariasi dengan melalui media internet,surat kabar,berdiskusi dengan teman atau menonton siaran berita yang kesemuanya memikiki bobot pengetahuan tertentu.

Salah satu pendidikan informal yang pengaruhnya luas adalah televisi dan internet. Televisi merupakan pendidik terbesar pendidikan informal. (Horton, 1984) Banyak anak yang menghabiskan waktunya dengan menonton televisi. Keberadaan televisi sebagai pendidikan informal memiliki dua sisi. Pertama, televisi dapat fungsional dengan pendidikan formal. Kedua,  televisi dapat melemahkan pendidikan formal. Anak yang keranjingan dengan tayangan televisi akan melemahkan semangatnya untuk belajar dan bersekolah.


FUNGSI BIMBINGAN BELAJAR

Sebagai sebuah sistem sosial sebagaimana sekolah, bimbingan belajar juga memiliki fungsi baik ynag besifat manifes maupun yang bersifat laten. Fungsi manifes adalah fungsi yang nyata dan disadari oleh orang-orang yang berada di dalam lembaga sosial tertentu. Fungsi manifes merupakan fungsi yang diharapkan keberadaannya. Adapun fungsi laten merupakan fungsi yang tidak disadari dan seringkali tidak diharapkan oleh orang-ornag yang berada dalam lembaga sosial tertentu.


Fungsi manifes bimbingan belajar antara lain :

● mendukung program pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa

● membantu siswa dalam memahami materi pelajaran yang tidak mereka pahami di sekolah

● membantu guru dalam mempercepat proses belajar siswa

● sebagai mitra sekolah dalam mendukung pembelajaran di sekolah

● membantu siswa dalam menghadapi ujian sekolah dan pasca sekolah seperti Ujian Tes Berbasis Komputer (UTBK), Ujian Kedinasan, dan Ujian Mandiri

● memberikan pendidikan alternatif bagi siswa

● mengintegrasikan ras dan etnik

● mendorong berfikir kritis

● meningkatkan kemampuan adaptasi

● mengembangkan metode-metode dan gaya belajar yang baru

● mendorong variasi belajar

● mengembangkan pergaulan yang lebih luas

● mendatangkan keuntungan bagi pemilik modal


Sedangkan yang merupakan fungsi laten dari lembaga bimbingan belajar adalah sebagai berikut ;

● memberikan metode pembelajaran yang berbeda dengan sekolah

● sebagai pesaing bagi guru di sekolah

● memberikan “soal-soal bocoran” ujian sekolah

● menimbulkan ketidakpercayaan terhadap guru dan sekolah

● menunjukkan adanya disfungsi pada lembaga pendidikan formal

● memberikan alternatif lapangan pekerjaan bagi pencari kerja

● membanding-bandingkan kemampuan guru bimbel dengan guru sekolah

● mendorong  siswa mengembangkan metode belajar secara pintas

● mengisi waktu luang siswa dengan kegiatan yang bermanfaat

● menjauhkan siswa dari pergaulan yang merusak

● menjadi sarana mencari jodoh bagi para pegawai dan tentor

● mengurangi intensitas interaksi dengan keluarga dan mendorong kemandirian anak

● mempertahankan sistem kelas sosial


TIPOLOGI BIMBINGAN BELAJAR

Bimbingan belajar (Bimbel) berdasarkan atas skala, permodalan, dan orientasinya dibedakan sebagai berikut ;

→ Bimbingan belajar nasional ; yaitu bimbingan belajar yang memiliki cabang di sejumlah kota besar di Indonesia. Jumlah siswa yang dimiliki beragam, yang berkisar antara puluhan ribu siswa, mulai dari level sekolah dasar hingga level sekolah menengah atas dan alumni.

→ Bimbingan belajar lokal ; yaitu bimbingan belajar yang berada di kota tertentu saja

→ Bimbingan belajar rumahan ; yaitu bimbingan belajar yang dikelola secara semi informal dan bermodal kecil dengan jumlah siswa yang terbatas

→ Bimbingan belajar privat ; yaitu bimbingan belajar yang tidak bertempat di lokasi tertentu, tetapi mengirim pengajar/guru/tentor ke rumah siswanya dengan adanya sistem pembagian keuntungan antara pengajar/tentor dan pihak pengelola privat


DIMENSI SOSIAL BIMBINGAN BELAJAR

Bimbingan belajar merupakan sistem sosial yang memiliki kekayaan dimensi kehidupan sosial. Terdapat beragam corak dan jenis  interaksi sosial yang  membentuk pola interaksi sosial tertentu yang khas. Di dalam dunia bimbingan belajar terdapat pola interaksi sosial yang asosiatif berupa kerjasama, di mana setiap unsur dalam  bimbingan belajar, baik staf lokasi, guru, petugas kebersihan, bagian distribusi, dan bagian operasional saling bekerjasama secara fungsional dalam mengembangkan bimbingan belajarnya.

Kerjasama yang terjalin sudah sedemikian melembaga, sehingga ketika terjadi perubahan pada aspek tertentu akan menimbulkan pengaruh pada aspek dan bidang lainnya. Misalnya, ketika seorang pengajar atau tentor izin untuk tidak mengajar, maka bagian penjadwalan akan sibuk dalam mencari pejajar atau tentor pengganti.

Di dalam dunia bimbingan belajar juga terdapat pola interaksi sosial yang bersifat disosiatif, berupa kompetisi, kontravensi dan konflik. Misalnya, dalam konteks hubungan dengan outgroup atau kelompok luar, antara bimbingan belajar yang satu dengan yang  lain saling bersaing dalam mendapatkan siswa. Persaingan tersebut bahkan seringkali disertai dengan kontravensi seperti menjelek-jelekkan bimbingan belajar lainnya.

Persaingan antarbimbel juga terjadi ketika salah satu bimbel menerima atau ‘membajak’ pengajar dari bimbel lainnya. Hal ini dilakukan karena menerima pengajar/tentor yang sudah berpengalaman di bimbel sebelumnya dinilai lebih efisien dan ekonomis. Pengajar atau tentor tersebut dianggap sudah relatif matang dan tidak perlu diikutkan dalam berbagai macam bentuk pelatihan kepengajaran.

Persaingan juga terjadi diantara sesama pengajar dari bimbel yang sama. Persaingan tersebut biasanya terkait dengan jumlah sesi mengajar. Setiap pengajar atau tentor berupaya agar mendapatkan sesi mengajar yang lebih banyak dibandingkan pengajar/tentor lainnya.

Banyak atau sedikitnya jumlah sesi mengajar dapat membentuk stratifikasi sosial tertentu. Pengajar yang mendapatkan sesi mengajar yang lebih banyak umumnya mendapatkan penghasilan yang relatif lebih tinggi. Selain disebabkan oleh jumlah sesi, stratifikasi sosial dalam bimbingan belajar juga ditentukan oleh status atau kedudukan.

Seorang pengajar yang berkedudukan sebagai pegawai tetap biasanya memiliki status yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengajar atau pegawai yang berstatus kontrak. Hal itu disebabkan pengajar atau tentor/pegawai yang berstatus tetap biasanya memiliki sejumlah tunjangan dan insentif seperti tunjangan hari tua (pensiun), tunjangan kendaraan bermotor dan lain sebagainya.

Selain itu stratifikasi sosial dalam sebuah bimbingan belajar juga dapat ditentukan oleh status dalam struktur sosial di bimbingan belajar tersebut. Seorang pegawai/pengajar/tentor yang berkedudukan sebagai pengelola, manajer, atau jabatan fungsional tertentu  tentu saja memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pegawai/pengajar/tentor yang hanya berstatus sebagai pegawai/pengajar/tentor saja.

Stratifikasi sosial terkait erat dengan mobilitas sosial. Mobilitas sosial di kalangan pegawai atau pengajar bimbingan belajar bersifat semi terbuka, artinya mekanisme dalam melakukan mobilitas sosial tidak sepenuhnya tertutup dan sekaligus tidak sepenuhnya terbuka. Selain faktor kecakapan pribadi atau prestasi (achievement) termasuk latar belakang pendidikan, faktor nonprestasi yang bersifat askriptif seperti hubungan kekerabatan atau pertemanan juga seringkali menjadi faktor yang menentukan mudah atau sukarnya proses mobilitas sosial.

Di dalam lembaga bimbingan belajar yang didirikan atau dikembangkan oleh seseorang atau beberapa orang, faktor kekerabatan masih menjadi slaah satu faktor kunci dalam mobilitas sosial. Seorang kerabat atau famili/kenalan dapat diterima bekerja atau menduduki jabatan fungsional tertentu dengan relatif mudah. Memang ada proses seleksi sebagaimana pegawai atau karyawan lainnya, tetapi hal tersebut lebih menjadi prosedur birokrasi administratif belaka ketimbang merupakan sebuah sistem seleksi.

Dimensi kehidupan sosial lainnya dalam bimbingan belajar adalah terkait dengan penyimpangan sosial. Penyimpangan sosial yang ada di sebuah lingkungan bimbingan belajar antara lain tidak hadir atau absen dalam mengajar tanpa ada keterangan yang jelas, membocorkan rahasia perusahaan kepada bimbingan belajar lainnya, menggunakan fasilitas perusahaan untuk kepentingan pribadi yang tidak dibenarkan, melakukan perundungan atau kekerasan terhadap siswa, dan lain sebagainya.

Adapun sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran atau penyimpangan tersebut sifatnya menyesuaikan kadar atau tingkat penyimpangan atau pelanggaran yang terjadi. Apabila pelanggarannya masih bersifat primer maka sanksi yang diberikan hanya sebatas dicibir atau ditegur. Namun apabila pelanggarannya sudah berat atau sekunder, maka sanksi yang diberikan bisa pengurangan sesi mengajar atau bahkan tidak diberikan sesi mengajar lagi atau diberhentikan dari pekerjaannya.

Sedangkan proses sosialisasi yang berlangsung dalam sebuah bimbel hampir mirip dengan pola sosialisasi yang dilakukan oleh sekolah formal. Bedanya adalah sosialisasi di dalam bimbel tidak seformal seperti di sekolah pada umumnya. Hal itu disebabkan karena tingkat turn offer pengajar di bimbel relatif cukup tinggi dibandingkan di sekolah.

Proses sosialisasi di bimbel dapat berupa pengarahan sewaktu pengajar atau pegawai tersebut menandatangani Surat Perjanjian Kerja (SPK), ketika berlangsung rapat kerja tiap semester, atau melalui forum pengajian pekanan yang biasa diselenggarakan oleh pihak bimbingan belajar. Proses sosialisasi tersebut terkait dengan nilai-nilai serta budaya khas yang ada di dalam sebuah bimbel.

SISTEM SOSIAL DALAM LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR

Sebagaimana sistem sosial lainnya, Bimbingan Belajar pun merupakan sebuah sistem sosial. Sistem sosial diartikan sebagai adanya hubungan salingterkait dan salingtergantung sehingga bersifat salingmemengaruhi antarunsur yang ada di dalam struktur sosial.

Hubungan antarunsur yang ada saling terkait, sehingga setiap perubahan yang terjadi pada salah satu unsur akan memengaruhi keseluruhan sistem sosial yang ada. Setiap unsur yang ada dalam sistem sosial tidak bersifat otonom dalam arti dapat terlepas dari unsur yang lain.

 Adapun unsur-unsur yang ada lama sebuah lembaga Bimbingan belajar adalah sebagai berikut ;

 Guru ; Guru dalam dunia bimbingan belajar lebih dikenal dengan sebutan pengajar atau tentor. Ada sebagian kalangan di bimbingan belajar yang kurang nyaman dengan sebutan guru. Hal itu disebabkan karena profesi tenaga pendidik di bimbingan belajar sebagai sebuah lembaga pendidikan nonformal memiliki sejumlah perbedaan dengan guru di dalam lembaga pendidikan formal seperti sekolah.

Guru atau tentor dalam bimbingan belajar merupakan sentral yang memengaruhi eksistensi sebuah bimbingan belajar. Hal itu disebabkan karena motivasi utama seorang murid atau orangtua murid mengikuti bimbingan belajar disebabkan karena percaya dan meyakini kualitas pengajar atau tentor di bimbingan belajar yang bersangkutan.

Oleh karena itu setiap bimbingan belajar berupaya mendapatkan pengajar atau tentor yang sebaik-baiknya. Umumnya pengajar bimbingan belajar berasal dari Perguruan Tinggi Negeri, walaupun ada juga bimbingan belajar yang merekrut pengajar/tentornya dari Perguruan Tinggi Swasta.

Tidak mudah bagi sebuah bimbingan belajar untuk dapat memperoleh pengajar/tentor, apalagi mendapatkan pengajar yang memenuhi kualifikasi dan berpengalamah. Hal itu diantaranya disebabkan karena menjadi seorang  pengajar bimbingan belajar bukanlah merupakan tujuan awal dan tujuan utama. Menjadi guru /pengajar /tentor bimbingan belajar-sebagaimana profesi lainnya- merupakan hasil suatu konstruksi sosial yang didasari atas pemaknaan tertentu yang bersifat subjektif.

Umumnya masyarakat menganggap bahwa menjadi guru/pengajar/tentor bimbingan belajar bukanlah merupakan pekerjaan utama melainkan pekerjaan sampingan atau pekerjaan sementara. Oleh karena itu banyak diantara orang yang bergabung ke suatu bimbingan belajar memiliki motivasi sebagai batu loncatan untuk dikemudian hari dapat bekerja di tempat lain seperti menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) , bekerja di perusahaan swasta yang bonafid, atau menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi.

Umumnya pengajar/tentor di bimbingan belajar memiliki jiwa kompetisi yang relatif tinggi. Hal itu disebabkan karena keberadaan mereka di sebuah bimbingan belajar sangat tergantung pada penerimaan siswa. Dalam rangka itulah maka para pengajar/tentor yang ada berupaya untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan mereka dalam menyampaikan pelajaran.

Guru/ pengajar atau tentor dalam bimbingan belajar pun memiliki beberapa kategori, yaitu ;

● guru/pengajar/tentor tetap ; yaitu mereka yang tugas utamanya bukan semata-mata mengajar akan tetapi mereka juga dibebani dengan tugas-tugas administratif dan manajerial seperti menjadi pengelola atau pembuat soal atau memberikan pelatihan bagi guru-guru lainnya.

● guru/pengajar/tentor fulltime ; yaitu mereka yang diikat oleh ketentuan mengantor selama 8-9 jam perhari dan bekerja selama 5-6 hari perpekan dengan gaji tertentu dan tunjangan fasilitas tertentu pula. Tugas utama mereka adalah mengajar walaupun sebagian mereka juga memiliki tugas-tugas spesifik lainnya.

● guru/pengajar/tentor paruh waktu (freelance) ; yaitu mereka yang ikatan dengan bimbingan belajar tempat mereka bekerja hanya berdasarkan sesi mengajar. Pendapatan yang mereka dapatkan tergantung pada jumlah sesi mengajar mereka perpekan atau perbulannya. Pengajar paruh waktu ini pada umumnya memiliki beberapa latarbekalang, yaitu :

Pertama ; yaitu mereka yang berlatar belakang sebagai guru di sekolah yang memiliki keluangan waktu untuk mengajar di bimbingan belajar tertentu di luar jam mengajar mereka di sekolah. Oleh bimbingan belajar, pengajar /tentor yang berlatarbelakang sebagai guru sekolah-apalagi sekolah favorit-memiliki nilai tambah tersendiri. Mereka dapat ‘dimanfaatkan’ oleh bimbingan belajar untuk mendapatkan akses ke sekolah yang bersangkutan untuk kegiatan promosi dan mendapatkan siswa.

Kedua ; yaitu mereka yang masih menjadi mahasiswa aktif yang mengajar di bimbingan belajar untuk mengisi waktu luang atau mencari uang tambahan untuk kebutuhan kuliah

Ketiga ; yaitu para lulusan sarjana yang mengajar di bimbingan belajar sementara waktu dan menjadikan bimbingan belajar sebagai batu loncatan untuk dapat bekerja di bidang lain yang menurut mereka lebih sesuai dengan harapannya.

√ Staf lokasi ; yaitu mereka yang bekerja melayani konsumen baik siswa maupun orang tua siswa. Tugas mereka antara lain ;

● melakukan promosi ke sekolah-sekolah dengan memberikan brosur pada saat pembagian raport

● menerima pendaftaran siswa baru

● menyiapkan sarana dan prasarana pembelajaran seperti ruang kelas

● mengatur jadwal mengajar dan konsultasi bagi siswa

√ Bagian percetakan dan distribusi ; mereka berperan menyediakan secara teknis bahan ajar yang digunakan dalam proses pembelajaran. Bagi sebagian bimbingan belajar hal ini dapat dilakukan dengan memberikan order kepada pihak lain.

√ petugas kebersihan (Cleaning Service)

Sebagai sebuah sistem sosial atau sebuah lembaga sosial, bimbingan  belajar memiliki sejumlah unsur sebagai berikut :

pola perilaku , nilai serta sikap
semangat belajar, kerja keras, semangat keingintahuan, kehadiran
simbol
tagline, slogan-slogan
alat kelengkapan
ruang belajar, ruang konsultasi belajar, modul belajar, seragam, lagu
tradisi tertulis dan tidak tertulis
kurikulum, peraturan


DINAMIKA KEBERLANGSUNGAN DAN EKSISTENSI BIMBINGAN BELAJAR

Bimbingan belajar dalam perjalanannya mengalami berbagai dinamika. Ada bimbingan belajar yang mampu bertahan puluhan tahun dan banyak pula yang harus tutup. Mengutip Talcott Parson, secara teoritis, sebuah lembaga seperti bimbingan belajar jika ingin terus eksis harus memiliki empat fungsi yang dapat bekerjasama secara harmonis dan komplementer. Keempat fungsi tersebut adalah ;

fungsi Adaptasi (Adaptation) ;

eksistensi sebuah bimbingan belajar sangat ditantukan oleh kemampuan adaptif dari bimbingan  belajar yang bersangkutan. Kemampuan adaptasi adalah kemampuan sebuah bimbingan belajar dalam merespon tantangan dan tuntutan eksternal yang ada. Misalnya ketika terjadi perubahan kurikulum atau perubahan sistem ujian. Bimbingan belajar harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut agar produk-produk layanan yang diberikan kepada konsumennya dapat sesuai dengan kebutuhan.

Contoh lainnya adalah terkait dengan kebutuhan konsultasi belajar. Siswa yang menjadi konsumen bimbingan belajar seringkali bimbingan belajar tersebut mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh siswa yang bersangkutan. Misalnya mengenai pekerjaan rumah (PR) dan penyelesaian tugas-tugas sekolah lainnya. Apabila bimbingan belajar tidak mampu memberikan layanan yang maksimal maka siswa tersebut akan kecewa dan beralih kepada bimbingan belajar yang lain.

fungsi Pencapaian tujuan (Goal Attaintment) ;

fungsi ini terkait dengan kemampuan sebuah bimbingan belajar untuk merumuskan apa yang menjadi tujuan utama dan tujuan antara, apakah core atau inti layanannya adalah layanan pendampingan ujian masuk perguruan tinggi negeri, ujian sekolah, ujian nasional atau pendampingan dalam pengerjaan pekerjaan rumah. Hal itu harus dirumuskan dengan seksama.

Bisa juga sebuah bimbingan belajar melakukan diferensiasi produk atau bahkan diferensiasi usaha bisnis, akan tetapi hal tersebut harus diperhatikan keseimbangannya agar jangan sampai hal tersebut mengaburkan orientasi utama dari bimbingan belajar tersebut.Ketika sebuah bimbel sanggup mendefinisikan tujuan utamanya maka hal itu kemudian dikemas dalam bentuk promosi tertentu atau tagline / slogan yang menunjukkan kekhasan bimbel yang dimaksud.

.fungsi Integrasi (Integration) ;

Jikalau fungsi adaptasi lebih bertujuan untuk menjawab tantangan eksternal, maka fungsi integrasi merupakan fungsi yang bersifat ke dalam atau internal. Sebuah bimbel harus dapat mengintegrasikan seluruh unsur yang ada di dalamnya untuk kemudian disinergikan secara harmonis menjadi sebuah kesatuan yang utuh dan padu. Fungai ini terutama dilakukan oleh bagian pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM). Pihak SDM lah yang berperan penting menjaga keseimbangan antarunsur yang ada dan melakukan rekayasa sosial serta menyusun skema penyelesaian konflik kelembagaan.

fungsi Pemeliharaan Pola (Latency) ; fungsi ini terkait dengan penyosialisasian nilai-nilai yang ada di dalam sebuah bimbel. Setiap unsur yang ada di dalam sebuh bimbel harus mengetahui persis apa nilai dan norma serta tradisi yang dijunjung tinggi agar terbentuk budaya korporasi yang pada akhirnya menjaga keberlangsungan dan eksistensi bimbel tersebut. Nilai-nilai yang menjadi etos pegawai dan budaya korporasi tersebut antara lain kerja keras, gigih, semangat, kejujuran, integritas, dan lain sebagainya.
Adapun secara empiris, keberlangsungan dan eksistensi sebuah bimbingan belajar antara lain disebabkan oleh faktor eksternal dan faktor internal sebagai berikut :

Faktor eksternal :

● krisis ekonomi dan inflasi

● terjadinya resesi ekonomi yang menurunkan daya beli

● banyaknya pungutan biaya pendidikan di sekolah

● kebijakkan sekolah yang menolak bimbingan belajar

● perubahan kebijakkan pemerintah di bidang pendidikan

● perubahan demografi

● relokasi sekolah dan pemukiman

● kebijakkan yang mengharuskan siswa mengikuti program pendalaman materi (PM) di internal sekolah

● kebijakkan Fullday School

● adanya perubahan model dan gaya pembelajaran ; Misalnya berkembangluasnya pendidikan melalui aplikasi komputer (e-learning)

Faktor internal ;

● terjadinya konflik internal di kalangan pengelola dan pemilik atau antara pengelola/pemilik dengan pegawai/karyawan/tentor

● bimbingan belajar diakuisi oleh pihak tertentu

● ketidakmampuan bimbingan belajar yang ada untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri

● kesalahan manajerial dan persoalan keuangan

● bimbingan belajar mengalami kesulitan untuk mendapatkan tentor yang berkualitas

● gejala birokratisasi di dalam bimbingan belajar







REFERENSI :

Bagong Suyanto,Sosiologi, Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta : Prenada,2004

Damsar, Pengantar Teori Sosiologi, Jakarta : Kencana, 2015

Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan,  Jakarta : Prenadamedia,2012

Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-rusakan, Yogyakarta : LKiS, 2011

Elly Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi, pemahaman Fakta dan Gejala Sosial ; Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, Jakarta : Kencana, 2011

George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, Jakarta : Kencana, tanpa tahun

Kamanto Sunarto,Pengantar Sosiologi,Jakarta : Lembaga Penerbit FEUI,2010

M.Jacky, Sosiologi, Konsep, teori dan metode, Jakarta : Mitra Wacana Media,2015

Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial, Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonial,Jakarta : RajaGrafindo Persada,2014

Nengah Bawa Atmaja, Sosiologi Media, Perspektif Teori Kritis,Depok : RajaGrafindo,2018

Paul B.Horton, Sosiologi, Jakarta : Erlangga, 1996

Rachmad Hidayat, Ilmu yang Seksis, Feminisme dan Perlawanan Terhada Teori Sosial Maskulin,Yogyakarta : Jendela,2004

Roem Topatimasang, Sekolah itu Candu,  Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999










Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN

STATUS OBJEKTIF DAN STATUS SUBJEKTIF

TAWURAN SEBAGAI SUATU GEJALA SOSIAL (ANALISIS SOSIOLOGIS KONFLIK SOSIAL DI PERKOTAAN)