SOSIOLOGI HUKUMAN MATI


SOSIOLOGI HUKUMAN MATI


PENGANTAR

Hukum merupakan salah satu bentuk pengendalian sosial utama dalam masyarakat modern, karena pengendalian sosial mencakup segala proses, baik yang direncanakan, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar patuh pada nilai-nilai dan kaidah kemasyarakatan yang berlaku.

Dengan demikian, hukum sebagai alat pengendalian sosial bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara stabilitas dengan perubahan di dalam masyarakat. Hukum sebagai bentuk pengendalian sosial dapat bersifat preventif atau represif atau bahkan keduanya.

Sedangkan jika dilihat dari aspek pelaksanaannya, hukum dapat dilakukan baik dengan cara persuasif, yaitu tanpa melibatkan kekerasan atau dengan cara koersif/paksaan. Cara mana yang lebih baik diterapkan sebenarnya tergantung faktor terhadap siapa pengendalian sosial hendak dilakukan dan dalam situasi yang bagaimana.

 Di dalam suatu masyarakat yang secara relatif berada dalam keadaan tenteram, maka cara yang persuasif mungkin akan lebih efektif dibandingkan cara yang koersif. Adapun dalam masyarakat yang sedang bergolak dan mengalami kekacauan biasanya digunakan cara-cara paksaan/koersif, karena di dalam keadaan seperti itu pengendalian sosial juga berfungsi untuk membentuk kaidah-kaidah baru yang menggantikan kaidah-kaidah lama yang telah goyah.

Hukum sebagai kaidah/norma sosial tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan  pencerminan dan konkretisasi daripada nilai-nilai yang ada pada suatu saat berlaku dalam masyarakat.

Pelaksanaan hukum akan berlangsung efektif apabila mendapatkan dukungan sosial yang luas. Hukum yang berlawanan dengan nilai dan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat hanya akan menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat dan akan membahayakan kewibawaan hukum itu sendiri.

Hukum juga harus merepresentasikan /mencerminkan sistem sosial di mana sistem hukum itu merupakan bagiannya, karena bagaimanapun juga, hukum tidak dapat dilepaskan dari sistem sosial suatu masyarakat.

SOSIOLOGI HUKUM

Sosiologi hukum berkembang atas dasar suatu anggapan dasar bahwa proses hukum berlangsung di dalam suatu jaringan atau sistem sosial yang dinamakan masyarakat. Artinya, hukum hanya dapat dimengerti dengan jalan memahami sistem sosial terlebih dahulu dan bahwa hukum merupakan suatu proses.

Seorang ahli sosiologi menaruh perhatian yang besar terhadap hukum yang bertujuan untuk mengkoordinasikan aktifitas-aktifitas warga masyarakat serta memelihara integrasinya.

Norma-norma hukum tersebut ada yang berwujud sebagai peraturan-peraturan tertulis, keputusan-keputusan pengadilan maupun keputusan-keputusan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya.

Menurut Gillin dan Gillin, hukum merupakan enacted institution, yaitu lembaga yang sengaja dibentuk untuk memenuhi tujuan-tujuan tertentu,tetapi masih didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan di dalam masyarakat.Pengalaman-pengalaman didalam melaksanakan kebiasaan tersebut kemudian disistematisir dan diatur untuk kemudian dituangkan kedalam lembaga-lembaga yang disahkan oleh penguasa atau masyarakat yang  bersangkutan.

Sedangkan jika dilihat dari sistem nilai yang diterima oleh masyarakat modern, hukum merupakan basic institution, yaitu lembaga yang sangat penting dalam memelihara dan mempertahankan tata tertib dalam masyarakat. Dalam masyarakat modern hukum menjadi norma  utama yang mengatur interaksi dan hubungan antaranggota masyarakat.

Dari sudut penerimaan masyarakat hukum merupakan approved atau socially sanctioned institution, yaitu lembaga yang diterima oleh masyarakat. Masyarakat menerima hukum sebagai konsensus yang mengikat setiap anggota masyarakat.

Dilihat dari faktor persebarannya, hukum dalam masyarakat modern merupakan general institution, yaitu lembaga yang bersifat universal dan ada disemua masyarakat modern.

Adapun dilihat dari sudut fungsinya, hukum terutama merupakan regulatif institution yang bertujuan untuk mengawasi tata kelakuan yang tidak menjadi bagian mutlak dari lembaga itu sendiri.

HUKUM SEBAGAI ALAT PENGENDALIAN SOSIAL

Hukum merupakan salah satu bentuk pengendalian sosial utama dalam masyarakat modern, karena pengendalian sosial mencakup segala proses, baik yang direncanakan, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar patuh pada nilai-nilai dan kaidah kemasyarakatan yang berlaku.

Dengan demikian, hukum sebagai alat pengendalian sosial bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara stabilitas dengan perubahan di dalam masyarakat. Hukum sebagai bentuk pengendalian sosial dapat bersifat preventif atau represif atau bahkan keduanya.

Sedangkan jika dilihat dari aspek pelaksanaannya, hukum dapat dilakukan baik dengan cara persuasif, yaitu tanpa melibatkan kekerasan atau dengan cara koersif/paksaan. Cara mana yang lebih baik diterapkan sebenarnya tergantung faktor terhadap siapa pengendalian sosial hendak dilakukan dan dalam situasi yang bagaimana.

 Didalam suatu masyarakat yang secara relatif berada dalam keadaan tenteram, maka cara yang persuasif mungkin akan lebih efektif dibandingkan cara yang koersif. Adapun dalam masyarakat yang sedang bergolak dan mengalami kekacauan biasanya digunakan cara-cara paksaan/koersif, karena di dalam keadaan seperti itu pengendalian sosial juga berfungsi untuk membentuk kaidah-kaidah baru yang menggantikan kaidah-kaidah lama yang telah goyah.


HUKUMAN MATI SEBAGAI SALAH SATU MEKANISME PENGENDALIAN SOSIAL

Hukuman mati merupakan bagian dari sistem hukum yang ada di sebuah negara. Hukuman mati merupakan salah satu mekanisme hukum yang menimbulkan kontroversi dalam masyarakat, bukan saja di Indonesia akan tetapi juga di dunia. Sejumlah negara ada yang melegalkan hukuman mati sedangkan sebagian lainnya menentang dan menghapuskan hukuman mati dalam sistem hukum mereka. Beberapa negara bahkan termasuk negara yang sering melakukan hukuman mati.

Tiongkok merupakan salah satu negara yang paling sering melakukan eksekusi mati kepada pelaku kejahatan di negaranya. Sekitar 30 bentuk kejahatan di Tiongkok diancam dengan hukuman mati, termasuk kasus terorisme dan korupsi. Arab Saudi juga termasuk negara yang banyak menerapkan hukuman mati. Hukuman mati yang diterapkan di Arab Saudi antara lain meliputi tindak pidana terorisme, pembunuhan, dan sihir.

Adapun pelaksanaan hukuman mati yang diterapkan untuk kasus pembunuhan seringkali menimbulkan kontroversi, sebab sejumlah pelaku pembunuhan di sana merupakan warga negara asing (Indonesia) yang berprofesi sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Kontroversi tersebut terjadi sebab kasus pembunuhan yang melibatkan TKI tersebut diantaranya berkaitan dengan upaya membela diri yang dilakukan dikarenakan pelaku pembunuhan menjadi  korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh anggota keluarga yang bersangkutan.

Adapun bentuk pelaksanaan hukuman mati bermacam-macam, diantaranya sebagai berikut ;

√ Tembak mati (Indonesia)

√ dialiri dengan aliran distrik (disetrum) (Amerika)

√ digantung (Iran)

√ disuntik mati (Amerika)

√ dipancung (Saudi Arabia)

Hukuman mati yang diadakan dalam sistem hukum suatu negara membuktikan adanya penyimpangan yang bersifat sekunder. Penyimpangan  sekunder dicirikan dengan penyimpangan yang menghasilkan reaksi yang keras dari masyarakat. Hal itu disebabkan karena penyimpangan atau kejahatan yang terjadi dapat mengancam nilai-nilai mendasar masyarakat dan bahkan mengancam keberlangsungan masyarakat itu sendiri.

Beberapa bentuk penyimpangan atau kejahatan yang diancam oleh hukuman mati di sejumlah negara adalah sebagai berikut :

→ tindak pidana terorisme

→ tindak pidana pembunuhan

→ tindakan makar dan upaya penggulingan kekuasaan yang sah



PERBEDAAN PANDANGAN DAN SIKAP MENGENAI PEMBUNUHAN

Hukuman mati merupakan salah satu bentuk pembunuhan yang dilakukan oleh negara berdasarkan pada perundang-undangan tertentu. Terkait dengan pembunuhan, masyarakat, termasuk di dalamnya pemerintah dan kalangan akademisi berbeda pandangan dalam menyikapi beberapa kasus pembunuhan sebagai berikut :

antara kejahatan dan tradisi :

dalam beberapa tradisi masyarakat adat, pembunuhan yang dilakukan melalui pertarungan seperti tradisi Carok di Madura tidak dianggap oleh masyarakat adat yang bersangkutan sebagai sebuah penyimpangan.Bahkan tradisi tersebut merupakan bentuk pelembagaan pembunuhan yang didasari oleh nilai dan dibenarkan oleh norma setempat

Eutanasia (suntik mati) :

Eutanasia adalah suatu tindakan menyuntikkan racun berdosis tinggi pada seseorang untuk menyebabkan kematian. Penggunaannya diantaranya dilakukan terhadap seseorang pasien yang menderita suatu penyakit kronis yang tidak kunjung sembuh.

Permintaannya bisa dari pasein yang bersangkutan maupun dari pihak keluarga pasien. Negara-negara di dunia memiliki perbedaan sikap dalam hal ini. Beberapa negara melegalkan dan beberapa lainnya melarang. Negara yang melegalkan berpendapat bahwa kematian merupakan bagian dari ‘hak asasi” yang bersangkutan, sehingga tidak ada alasan untuk melarang tindakan tersebut.

aborsi : 

Sebagaimana anastesia, negara-negara di duniapun berbeda sistem bukumnya terkait dengan masalah aborsi. Aborsi itu sendiri dapat dikategorikan sebagai bentuk pembunuhan terhadap janin yang masih di dalam kandungan. Ada pihak—terutama kalangan medis--yang  menganggap bahwa aborsi diperbolehkan selama hal itu dapat meminimalisir resiko kematian bagi ibu yang mengandung. Adapula negara yang melegalkannya secara mutlak atau sebaliknya, melarangnya juga secara mutlak.

Hukuman mati :

Hukuman mati juga menjadi wacana yang bersifat kontroversial. Sejumlah negara di dunia, khususnya negara-negara maju sudah melarang pelaksanaan hukuman mati bagi para terpidana, sedangkan banyak negara lainnya termasuk Indonesia masih menggunakan sistem hukum yang mengakui adanya sangsi pidana berupa hukuman mati.

Sebagian kalangan penggiat Hak Asasi Manusia di Indonesia menentang adanya hukuman mati diantaranya karena masih menganggap bahwa sistem dan praktek hukum di Indonesia masih banyak kelemahan.

Seringkali seseorang dijatuhkan hukuman padahal orang tersebut tidak melakukannya atau sebaliknya, orang yang seharusnya mendapatkan hukuman justru malah dapat meloloskan diri dari jeratan hukum. Persoalan hukum di Indonesia antara lain disebabkan karena ketidakmampuan para legislator dalam menyusun perundang-undangan, masalaha moral aparat atau masalah administrasi hukum.

Hukuman mati di Indonesia terkait dengan sejumlah tindak pidana seperti pengedar narkoba dan tindak pidana pembunuhan termasuk terorisme. Hanya saja yang disesalkan adalah hukuman mati tersebut pada umumnya diterapkan terhadap tindak pidana yang umumnya dilakukan oleh golongan kelas sosial bawah.

Terorisme dan pembunuhan misalnya labih banyak dilakukan oleh mereka yang berasal dari golongan masyarakat kelas bawah. Sedangkan pelaku pengedar narkoba yang dijatuhi hukuman mati umumnya hanyalah pengedar kelas kecil, sedangkan pengedar kelas kakap atau bahkan para bandar narkoba dengan jaringan pengaruhnya seringkali lolos dari jeratan hukum.

extra-judicial killing :

Jenis pembunuhan ini adalah pembunuhan yang kadang kala dilakukan oleh aparat hukum khususnya oknum kepolisian. Dalam beberapa kasus, (oknum) polisi melakukan extra judicial killing (keadilan jalanan) dengan menembak mati tersangka pelaku tindak kejahatan berat atau residivis dengan alasan akan melarikan diri.

Pada masa pemerintahan otoriter Orde Baru tindakan ini bahkan pernah disponsori oleh negara dengan adanya Petrus atau Penembak Misterius. Petrus adalah upaya pemerintah saat itu untuk menekan tingkat kriminalitas dengan cara melakukan pembunuhan kepada orang-orang yang dipersangkakan sebagai pelaku kejahatan. Hal itu disadari atau tidak menunjukkan adanya disfungsi lembaga penegak hukum dan adanya ketimpangan budaya (cultural lag) dan ketimpangan hukum (Law Lag) akibat ketidakmampuan hukum dan aparat hukum dalam menangani dan memberantas kejahatan.

Sikap masyarakat terhadap hal ini juga beragam. Ada pihak yang mendukung, karena mereka menyadari bahwa sistem hukum formal telah banyak mengalami disfungsi sehingga gagal dalam memberantas kejahatan dan memberikan rasa aman.

Sedangkan pihak lainnya khususnya penggiat Hak Asasi Manusia menentang dengan alasan hal tersebut selain bertentangan dengan Hak Asasi Manusia juga tidak prosedural serta melanggar azas hukum formal sehingga rawan untuk disalahgunakan dan diselewengkan untuk kepentingan tertentu.

terorisme  :

Bagi pemerintah dan masyarakat pada umumnya, tindakan terorisme dengan melakuan pembunuhan dan bom bunuh diri merupakan tindak kejahatan. Bahkan PBB menetapkan terorisme sebagai Kejahatan Luar  Biasa (Extra Ordinary Crime) sebagaimana  korupsi.

Akan tetapi para pelaku teror dan komunitas pendukungnya tentu saja berpendapat sebaliknya. Tindakan tersebut bagi mereka merupakan panggilan agama yang menjamin pelakunya masuk ke dalam surga.

Upaya pemerintah yang terlalu menekankan aspek represif dibandingkan preventif-persuasif dan kuratif terhadap pelaku dan keluarga teror hanya akan melahirkan spiral kekerasan yang tidak berujung dan melahirkan dendam berkepanjangan. Seharusnya pemerintah benar-benar mengkaji cara dan metode serta strategi yang tepat untuk memberantas terorisme sampai ke akar-akarnya dan jangan sampai terlalu menekankan pada aspek penindakan yang bersifat represif atau dengan cara koersif semata.

HUKUMAN MATI DAN BIAS

Hukuman mati (death penalty) meurpakan tindakan yang paling ekstrem dan kontroversial yang dapat dilakukan oleh negara. Hukuman mati masih diberlakukan di sejumah besar negara di dunia, walaupun di negara-negara yang tingkat demokrasinya sudah lebih tinggi, hukuman mati sudah dihapuskan.

Hal ini mengacu kepada konsep pembagian masyarakat yang membagi masyarakat menjadi dua, yaitu masyarakat mekanik dan masyarakat organik. Masyarakat mekanik adalah masyarakat yang masih sederhana dan corak masyarakatnya bersifat homogen.

Dalam masyarakat yang solidaritasnya mekanik, hukum atau mekanisme penghukuman dan penghakiman bersifat represif, artinya hukum cenderung berorientasi kepada pelaku.

Hukum dalam masyarakat mekanik berusaha menghukum pelaku seberat-beratnya agar kejahatan yang dilakukan oleh pelaku tdak berulang dikemudian hari. Mekanisme ini juga dilakukan agar dapat memulihkan situasi sebelum terjadinya kejahatan.

Sedangkan dalam masyarakat yang berpola organik, hukum berorientasi kepada pemulihan hak korban. Hal itu disebabkan hukum dalam masyarakat organik berisfat restitutif. Tujuan utama hukum bukan menghukum pelaku tetapi mengembalikan hak-hak korban yang dirampas dengan adanya kejahatan tersebut.

Dalam konteks inilah hukuman mati di negara-negara di dunia dapat dianalisa. Negara-negara yang relatif sudah modern lebih cenderung menghapuskan hukuman mati. Alasannya adalah sebagai berikut :

♦ Hukuman mati (misalnya terhadap kejatahan pembunuhan) tidak akan menghidupkan kembali korban

♦ Hukuman mati (dalam kasus pembunuhan) hanya akan menambah korban pembunuhan yang ironinya dilakukan secara resmi oleh negara

♦ Hukuman mati dinilai melanggar Hak Asasi Manusia

♦ Hukuman mati dianggap sudah tidak sesuai dengan masyarakat modern

Hukuman mati pun memperlihatkan bias kelas sosial. Pada kenyataannya, sebagian besar orang yang dijatuhi hukuman mati adalah mereka yang berasal dari kelas sosial bawah. Pada kasus penyalahgunaan narkotika, mereka yang dijatuhi hukuman mati adalah berasal dari kelas sosial bawah yang menjalankan peran sebagai kurir. Sedangkan para pemilik narkotika dan produsennya seringkali lelas dari jeratan hukum.

Menurut analisa dari teori Konflik, hal ini disebabkan karena hukum dan sistem hukum, termasuk di dalamnya produk-produk hukum berupa undang-undang merupakan bagian dari suprastruktur yang muncul sebagai refleksi dari infrastruktur atau basis, yaitu kepentingan ekonomi. Hukum dalam analisa teori konflik sosial diproduksi oleh kelas sosial atas untuk melindungi kepentingan dan privilise serta prestise yang mereka miliki.

Di Amerika Serikat, hukuman mati juga memiliki bias ras. Berdasarkan laporan dari Sourcebook of criminal justice statistics tahun 2001, walaupun banyak terpidana mati yang berasal dari  kulit putih (65 %) dan kulit hitam (44 %) untuk kasus perkosaan dan percobaan perkosaan di Virginia, namun dalam prakteknya, yang menjalani proses eksekusi mati keseluruhannya adalah orang kulit hitam. Tidak seorangpun di antara orang kulit putih yang dieksekusi. (Henslin, 2006)

Selain bias kelas dan ras, hukuman mati ternyata juga bias gender. Hampir tidak pernah terdengar bahwa seorang perempuan dijatuhi hukuman mati. Meskipun perempuan di Amerika Serikat melakukan sejumlah pembunuhan, namun hanya sedikit dari mereka yang menghuni sel terpidana mati.

Sedangkan bagi pihak yang mendukung keberadaan hukuman mati beranggapan bahwa adanya hukuman mati merupakan cara yang dianggap sesuai dengan keadilan. Untuk kasus pembunuhan misalnya, hukuman mati yang diterapkan kepada pelaku pembunuhan dianggap setimpal dengan perbuatannya. Dengan kata lain ada istilah ; “ nyawa dibayar nyawa”

Hukuman mati juga memiliki fungsi laten yang fungsional bagi struktur sosial dan kepentingan masyarakat. Dengan adanya hukuman mati, negara dapat menghemat anggaran dan mengalokasikan dana untuk “memelihara’ tahanan yang melakukan kejahatan berat kepada sektor lainnya yang lebih membutuhkan. Seorang pelaku kejahatan berat yang tidak  dijatuhi hukuman mati dianggap hanya akan menghabiskan anggaran negara untuk memfasilitasi kehidupan mereka di penjara.

Selain itu bagi para pendukung hukuman mati beranggapan bahwa hal tersebut masih dianggap efektif untuk menimbulkan efek jera dan mengurangi tingkat kejahatan. Hukuman mati dinilai memberikan efek kejut kepada setiap orang yang hendak melakukan tindak kriminal berat.




REFERENSI

James Henslin, Sosiologi dengan pendekatan membumi, Jakarta : Erlangga,2006

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum,Depok, : Rajagrafindo,2012












Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN

STATUS OBJEKTIF DAN STATUS SUBJEKTIF

TAWURAN SEBAGAI SUATU GEJALA SOSIAL (ANALISIS SOSIOLOGIS KONFLIK SOSIAL DI PERKOTAAN)