AKAR PEMIKIRAN FUNDAMENTALISME
AKAR
PEMIKIRAN FUNDAMENTALISME
PENGANTAR
Munculnya gerakan fundamentalisme di berbagai tempat dapat
dinyatakan sebagai konsekuensi logis dari berkembangnya krisis yang begitu
mendalam di kalangan masyarakat. Rezim dan ideologi sekuler pun ikut ambil
bagian dalam menciptakan sejumlah problem yang amat serius di sejumlah
masyarakat dan dunia Islam.
Sejak Mesir berada di bawah kekuasaan Nasser selama
beberapa dasawarsa, hingga Irak di bawah pemerintahan Saddam Husein, proyek
nasionalis sekuler telah meninggalkan bekas yang tidak terkirakan pada
masyarakat di sejumlah negara tertentu, bahkan mengancam keamanan dan
kesejahteraan beberapa negara di luar negara-negara tersebut.
Fundamentalisme Islam sering dikaitkan dengan Islam politik
atau Islamisme dalam lingkup regional dan global yang lebih luas, baik di masa
lalu maupun masa kini.
Munculnya fundamentalisme di dalam dunia Islam salah
satunya diakibatkan oleh kegagalan proyek-proyek sekuler nasional dalam
memberikan janji kemerdekaan dari pemerintahan kolonial sejak 1950-an.
Dijelaskan juga, perasaan frustasi kalangan muda dan
generasi terdidik muncul bersamaan dengan kurangnya partisipasi politik dan
minimnya kesempatan-kesempatan bagi mobilisasi ekonomi dan sosial di kalangan
masyarakat negara-negara tersebut.
Kegagalan pemerintah dan ideologi nasionalis sekuler juga
berkaitan secara erat dengan konteks Timur Tengah, berupa serangan yang kembali
dilancarkan oleh Israel yang mendapatkan dukungan secara total dari Amerika
Serikat dan negara-negara Barat yang selama ini dikenal sebagai negara-negara
demokrasi liberal.
Hal itu mengakibatkan jatuhnya kredibilitas moral ide-ide
liberal tentang demokrasi dan hak-hak asasi manusia, yang dipahami sebagai
nilai-nilai Barat.
Bersamaan dengan itu, teori ideologi Marrxis dan sosialis
tampak mulai tersingkirkan dan prakteknya mulai ditinggalkan oleh para pengikutnya di Uni Soviet dan Eropa
Timur.
Lambat laun kaum fundamentalisme dapat menghadirkan
pandangan-pandangan mereka tentang alternatif Islam sebagai satu-satunya
ideologi yang sah, dan karenanya “murni” bagi kaum muslimin di mana pun
tempatnya.
Dengan menggunakan legitimasi agama yang ekslusif, mereka
mengajukan pertanyaan ; mengapa masyarakat islam gagal mewujudkan identitas
Islam dan implementasi Syariah sebagai jalan hidup yang telah ditetapkan oleh
Tuhan, padahal umat Islam telah mendapatkan kemerdekaan sejak beberapa dekade
yang lalu ? Tidakkah al Qur`an menyebut orang yang mengabaikan perintah Tuhan
sebagai orang kafir dan murtad ?
Fundamentalisme Islam lahir dikarenakan kegagalan
liberalisme dan sosialisme dalam mencapai tujuannya di negara-negara
muslim.Sebagai dampaknya, banyak kemarahan di kalangan Islam yang ditujukan
kepada Barat
Gerakan ini bisa menjadi sarana untuk melepaskan kebencian
dan rasa frustasi yang meningkat setelah kegagalan dalam menggunakan obat ajaib
dalam bidang ekonomi dan politik yang berasal dari luar dan dalam negeri.
Sebagaimana yang telah berlangsung selama beberapa dasawarsa sebelumnya, di
Timur Tengah, baik Kapitalisme maupun Sosialisme telah diterapkan dan berakhir
dengan kegagalan.
Kemunduran Pan Arabisme membuat Islam “fundamentalis”
menjadi alternatif yang paling menarik bagi semua orang yang merasakan bahwa
tidak ada sesuatu yang lebih baik, lebih benar, dan lebih menjanjikan dibanding
mengusir tirani dan ideologi busuk yang memerintah mereka yang berasal dari
luar negeri mereka.
Akibatnya muncul kemarahan di kalangan umat Islam kepada
negara-negara Barat yang dianggap sebagai pengekspor ideologi-ideologi
pembangunan tersebut.
Sebagai alternatifnya, fundamentalisme menawarkan slogan,
tema, dan simbol yang sangat familiar dan efektif dalam memobilisir dukungan
dan merumuskan kritik atas ideologi yang berkembang, serta menawarkan solusi
yang benar sesuai dengan ajaran Islam. Slogan Al Islam Huwal Hal atau Islam adalah solusi merupakan slogan yang
banyak disuarakan oleh kalangan tersebut.
Gerakan fundamentalisme yang menyulut api militansi,
kekerasan, dan terorisme, secara kategoris berhubungan dengan sejarah,
ideologi, amsalah struktural, identitas, bahkan dengan pergeseran geostrategis
dan politik global seiring dengan menguatnya arus globalisasi.
Karena itu wacana jihad yang kerpa didengungkan oleh
gerakan-gerakan fundamentalisme hendaknya tidak dibaca sebagai ekspresi
fanatisme keagamaan belaka dan dikaitkan secara ekslusif dengan aksi-aksi
irasionalitas sekelompok individu yang digerakkan oleh kepercayaan membabi buta
terhadap doktrin-doktrin tertentu dalam Islam.
Jihad modern lebih
merupakan bahasa protes yang bisa digunakan oleh individu-individu yang
terpinggirkan dalam arus deras modernisasi dan globalisasi untuk membangun
posisi tawar di ruang publik. Bagi mereka, jihad merupakan pesan yang
dismapaikan sebagai upaya mentransformasikan diri dan memberdayakan posisi
serta mendobrak rasa kecewa yang membayang-bayangi masa depan mereka.
Pemikiran
Ibnu Taymiyyah, akar fundamentalisme Islam
Ibnu Taymiyyah merupakan figur dan sosok yang
kontroversial. Buah pemikirannya mewarnai dialektika dan wacana pemikiran di
dunia Islam sampai di era modern belakangan.
Pemikiran Ibnu Taymiyyah banyak dikutip oleh berbagai pihak
yang bertentangan sekalipun, baik dari kalangan fundamentalis, Puritanis,
Revivalis, modernis atau bahkan kalangan Liberalis. Kalangan fundamentalis dan
revivalis terinspirasi untuk mendirikan negara Islam dan penegakkan syariat
Islam/formalisasi syariat Islam dengan menjadikan pemikiran Ibnu Taymiyyah
sebagai rujukannya.
Kontroversi pemikiran Ibnu Taymiyyah disebabkan arena
Ia banyak sekali memproduksi
pemikirannya melakuk sejumlah karyanya yang fenomenal. Pemikiran Ibnu Taymiyyah
tersebar dalam banyak karya tulisannya seperti Majmu Fatawa yang berisi
kumpulan fatwa Ibnu Taymiyyah, Siyasah
Syariah dan Minhaj al Sunnah.
Pada abad 13 M, konflik keagamaan terjadi dengan Ibnu
Taymiyyah sebagai figur utamanya. Pada masanya Ibnu Taymiyyah merupakan figur
yang kontroversial. Ia menyusun banyak sekali pemikiran yang tersebar dalam
berbagai kitab karangannya diantaranya Majmu Fatawa, Siyasah Syariyyah dan
Minhajussunnah.Pemikiran-pemikiran Ibnu Taymiyyah tersebut memancing terjadinya
konflik dengan banyak kalangan termasuk penguasa Syam saat itu yang dipegang
oleh kelompok Mamluk.
Pemikiran Ibnu Taymiyyah pada masa-masa berikutnya terutama
pada masa modern telah turut menyumbang terjadinya konflik sectarian di dunia
Islam terutama Timur Tengah. Pemikiran Ibnu Taymiyyah bersifat fundamentalis,
Puritanis dan revivalis. Ibnu Taymiyyah memimpikan terwujudnya tatanan
keagamaan seperti yang pernah terjadi pada masa Salafussalih /generasi Islamawal, pada abad 1-3 H.
Ajaran Ibnu Taymiyyah menginginkan ummat Islam hanya
berpedoman kepada al Qur’an dan Hadits yang dianggap Shahih saja dan meninggalkan
rasionalisme dan sufisme. Pemikirannya secara metodologis bersifat literalis,
skriptualis dan doktriner. Sebagai konsekuensinya Ibnu Taymiyyah mengecam
berbagai bentuk pemikiran keagamaan dan ritual keagamaan yang didasarkan atas
rasionalisme/Qiyas, tabaruk (meminta
berkah) dan tawasul (perantara).
Wahabisme
dan kelanjutan fundamentalisme Islam
Muhammad Bin Abdul Wahhab merupakan figur kharismatik abad
18 M yang memiliki kesamaan pandangan dengan gagasan pemikiran Ibnu Taymiyyah.
Ajarannya oleh para sarjana Barat diistilahkan dengan Wahabisme, walapun
istilah ini ditolak oleh para pengikutnya. Mereka lebih suka dengan sebutan
muwahiddu (orang-orang yang bertauhid) atau Salayyyun (pengikut golongan
Salaf).
Kemunculan Wahabisme dilatarbelakangi oleh faktor internal
dan eksternal. Faktor internalnya adalah
keprihatinan Muhammad bin Abdul Wahhab melihat perilaku bid’ah dan tahayul yang marak terjadi di Najd dan sekitarnya. Merespon
hal tersebut Muhammad bin Abdul Wahhab akhirnya menyerukan semangat pemurnian
Islam sesuai dengan pemahaman tekstual dan kaku terhadap al Qur’an dan Hadits.
Sedangkan faktor eksternalnya adalah dorongan kepentingan kolonialisme.
Negara-negara kolonialisme Barat terutama Inggris ingin
merebut wilayah kekuasaan Turki yang terbentang dari Afrika Utara sampai Teluk
Persia, termasuk jazirah Arabia. Untuk melemahkan Turki, Inggris kemudian
melakukan pendekatan terhadap sejumlah kekuatan regional di kawasan Arab
termasuk di kawasan Arabia.
Ketika itu kekuatan yang sedang naik daun adalah Ibnu Suud
yang didukung oleh ulama-ulama Wahabiyyah. Kerjasama antara Inggris dan Ibnu
Suud yang didukung oleh kelompok Wahabbi inilah yang kemudian memunculkan
negara Saudi Arabiya yang secara resmi menganut Wahabisme.
Faktor eksternal lainnya yang mendorong munculnya Wahabisme
adalah adanya alienasi atau keterasingan yang dialami oleh kalangan badui di
kawasan gurun Arabiya Tengah akibat proses modernisasi yang terjadi di kawasan
tersebut. Mereka merasa asing dengan situasi baru yang muncul akibat proses
modernisasi.
Oleh karena itu mereka kemudian berupaya memberikan makna
baru terhadap situasi tersebut dan kemudian berupaya menarik diri dari proses
modernisasi. Modernisme juga telah menambah kompleksitas tatanan sosial dan
ekonomi, sehingga masyarakat-masyarakat tradisional yang berjuang untuk
berkembang menjadi modern merasa semakin teralienasi.
Bentuk alienasi itu terefleksi secara berbeda antara satu
tempat dengan tempat lainnya. Di Turki, gerakan Kemalis menanggapinya dengan
mencoba melancarkan westernisasi dan sebisa mungkin menjauh dari Islam.Yang
lain, sembari menampik budaya Barat, mencoba mempertemukan Islam dan modernisme
dengan menekankan pada pemikiran ilmiah dan rasional sepenuhnya sesuai dengan
etika Islam.
Gerakan Wahabi merespon kekuatan modernitas dengan
mengacaukan keseimbangan. Kaum Wahabi ditengah situasi anomik tersebut kemudian
berusaha melekatkan diri pada teks-teks Islam secara literalis untuk
mendapatkan rasa kepastian dan kenyamanan.Seolah dengan berlindung dibalik teks
mereka dapat melindungi dirinya dari ancaman modernitas dengan memaksa teks-teks keagamaan untuk
menyediakan jawaban-jawaban yang defenitif dan tak bisa diperdebatkan mengenai
persoalan-persoalan individual maupun sosial.
Sayyid
Qutb dan Fundamentalisme
Fundamentalisme Islam tidak dapat dilepaskan dari figur
Sayyid Qutb. Sayyid Qutb merupakan salah satu tokoh sentral Ikhwanul
Muslimun.beliau dihukum mati oleh pemerintahan nasser pada tahun 1966 bersama
sejumlah rekannya seperti Abdul Qadir Audah dan Muhammad Firghili.
Berkembangnya pemikiran Sayyid Qutb menjadi seorang
fundamentalis didorong oleh Perjalanan Sayyid Qutb ke Amerika Serikat. Di
Amerika Sayyid Qutb mengamati kehidupan masyarakat Amerika yang materialis dan
sekuler serta kering dari unsur kerohanian.
Banyaknya gereja yang ada di sanapun tidak selalu
dihubungkan dengan kesadaran beragama. Karena gereja di Amerika beroperasi
layaknya sebuah bisnis,berkompetisi untuk mendapatkan klien dan beroperasi
dengan metode yang sama dengan bioskop dan toko untuk menarik minat pelanggan
dan penggemarnya.Untuk menarik jamaah, gereja mengadakan pertunjukkan dansa,
pesta dan seks.
Pada tahun 1964 Sayyid Qutb menerbitkan bukunya yang
fenomenal,yang menjadi magnum opus bagi gerakan fundamentalisme di seluruh
dunia yaitu Ma’alim Fit-thoriq (Petunjuk jalan). Buku itu berisi tentang
pandangan oposisi biner antara Islam dan Jahiliyyah. Menurut Qutb dalam bukunya
tersebut, semua pemerintahan dan masyarakat yang tidak mengambil Al Qur`an dan
Hadits sebagai hukum merupakan negara dan masyarakat jahiliyyah.
Konsep sentral yang dikemukakan oleh Qutb dalam Ma`alim fit
Thoriq adalah konsep Hakimiyyah. Konsep ini merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari ajaran tauhid atau pemurnian ajaran yang dikonseptualisasikan dengan
salah satu pilar keimanan umat Islam (Tauhid Hakimiyyah).
Konsep ini menegaskan tentang kekuasaan dan kedaulatan
Tuhan dalam hukum. Karena itulah, penguasa dan mereka yang menolak hukum Allah
berarti telah jatuh kepada kekafiran dan memerangi mereka adalah suatu
kewajiban yang harus diprioritaskan. Paham inilah yang dikemudian hari
mengembangkan pandangan atau paham takfiri yang cenderung mudah dalam
mengkafirkan orang dan umat Islam.
Sayyid Qutb akhirnya ditahan oleh rezim nasionalis sekuler
Mesir setelah Ikhwanul Muslimin berseberangan jalan dengan kelompok perwira
bebas pimpinan Nasser. Setelah ditangkap Sayyid Qutb dan anggota Ikhwan lainnya
mengalami serangkaian penyiksaan.
Sempat dilepaskan, Qutb kemudian kembali dijebloskan ke
dalam penjara. Sayyid Qutb ditangkap berkali-kali, dan pada penangkapannya yang
terakhir Sayyid Qutb mengalami penyikasaan yang sangat hebat dari penguasa
penjara militer.
Sayyid Qutb kemudian dijatuhi hukuman mati oleh rezim
Nasser tahun 1966 beserta beberapa orang rekannya. Kondisi inilah yang mengakibatkan gagasan Sayyid Qutb menjadi
landasan utama kelompok fundamentalis. Sayyid Qutb dianggap sebagai figur
sempurna yang telah menjadi martir atau telah mencapai syahid.
REFERENSI
:
Bassam Tibi, Islam Dan Islamisme, Bandung : Mizan, 2016
Bernard Lewis, Krisi Islam, Jihad dan Teror Biadab, Jakarta
: Bengawan, 2005
Bryan S Turner, Orientalisme , Posmodernisme dan
Globalisasi, Jakarta : Riora Cipta, 2002
Khaled Abou El Fadl, Sejarah Wahabi dan Salafi, Jakarta :
Serambi,2015
Musa Musawi, Tragedi Anak Revolusi, Bandung : Al Maarif,
1988
Nino Oktorino, Pedang Sang Khalifah, Jakarta : Elex Media
Komputindo, 2015
Noorhaidi Hasan, Ideologi, Identitas dan Ekonomi Politik
Kekerasan, dalam Prisma, Jakarta : LP3ES, 2010
Peter L Berger, Kebangkitan Agama Menentang Politik Dunia,
Yogyakarta : Arruzz, 2003
Robert Mitchel, Masyarakat Ikhwanul Muslimin, Surakarta ;
Intermedia, 2005
Komentar
Posting Komentar