SOSIALISASI SEKUNDER DAN PROSES DESOSIALISASI


SOSIALISASI SEKUNDER DAN PROSES DESOSIALISASI


PERSPEKTIF PETER L BERGER DAN THOMAS LUCKMANN

Sosialisasi sekunder merupakan kelanjutan dari sosialisasi primer. Sosialisasi primer berakhir ketika konsep tentang orang lain pada umumnya (Generalized Others) dan segala sesuatu yang menyertainya, telah terbentuk dan tertanam dalam kesadaran individu. Pada titik ini ia sudah menjadi anggota efektif sebuah masyarakat dan secara subjektif telah memiliki suatu “diri” dan sebuah dunia.

Pasca sosialisasi primer berbagai krisis dapat terjadi yang sesungguhnya disebabkan karena timbulnya kesadaran bahwa dunia orang tua bukanlah satu-satunya dunia yang ada, melainkan mempunyai ruang sosial yang sangat khusus.

Sosialisasi sekunder adalah proses memperoleh pengetahuan khusus sesuai dengan peranannya (role-spesific knowledge), di mana peranan-peranan secara langsung atau tidak langsung berakar dalam pembagian kerja.

Proses-proses formal dalam sosialisasi sekunder ditentukan olah masalah dasarnya ; ia selalu mengandaikan suatu proses sosialisasi primer yang mendahuluinya ; artinya ia berurusan dengan suatu diri yang sudah terbentuk dan suatu dunia yang sudah diinternalisasi.

Sementara sosialiasi primer tidak dapat berlangsung tanpa suatu identifikasi yang bermuatan emosi di pihak anak dengan orang tuanya atau para pengasuhnya, kebanyakan sosialisasi sekunder tidak memerlukan identifikasi semacam itu, dan bisa berlangsung secara efektif dengan hanya identifikasi timbal balik sebanyak yang masuk dalam tiap komunikasi antarmanusia. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa orang perlu mencintai ibunya, tetapi tidak dengan gurunya.

Orang yang berperan dalam sosialisasi sekunder tidak perlu merupakan orang lain yang berpengaruh (significant others). Para agen sosialisasi sekunder adalah mereka yang merupakan fungsionaris-fungsionaris kelembagaan dengan tugas formal untuk mengalihkan pengetahuan tertentu.

Peranan-peranan dalam sosialisasi sekunder memiliki anonimitas dengan kadar yang tinggi, artinya peranan-peranan itu dapat dengan mudah dilepaskan dari pelaku-pelaku  individualnya. Pengetahuan yang sama yang diajarkan oleh guru yang satu bisa diajarkan oleh guru lainnya.

Tiap fungsionaris jenis ini dapat mengajarkan pengetahuan jenis ini. Sudah tentu para fungsionaris tersebut secara individual dapat dibedakan secara subjektif dengan berbagai cara (sebagai guru matematika yang baik atau lebih buruk, dan sebagainya)

Berbeda dengan sosiasliasi primer yang melibatkan emosi, dalam sosialisasi sekunder, proses sosialisasi bersifat rasional, sehingga menghasilkan kenyataan subjektif yang rapuh dan tidak dapat diandalkan dibandingkan dengan internalisasi dalam sosialisasi primer.

Sifat sosialisasi sekunder  yang lebih ‘artifisial’ menyebabkan kenyataan subjektif dari internalisasinya lebih terbuka lagi terhadap definisi-definisi tandingan tentang kenyataan, bukan karena dipahami sebagai kurang nyata dalam kehidupan sehari-hari, melainkan karena kenyataan mereka tidak begitu kokoh berakar dalam kesadaran dan dengan demikian lebih mudah digeser lagi. (Berger, 1990)

BENTUK-BENTUK SOSIALISASI SEKUNDER

Dalam masyarakat yang masih homogen, proses sosialisasi dapat berjalan dengan serasi sesuai dengan pola yang sama, karena nilai-nilai yang ditransmisikan dalam proses sosialisasi relatif sama.Namun dalam masyarakat yang sudah heterogen, di mana terdapat banyak kelompok dengan nilai-nilai yang tidak sepadan dalam memengaruhi individu, maka proses sosialisasi tidak berlangsung seperti dalam masyarakat yang homogen.

Sama seperti dalam kelompok primer, agen sosialisasi hanya terbatas pada anggota keluarga, sednag pada sosialisasi sekunder terdapat banyak agen sosialisasi di luar keluarga yang menanamkan nilai-nilai yang berbeda dengan nilai yang sebelumnya ditanamkan oleh keluarga, bahkan kadang-kadang bertentangan. Dalam situasi yang demikian, seseorang dapat mengalami prses yang disebut desosialisasi, yaitu proses “pencabutan diri” yang dimiliki oleh seseorang.

Proses desosialisasi kemudian secara otomatis akan diikuti oleh proses berikutnya, yaitu proses resosialisasi. Proses resosialisasi adalah proses ketika seseorang diberikan suatu ‘diri’ baru, yang tidak saja berbeda, tetapi juga tidak sepadan.

Dalam resosialisasi (resocialization), seseorang mempelajari norma, nilai, sikap, dan perilaku baru agar sepadan dengan situasi baru yang mereka hadapi dalam kehidupan. Dalam bentuknya yang paling lazim, resosialisasi terjadi tiap kali seseorang mempelajari sesuatu yang bertentangan dengan kondisi awal orang tersebut.

Seorang atasan baru yang menghendaki cara baru untuk melakukan sesuatu dalam kenyataannya sedang melakukan resosialisasi kepada bawahannya. Sebagian resosialisasi  bersifat lembut, dengan hanya melibatkan modifikasi kecil pada hal-hal yang telah kita pelajari sebelumnya, akan tetapi dalam beberapa situasi, resosialisasi dapat juga bersifat sama kuat.

Proses desosialisasi dan resosialisasi yang demikian sering dikaitkan dengan proses yang berlangsung dalam apa yang disebut oleh Goffmann sebagai institusi total (Total Institution)

Selain proses desosialisasi dan resosialisasi juga terdapat bentuk sosialisasi lainnya, yaitu sosialisasi antisipatoris (anticipatory socialization). Sosialisasi antisipatoris adalah bentuk sosialisasi yang bertujuan mempersiapkan seseorang untuk mempersiapkan seseorang untuk menjalani peran yang baru.

Sosialisasi antisipatoris ini mendahului perubahan status dari suatu kelompok ke kelompok lain, atau dari suatu jenjang pendidikan / pekerjaan ke jenjang yang lebih tinggi. Sosialisasi antisipatoris ini juga dialami seseorang ketika ia akan memasuki kelompok acuannya (reference group), atau ketika seseorang yang baru lulus sarjana memasuki dunia kerja dan sebagainya. (Ihromi, 2004)



AGEN SOSIALISASI SEKUNDER

peer group

Kelompok bermain atau peer group –baik yang berasal dari kerabat, tetangga atau teman sekolah –merupakan agen sosialisasi yang berpengaruh besar dalam membentuk pola-pola perilaku seseorang. Di dalam kelompok bermain, anak mempelajari berbagai kemampuan baru yang acapkali berbeda dengan apa yang mereka pelajari dari keluarganya.

Di dalam kelompok bermain, individu mempelajari berbagai nilai, norma, budaya, peran dan semua persyaratan lainnya yang dibutuhkan individu untuk memungkinkan partisipasinya yang efektif di dalam melompok permainannya. Kelompok bermain dalam hal ini ikut menentukan pembentukan sikap individu untuk berperilaku yang sesuai dengan perilaku kelompoknya.

Sosialisasi yang terjadi dalam kelompok bermain antara lain memiliki sejumlah ciri khas sebagai berikut ;

→ bersifat ekualitas, karena kedudukan para pelakunya relatif sederajat

→ menanamkan nilai-nilai tertentu seperti keadilan, kejujuran, solidaritas, kebersamaan, dan lain sebagainya


 sekolah
Sekolah sebagai salah satu agen sosialisasi memiliki peran yang semakin penting dan strategis dalam memengaruhi kehidupan sosial manusia. Dalam sistem pendidikan modern, anak banyak menghabiskan waktunya dalam kehidupan sehari-harinya di sekolah. Di Indonesia misalnya, sistem pendidikan formal mengharuskan anak untuk mengikuti pendidikan mulai pagi hari sampai sore, belum lagi pendidikan non formal yang juga diikuti oleh anak seperti mengikuti kursus atau bimbingan belajar.

Semakin modern perkembangan masyarakat maka semakin penting dan strategis sekolah dalam membentuk karakter anak. Dulu anak bersekolah ketika berusia 6 atau 7 tahun di sekolah dasar dan bersekolah sampai sekolah menengah atas. Sekarang, anak sudah bersekolah ketika usianya masih relatif dini. Sebelum pendidikan di sekolah dasar, anak bersekolah di Taman Kanak-Kanak atau Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), bahkan juga terdapat sekolah untuk anak pra TK seperti Play Group.

Setelah menyelesaikan sekolah menangah atas, seringkali anak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, seperti pendidikan Vokasi, S1, S2, bahkan S3.

Menguatnya sekolah sebagai agen sosialisasi dalam masyarakat modern berkembang seiring dengan melemahnya pengaruh keluarga. Dalam masyarakat modern, pendidikan anak tidak lagi dilakukan oleh kleuarga, akan tetapi sudah diambil sepenuhnya oleh lembaga pendidikan. Bukan saja aspek edukasi, fungsi-fungsi keluarga lainnya pun juga diambilalih oleh lembaga-lembaga lain termasuk lembaga pendidikan.

Masyarakat modern  juga ditandai oleh adanya orangtua yang bekerja di luar rumah sebagai pekerja kantoran. Pekerjaan itu seringkali tidak saja dilakukan oleh ayah, tetapi juga dilakukan oleh ibu. Aktivitas orangtua, baik ayah maupun ibu di luar rumah seringkali berlangsung lama, sehingga hal tersebut mengurangi intensitas interaksi antara orangtua dan anak. Kondisi semacam ini juga menjadi hal yang melemahkan pengaruh keluarga.


nilai yang disosialisasikan oleh sekolah

Konsep tentang nilai yang ditanamkan oleh sekolah dikemukakan oleh Dreben. Dreben  menggunakan perspektif Parsonian tentang perbedaan keluarga dan sekolah sebagai agen sosialisasi. Menurut Dreben terdapat nilai-nilai yang disampaikan oleh sekolah :

 kemandirian  (independence);

di sekolah seorang anak dituntut  dan diajarkan menjalankan  peran sebagai siswa, berbeda dengan di rumah dimana individu  diperlakukan sebagai anak. Sebagai siswa, individu dituntut untuk mengerjakan segala sesuatunya secara mandiri tanpa bantuan dari orangtua. Hal ini dilakukan agar anak dapat menjalankan perannya dengan baik ketika sudah memasuki dunia kerja.

prestasi  (achievement);

Jika di rumah peran yang dimainkan seorang anak bersifat askriptif, yaitu peran yang diwariskan kepadanya secara taken for granted semenjak Ia lahir seperti peran sebagai anak laki-laki atau perempuan, anak sulung atau bungsu, sebagai anak Sunda atau Batak,sebagai kakak atau adik.

Di sekolah, siswa dipacu untuk berprestasi dengan sistem reward/imbalan dan punishment/hukuman. Seorang siswa yang berprestasi akan mendapatkan reward berupa pujian,nilai atau beasiswa, sebaliknya seorang siswa yang tidak berprestasi akan mendapat celaan,nilai yang rendah atau bahkan dikeluarkan dari sekolah (Drop-out).

spesifitas (specifity) :

Di sekolah seorang siswa diperlakukan secara spesifik terkait dengan apa yang dilakukannya. Seorang siswa yang gagal dalam pelajaran Sosiologi misalnya, hanya akan mendapatkan hukuman dari guru Sosiologi dan tidak akan mendapat hukuman dari guru Matematika. Nilai ini berbeda dengan nlai kekaburan (Diffusiness) yang terdapat di rumah. Di rumah seorang anak dapat dihukum walaupun kesalahan anak tersebut hanya terkait dengan aspek tertentu saja. 

pengembangan kepribadian ;

Sekolah menyediakan berbagai stimulasi yang merangsang siswa untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Termasuk sekolah mendorong siswa memiliki kepribadian yang berguna pada masa yang akan datang.

universalitas (universalism) :

Sekolah memperlakukan setiap siswa tanpa memandang latar belakang sosial atau kelas sosialnya. Untuk mewujudkannya, setiap siswa harus menjalankan peraturan yang sama  tanpa pengecualian. Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan seragam sekolah.

Di sebagian besar sekolah, siswa-siswanya diharusnya menggunakan seragam yang sama dan dikenakan aturan yang sama. Mereka juga dilarang menggunakan telpon genggam dalam lingkungan sekolah. Hal tersebut dilakukan agar guru dan perangkat sekolah lainnya dapat dengan mudah menjalankan peraturan tanpa harus melihat latar belakang sosial dan kelas sosial dari para siswanya.

media sosial

Secara garis besar, media massa merupakan sejumlah sarana komunikasi yang dipakai untuk menyampaikan informasi kepada khalayak. Kata massa yang melekat padanya memberitahukan kita bahwa sasaran komunikasi jenis ini bukanlah orang-perorang, melainkan khalayak ramai atau semua orang yang menjadi sasaran alat-alat komunikasi massa. Setiap media massa memiliki kapasitas untuk dapat melipatgandakan pesan-pesan komunikasi dalam waktu yang relatif cepat kepada sejumlah audiens.

Menurut Marshall McLuhan, media massa adalah perluasan manusia (the extensions of man) baik dari aspek psikis maupun fisik yang dimiliki oleh manusia. Di sini media sebagai perluasan manusia menunjukkan adanya suatu hubungan yang tidak dapat dilepaskan antara eksistensi manusia dan media di dalam perkembangan budaya.

Adapun media massa antara lain memiliki ciri sebagai berikut :

→ Bersifat melembaga. Pihak yang mengelolanya terdiri dari banyak individu, mulai dari pengumpulan, pengelolaan sampai pada penyampaian informasi

→ memiliki jangkauan yang sangat luas. Media massa dapat menembus jangkauan yang lebih luas, tidak saja khalayak, tetapi juga menembus ruang dan waktu

→ pesan yang disampaikannya dapat diserap oleh siapa pun juga tanpa membedakan faktor demografis (usia,jenis kelamin) dan faktor sosiologis, misalnya kelas sosial

→ dalam penyampaian pesan, media massa memakai peralatan teknis dan mekanis

media massa dan lembaga keluarga

Media massa berpengaruh besar dalam memengaruhi perkembangan lembaga-lembaga sosial yang ada, tidak terkecuali lembaga keluarga. Lembaga keluarga sudah sedemikian terpengaruh oleh adanya media massa terutama media elektronik seperti televisi dan media baru seperti internet. Para kapitalis sendiri melihat keluarga sebagai sasaran empuk yang dapat memperbesar keuntungan yang mereka dapatkan.

Oleh karena itu para kapitalis menjadikan keluarga sebagai sasaran atau objek bagi produk-produk yang mereka hasilkan, baik produk yang bersifat barang, jasa atau produk budaya. Para kapitalis memengaruhi keluarga melalui media massa / media sosial, antara lain melalui iklan-iklan televisi atau melalui internet (facebook, instagram, Line, WhatsApp).

Pengaruh media terhadap keluarga juga dapat dilihat pada aspek sosialisasi. Media, khususnya televisi dan internet lambat laun mulai menggantikan orangtua sebagai sumber dan referensi nilai bagi anak.

Anak mengkonsumsi apa saja yang disajikan oleh media massa (televisi dan internet) tanpa adanya daya kritis yang memadai. Anak-anak juga merupakan pangsa pasar yang paling penting dan paling efektif karena mereka paling mudah dipengaruhi.Melalui iklan-iklan di televisi atau internet, anak akan belajar menjadi seorang yang konsumtif.

Televisi dan internet telah mengubah pola pikir anak, sehingga anak menjadi semakin jauh dari orang tuanya. Mereka lebih memercayai informasi yang mereka dapatkan dari televisi atau internet ketimbang dari orangtua mereka. Keberadaan media massa seperti televisi dan internet telah mengakibatkan penurunan secara kuantitatif dan kualitatif komunikasi antaranggota keluarga terutama antara orangtua dan anak.

Setiap anggota keluarga sibuk dengan urusan mereka masing-masing, dan ketika mereka berada di rumah, mereka lebih banyak menyibukkan dirinya dengan menghabiskan waktu di depan televisi atau berselancar di dunia maya.

Kondisi ini mengakibatkan munculnya fenomena “the saturated family” (keluarga yang jenuh), yaitu sebuah kondisi keluarga ketika para anggotanya merasa hidup mereka dihabiskan dalam kesibukan yang sangat intensif. Selain  menyerap berbagai nilai-nilai, sikap, pendapat, gaya hidup, dan kepribadian, anggota keluarga telah menanamkan dalam berbagai ragam hubungan.

Teknologi sosial seperti telepon, televisis, internet, facebook, dan game online telah menciptakan gejolak keluarga dan fragmentasi, kekacauan, dan diskontinuitas. (Martono, 2014)

media massa, konflik, dan  kejahatan

Media massa merupakan instrumen yang berpengaruh besar dalam pembentukan nilai, opini, maupun “frame of reference’ pemirsanya. Maka tidak heran jika media massa khususnya internet menjadi ladang garapan strategis bagi lembaga-lembaga pembentukan opini dan citra. Media massa khususnya televisi dan internet juga berperan dalam meningkatkan angka kejahatan dan intensitas konflik.

Berita-berita tentang konflik dan kejahatan yang ditayangkan dan diberitakan oleh televisi dan internet telah memberikan kontribusi terhadap disorganisasi sosial dalam masyarakat. Erlangga Masdiana, menutip Hanna Adoni menyatakan bahwa televisi lebih mengedepankan berita-berita konflik (high intensity) dibandingkan dengan berita-berita yang memperlihatkan harmoni dan keselarasan.

Demikian pula dengan berita-berita kejahatan yang mendapatkan porsi yang besar dalam tayangan televisi, sehingga wacana yang berkembang dan menjadi “realitas sosial” adalah wacana tentang perpecahan, pertikaian, kejahatan dan ketidaknyamanan.

Penayangan dan pemberitaan konflik dan kejahatan yang cukup besar oleh televisi dan internet tidak terlepas dari kepentingan ekonomi pemilik media massa. Dikalangan pelaku media terdapat adagium “ Bad news is good news” (berita yang buruk adlaah berita yang baik). Hal itu disebabkan pemberitaan hal-hal yang kontroversial seringkali berhasil menaikkan rating media karena cenderung disukai oleh pemirsa dan publik.

Dalam suasana damai di mana konflik besar tidak terjadi serta sistem sosial berjalan sebagaimana mestinya, televisi dan internet selalu berupaya mencari info konflik dan kejahatan yang menyentuh pemirsa. Berita konflik dan kejahatan akan semakin mendapatkan minat dari para pemirsa jika menyangkut beberapa hal, yakni pertama, dekat dengan peristiwa, kedua, dialami oleh pemirsa, ketiga, menjadi angan-angan dan harapan, keempat, menyentuh nurani kemanusiaan.

Berita tentang konflik di televisi atau media sosial lainnya seperti internet (berita online) biasanya adalah berita konflik yang terjadi di dalam lingkungan, seperti lingkungan rumah tangga, lingkungan pekerjaan, pertemanan, percintaan dan lain sebagainya yang melibatkan selebriti cenderung mendapatkan perhatian yang lebih besar. Demikian pula dengan konflik politik yang terjadi diantara peserta pemilihan umum atau pemilihan presiden.

Ketidakharmonisan keluarga oleh media menjadi komoditas  yang terus menerus disajikan dan dieksploitasi sedemikian rupa untuk kemudian ditayangkan di ruang publik. Penayangan berita tentanga keretakan dan konflik rumah tangga di kalangan selebriti  oleh media mengakibatkan munculnya sereotip dan stigma bahwa kalangan selebiti identik dengan konflik dan perceraian. Bahkan yang lebih memprihatinkan jika media sengaja merekayasa atau mensimulasi konflik rumah tangga tertentu yang bertujuan menaikkan ratting media dan selebriti yang bersangkutan.

Konflik keluarga para selebriti menjadi komoditas yang mijual oleh media disebabkan beberapa hal :

 konflik pasti akan menjadi perhatian pemirsa

 keluarga adalah wilayah yang dekat dengan para pemirsa dan akan dijadikan sebagai tempat refleksi atau mencocokkan diri dengan permasalahan orang yang terkenal

keluarga adalah arus utama pemberitaanyang selalu bergelut dengan konflik yang langsung menyentuh setiap orang.Karena setiap orang pasti akan selalu memiliki keluarga, dan juga pasti ada ‘gejolak” yang harus dipecahkan oleh masing-masing  individu.

masalah-masalah pribadi dan keluarga akan selalu diberitakan oleh televisi atau internet (media online) karena masyarakat mengharapkan agar segala hal yang menyangkut dengan tokoh atau orang terkenal / selebriti semestinya penuh dengan suasana yang dapat dijadikan contoh.

media massa dan konstruksi sosial gender

Media massa seperti televisi dan internet , berperan  besar dalam sosialisasi gender, baik melalui pemberitaannya, tayangan hiburan seperti film, maupun iklan komersial. Media massa terutama media elektronik seperti televisi dan internet sering memuat iklan yang menunjang stereotipe gender (gender-stereotyped advertizing).

Tayangan media massa berperan mengkonstruksi  peran gender dalam kehidupan sosial antara perempuan dan laki-laki. Hal itu disebabkan sifat media yang cenderung memperkuat dikotomi biner atas realitas sosial yang ada. Misalnya tayangan televisi /internet/media daring melalui hiburan dan film/sinetron dan iklan-iklan di dalamnya seringkali membangun stereotipe gender tertentu sebagai berikut :

pria/laki-laki
perempuan
maskulin
feminim
pekerja kantoran
ibu rumah  tangga
tegas
lemah lembut
agresif/aktif
pasif
dominan
sebagai subjek

Memang sejumlah media dan tayangan publik serta iklan-iklan di televisi atau media online sudah menampilkan figur perempuan di sektor publik, akan tetapi hal tersebut masih relatif sedikit. Kalaupun perempuan dimunculkan di ruang publik, akan tetapi posisinya masih relatif marjinal, misalnya seperti resepsionis, pramugari, posisi rendah dalam organisasi dan bukan dalam posisi yang berstatus tinggi serta menentukan. (Sunarto, 2010)

Bahkan iklan-iklan televisi atau media online justru malah terkesan menjadikan perempuan sebagai objek yang dapat dikomersialisasikan, contohnya dengan cenderung menampilkan perempuan pada aspek kecantikan dan sensualitas ketimbang pada aspek prestasi dan kemampuan/kecakapan pribadi.






REFERENSI

Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan, Jakarta : Prenada, 2014

Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, Jakarta : Kencana, 2015

James Henslin, Sosiologi, Dengan Pendekatan Membumi, Jakarta : Erlangga, 2006

Nengah Bawa Atmaja dan Luh Putu Sri Ariyani, Sosiologi Media, Perspektif Teori Kritis, Depok : RajaGrafindo Persada,2018

Peter L.Berger, Tafsir Sosial Atas Kenyataan, Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan, Jakarta ; LP3ES, 1990

Rahma Sugihartati, Perkembangan Masyarakat Informasi dan Teori Sosial Modern, Jakarta : Kencana, 2014

T.O.Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Jakarta : Obor, 2004















Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEBERHASILAN DAN KEGAGALAN ORDE BARU

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN