FRAGMENTASI, PETA POLITIK DAN FAKSIONALISME PADA MASA PERGERAKAN NASIONAL


FRAGMENTASI, PETA POLITIK DAN FAKSIONALISME PADA MASA PERGERAKAN NASIONAL


PENGANTAR

Periode 1908 sampai 1942 di Indonesia dikenal dengan masa Pergerakan Nasional. Disebut demiikian karena pada masa itu muncul bentuk perjuangan baru dalam upaya membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan Belanda melalui pendirian organisasi-organisasi modern.

Kemunculan berbagai oragnisasi dan partai politik saat itu mencerminkan keragaman latar belakang sosio-politik dan ideologi yang ada di kalangan kaum pergerakan saat itu. Keragaman tersebut tidak terelakkan sebagai konsekuensi dari masuknya pengaruh Belanda sejak beberapa dasawarsa yang lalu. Sejumlah ideologi modern yang turut mewarnai corak pergerakan kebangsaan Indonesia saat itu adalah ;

-Pan Islam

-Nasionalisme

-Demokrasi

-Liberalisme

-Individualisme

-Sosialisme

Bebagai ideologi modern tersebut kemudian jalin-menjalin dengan tradisi dan kebudayaan yang sudha berkembang di Indonesia sebelumnya sehingga menghasilkan beraneka ragam corak ideologi yang membentuk dinamika politik Indonesia.

Keragaman corak ideologi dan budaya pada masing-masing organisasi dan partai politik tersebut seringkali menimbulkan gesekan yang diakibatkan oleh adanya persaingan dalam memperjuangkan baik ideologi maupun metode perjuangan yang digunakan. Persaingan tersebut juga kerap menimbulkan ketegangan baik di internal organisasi maupun diantara organisasi-organisasi yang ada.


BUDI UTOMO

Budi Utomo merupakan organisasi yang dianggap sebagai salah satu pelopor pergerakan nasional di Indonesia. Didirikan pada tahun 1908 oleh Dr Sutomo, Budi Utomo awalnya bercorak nasional yang ingin menjangkau berbagai kelompok etnik yang ada di Hindia Belanda saat itu. Perpecahan di dalam Budi Utomo terjadi pada kongresnya yang pertama. Ketika itu terdapat dua kubu di dalam organisasi Budi Utomo, yaitu kubu progresif dan kubu konservatif.

kubu konservatif dengan tokohnya Radjiman Wediodiningrat yang menghendaki Budi Utomo membatasi dirinya pada aspek-aspek non politik dan mambatasi ruang lingkup keanggotaan dan kegiatannya hanya di kalangan etnis Jawa saja.

Sedangkan kubu progresif dengan tokohnya Ciptomangunkusumo dan Sutomo, menginginkan Budi Utomo menjadi organisasi yang terbuka keanggotaannya bagi kalangan luar Jawa. Kelompok ini juga menghendaki agar organisasi tersebut bukan saja bergerak di bidang sosial-budaya dan pendidikan, tetapi juga bergerak di bidang politik.

Hasil perseteruan kedua kubu ini akhirnya dimenangkan oleh kubu konservatif. Dalam Kongresnya yang pertama, kepengurusan Budi Utomo dikuasai oleh kalangan konservatif. Karena tidak puas dengan kondisi yang ada maka sejumlah tokoh muda seperti Ciptomangunkusomo dan Sutomo keluar dari keanggotaan Budi Utomo. 

Ciptomangunkusumo kemudian bersama-sama dengan Suwardi Suryaningrat dan E.F.E.Douwes Dekker akhirnya mendirikan Indishe Partij, sedangkan Sutomo kemudian mendirikan Perhimpunan Bangsa Indonesia (PBI). Merupakan suatu ironi sejarah ketika pada akhirnya, PBI yang didirikan oleh Sutomo dan Budi Utomo akhirnya bergabung kembali menjadi suatu organisasi baru pada tahun 1935 dengan nama Partai Indonesia Raya (Parindra).


SAREKAT ISLAM

Sarekat Islam merupakan organisasi massa pertama di Hindia Belanda. Pada masa puncak kejayaannya Sarekat Islam memiliki keanggotaan lebih dari dua juta orang sehingga menimbulkan kekhawatiran di kalangan pejabat kolonial Belanda.

Akan tetapi dalam perjalanannya organisasi ini mengalami kemunduran. Tempatnya sebagai pemimpin pergerakan nasional kemudian diambil alih oleh Perhimpunan Indonesia dan Partai Nasional Indonesia. Kemunduran Sarekat Islam selain karena tekanan dan isolasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda melalui kebijakkan Kanalisasi Idenburg, juga disebabkan oleh faktor internal, yaitu adanya perpecahan. Perpecahan dan fragmentasi di dalam tubuh Sarekat Islam yang kemudian berubah namanya menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia dapat dilihat dari sejumlah hal berikut ini :

-Faksi berdasarkan posisi politik :

1.kanan/putih  : Agus Salim

2.Tengah : Cokroaminoto

3.Kiri/Merah : Semaun dan Dharsono

-Faksi berdasarkan strategi politik :

1.kubu PSII yang dipimpin oleh Abikoesno. Kubu ini menganut strategi politik non kooperatif

2.Kubu PSII yang dipimpin oleh Agus Salim dan Mohammad Roem. Kubu ini menjalankan strategi politik kooperatif. Konflik diantara kedua kubu ini kemudian berakhir dengan pemecatan Agus Salim dari keanggotaan PSII pada tahun 1937

-Faksi berdasarkan koalisi politik :

1.Kubu PSII yang pro terhadap GAPI yang dipimpin oleh Abikoesno

2.Kubu PSII yang anti-GAPI dengan tokohnya Kartosuwiryo

Konflik kedua kubu ini kemudian berakhir dengan pemecatan Kartosuwiryo dan Yusif Tauziri pada tahun 1940


KUBU ISLAM DAN KUBU KEBANGSAAN

Pada masa pergerakan nasional terjadi diskursus yang terkait dengan landasan Indonesia merdeka. Terkait dengan hal itu terjadi polarisasi antara kelompok yang menginginkan Islam sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara dan kelompok yang menginginkan kebangsaan sebagai fundamen kehidupan bernegara. Diskursus ini mencapai puncaknya ketika terjadi perdebatan panas antara Sukarno yang mewakili kibu kebangsaan dengan A.Hasan, seorang tokoh Persatuan Islam yang mewakili ‘kubu Islam’.

Perdebatan tentang apakah Islam atau kebangsaan yang menjadi landasan kehidupan berbangsa juga terjadi di dalam tubuh kalangan pergerakan Islam itu sendiri. Permi merupakan organisasi yang menggunakan dasar Islam dan kebangsaan sebagai landasan organisasinya.

Hal tersebut mengakibatkan Permi diserang oleh sejumlah organisasi Islam seperti PSII dan Persatuan Islam (Persis). Kedua organisasi tersebut menuduh Permi tidak menganggap cukup dengan Islam saja ; seakan-akan Islam merupakan ajaran yang tidak komplit sehingga harus dilengkapi dengan asas kebangsaan.


KUBU ISLAM MODERNIS DAN ISLAM TRADISIONAL

Dikalangan organisasi Islam terdapat  perbedaan antara organisasi yang bercorak modernis dan organisasi yang bercorak tradisional. Yang pertama dinisbatkan pada Muhammadiyah yang berdiri pada 1912 dengan tokohnya KH.Ahmad Dahlan, dan yang kedua adalah Nahdlatul Ulama yang didirikan pada 1926 dengan tokoh sentralnya KH. Hasyim As`ari.

Muhamadiyah lahir ketika ummat Islam menjadi seperti “yatim piatu”. Situasi sosial / mental / politik saat itu seperti kemunduran hukum fikih, kerusakan pada aspek kepercayaan, kemunduran pendidikan Islam,kemiskinan dan maraknya kegiatan zending dianggap sebagai faktor yang mengakibatkan kemunduran Islam.

Muhamadiyah merupakan organisasi yang bercorak modernis. Muhamadiyah berkembang di daerah perkotaan. Kelahiran Muhamadiyah menandai kelahiran masyarakat industri. Pandangan keagamaan Muhammadiyah berbeda dengan NU. Muhamadiyah mengaku sebagai organisasi yang bercorak non mazhab dengan menekankan pada ijtihad serta menolak berbagai praktek keagamaan yang dilakukan oleh NU seperti Haul,taklid, Barzanji dan Tahlil/selamatan.

Kepemimpinan Muhammadiyah bersifat rasional-demokratis dengan dukungan basis massa santri perkotaan. Walaupun terdapat jurang yang membuat jarak dengan NU, dalam bidang politik Muhamadiyah memiliki kesamaan dengan NU. Muhamadiyah berusaha menjaga jarak dengan politik praktis dengan tidak terlibat langsung dalam politik praktis. Pandangan keagamaan Muhammadiyah dipengaruhi oleh sejumlah tokoh, diantaranya ; Muhammad bin Abdul Wahhab  dan Ibnu Taimiyyah yang mengusung konsep puritanisme radikal serta rasionalisme Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha .

Pemikiran  Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha sebagai tokoh Salafiyah Mesir itulah yang mencegah Muhamadiyah menjadi organisasi yang  radikal dan fundamentalis walaupun Muhammadiyah mengadopsi pemikiran puritanisme radikal dari Muhammad bin Abdul Wahhab dan Ibnu Taimiyyah , tetapi akomodasi pemikiran Wahabiyyah oleh Muhamadiyah mengakibatkan pangkal perbedaan dengan NU. Sebaliknya Muhamadiyah juga menolak pemikiran tasawuf Al Ghazali dan Al Junaid yang dipegang oleh NU.

Muhamadiyah sejatinya merupakan organisasi yang bercorak reformis. Muhamadiyyah berjuang untuk mengembalikan Islam sesuai dengan tradisi klasik kenabian. Muhamadiyah menentang segala praktek yang dianggap bertentangan dengan semangat pembaruan seperti ortodoksi Islam yang selama ini dianut oleh kalangan tradisionalis,kebudayaan priyayi dan westernisasi.

Nahdlatul Ulama lahir pada tahun 1926 oleh KH Hasyim Ashari. Organisasi ini lahir sebagai reaksi atas berkembangnya gerakan modernis Islam yang dianggap mengancam keberlangsungan tradisi keislaman kalangan tradisionalis. Jatuhnya kota Mekkah dan Madinah ke tangan kelompok Wahabi pada tahun 1924 juga menjadi faktor lain yang memunculkan NU.

Kalangan tradisionalis baik di Indonesia (ketika itu Hindia Belanda ) dan di dunia khawatir Ibnu Saud yang didukung oleh kelompok Wahabbi akan menyeragamkan praktik-praktik pelaksanaan ibadah haji. Setelah dikuasainya Hijjaz kelompok Wahabbi kemudian melarang berbagai praktek tabaruk (meminta berkah)  dan tawasul (perantara dalam berdoa/beribadah) yang selama ini berlangsung di tanah suci pada masa pemerintahan dinasti Hayimiyyah.

Kelompok tradisional mewakili kalangan yang memegang kuat pada tradisi keislaman yang merupakan hasil domestifikasi Islam di Indonesia. Kelompok tradisionalis khususnya Nahdlatul Ulama (NU) secara fikih mengacu kepada pendapat empat mazhab utama dalam Islam terutama mazhab Syafii, secara teologi mengikuti pandangan ilmu kalam dari Imam Asy’ari dan pandangan tasawufnya berasal dari tokoh tasawuf dari Irak yaitu Al Junaid dan Al Ghazali.

Kalangan tradisionalis menjadikan pesantren sebagai pranata utama dengan kiai sebagai pemegang otoritas di bidang keagamaan.Kalangan tradisionalis khususnya NU  menjadikan sejumlah ritual/kegiatan keagamaan  seperti upacara selamatan, tahlil, pembacaan Barzanji atau kenduri sebagai sarana untuk mewujudkan solidaritas sosial dan memperkuat kohesi sosial.

Pandangan NU dalam masalah keagamaan dan sosial budaya cenderung konservatif sedangkan dalam bidang politik, NU menghindari terlibat langsung dalam politik praktis. Hal ini sesuai dengan garis perjuangan/Khittoh yang dikeluarkan pada tahun 1926 yang melarang keterlibatan NU dalam politik praktis. Walaupun menjauhi politik praktis aspirasi NU tetap disalurkan melalui berbagai sarana diantaranya melalui ormas-ormas yang berafiliasi dengan NU.


ANTARA ORGANISASI POLITIK DAN ORGANISASI SOSIAL BUDAYA

Diantara organisasi yang bercorak politik adalah Sarekat Islam. Sarekat Islam merupakan organisasi politik yang memiliki tujuan-tujuan politik selain tujuan sosial budaya. Diantara aspek politik yang menjadi salah satu aktivitas Sarekat Islam adalah keterlibatannya di dalam Volksraad atau Dewan Rakyat bentukan Belanda.

Melalui Volksraad, Sarekat Islam yang ketika itu sudah berubah menjadi PSII memperjuangkan sejumlah aspirasi seperti penghapusan Peonale Sanctie atau sanksi cambuk bagi buruh di perkebunan Belanda yang sangat merendahkan golongan pribumi.

Sedangkan kalangan yang tidak bergerak di bidang politik antara lain Muhamadiyah dan Nahdlatul Ulama. Kedua organisasi tersebut berfokus pada aktivitas di bidang sosial budaya antara lain dengan mendirikan sekolah-sekolah atau pesantren dan layanan sosial lainnya. Menurut keduanya saat itu aktivitas di bidang politik sangat riskan.

Selain dapat menimbulkan fragmentasi dan perpecahan juga dapat mengundang tekanan dan konfrontasi dengan pemerintah kolonial. Bahkan ketika berdiri di tahun 1926 NU mengeluarkan garis perjuangan atau Khittah yang melarang NU masuk ke wilayah politik praktis.


SANTRI, ABANGAN, DAN PRIYAYI : BU

Trikotomi ini disampaikan oleh seorang antropolog Amerika Clifford Geertz. Dalam konteks masa pergerakan nasional, trikotomi ini dapat juga diterapkan dalam membuat peta orientasi budaya organisasi pergerakan yang ada.
Berdasarkan trikotomi tersebut, yang dapat dikategorikan sebagai organisasi santri adalah Sarekat Islam. Kelompok santri tersebut kemudian terbagi menjadi kelompok santri yang berada di perkotaan yang kemudian mendirikan Muhamadiyah dan kelompok santri yang berada di pedesaan dan corak pemikirannya tradisional, yaitu Nahdlatul Ulama.

Sedangkan yang dapat dikategorikan sebagai kelompok abangan adalah Partai Komunis Indonesia. PKI yang berdiri pada 23 Mei 1920 merupakan organisasi yang didukung oleh kelompok proletariat baik di perkotaan maupun di pedesaan, walaupun sebagian elitnya berasal dari kalangan borjuis kecil.
Adapun yang dikategorikan sebagai kelompok priyayi adalah Budi Utomo. Budi Utomo merupakan organisasi yang didominasi oleh kelompok priyayi. Kelompok priyayi dalam Budi Utomo sendiri terbagi menjadi priyayi tinggi dna priyayi rendahan.


KUBU ASOSIANIS DAN KUBU NON ASOSIANIS :

Kelompok asosianis adalah kelompok yang mendukung gagasan asosiasi atau persatuan budaya antara Belanda dan golongan bumiputera. Gagasan ini didukung oleh Budi Utomo yang menganggap bahwa Politik Etis yang dicanangkan oleh Belanda terbukti menjadi sarana untuk menaikkan derajat golongan bumiputera. Kenyataannya, sejumlah tokoh organisasi tersebut berasal dari STOVIA yang merupakan salah satu produk dari program Politik Etis Belanda.

Pandangan yang sama juga disampaikan oleh kelompok Ethichi Belanda. Idenburg misalnya, menganggap bahwa kelahiran Budi Utomo merupakan bukti keberhasilan Politik Etis, di mana tujuan dari Politik Balas Budi tersebut adalah menghasilkan golongan elit bumiputera yang loyal dan menyerap kebudayaan Barat khususnya kebudayaan Belanda.

Gagasan tentang penyatuan budaya ini ditentang oleh Perhimpunan Indonesia. PI merupakan organisasi yang beraliran non kooperatif. Salah satu tokohnya, Mohammad Hatta dalam salah satu tulisannya pernah menyerukan agar dibuat front pemisah antara kubu sini dan sana’, yaitu antara kubu sawo matang dan kubu kulit putih, yaitu kolonial Belanda.

Sepeninggal PI, PNI sebagai penerusnya juga menganut garis politik yang sama. PNI menentang politik asosiasi karena politik itu semata-mata bertujuan mengekalkan imperialisme Belanda di Hindia Belanda dan mencegah terwujudnya Indonesia merdeka. Politik asosiasi dianggap sebagai upaya Belanda untuk memberikan citra humanis bagi kolonialisme dan imperialisme Belanda.

Dalam kenyataannya pun masih banyak kalangan Belanda yang tidak bersungguh-sungguh mendukung politik asosiasi. Banyak pejabat Belanda dan Hindia Belanda yang bersifat rasis dengan menganggap rendah golongan bumiputera. Mereka sering beretorika bahwa golongan bumiputera tidak mampu menjalankan pemerintahan sendiri dan belum masak untuk merdeka, sehingga harus senantiasa diwalikan oleh Belanda.

Gagasan politik asosiasi juga ditentang oleh Indische Partij. Tetapi yang ditentang di sini adalah hanya pada aspek politik semata. Adapun dalam bidang budaya, Indische Partij tidak mempermaslaahkan adanya percampuran sosial dan budaya antara berbagai kelompok ras atau etnik yang ada di Hindia saat itu.

Apalagi Indische Partij sendiri merupakan organisasi yang antara lain didukung oleh golongan Indo, yaitu golongan yang merupakan percampuran antara kaukasoid dan bumiputera. Golongan Indo juga menyerap kebudayaan baik, Barat maupun kebudayaan bumiputera dalam sebuah sintesa kebudayaan yang dikenal dengan nama kebudayaan Indis. Indische Partij menolak gagasan politik asosianis melaui slogannya, Hindia untuk Hindia dan Hindia lepas dari Nederland.


KUBU RADIKAL DAN MODERAT

Kubu radikal adalah kubu yang menginginkan kemerdekaan Indonesia secara terbuka. Kelompok ini juga jelas-jelas menggunakan nama Indonesia sebagai bentuk identitas politiknya. Organisasi radikal ini direpresentasikan oleh Perhimpunan Indonesia dan penerusnya, Partai Nasional Indonesia, termasuk dua organisasi pasca PNI, yaitu Partai Indonesia dan Pendidikan Nasional Indonesia Baru.

Perhimpunan Indonesia misalnya, menganggap politik moderat dengan bekerjasama dengan Belanda tidak ada gunanya. PI memberikan contoh pengingkaran yang dilakukan Belanda mengenai November Beloften atau janji November. November Beloften adalah pidato Ratu Wilhelmina pada tahun 1915 mengenai akan adanya perubahan politik pasca Perang Dunia I. Janji tersebut disampaikan agar meredam gejolak politik di Hindia Belanda ketika meletusnya perang.

Akan tetapi ketika perang sudah usai dengan kemenangan Sekutu, Belanda tidak melakukan perubahan politik apa-apa di Hindia Belanda. Belanda tetap meneruskan politik imperialisme kolonialismenya atas Hindia Belanda. Hal inilah yang membuat Hatta kecewa dan tidak mempercayai politik kooperasi dengan Belanda.

Kegagalan sejumlah mosi dan petisi yang diajukan oleh wakil-wakil Indonesia dalam Volksraad seperti Petisi Sutardjo, Mosi Thamrin, dan Mosi Wiwoho semakin memperkuat dugaan bahwa Belanda memang tidak akan memberikan konsesi apapun kepada bangsa Indonesia, apalagi kemerdekaan.
Sedangkan kubu moderat adalah kubu yang menjalankan politik kooperasi dengan Belanda. Manifestasi dari politik kooperasi ini adalah dengan mengirim wakilnya ke Volksraad dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui cara-cara parlementer melalui pengiriman mosi dan petisi.

Kelompok ini berpandangan bahwa selama kekuatan bangsa Indonesia masih lemah dan belum adanya persatuan, maka perjuangan melalui politik kooperasi merupakan pilihan yang paling rasional. Kelompok ini juga berupaya untuk menghindarkan diri dari adanya konfrontasi dengan penguasa kolonial yang dapat mengakibatkan jatuhnya korban jiwa di kalangan rakyat.


ANTARA ORGANISASI ELITIS DAN ORGANISASI POPULIS :

Hal ini antara lain dapat dilihat dari adanya ketegangan dan konflik antara organisasi Al Irsyad dan Jamiatul Khair. Al Irsyad dengan tokohnya Ahmad Soorkati merupakan organisasi yang lebih bersifat egaliter. Al Irsyad menentang kalangan Sayyid yang dianggap sebagai bentuk feodalisme yang dikecam oleh agama Islam.

Kebencian Al Irsyad terhadap Sayid dicerminkan dari anggaran dasar organisasi tersebut yang mengemukakan bahwa seorang Sayid tidak boleh duduk di dalam kepengurusan.Hal itu bertentangan dengan organisasi Jamiatul Khair. Jamiatul Khair adalah organisasi yang memberikan kedudukan terhormat kepada golongan Sayyid (walaupun ada sebagian kalangan dalam Jamiatul Khair yang tidak demikian).

Al Irsyad itu sendiri berdiri dengan latar belakang adanya pihak yang tidak mau mengakui superioritas golongan Sayyid. Al Irsyad atau nama resminya Jamiat al Islam wal Irsyad al Arabia berdiri pada 1913 yang didirikan oleh golongan bukan Sayid. Berdirinya organisasi ini merupakan penanda dari perpecahan pada organisasi Jamiatul Khair.

Ketegangan antara Al Irsyad dan Jamiatul Khair berkembang dan meluas. Jamiatul Khair bahkan sampai mendesak Inggris agar melarang orang-orang Al Irsyad mengunjungi Hadramaut. Jamiatul Khair menuduh Al Irsyad tidak mau mengakui kekuasan Syarif Husein sebagai khalifah yang didukung oleh Inggris.

Jamiatul Khair juga mendesak Belanda agar mengambil tindakan terhadap para anggota Al Irsyad. Jamiatul Khair menuduh Al Irsyad sebagai pengikut kelompok Bolshevic.


ANTARA PARTAI KADER DAN PARTAI MASSA

Partai kader adalah partai yang mengutamakan dan memprioritaskan pengkaderan. Pengkaderan dilakukan melalui pendidikan politik yang bertujuan menghasilkan kader yang rasional dan berdisiplin teguh. Yang merupakan partai dengan kriteria ini antara lain adalah Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru).

PNI Baru sebagaimana Partai Indonesia (Partindo) merupakan organisasi yang lahir pasca dibubarkannya PNI oleh Mr. Sartono, menyusul penangkapan Sukarno oleh pemerintah Kolonial Belanda. Sedangkan Partindo merupakan partai yang lebih mengutamakan adanya aksi massa dalam jumlah yang besar melalui rapat-rapat politik. Menurut Sartono, yang merupakan tokoh Partindo, hanya dengan aksi massa sajalah Belanda akan gentar terhadap bangsa Indonesia.

Perbedaan keduanya dapat dilihat dari tabel berikut :

PARTINDO
PNI BARU
Merupakan partai massa

Merupakan partai kader

Mengutamakan aksi-aksi massa
Mengutamakan pendidikan politik

Bersifat non kooperasi

Bersifat non kooperasi

Menganggap PPPKI sebagai wadah persatuan

Menganggap PPPKI sebagai persatean

Surat kabar : Pikiran Rakyat

surat kabar : Daulat Rakyat
Soekarno dibuang ke Ende Flores dan Bengkulu→ Pancasila
Hatta & Syahrir dibuang ke Digul, Banda dan Sukabumi→ekonomi nasional/pasal 33


Hatta mengkritik konsep partai massa yang diwarisi Partindo dari PNI nya Sukarno. Menurut Hatta semata-mata agitasi politik tidak akan dapat merubah nasib rakyat Indonesia. Hatta mengemukakan bukti, bahwa seorang pemimpin kharismatik seperti Sukarno, yang dielu-elukan oleh massa rakyat dan memberikan tepuk tangan yang meriah tidak ada artinya.

Ketika pemimpin tersebut ditangkap, maka hilanglah harapan, pikiran, dan tindakan. Setelah iru massa rakyat kehilangan arah dan tidak tahu harus berbuat apa. Hal itu dikarenakan karena kesadaran politik masyarakat masih sangat rendah sebagai akibat dari minimnya pendidikan politik dan pengkaderan kepada massa rakyat.


ORGANISASI YANG PRO JEPANG DAN ORGANISAI YANG ANTI JEPANG ;
Gerindo merupakan organisasi yang becorak sosialistis dan bersikap anti terhadap Jepang. Menurut organisasi ini Jepang yang fasis dinilai lebih buruk dibandingkan dengan belanda. Sedangkan Parindra merupakan organisasi yang memiliki kecenderungan simpati terhadap Jepang. Menurut Parindra, bagaimanapun Jepang merupakan representasi dari Asia, dan Jepang dapat dijadikan sarana untuk memerdekakan Indonesia.


PARINDRA
GERINDO
Merupakan fusi antara Budi Utomo & PBI
Didirikan oleh A.K.Gani,M.Yamin
tujuan : mencapai Indonesia Raya & Mulia
Bersifat kooperatif
Memiliki wakil di Volksraad
Memiliki azas : nasional-demokrasi-kooperasi
Mendirikan Rukun Tani, Serikat pekerja, menganjurkan swadesi, mendirikan Bank Nasional Indonesia
Menerima keanggotaan dari kalangan indo, Cina, dan Arab
merupakan organisasi konservatif yang sekuler dan anti Islam
Menuntut parlemen penuh bai bangsa Indonesia

Memiliki simpati terhadap Jepang
Bersifat anti Fasis



ORGANISASI EKSLUSIF DAN ORGANISASI INKLUSIF

Organisasi yang ekslusif adalah organissi yang tertutup bagi kalangan di luar kriteria yang ditetapkan oleh  organisasi tersbeut. Misalnya adalah Budi Utomo sebelum tahun 1920-an. Pada saat itu Budi Utomo cenderung membatasi ruang lingkup dan perjuangannya hanya untuk kalangan Jawa saja.  Budi Utomo menarik anggota-anggotanya dari kalangan kaum bangsawan, kaum intelektual, dan pegawai-pegawai negeri dari berbagai tingkat yang biasanya disebut  dengan nama priyayi.

Unsur-unsur pegawai negeri itulah yang menyebabkan orientasi politiknya melunak, berkoperasi dengan kaum penjajah, seperti yang dikehendaki oleh kaum bangsawan. Sejak didirikannya, Budi Utomo tidak pernah menjadi organisasi massa, karena tidak pernah berhasil menarik rakyat kelas bawah ke dalam lingkungannya. Baru kemudian pada tahun 1920-an, unsur kaum muda di dalam Budi Utomo tampil ke muka, orientasinya menjadi lebih progresif.

Adapun Sarekat Islam merupakan contoh dari sebuah organisasi yang inklusif yang terbuka bagi semua kalangan. Di dalam Sarekat Islam terdapat HOS Cokroaminoto yang berasal dari Jawa Timur, sebelumnya ada H.Samanhudi, pendiri Sarekat Dagang Islam yang berasal dari Surakarta. Ada juga H. Agus Salim, The Grand Oldman, yang berasal dari Minangkabau dan Sangaji yang berasal dari Maluku.

Akan tetapi sifat terbuka dari Sarekat islam ini berbalik memukul Sarekat Islam. Memanfaatkan kelonggaran dan keterbukaan yang ada pada Sarekat islam, Snevliet berhasil menanamkan paham Komunisme yang dikemudian hari membelah organisasi tersebut menjadi Sarekat Islam Putih dan Sarekat Islam Merah.


ANTARA DOGMATISME DAN OPORTUNISME/PRAGMATISME

Polarisasi ini dapat dilihat dari tubuh Partai Komunis Indonesia. Dalam perkembangannya PKI mengalami perpecahan yang akut antara kelompok dogmatis dan kelompok pragmatis. Kelompok pertama adalah kelompok yang berorientasi kepada Komunisme Internasional (Komintern) yang berpusat di Moskow, Rusia. Kelompok ini selalu mengikuti titah dari Rusia bahkan lebih mengedepankan kepentingan Komunisme Internasional ketimbang kepentingan nasional bangsa Indonesia.

Dibawah kelompok ini bangsa Indonesia diletakkan di bawah kepentingan Rusia. Hal itu disebabkan kelompok ini menganggap bahwa kepentingan kelas harus diutamakan dibandingkan dengan kepentingan nasional dan sebagai konsekuensinya perjuangan kelas harus diprioritaskan ketimbang perjuangan nasional membebaskan diri dari penjajahan Belanda.

Sebaliknya kelompok pragmatisme di bawah tokohnya Tan Malaka menganggap bahwa dukungan Rusia tidak harus berarti menomorduakan kepentingan nasional. Tan Malaka berpendapat bahwa perjuangan nasional mengusir Belanda harus diutamakan daripaka perjuangan kelas, dan sebagai konsekuensinya harus diadakan kerjasama dengan kekuatan-kekuatan anti kolonial lainnya termasuk dari kalangan Pan Islam dan kelompok borjuasi nasional.


dogmatis
oportunis
tokoh ; semaoen,dharsono, Alimin, Muso
tokoh : Tan Malaka
internasionalis
nasionalis
tujuan : perjuangan kelas/revolusi kelas
tujuan : pembebasan nasional/revolusi nasional
anti pan islam

tidak anti pan islam



ANTARA ORGANISASI NASIONALISME DAN INTERNASIONALISME

Partai Politik yang menganut nasionalisme antara lain PNI, PI, Partindo, dan PNI Baru. Mereka bertujuan mewujudkan Indonesia merdeka dengan menjalankan politik non kooperasi dan dengan usaha sendiri (self help).
Adapun PKI merupakan organisasi yang bersifat internasional dengan menjadikan Rusia atau Komunis Internasional sebagi sumber referensi utama. Tujuan PKI bukan mendorong Indonesia yang merdeka dan berdaulat akan tetapi mewujudkan seuatu negara Soviet Indonesia yang tunduk kepada kemauan dari Rusia atau Komunis Internasional.

Dalam rangka itulah tidak mengherankan apabila golongan komunis mau bekerjasama dengan Belanda, seperti yang dilakukan oleh Amir Syarifudin yang menerima 25 ribu gulden dari Van der Plas dalam rangka melakukan politik bawah tanah untuk melawan Jepang.












REFERENSI :


Bernhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemedekaan, Jakarta : LP3ES, 1987

B.J.Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, Jakarta : Grafiti press, 1985

Deliar Noer, Gerakan Islam Modern di Indonesia 1900-1942, Jakarta : LP3ES, 1982

Kuntowijoyo,Paradigma Islam, Bandung : Mizan, 1999

Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Baru : Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme II, Jakarta : Gramedia, 1990








Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN

STATUS OBJEKTIF DAN STATUS SUBJEKTIF

TAWURAN SEBAGAI SUATU GEJALA SOSIAL (ANALISIS SOSIOLOGIS KONFLIK SOSIAL DI PERKOTAAN)