RUSIA BARU ; TRANSFORMASI RUSIA DAN ERA KOMUNIS KE PASCA KOMUNIS
RUSIA
BARU ; TRANSFORMASI RUSIA DAN ERA KOMUNIS KE PASCA KOMUNIS
RUNTUHNYA
UNI SOVIET
Pemerintahan Gorbachev ditandai oleh adanya cara pandang
atau paradigma baru. Selain Glasnost dan Perestroika, terdapat pula kebijakkan
mengenai demokratisasi politik dan “new thinking” (pemikiran baru) terhadap
kebijakan dalam dan luar negeri.
Melalui program reformasinya, Gorbachev memberikan otonomi
yang lebih luas kepada negara-negara bagian Uni Soviet. Hal itu diharapkan agar
dapat meredam keinginan dan spirasi kelompok etnonasionalisme yang ada untuk
melepaskan diri dari Uni Soviet.
Akan tetapi kebijakkan tersebut justru semakin mendorong
kelompok etnonasionalis yang ada untuk semakin memisahkan diri dari Uni Soviet.
Semakin lama Perestroika bertahan, semakin meningkat pula aspirasi nasional
dari kelompok etnonasional non-Rusia.
Muncul gerakan etnonasionalis yang melihat pemerintahan
Gorbachev sebagai pemerintahan yang lemah sehingga membuka ruang terhadap
gerakan pemisahan diri tersebut.
Setelah tiga negara Baltik, yaitu Estonia, Latvia, dan
Lithuania memproklamasikan kemerdekaannya, satu persatu negara-negara bagian
yang ada memisahkan diri.
Diantara mereka ada yang memproklamasikan dirinya menjadi
sebuah negara merdeka dan ada pula yang kemudian membentuk sebuah konfederasi
baru yang dikenal dengan nama Konfederasi Negara-negara Merdeka (Commonwealth
Of Independence Country)
TRANSISI
DARI KOMUNISME KE KAPITALISME
Seiring dengan runtuhnya Tembok Berlin pada akhir tahun
1989, salah satu transisi ekonomi yang paling penting sepanjang sejarah di
mulai. Peristiwa tersebut merupakan eksperimen ekonomi dan sosial yang kedua
yang paling berani pada akhir abad
keduapuluh. Peristiwa tersebut adalah transisi Rusia dari komunisme menuju
kapitalisme.
Transisi tersebut telah menimbulkan dampak yang luas,
diantaranya adalah hancurnya kelas menengah, munculnya sistem kroni dan
kapitalisme mafia. Rusia telah jatuh lebih cepat dari apa yang dijanjikan atau
diramalkan oleh para pendukung ekonomi pasar.
Bagi mayoritas masyarakat yang hidup di bekas negara Uni
Soviet tersebut, kehidupan ekonomi di bawah sistem kapitalis bahkan lebih buruk
dibanding dengan apa yang pernah dijanjikan para pemimpin Komunis dulu.
Satu-satunya prestasi yang terlihat jelas pasca runtuhnya Uni Soviet adalah
lahirnya demokrasi dengan kebebasan individual.
Pada era Soviet, dapat dikatakan tidak ada yang dinamakan
pengangguran. Doktrin Marxisme ortodoks menganggap kerja sebagai esensi
kehidupan manusia, sehingga rezim komunis Rusia benar-benar mendorong warganya
untuk bekerja.
Di bawah rezim komunis tidak ada pengaguran sehingga tidak
diperlukan jaminan sosial untuk pengangguran.Para pekerja biasanya bekerja
untuk perusahaan negara yang sama selama hidup mereka, dan perusahaan tersebut
menyediakan perumahan dan tunjangan pensiun.
Namun di Rusia baru pasca Soviet, jika ingin ada pasar
tenaga kerja , setiap orang harus bisa pindah dari satu perusahaan ke
perusahaan lain. Tetapi jika mereka tidak bisa mendapatkan perumahan, mobilitas
semacam itu hampir tidak mungkin. Oleh karena itu pasar perumahan diperlukan.
Transisi Rusia dari komunisme menuju ekonomi pasar bukan
hanya sebuah eksperimen ekonomi ; namun sebuah transformasi struktur sosial dan
ekonomi serta politik. Tantangan-tantangan yang dihadapi oleh perekonomian di
bekas Uni Soviet dan negara-negara blok komunis lainnya yang sedang mengalami
transisi, sangat mengerikan.
Mereka harus berganti dari satu sistem harga--sistem harga
yang terdistorsi yang berlaku pada masa Komunisme—ke sistem harga pasar ;
mereka harus menciptakan pasar dan infrastruktur kelembagaan yang mendasarinya
; dan mereka harus memprivatisasi semua properti yang sebelumnya dimiliki oleh
negara.
Mereka harus menciptakan semacam perusahaan baru, bukan
perusahaan yang dapat menghindari dari peraturan dan hukum pemerintah—dan
kegiatan usaha baru untuk mendistribusikan kembali dana-dana yang sebelumnya
digunakan secara tidak efisien.
Pada era transisi Rusia pasca Komunis, terdapat dua aliran,
pertama adalah kelompok “shock terapy” yang menginginkan transisi Rusia
dilakukan secara cepat agar tidak kehilangan momentum perubahan. Pandangan ini
mendapat dukungan dari Depatermen Keuangan Amerika Serikat dan IMF.
Sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok ‘gradualis’
yang menganut perubahan yang bertahap. Kelompok
gradualis percaya bahwa transisi menuju ekonomi pasar akan dapat dilakukan
secara lebih baik bila bergerak pada kecepatan yang wajar, dengan urutan yang
baik. Tidak perlu ada lembaga-lembaga yang sempurna, yang penting adalah
perbaikan yang terus menerus pada lembaga-lembaga baru yang terbentuk.
Salah satu fenomena penting yang menandai transisi Rusia
dari era Soviet adalah berkembangnya kemiskinan dan ketidakmerataan. Pada tahun
1989, hanya 2 % dari masyarakat yang tinggal di usia hidup dalam kemiskinan.
Pada akhir tahun 1998, jumlah tersebut telah melonjak hingga 23,8 % , dengan
menggunakan standar 2 dolar sehari.
Lebih dai 40 %masyarakat negara tersebut hidup dengan
kurang dari 4 dolar sehari, berdasarkan sebuah survey yang dilakukan oleh Bank
Dunia. Data statistik mengenai anak-anak mengungkapkan masalah yang bahkan
lebih buruk. 50 % dari anak-anak tinggal bersama keluarga dalam kemiskinan.
Negara-negara bekas Komunis lainnya juga mengalami kenaikkan angka kemiskinan
yang sama atau bahkan lebih buruk.
Walaupun transisi telah memicu naiknya angka kemiskinan dan
mendorong segelintir orang menuju puncak kekayaan, namun masyarakat kelas
menengahlah yang barangkali terkena terpaan paling keras. Inflasi pertama kali
menghilangkan tabungan mereka yang pas-pasan.
Dengan gaji yang tidak meningkat sejalan dengan inflasi, pendapatan ril mereka jatuh. Pemotongan pengeluaran dalam pendidikan dan kesehatan semakin mengikis standar hidup mereka. Mereka yang mampu akhirnya pindah ke negara lain atau berimigrasi.
Dengan gaji yang tidak meningkat sejalan dengan inflasi, pendapatan ril mereka jatuh. Pemotongan pengeluaran dalam pendidikan dan kesehatan semakin mengikis standar hidup mereka. Mereka yang mampu akhirnya pindah ke negara lain atau berimigrasi.
Sistem Komunis, walau tidak membuat hidup tidak
menyenangkan, mampu menghindari kemiskinan yang ekstrem dan menjaga standar
hidup relatif sama, dengan memberikan standar kualitas yang tinggi untuk pendidikan, perumahan, dan
layanan-layanan kesehatan serta pendidikan anak.
Dengan beralihnya ke ekonomi pasar, mereka yang bekerja keras dan berproduksi dengan baik
akan mendapatkan imbalan atas upaya mereka, sehingga sejumlah kenaikan dalam
hal ketidakmerataan tidak dapat dihindari.
Strategi reformasi yang berbasis pada liberalisasi dan
stabilisasi yang radikal tidak berjalan dengan baik di Rusia. PDB di Rusia
pasca 1989 turun setiap tahunnya. Apa yang diperkirakan sebagai resesi transisi
yang singkat ternyata telah berlangsung selama satu dasawarsa. Jatuhnya PDB
Rusia saat itu jauh lebih besar dibandingkan dengan yang pernah dialami oleh
Rusia pada masa Perang Dunia II. Pada tahun 1990-1999, produksi industri Rusia
turun hampir sebesar 60 %.
Sektor peternakan turun hingga separuhnya, investasi dalam
sektor manufaktur hampir terhenti.Program stabilisasi / liberalisasi dan
privatisasi bukan saja mengakibatkan investasi tertahan, tetapi juga menguras
modal. Tabungan menguap karena inflasi, keuntungan-keuntungan privatisasi atau
pinjaman asing sebagian besar telah disalahgunakan. Privatisasi ditambah dengan
pembukaan pasar modal, berujung bukan pada penciptaan kekayaan tetapi pada
pengurasan aset.
Korupsi juga merupakan fenomena yang terlihat jelas di Rusia
pasca Soviet. Transisi Rusia dari Komunisme menuju ekonomi pasar bebas telah
menumbuhsuburkan praktek-praktek korupsi. Bukti korupsi di Rusia sangat jelas.
Penelitian Bank Dunia sendiri mengenai korupsi di Rusia menyebutkan bahwa negara tersebut
sebagai salah satu negara yang terkorup di dunia.
Negara-negara Barat mengetahui bahwa kebanyakan dari
milyaran dana pinjaman mereka akan diselewengkan dari tujuan pokoknya untuk
keluarga dan rekan-rekan dari para pejabat yang korup dan teman-temannya dari kalangan oligarki.
Walaupun IMF dan Bank Dunia tampak seolah-olah bersikap keras untuk tidak
memberikan pinjaman kepada pemerintah yang korup, namun untuk kasus Rusia,
prinsip tersebut telah dilanggar. (Stiglitz, 2012)
Walaupun terdapat kecenderungan adanya kemunduran dalam perekonomian
Rusia pada era transisi, tatapi Rusia kemudian kembali bangkit di bawah
pemeimpinan Vladimir Putin. Putin sadar bahwa Rusia telah turun derajatnya di
kancah dunia karena tidak lagi didukung oleh keunggulan militer sebagaimana pada
era Perang Dingin.
Dalam membangkitkan
kembali pengaruh Rusia pasca Soviet, Putin memanfaatkan aset yang dalam banyak
hal lebih ampuh daripada Tentara Merah ; yaitu pengaruh yang besar di pasar
energi dunia. Rusia merupakan negara yang memiliki cadangan gas yang snagat
besar, di mana kebutihan gas Eropa umumnya dipasok dari Rusia. Penggunaan
militer bagi Rusia dinilai terlalu beresiko. Militer USSR dibatasi oleh potensi
balasan dari Amerika Serikat. Tapi Rusia tidak terancam serangan besar-besaran
jika negara itu menggunakan gas alam sebagai senjata ekonomi atau politik.
Karena Rusia merupakan pemasok gas utama ke Eropa Barat dan
ke negara-negara tetangga seperti Ukraina, kekuatan pasarnya tidak tertandingi.
Selain itu Rusia juga telah menjadi pemain utama di pasar minyak mentah dunia,
meskipun pengaruhnya di sana lebih lemah daripada di pasar gas alam karena
minyak tidak mudah dimonopoli.
Sejak runtuh dan bangkrut pada tahun 1998, ekonomi Rusia
mulai mengalami pemulihan yang lebih baik daripada yang diperkirakan para
analis. PDB per kapita riil telah naik jauh dibandingkan angkanya sebelum
krisis.
Angka pengangguran sekitar 13 persen pada tahun 1998 ,
turun menjadi kurang dari 7 % pada awal tahun 2007. Angka inflasi turun menjadi
dua digit dari puncak 127 % dalam dua
belas bulan pada bulan Juli 1999 menjadi hampir $ 300 miliar pada tahun 2007.
Sedangkan sebagian utang luar negeri pemerintah telah dilunasi.(Greenspan,
2008)
Penyebab utama dari kinerja ekonomi yang sangat baik ini
tentu saja adalah karena peningkatan dramatis harga minyak dan gas alam.
Pertumbuhan nilai ekspor minyak dan gas mencakup seperlima pertumbuhan PDB
nominal antara 1998 dan 2006.
Alan Greenspan yang ditugaskan oleh pemerintah Amerika
Serikat mengawal transisi Rusia dari Komunisme ke liberalisme optimis dengan
masa depan Rusia. Menurutnya Rusia telah ditakdirkan untuk memainkan suatu
peranan dalam evolusi lebih lanjut menuju Kapitalisme global.
Apakah peran itu akan dibatasi oleh ekonomi domestik yang
lambat tumbuh dan alokasi yang tidak optimal dari sumber daya modal khas rezim
otoriter, akan ditentukan dalam beberapa dekade ke depan. Rusia modern masih
punya kesempatan untuk menjadi ekonomi yang unggul. Semua bergantung pada siapa
yang Putin tentukan menjadi penerusnya. Dengan aset energi dan militernya,
Rusia akan menjadi pemain utama di panggung dunia.
KEBANGKITAN
KEMBALI GEREJA ORTODOKS
Sepanjang rezim komunis Soviet, gereja Ortodoks,
sebagaimana agama lainnya di Rusia mengalami tekjanan terus-menerus. Uni Soviet
yang menganut ateisme tidak memberikan ruang bagi agama untuk terus bertahan
hidup. Di bawah kekuasaan Komunis Gereja Ortodoks dianggap sebagai musuh
negara.
Banyak aset milik gereja yang disita oleh negara. Sejumlah
pendeta dan biarawan masuk ke dalaam kamp konsentrasi kerja paksa atau bahkan
dibunuh. Sejumlah gereja dialihfungsikan menjadi barak-barak militer, kolam
renang dan gudang gandum.
Setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, Negara Rusia
baru yang muncul sedang dalam proses pemulihan kembali identitas tradisionalnya
dan tempat gereja Ortodoks Rusia. Dan meskipun gereja Ortodoks sedemikian
menderita sepanjang kekuasaan komunis, dan sangat terpolitisasi dalam
ketundukannya terhadap negara, ia memiliki sejumlah kesamaan dengan Partai
Komunis Rusia dalam tradisi rasa takut dan antipati terhadap Barat.
Gereja Ortodoks takut terhadap agama Katolik, sementara
Partai Komunis, yang berdasarkan Marxisme-Leninisme , melihat Barat sebagai
benteng kapitalisme. Keduanya sangat menyadari sejarah serangan dari Barat terhadap
Rusia, yang dirancang untuk menggulingkan Negara Rusia.
Negara Rusia pasca Soviet dengan cepat memeluk kembali
Gereja Ortodoks sebagai lambang dan bagian integral nasionalisme Rusia. Gereja
Ortodoks dalam hal ini dianggap masih memiliki kekuatan magnetik untuk
merangsang perasaan-perasaan nasionalis yang merupakan kombinasi lama antara
agama, penyelamatan, etnisitas, dan nasionalisme.
Pasca tumbangnya rezim komunis, agama, baik Katolik, Protestan,
Islam dan juga Ortodoks berfungsi mengisi kekosongan spiritual pasca-Soviet.
Akan tetapi diantara agama-agama yang ada, Kristen Ortodokslah yang merupakan
agama yang mendapatkan perhatian lebih dari negara Rusia pasca Soviet.
Hal itu dikarenakan pemerintah Rusia yang baru mencurigai
agama-agama selain Ortodoks sebagai perpanjangan kepentingan dari negara-negara
di luar Rusia. Gereja Ortodoks dengan dukungan dari pemerintah Rusia berupaya
menghambat perkembangan gereja-gereja Katolik dan Protestan untuk berdakwah di
Rusia. Dalam hal ini agama Kristen Ortodoks telah menjadi semacam nasionalisme
bagi identitas Rusia yang baru.
Di bawah Rusia baru, tema-tema Kristen sekarang dipulihkan
kembali di atas penggung politik. Hanya sedikit politisi pada periode
pasca-Soviet yang tidak menyebut pentingnya nilai-nilai keagamaan. Seorang
pejabat Rusia menyebutkan bahwa ;
“kurangnya iman
adalah awal bagi korupsi dan birokrasi,
yang menghasilkan terorisme…pembaruan-pembaruan ekonomi di sebuah bangsa yang
tidak percaya Tuhan itu sama sekali mustahil” (Fuller, 2014)
POSISI
ISLAM DAN RUSIA BARU
Islam selalu menjadi ‘persoalan’ baik ketika Rusia masih
menganut Komunis maupun pasca Komunis. Ketika Rusia masih menganut Komunisme,
Islam ditekan sedemikian rupa, demikian pula dengan agama lainnya seperti
Kristen Ortodoks.
Hal itu merupakan bagian dari pelaksanaan ideologi Marxisme
yang ateisme dan anti terhadap agama. Pada masa Komunisme, pengajaran agama
Islam dihambat, sekolah-sekolah agama dilarang dan ratusan masjid ditutup.
Pasca tumbangnya Soviet, Islam—sebagaimana—Gereja Ortodoks
bangkit kembali sebagai kekuatan baru. Rusia selama era Soviet ditandai oleh
adanya kekosongan rohani. Dengan tumbangnya Soviet, agama menjadi sesuatu yang
mengisi kekosongan tersebut.
Ketika era Soviet berakhir, Islam tetap menjadi ancaman di
Rusia baru. Di Rusia terdapat sejumlah negara bagian yang berpenduduk mayoritas
Islam. Negara-negara yang berakhiran kata ‘stan” di Asia Tengah tersebut jelas memiliki
pengaruh yang tidak kecil di Rusia baru.
Tumbuh suburnya Islam di Rusia baru antara lain disebabkan
oleh sejumlah faktor. Pertama, umat Islam bukanlah imigran seperti halnya di
Eropa Barat. Umat Islam di Rusia dapat dikatakan sebagai orang pribumi yang
sudha menjadi bagian dari Rusia sejak era kekaisaran.Kedua, Islam merupakan
agama yang banyak dipeluk oleh penduduk Rusia.
Islam sendiri merupakan agama terbesar di Federasi Rusia
baru, dan Islam tetap menjadi agama terbesar kedua di Rusia setelah Ortodoks. Rusia
memiliki penduduk muslim terbesar di antara negara Barat mana pun—sekitar dua
puluh juta, antara 12 hingga 1 % dari total jumlah penduduk. Berkat penduduk
muslimnya yang besar, Rusia sekarang berusaha diterima sebagai pengamat dalam
Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang berusat di Makkah.
Salah satu masalah yang timbul pasca Soviet adalah masalah
Chechnya. Pada tahun 1992, ketika Rusia berada di bawah kepemimpinan Boris
Yeltsin, dilancarkan serangan ke Grozny sebagai bagian dari kampanye menentang
pemisahan diri Chechnya dari Konfederasi Rusia. Serangan Rusia tersebut
mengakibatkan kehancuran Grozny dan puluhan ribu orang tewas.
Sikap keras dari Rusia ini kemudian mendorong sejumlah
pejuang Chechen melakukan pendekatan kepada kelompok-kelompok radikal seperti
Al Qaeda. Hal ini mengakibatkan masalah Chechnya menjadi permasalahan
internasional dan Rusia menjadi terlibat dalam konflik global dengan Al Qaeda
tersebut.
Chechnya dianggap terlalu berharga bagi Rusia mengingat
Chechnya berada di wilayah Kausasus yang memiliki deposit minyak bumi yang
besar. Lagipula, pemisahan diri Chechnya akan memicu gerakan pemisahan dari
negara-negara bagian Rusia lainnya. Perang Chechnya itu sendiri merupakan satu
rangkaian dari sejarah panjang perjuangan bangsa Chechen selama 150 tahun untuk
kemerdekaan politik dari Rusia yang selama ini dianggap menjajah mereka.
Umat Islam di Rusia masih memiliki posisi yang rentan dalam
Rusia baru disebabkan karena umat Islam di Rusia secara etnis adalah non-Rusia,
artinya, mereka termasuk etnis lain—terutama kelompok-kelompok etnis Turki.
Orang-orang Turko-Tatar-Mongol yang sama ini pada beberapa abad sebelumnya
merupakan kelompok yang menginvasi Rusia dan pernah berkuasa atas bangsa Rusia
beberapa waktu lamanya.
Pada masa lalu hubungan antara kekaisaran Rusia dan Turki
juga ditandai oleh peperangan yang terjadi secara terus menerus. Hal yang
menjadi pusat pertentangan tersebut adalah mengenai perebutan Konstantinopel
antara keduanya. Puncak konflik antara Rusia dan Turki terjadi ketika keduanya
berperang dalam Perang Dunia Pertama dengan memihak kubu yang berbeda, Turki
mendukung Jerman, sedangkan Rusia memihak Inggris dan Prancis.
Gabungan antara masa lalu, perbedaan etnis dan agama inilah
yang berpotensi menghambat proses integrasi muslim dalam Rusia baru pasca
Soviet.
REFERENSI
:
Alan Grenspan, Abad Prahara, Ramalan Kehancuran Ekonomi
Dunia Abad Ke-21, Jakarta : Gramedia, 2008
Graham E.Fuller, Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam, Sebuah
Narasi Sejarah Alternatif, Bandun, Mizan, 2014
Joseph E.Stiglitz, Kegagalan Globalisasi Dan
Lembaga-Lembaga Keuangan Internasional, Jakarta : Ina Publikatama, 2012
Samuel Huntington, Benturan Antarperadaban Dan Masa Depan
Politik Dunia, Yogyakarta : Qalam, 2005
Tjipta Lesmana, Runtuhnya Kekuasaan
Komunis,Jakarta : Rika Press, 1992
Tjipta Lesmana,Kapitalisme Soviet ? Sebuah
Catatan Perjalanan, Jakarta : Erwin-Rika Pers, 1987
P.Surya Pranata, Mikhail Gorbachev Dan Runtuhnya Partai
Komunis Uni Soviet, Jakarta : Yayasan Metropolitan, 1992
Zbigniew Brezezinsky, Kegagalan Besar, Muncul Dan Runtuhnya
Komunisme Dalam Abad Kedua Puluh, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1990
Komentar
Posting Komentar