MARHAENISME


MARHAENISME


PENGANTAR

Marhaenisme merupakan landasan filsafat dari Partai Nasional Indonesia, yang didirikan oleh Sukarno dan kawan-kawan seperjuangannya pada 4 Juli 1927. Marhaenisme menurut rumusan Sukarno adalah asas dan cara perjuangan menuju kepada hilangnya kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme. Marhaenisme kemudian berkembang menjadi suatu “ideologi’ yang berakar dan mendpaat dukungan luas dalam masyarakat pendukungnya, sekaligus menjadi identitas PNI.

Marhaenisme merupakan buah pemikiran Sukarno yang kemudian dijadikan sebagai landasan filsafat Partai Nasional Indonesia yang didirikannya pada tahun 1927. Marhaenisme merujuk kepada golongan sosial di Indonesia yang hidup miskin akan tetapi masih memiliki sejumlah alat produksi yang sederhana seperti peralatan untuk bercocok tanah.

Istilah Marhaenisme ditemukan oleh Sukarno ketika Ia berbincang-bincang dengan seorang petani di salah satu pegunungan di di wilayah Kiduleun Cigerelang, Jawa Barat yang bernama Marhaen. Ia merupakan seorang petani miskin, akan tetapi masih memiliki sejumlah peralatan untuk melakukan kegiatan bercocoktanamnya. Bajak yang dimilikinya, cangkul, sekop yang digunakannya, semuanya adalah milik pribadinya.

Demikian pula dengan hasil produksinya, yang kurang dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, semuanya digunakan untuk kehidupannya sehari-hari dan tidak ada sisa sedikit pun untuk dijual. Artinya kegiatan pertanian yang diusahakannya tidak dalam rangka mencari keuntungan. Petani itu tidak bekerja pada orang lain dan juga tidak mempekerjakan orang lain dalam ladang pertaniannya.

Selanjutnya Sukarno menyebutkan bahwa hampir semua rakyat Indonesia dikategorikan sebagai  golongan Marhaen seperti petani, nelayan, pegawai yang miskin, tukang warung yang miskin, supir, tukang gerobak, dan lain sebagainya. Marhaen menurut Sukarno adalah mereka yang ketika era pra kolonial menjadi korban dari sistem feodal dan ketika masa kolonial, dieksploitasi oleh imperialisme perdagangan Belanda.

Sukarno menggunakan istilah Marhaen untuk menyebut segenap masyarakat Indonesia, jadi istilah Marhaen berbeda dengan proletar atau murba yang digunakan oleh Tan Malaka. Murba merupakan konseptual yang didasarkan atas analisis kelas.

Murba adalah golongan miskin Indonesia yang tertindas oleh golongan borjuis sebagai pemilik alat produksi. Konsep Marhaen Sukarno tidak didasarkan atas analisis kelas. Dalam sidang pengadilan yang mengadili Sukarno di Bandung tahun 1930, dengan tegas Sukarno menyatakan keinginannya untuk bekerjasama dengan kaum borjuis nasional. Tetapi karena kaum borjuis masih belum memiliki kekuasaan, maka pergerakan pertama-tama ditujukan kepada massa.

Dengan demikian konsep Marhaen bersifat lintas kelas, Sukarno menyebut Marhaen sebagai istilah untuk menyebut seluruh rakyat Indonesia yang menajdi korban penjajahan Belanda dan Sukarno menyatakan dirinya sebagai juru bicara dari golongan Marhaen yang notabene adalah seluruh rakyat Indonesia tersebut.

Menurut Sukarno munculnya golongan Marhaen ini disebabkan oleh adanya eksploitasi yang dilakukan oleh imperialisme Belanda. Imperalisme Belanda berbeda dengan imperialisme Inggris. Imperialisme Inggris di India adalah imperalisme dagang.

Penjajahan Inggris di india bermaksud agar rakyat India digunakan untuk membeli produk-produk buatan pabrik dari Inggris. Dalam rangka itulah Inggris kemudian mengadakan pendidikan bagi bangsa India. Tujuannya agar rakyat India tidak terlalu miskin dan dapat membeli barang-barang yang diproduksi oleh imperialisme Inggris.

Imperialisme Belanda menurut Sukarno merupakan finance –capital imperialism. Belanda berusaha terusmenerus mengeksploitasi rakyat Indonesia dan kekayaan alam Indonesia tanpa berupaya memperbaiki nasib bangsa Indonesia. Orang-orang Indonesia yang bekerja di pabrik-pabrik dan perkebunan Belanda dibiarkan tetap miskin dan tidak diperbolehkan memiliki pendapatan yang memadai dan mencukupi kebutuhan hidupnya.

Mereka juga tidak diberikan kecerdasan dengan menempuh pendidikan di sekolah. Hal itulah yang menjadikan rakyat Indonesia selalu menjadi miskin dan selalu tergantung nasibnya.


MARHAENISME DAN MARXISME

Konsep Marhaenisme digunakan oleh Sukarno sebagai alternatif dari konsep Marxian mengenai golongan miskin yang tereksploitasi dan tertindas, yaitu golongan proletar. Menurut Sukarno, Proletar adalah orang yang menjual tenaganya kepada orang lain, dengan tidak ikut memiliki alat-alat produksi.
Proletar adalah buruh, dengan tidak ikut memiliki alat-alat produksi. 

Selanjutnya menurut Sukarno, tidak semua rakyat Indonesia yang berjumlah puluhan juta adalah golongan proletar yang tidak memiliki alat-alat produksi. Bahkan banyak diantara orang-orang Indonesia yang tidak menjualnya kepada orang lain.

Menurut Sukarno, golongan proletar sejati tidak ada di Indonesia, karena semiskin-miskinnya petani di Indonesia minimal masih memiliki sejumlah kekayaan yang membantunya dalam melakukan aktifitas usahanya.

Mengacu kepada konsep Marhaenisme, Sukarno kemudian berupaya untuk melakukan modifikasi dan revisi terhadap Marxisme. Marxisme menurut Sukarno harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi empirik di Indonesia agar dapat digunakan untuk menghancurkan Kapitalisme. Revisi yang dilakukan oleh Sukarno terhadap Marxisme antara lain didasarkan atas hal berikut :

1.proletar sejati tidak ada di Indonesia

2.Sukarno menentang keras gagasan pertentangan dan perjuangan kelas (class struggle) dan lebih cenderung kepada perjuangan nasional

3.Sukarno menentang konsepsi Materialisme Historis yang bersifat ateistik

4. Sukarno menghendaki agar universalisme tidak dilepaskan dari nasionalisme

Pernyataan tersebut menunjukkan walaupun Sukarno mengartikan Marhaenisme adalah Marxisme ynag diterapkan dalam kondisi Indonesia, namun Marxisme tidak diserap sepenuhnya dalam gagasan Marhaenisme. Bagi Sukarno, Marxisme memang memberikan jaminan kemenangan ; karena itu menempati kedudukan sentral dalam Marhaenismenya. 

NamunMarxisme dianggap  hanya merupakan salah satu unsur saja dari Marhaenisme; diseputarnya dihimpun unsur-unsur lain-nasionalisme, kepercayaan pada Allah, perjuangan menuju persatuan total-dan semua gagasan-gagasan itu masing-masing pada dasarnya adalah anti-Marxis.
Tetapi bagi Sukarno hal itu tidak merupakan penghalang, karena dalam istilah Marhaenisme ia telah menemukan suatu sintesis baru, sebagaimana sebelumnya ia telah menemukannya di dalam “Nasionalisme ketimuran”. 

Pada bulan Maret 1933, dalam tulisannya untuk memperingati tahun ke-50 meninggalnya Karl Marx, ia mengungkapkan sintesa sebagai berikut :

“Nasionalisme di dunia Timur itu lantas “berkawinlah” dengan Marxisme itu, menjadi  satu nasionalisme baru…nasionalisme baru inilah yang kini hidup di kalangan rakyat Marhaen Indonesia”. (Dahm, 1987)

 Dengan demikian Marhaenisme menurut Sukarno memiliki ciri sebagai berikut :
-tidak anti agama

-menolak perjuangan kelas

-tidak memiliki konsep proletar

-mendorong persatuan

-anti imperialisme

-merupakan Marxisme yang diterapkan di indonesia

Dalam sebuah kongres Partai Indonesia yang diselenggarakan pada bulan Juli 1933 konsep Marhaenisme dijabarkan lebih lanjut melalui sembilan tesis yang menjadi rujukan Partindo. Kesembilan tesis tersebut adalah :

1.Marhaenisme, yaitu sosio-nasionalisme dan sosio demokrasi ;
Konsep Marhaenisme Sukarno didasarkan atas asas sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Dalam sebuah artikel yang ditulis ketika Sukarno memasuki Partai Indonesia, ia memperingatkan kaum Marhaen untuk tidak meniru demokrasi yang diterapkan di luar negeri, bentuk demokrasi yang sedang dipropagandakan di mana-mana.

Demokrasi seperti itu tidak menjamin kesejahteraan kaum Marhaen, karena itu ia hanya memberikan hak-hak politik, sementara di bidang ekonomi massa akan terus serba kekurangan.

2. Marhaen, yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain

3.Partindo memakai perkataan Marhaen, dan tidak proletar, oleh karena perkataan proletar sudah termaktub di dalam perkataan Marhaen, dan karena perkataan proletar itu bisa juga diartikan bahwa kaum tani dan lain-lain kaum melarat tidak termaktub di dalamnya

4.Karena Partindo berkeyakinan, bahwa di dalam perjuangan, kaum melarat Indonesia lain-lain itu harus menjadi elemen-elemennya (bagian-bagiannya), maka Partindo memakai Marhaen itu.

5.Di dalam perjuangan Marhaen itu, Partindo berkeyakinan, bahwa kaum proletar mangambil bagian yang besar sekali.

6.Marhaenisme adalah asa yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan Marhaen.
7.Marhaenisme adalah pula cara perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang karenanya, harus suatu cara perjuangan yang revolusioner

8.Jadi Marhaenisme adalah : cara-perjuangan dan asas yang menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme.
9.Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia, yang menjalankan Marhaenisme.(Dahm, 1987)


REKONSTRUKSI MARHAENISME : KE TENGAH

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, gagasan Marhaenisme tidak begitu dikemukakan dan belum menjadi wacana dalam politik Indonesia. Walaupun Sukarno menghidupkan kembali Partai Nasional Indonesia  melalui keputusan tanggal 22 Agustus 194, namun Sukarno tidak menitikberatkan peratiannya pada pengembangan gagasan Marhaenisme.

 PNI sendiri kemudian gagal menjadi Partai Negara (Staat Partij) setelah Hatta dengan dukungan Sutan Syahrir mengeluarkan Maklumat 3 November 1945 yang mendorong munculnya partai-partai politik.

Kemunculan parta-partai politik yang menyusul maklumat tersebut telah mendorong terjadinya kontestasi dan persaingan politik yang sengit diantara partai-partai politi baik di dalam parlemen maupun di luar parlemen.
Kedatangan kembali Belanda dengan menumpang Inggris yang kemudian disusul dengan perjuangan bersenjata dan kegiatan diplomasi untuk mempertahankan kemerdekaan juga tidak memberikan ruang yang cukup bagi pengembangan diskursus mengenai Marhaenisme.

Baru di era 1950-an, setelah pengakuan kedaulatan berhasil didapatkan, wacana pengembangan Marhaenisme kembali mengemuka. Pada Desember 1952, PNI merumuskan kembali ideologi Marhaenisme dalam sebuah manifesto yang dikenal dengan nama Manifesto Marhaenisme.

Manifesto ini menekankan kembali penekanan terhadap sikap antikolonialisme ekonomi dan dukungan bagi pengusaha nasional. Implementasinya adalah dilakukannya penghapusan pengaruh asing bukan saja dalam perekonomian tetapi juga dalam segi-segi kehidupan nasional lainnya.

Manifesto Marhaenisme ini memberikan penjelasan yang lebih rinci tentang ideologi partai. Penjelasan itu dimulai dengan kecaman terhadap masyarakat kolonial dengan menunjuk pada politik kolonial Belanda dan Jepang pada masa yang silam, yang menggunakan unsur-unsur bangsawan untuk mengawasi dan menindas kaum tani dan buruh sehingga tidak saja melahirkan penderitaan tetapi juga menciptakan perpecahan yang mendalam pada masyarakat Indonesia

Manifesto Marhaenisme ini juga membagi masyarakat Indonesia pasca kolonial menjadi beberapa kelompok :

-2 % penduduk yang hidup makmur di puncak

-7 % penduduk yang hidup berkecukupan

-91 % lainnya adalah petani miskin, pedagang kecil, buruh, dan pegawai negeri rendahan yang hidup dalam kemiskinan yang papa.

Mayoritas penduduk yang miskin ini adalah rakyat Marhaen. Mereka yang berjuang untuk memperbaiki nasib kaum Marhaenis terlepas dari kedudukan sosial mereka adalah kaum Marhaenis.

 “Keteguhan rakyat kita.., selanjutnya bunyi manifesto tersebut,.. harus dipergunakan sebagai kekuatan pendorong untuk tercapainya masyarakat Marhaenis.

Rekontruksi Marhaenisme pada saat itu cenderung berupaya memisahkan antara Marhaenisme dengan Marxisme. Walaupun Sukarno menegaskan bahwa Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan dalam kondisi khas Indonesia, namun sebagaimana yang dinyatakan oleh Sayuti Melik, Marhaenisme tidak bisa didasarkan pada Marxisme.

Demikian pula tokoh senior PNI, Sartono. Sartono menyatakan bahwa PNI tidak bisa menerima Marxisme karena sifatnya yang anti agama dan akan membawa Indonesia menjadi masyarakat diktator. Para tokoh PNI saat itu melihat Marxisme hanya sebagai sebuah pisau analisa belaka dan bukan sebagai pandangan hidup


PERKEMBANGAN KONSEP MARHAENISME : KEKIRI

Ketika kepemimpinan PNI dikuasai oleh Ali Sastroamijoyo dan Surahman, interpretasi mengenai Marhaenisme mengalami pergeseran. Kedua tokoh tersebut berupaya membawa Marhaenisme menjadi lebih dekat dengan Marxisme. Pada era kepemimpinan Ali Sastroamijoyo, Marxisme kembali dianggap sebagai landasan atau dasar bagi Marhaenisme.

Kecenderungan Ali yang semakin bergerak ke kiri ini terlihat ketika Ali berpidato pada rapat umum yang merupakan bagian dari mata acara perayaan ulang tahun PNI ke-36, pada 7 Juli 1963. Ali menganut batasan yang dibuat oleh Sukarno, yakni Marhaenisme adalah doktrin dan program perjuangan berdasarkan sosialisme ilmiah yang dikembangkan di Indonesia. Tujuannya adalah membentuk sosialisme yang disesuaikan dnegan identitas nasional dan keadaan-keadaan sosial-ekonomi Indonesia.

Selanjutnya Ali mengutarakan :

“…Doktrin ini dan program perjuangan yang berdasarkan sosialisme ilmiah lebih jauh didasarkan pada sosialisme Marxis, karena hanya setelah Marx sosialisme ilmiah dikembangkan”. (Rocamora, 1991)

Pergerakan PNI ke kiri itu dilatarbelakangi oleh adanya situasi politik, di mana PNI di bawah kepemimpinan Ali Sastroamidjojo dan Surahman yang kemudian dikenal dengan nama PNI ASU memulai kembali aliansi politik dengan PKI.
Surahman sendiri seringkali dianggap sebagai tokoh kiri yang dicurigai disusupkan ke dalam tubuh PNI. 

Pergerakan elit PNI kekiri makin kuat ketika pada 4 Agustus 1965 sejumlah pimpinan PNI dari sayap kanan dipecat dari keanggotaan partai, diantaranya adalah Hardi dan Osa Maliki.

Peristiwa pembersihan sayap kanan oleh sayap kiri PNI ini merupakan pembersihan besar-besaran pertama dalam sejarah PNI, yang merupakan puncak pertikaian panjang antara keduanya. Kelompok sayap kanan PNI kemudian berusaha melawan dan menganggap kerjasama pimpinan pusat PNI dengan PKI merupakan penghianatan terhadap partai di daerah yang selama ini selalu mendapatkan tekanan dari PKI. Konflik di internal PNI antara sayap kiri dan sayap kanan tersebut kemudian mengundang intervensi dari kekuatan luar partai.

Kedekatan Sukarno dengan PKI di masa Demokrasi Terpimpin juga menjadi faktor yang memperkuat kelompok sayap  kiri di tubuh PNI. Presiden Sukarno mendorong kelompok sayap kiri PNI untuk terus melakukan pembersihan terhadap kelompok sayap kanan PNI. 

Dalam salah satu forum pengkaderan PNI, Sukarno menyampaikan pidato yang menyerang Marhaenis gadungan dan mendesak partai untuk memecatnya. Pada bulan Mei 1965 Ia menggambarkan Marhaenis gadungan sebagai orang yang plintat-plintut, Nasakom-phobie, kapitalis besar, dan tuan tanah feodal.


PERKEMBANGAN KONSEP MARHAENISME : KE KANAN

Pada tahun 1966 dan 1967 Angkatan Darat melakukan pembersihan terhadap PNI dengan alasan PKI telah melakukan penyusupan ke dalam pimpinan PNI. Kelompok sayap kiri dalam PNI yang dikenal dengan nama PNI ASU dibesihkan dari jajaran pimpinan PNI. Atas dukungan penguasa Orde Baru, Osa Maliki dan Usep Ranuwijaya yang berasal dari sayap kanan kemudian memimpin PNI pada masa selanjutnya.

Dibawah kepemimpinan  baru, PNI kemudian melakukan rekonstruksi ulang mengenai Marhaenisme. Hal itu dilakukan untuk menyesuaikan PNI dengan situasi dan kondisi baru di bawah pemerintahan Orde Baru.

Marhaenisme saat itu dilepaskan lagi dari unsur-unsur Marxisme. Marxisme dan Leninisme pada masa Orde Baru sudah dianggap sebagai ideologi terlarang yang dilarang penyebarannya di kalangan masyarakat.

Marhaenisme pada akhirnya hanya tinggal menjadi sebuah kenangan historis ketika pemerintah Orde Baru--dalam rangka menghapus politik aliran—memaksa semua partai politik untuk hanya menggunakan asas Pancasila. 

Kebijakkan yang dikenal dengan nama Asas Tunggal tersebut menjadikan Marhaenisme semakin tidak populer dan hanya menjadi sekedar simbolik-historis belaka.


PERKEMBANGAN KONSEP MARHAENISME PADA MASA SELANJUTNYA : TIDAK JELAS

Pasca tumbangnya pemerintahan Orde Baru, kebijakkan Asas Tunggal dihapuskan. Perubahan tersebut dimanfaatkan oleh sejumlah partai politik, baik kiri maupun kanan untuk menghidupkan kembali politik aliran, yang sepanjang Orde Baru telah diberangus dan dilarang.

Masa Reformasi ditandai oleh bermunculannya sejumlah partai yang mengklaim sebagai pewaris tradisi Sukarno, antara lain, PDI Perjuangan, Partai Nasional Banteng Kemerdekaan, dan sejumlah partai lainnya. Akan tetapi, walaupun keterbukaan politik sudah terjadi, namun gagasan Marhaenisme tetap menjadi sesuatu yang simbolik.

Wacana rekontruksi konsep Marhaenisme relatif minim dan jarang muncul ke ruang publik. Marhaenisme saat ini belum mengalami revitalisasi dan makin kehilangan konteksnya di tengah praktek politik yang semakin pragmatis dan kegiatan ekonomi yang semakin kapitalistik. Praktek politik pada masa Reformasi cenderung mengarah kepada pragmatisme ektrem yang bersifat transaksional.

Praktek yang demikian ujung-ujungnya adalah pembagian kekuasaan diantara partai-partai politik dan kekuatan politik yang ada. Ideologi pada saat ini sekedar simbolis untuk memberikan citra pada partai politik yang ada dan menarik dukungan dari massa rakyat yang umumnya awam politik.









REFERENSI :

Bernhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemedekaan, Jakarta : LP3ES, 1987

Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Yogyakarta : Media Presindo, 2014

Herbert Feith (ed), Pemikiran Politik Indonesia, Jakarta : LP3ES, 1988

J.Eliseo Rocamora, Nasionalisme Mencari Ideologi, Bangkit dan Runtuhnya PNI, 1946-1965, Jakarta : Grafiti, 1991

Manuel Kaisiepo, Partai Demokrasi Indonesia, Perjuangan Mencari Identitas, dalam Analisa Kekuatan Politik di Indonesia, Jakarta : LP3ES, 1991






Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN

STATUS OBJEKTIF DAN STATUS SUBJEKTIF

TAWURAN SEBAGAI SUATU GEJALA SOSIAL (ANALISIS SOSIOLOGIS KONFLIK SOSIAL DI PERKOTAAN)