GLOBALISASI DAN FUNDAMENTALISME


GLOBALISASI DAN FUNDAMENTALISME


Istilah fundamentalisme berawal dari istilah yang dikaitkan dengan sejarah munculnya Protestanisme di Eropa pada abad 16 M. Istilah ini kemudian digunakan di kalangan Protestan Amerika Serikat untuk menunjukkan gereja-gereja tertentu yang berbeda dalam sejumlah hal dengan gereja resmi.

Dua perbedaan utama adalah berkaitan dengan teologi liberal dan kritik atas bible, yang keduanya tidak dapat disetujui. Teologi liberal telah menjadi isu di kalangan Islam sejak masa silam dan di masa depan. Karena itu penggunaan kata fundamentalis di kalangan Islam, dengan pengertian yang dibuat oleh Barat, sebetulnya adalah sebuah hal yang menyesatkan.

Dalam konteks analisa ilmu sosial, menurut Bryan Sturner, fundamentalisme Islam dipandang sebagai reaksi terhadap diferensiasi dan fragmentasi budaya dan sosial yang ditimbulkan oleh globalisasi. Fundamentalisme modern adalah gerakan bercabang dua untuk menjamin kontrol di dalam sistem global dan juga memelihara aturan lokal dunia sosial.

Fundamentalisme, baik Islam maupun Kristiani karena itu bisa dianalisa sebagai sistem nilai yang secara nyata di satu sisi mempromosikan modernisasi, karena modernisasi merupakan serangan pada kepercayaan magis pra agama, budaya lokal, tradisionalisme dan hedonisme. 
Fundamentalisme dengan demikian merupakan pembelaan budaya modernitas melawan postmodernitas.(Turner, 2002)

Fundamentalisme bisa diartikan sebagai respon baik terhadap modernisasi maupun terhadap postmodernise karena fundamentalisme adalah suatu proses de-diferensiasi. Gerakan sosial fundamentalisme ini juga merupakan bentuk nostalgia kolektif yang berusaha menyusun kembali dunia dalam batas kesatuan dan hubungan budaya komunal yang lebih sederhana.

Dalam istilah politik, fundamentalisme berupaya menciptakan serangkaian tapal batas yang akan mencakup  pluralisme politik dan generalisasi abstrak warga negara pada skala global, tapi dalam hubungan semacam gagasan komunitas  atau keluarga. Dalam area budaya, fundamentalisme adalah usaha mengenakan tapal batas tertentu pada modernisasi, dan lebih khusus pada posmodernisme dan postmodernitas. (Turner, 2002)

Munculnya gerakan fundamentalisme di berbagai tempat dapat dinyatakan sebagai konsekuensi logis dari berkembangnya krisis yang begitu mendalam di kalangan masyarakat. Rezim dan ideologi sekuler pun ikut ambil bagian dalam menciptakan sejumlah problem yang amat serius di sejumlah masyarakat dan dunia Islam.

Sejak Mesir berada di bawah kekuasaan Nasser selama beberapa dasawarsa, hingga Irak di bawah pemerintahan Saddam Husein, proyek nasionalis sekuler telah meninggalkan bekas yang tidak terkirakan pada masyarakat di sejumlah negara tertentu, bahkan mengancam keamanan dan kesejahteraan beberapa negara di luar negara-negara tersebut.

Fundamentalisme Islam sering dikaitkan dengan Islam politik atau Islamisme dalam lingkup regional dan global yang lebih luas, baik di masa lalu maupun masa kini.

Fundamentalisme Islam dianggap sebagai salah satu representasi dari komunitas Islam yang mempunyai pandangan dengan tiga ciri utama :

kontrol terhadap perempuan

praktik politik yang menentang pluralisme

penyatuan agama dengan politik

Fundamentalisme Islam dsebagaimana tercermin dalam Islamisme, meyakini bahwa ‘Islam adalah Solusi” (Al Islam Huwa Al Hal) dalam proses perubahan masyarakat yang sedang mengalami krisis. Bagi kaum fundamentalisme, Islam dapat menjadi solusi utama di segala lapangan kehidupan karena agama Islam memiliki karakter utama sebagai diin (keyakinan), yakni agama yang suci , dunya (pandangan hidup lengkap), dan daulat (negara atau sistem politik).

Fundamentalisme keagamaan sebagai gerakan dapat dipandang dari dua sudut penyikapan. Pertama, bersamaan dengan munculnya berbagai masalah dunia di ujung abad ke-20, fundamentalisme keagamaan dipandang sebagai ancaman. Dalam kaitan ini semua fundamentalisme pada umumnya dipandang sebagai pengikut kitab suci secara doktriner, tinggal di masa lalu, penyederhana yang naif terhadap peristiwa-peristiwa dunia yang rumit yang terjadi di dalam pertarungan antara yang baik dan yang buruk.

Kedua, fundamentalisme keagamaan dipandang sebagai fenomena yang jauh lebih luas, sebagai orientasi terhadap dunia modern, baik kognitif maupun emosional, yang berfokus pada protes dan perubahan serta pada tema-tema tertentu, yakni pencarian akan kemurnian, pencarian autentitas, totalisme dan aktivisme, perlunya kepastian (skriptualisme), modernisasi selektif, dan pencapaian masa lalu yang bersifat mitologis ke masa kini.

Fundamentalisme Islam sebagai pemikiran maupun gerakan apapun penilaiannya dalam kenyataannya tetap tumbuh dan berkembang sebagai sebuah fakta sosiologis. Gerakan ini bahkan telah menjadi fenomena gerakan transnasional yang tumbuh di berbagai belahan dunia.

Di dunia Islam, fundamentalisme kontemporer bahkan tumbuh pesat setelah Revolusi Iran tahun 1979, kendati akar sejarah dan basis nilai pertumbuhannya telah ada jauh sebelum itu da memiliki pertambatan pada semangat kebangkitan dan orientasi tertentu dari ajaran Islam.

Fundamentalisme merupakan orientasi kognitif dan afektif terhadap dunia yang berfokus pada protes dan perubahan. Protes dan kekesalan kaum fundaentalis terhadap ideologi modernisme ; penekanan pada perubahan di atas kontinuitas, kuantitas di atas kualitas, dan produksi atau laba di atas simpati terhadap nilai-nilai tradisional seperti hubungan antarpribadi jangka panjang, saling kunjung dengan tetangga dekat dan kerabat, pemeliharaan rumah dan anak-anak, dan kegunaan kehidupan relijius bagi banyak ranah. Protes fundamentalisme adalah juga terhadap negara-bangsa sekuler, yang dianggap sebagai alat dalam mengatur agama.(Nashir, 2013)

Munculnya fundamentalisme di dalam dunia Islam salah satunya diakibatkan oleh kegagalan proyek-proyek sekuler nasional dalam memberikan janji kemerdekaan dari pemerintahan kolonial sejak 1950-an.

Dijelaskan juga, perasaan frustasi kalangan muda dan generasi terdidik muncul bersamaan dengan kurangnya partisipasi politik dan minimnya kesempatan-kesempatan bagi mobilisasi ekonomi dan sosial di kalangan masyarakat negara-negara tersebut.

Kegagalan pemerintah dan ideologi nasionalis sekuler juga berkaitan secara etar dengan konteks Timur Tengah, berupa serangan yang kembali dilancarkan oleh Israel yang mendapatkan dukungan secara total dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat yang selama ini dikenal sebagai negara-negara demokrais liberal. Hal itu mengakibatkan jatuhnya kredibilitas moral ide-ide liberal tentang demokrasi dan hak-hak asasi manusia, yang dipahami sebagai nilai-nilai Barat.

Bersamaan dengan itu, teori ideologi Marrxis dan sosialis tampak mulai tersingkirkan dan prakteknya mulai ditinggalkan  oleh para pengikutnya di Uni Soviet dan Eropa Timur.

Lambat laun kaum fundamentalisme dapat menghadirkan pandangan-pandangan mereka tentang alternatif Islam sebagai satu-satunya ideologi yang sah, dan karenanya ‘murni” bagi kaum muslimin di mana pun tempatnya.

Dengan menggunakan legitimasi agama yang ekslusif, mereka mengajukan pertanyaan ; mengapa masyarakat islam gagal mewujudkan identitas Islam dan implementasi Syariah sebagai jalan hidup yang telah ditetapkan oleh Tuhan, padahal umat Islam telah mendapatkan kemerdekaan sejak beberapa dekade yang lalu ? Tidakkah al Qur`an menyebut orang yang mengabaikan perintah Tuhan sebagai orang kafir dan murtad ?

Fundamentalisme merupakan istilah yang memiliki banyak makna dan terdapat kecenderungan bahwa istilah ini memiliki muatan konotasi tertentu. Akan tetapi dalam tulisan ini istilah fundamentalisme sekedar menggambarkan munculnya sebuah cara pandang dan sikap mental yang muncul sebagai reaksi atas semakin meluasnya pengaruh Barat dan ketidakadilan yang telah mengakar di negara-negara Islam.

Walaupun fundamentalisme juga dapat diidentikkan dengan gerakan-gerakan yang ada di luar dunia Islam seperti fundamentalisme Kristen dan fundamentalisme Hindu di India yang menjadi ideologi dari Partai Bharatya Jannati Partij.

Fundamentalisme—dalam konteks dunia Islam-- adalah suatu cara pandang  sekelompok tertentu yang menganggap bahwa dunia sosial telah dilingkupi oleh nilai-nilai yang bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu pandangan ini menyerukan agar kembali kepada nilai-nilai Islam yang fundamental, yaitu nilai-nilai keislaman yang diterapkan pada masa awal kemunculan agama Islam.

Pandangan ini dengan demikian memiliki kemiripan dengan puritanisme yaitu sebuah gagasan yang ingin mengembalikan kemurnian ajaran agama setelah sebelumnya praktek-praktek keagamaan yang ada telah ‘tercemar’ oleh hal-hal yang dianggap bukan berasal dari ajaran Islam.

Fundamentalisme dalam perkembangannya memiliki sejumlah varian. Ada kelompok fundamentalis yang kemudian mengembangkan teror sebagai bentuk perjuangan mereka ada pula yang tidak. Kelompok fundamentalis ada yang menolak demokrasi beserta pemilihan umum sebagai instrumen utamanya ada juga yang menerima demokrasi.

Bagi kelompok yang terakhir, demokrasi dipandang hanya sebagai instrumen untuk menuju kekuasaan dan sumber daya. Demokrasi dengan prinsip “one man one vote” dianggap dapat dimanfaatkan untuk dapat merebut kekuasaan politik melalui pemilihan umum. Sedangkan substansi demokrasi seperti pluralisme, hak asasi manusia dan kesetaraan gender termasuk yang ditolak atau tidak dianggap sebagai hal yang prioritas.

Fundamentalisme Islam hanya merupakan bentuk pelarian ketika kaum muslimin merasa tidak berdaya dihadapan hegemoni budaya sekuler Barat. Dengan demikian, fundamentalisme Islam merupakan gerakan yang bisa menjadi sarana untuk melepaskan kebencian dan rasa frustasi yang meningkat setelah kegagalan dalam menggunakan sistem politik dan ekonomi dari Barat seperti liberalism dan sosialisme.

Fundamentalisme Islam lahir dikarenakan kegagalan liberalisme dan sosialisme dalam mencapai tujuannya di negara-negara muslim. Sebagai dampaknya, banyak kemarahan di kalangan Islam yang ditujukan kepada Barat

Gerakan ini bisa menjadi sarana untuk melepaskan kebencian dan rasa frustasi yang meningkat setelah kegagalan dalam menggunakan obat ajaib dalam bidang ekonomi dan politik yang berasal dari luar dan dalam negeri. Sebagaimana yang telah berlangsung selama beberapa dasawarsa sebelumnya, di Timur Tengah, baik Kapitalisme maupun Sosialisme telah diterapkan dan berakhir dengan kegagalan.

Kemunduran Pan Arabisme membuat Islam “fundamentalis’ menjadi alternatif yang paling menarik bagi semua orang yang merasakan bahwa tidak ada sesuatu yang lebih baik, lebih benar, dan lebih menjanjikan dibanding mengusir tirani dan ideologi busuk yang memerintah mereka yang berasal dari luar negeri mereka.

Akibatnya muncul kemarahan di kalangan umat Islam kepada negara-negara Barat yang dianggap sebagai pengekspor ideologi-ideologi pembangunan tersebut.

Sebagai alternatifnya, fundamentalisme menawarkan slogan, tema, dan simbol yang sangat familiar dan efektif dalam memobilisir dukungan dan merumuskan kritik atas ideologi yang berkembang, serta menawarkan solusi yang benar sesuai dengan ajaran Islam. Slogan Al Islam Huwal Hal atau Islam adalah solusi merupakan slogan yang banyak disuarakan oleh kalangan tersebut.

Fundamentalisme merupakan fenomena yang ada dalam masyarakat modern yang lahir sebagai respon terhadap kegagalan proses modernisasi yang terjadi di negara-negara muslim. Hampir sebagian dunia Islam mengalami kemiskinan dan tirani. Kedua masalah tersebut seringkali dikaitkan dengan hegemoni dan dominasi Amerika Serikat yang dikenal dengan istilah globalisasi.

Dalam konteks ini globalisasi diartikan sebagai semakin meluasnya pengaruh Amerika Serikat atas dunia termasuk dunia Islam. Oleh karena itu fundamentalisme dapat dikatakan sebagai reaksi pertama, terhadap pemimpin-pemimpin negara-negara muslim yang dianggap gagal mewujudkan kesetaraan dan keadilan dalam proses modernisasi, kedua, terhadap Amerika Serikat yang kehadirannya di negara-negara muslim dianggap sebagai ancaman bagi kehidupan umat Islam.

Kaum ‘Islam fundamentalis’ adalah mereka yang merasa bahwa penderitaan-penderitaan dunia Islam saat ini adalah bukan hasil dari ketidakberdayaan modernisasi, tetapi malah modernisasi yang berlebihan, yang mereka lihat sebagai penghianatan dari nilai-nilai Islam yang sebenarnya.

Bagi mereka solusinya adalah dengan kembali kepada hukum-hukum Islam atau syariat Islam dan menghapus semua hukum yang bukan berasal dari Islam, karena produk hukum positif yang selama ini berlaku di dunia Islam dianggap sebagai hukum sekuler yang juga merupakan produk dari modernisasi yang diintrodusir oleh negara-negara Barat kolonial.

Kalangan fundementalis menganggap para penguasa di negeri-negeri muslim sebagai antiislam yang memaksakan hukum-hukum yang diterapkan pada orang Islam. Slogan yang sering mereka gunakan adalah inil hukmu illa lillah (tiada hukum selain hukum Alloh).

 Mereka juga seringkali menyitir ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan tentang kafirnya orang yang berhukum dengan hukum selain hukum Alloh atau hukum syariat.

Dari sudut pandang ini, perjuangan puncak bagi kalangan fundemantalis bukanlah melawan Barat, tetapi melawan kaki tangan westernisasi di negeri-negeri Islam, sebagaimana yang pernah dirancang oleh Al Qaeda.

Kepada para pengikutnya Al Qaeda menyerukan perlawanan terutama kepada penguasa-penguasa di negeri-negeri muslim yang mereka sebut Thogut sebagai near enemy atau musuh dekat, sedangkan Amerika Serikat mereka anggap bukan sebagai prioritas utama yang disebut far enemy atau musuh yang jauh.

Contoh nyata dalam kasus ini adalah peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok Jamaah Islamiyyah terhadap Anwar Sadat. Mereka sebelumnya telah memfatwakan kafir atau murtad kepada Sadat karena telah berdamai dengan Israel dan menjadikan Amerika Serikat sebagai sekutunya.

Dalam konteks Indonesia, pandangan kelompok fundamentalis ditandai oleh adanya penolakan, bukan saja kepada hukum positif yang ada tetapi juga terhadap demokrasi dan turunannya yaitu politik elektoral. Mereka juga menolak pemerintahan dan negara yang ada karena dianggap kafir dan bertentangan dengan ajaran Islam.

Kelompok fundamentalis seperti Majelis Mujahiddin Indonesia, dan Hizbuttahrir Indonesia mengecam keras praktek-praktek demokrasi yang dianggap sebagai produk Barat yang kafir. Demokrasi dengan pluralismenya dipandang sebagai ancaman terhadap eksistensi nilai-nilai Islam, oleh karenanya mereka menolak terlibat dalam struktur pemerintahan dan juga menolak terlibat dalam pemilihan umum.

Keberadaan perusahaan-perusahaan minyak milik swasta Amerika di sejumlah negara Timur Tengah dianggap sebagai simbolisasi eksploitasi yang dilakukan oleh Amerika Serikat yang bekerjasama dengan penguasa-penguasa lokal yang didukung oleh Amerika Serikat.

Globalisasi telah menjadi tema besar di media Arab, dan ini hampir selalu meningkat berkaitan dengan penetrasi ekonomi Amerika Serikat. Kemunduran perekonomian negara-negara Islam telah membuat frustasi di kalangan umat Islam. Karena itulah Amerika menjadi sasaran kebencian dan kemarahan dari dunia Islam.

Kemunduran yang dalami oleh negara-negara Islam sebenarnya bukan saja dikarenakan dominasi Amerika. Ada banyak faktor lain yang melatarbelakanginya, seperti produktifitas yang rendah, tingkat kelahiran yang tinggi yang tidak diimbangi dengan penyediaan lapangan pekerjaan yang kemudian menciptakan pengangguran, juga dianggap sebagai faktor yang penting.

Hal itulah yang melatarbelakangi munculnya fundamentalisme di sejumlah negara Arab yang mengiringi terjadinya Musim Semi Arab yang berlangsung sejak tahun 2010. Musim Semi Arab telah memberikan panggung kepada kelompok fundamentalis untuk merebut kekuasaan dari rezim yang berkuasa, baik dari kalangan militer maupun dari kalangan monarki.

Fundamentalisme juga berkembang akibat ketidakmampuan rezim diktator yang ada dalam mengelola konflik. Semakin represif suatu rezim maka semakin membantu gerakan fundamentalis memonopoli peran sebagai oposisi. Sebagai contoh adalah gerakan Hamas di Jalur Gaza. Ketika Israel melakukan tekanan kepada penduduk Gaza dengan melakukan embargo dan boikot, maka Hamas semakin populer.

 Hamas dianggap sebagai representasi dari kebencian terhadap negara Zionis tersebut. Kasus yang sama terjadi di Iran. Ketika rezim Pahlevi diambang kejatuhannya, ia melakukan tindakan represif kepada para Mullah dan pendukungnya. Hal itu menjadikan Khomeini sebagai salah satu pemimpin Mullah yang ketika itu mencari suaka  ke Prancis menjadi semakin populer.

Banyak kalangan rakyat Iran yang secara sembunyi-sembunyi membeli dan mendengarkan rekaman pidato yang disampaikan oleh Khomeini. Dan akhir dari perisitwa tersebut adalah tumbangnya monarki Iran pada tahun 1979 dan naiknya kelompok fundamentalis ke panggung kekuasaan.







REFERENSI :


Bassam Tibi, Islam Dan Islamisme, Bandung : Mizan, 2016

Bernard Lewis, Krisi Islam, Jihad dan Teror Biadab, Jakarta : Bengawan, 2005

Bryan S Turner, Orientalisme , Posmodernisme dan Globalisasi, Jakarta : Riora Cipta, 2002

Haedar Nashir, Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, Bandung : Mizan, 2013

Khaled Abou El Fadl, Sejarah Wahabi dan Salafi, Jakarta : Serambi,2015

Musa Musawi, Tragedi Anak Revolusi, Bandung : Al Maarif, 1988

Nino Oktorino, Pedang Sang Khalifah, Jakarta : Elex Media Komputindo, 2015

Peter L Berger, Kebangkitan Agama Menentang Politik Dunia, Yogyakarta : Arruzz, 2003

Robert Mitchel, Masyarakat Ikhwanul Muslimin, Bandung ; Intermedia







Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN

STATUS OBJEKTIF DAN STATUS SUBJEKTIF

TAWURAN SEBAGAI SUATU GEJALA SOSIAL (ANALISIS SOSIOLOGIS KONFLIK SOSIAL DI PERKOTAAN)