CAROK, KEKERASAN YANG DILEMBAGAKAN


CAROK, KEKERASAN YANG DILEMBAGAKAN

PENGANTAR

Pulau Madura terletak di sebelah timur laut Pulau Jawa. Dengan Pulau Jawa ia dipisahkan oleh Selat Madura. Batas-batas Pulau Madura adalah Selat Madura di bagian timur dan utara. Pulau Madura sendiri terdiri dari sejumlah kabupaten, yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep.

Sebagaimana masyarakat lainnya, masyarakat Madura mengenal stratifikasi sosialnya sendiri, antara lain, pertama orang kenek atau orang dumek. Yakni mereka yang bekerja di sawah, ladang, buruh, tukang becak, penjaga toko, atau mereka yang menjadi pekerja kasar. 

Kedua, orang dagang atau sodagar. Yaitu mereka yang aktif di bidang perdagangan tetapi umumnya termasuk ke dalam pedagang kecil. Ketiga, perjaji, mereka yang memegang pemerintahan, biasanya juga disebut pengraja. Keempat, ialah Gusteh atau din bagus raden. Mereka ialah golongan bangsawan dan biasanya dimasukkan ke dalam golongan perjaji.(Sudagung, 2001)

Di samping itu, menurut orientasinya, orang Madura dapat dibedakan ke dalam dua golongan, yaitu golongan agama dan adat. Pemuka golongan adat disebut po-sepo dan pemuka golongan agama disebut kyae (kyai).
Terdapat dua macam pemimpin di Madura ; pemimpin formal dan informal. Pemimpin formal ialah pemimpin yang diatur menurut hierarki pemerintahan dan diangkat secara resmi, antara lain bupati, camat, kepala desa atau klebun

Sedangkan pemimpin informal ialah orang yang tidak duduk di dalam susunan resmi organisasi pemerintahan, tetapi mempunyai pengaruh terhadap masyarakat. Di Madura, pemimpin informal yang paling ditaati ialah kyai.
Masyarakat Madura terkonsentrasi di Pulau Madura dan Jawa Timur bagian timur. Dominannya masyarakat Madura di Pulau Madura sempat mendorong sejumlah tokoh Madura mewacanakan pendirian Provinsi Madura. Masyarakat Madura juga tersebar di sejumlah daerah yang selama ini menjadi daerah tujuan dari migrasi masyarakat Madura.

Sejumlah daerah utama yang menjadi daerah tujuan migran masyarakat Madura antara lain Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Selain kedua daerah tersebut, daerah lainnya di Indonesia juga menjadi daerah tujuan migrasi masyarakat Madura walau pun dalam jumlah yang relatif lebih kecil.

Sebagai masyarakat yang memiliki budaya merantau, masyarakat Madura relatif berhasil dalam bidang ekonomi. Sebagai pendatang, orang-orang Madura harus bekerja keras untuk menyambung hidup di negeri orang. Pekerjaan apa saja digeluti oleh orang-orang Madura. Sikap masyarakat Madura yang ulet dalam bekerja ini mengakibatkan orang-orang Madura mendapatkan stereotip positif sebagai masyarakat pekerja keras dan gigih dalam mencari nafkah.

Di daerah tujuan migran orang Madura lambat laun mengambil alih aset-aset yang selama ini dimiliki oleh penduduk setempat, seperti tanah dan lahan pertanian. Demikian pula dengan pelbagai profesi yang digeluti oleh orang-orang Madura, mulai dari penarik becak, pengumpul barang bekas, pedagang, dan lain sebagainya.

Orang Madura dapat dikatakan semuanya menganut agama Islam. Agama Islam telah menjadi master status sebagaimana identitas etnik bagi orang Madura.


STEREOTIP ORANG MADURA

Stereotipe adalah kata-kata cemoohan untuk mengerdilkan suatu kelompok etnis yang menghalangi rasionalitas kita mengenai kelompok yang dimaksud.

Stereotipe (stereotype) merupakan suatu konsep yang erat kaitannya  dengan konsep prasangka ; bahwa orang  yang menganut stereotipe mengenai kelompok lain cenderung berprasangka terhadap kelompok tersebut. Menurut Kornblum, stereotipe merupakan citra yang kaku mengenai suatu kelompok ras atau budaya yang dianut tanpa memperhatikan kebenaran citra tersebut.

Menurut Banton, stereotipe mengacu pada kecenderungan bahwa sesuatu yang dipercayai  orang bersifat terlalu menyederhanakan dan tidak peka terhadap fakta objektif.Stereotip dapat benar akan tetapi seringkali tidak menggambarkan kondisi seutuhnya dari kelompok yang distereotipkan.

Konflik komunal berdasarkan etnis atau agama seringkali dilatarbelakangi oleh berkembangnya stereotipe  yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok etnik/agama yang ada. Konflik etnik dan agama tersebut biasanya melibatkan unsur kekerasan.

Konflik yang disertai dengan kekerasan terjadi ketika hubungan sosial di masyarakat sudah diawali atau ditandai dengan buruknya perilaku di antara masyarakat baik secara kelompok maupun secara perorangan. Hubungan yang buruk ini kemudian memunculkan sikap antipati seperti stereotipe, dikotomi, stigma, dan persepsi negatif antara satu dengan yang lainnya.

Seorang pengamat Madura, De Jonge menyatakan bahwa kekerasan fisik merupakan hal yang biasa dalam masyarakat Madura, terutama jika menyangkut kehormatan diri yang dilecehkan. Oleh karenanya, orang luar sering menganggap ciri khas Madura adalah Carok dan menyebut orang Madura sebagai ‘oreng carok’.

Berkaitan dengan hal ini, muncul pernyataan-pernyataan stereotip mengenai orang Madura. Stereotip ini, meskipun tidak selalu mencerminkan realitas yang sebenarnya, antara lain menyebutkan bahwa orang Madura mudah tersinggung, menaruh curiga kepada orang lain, bertemperamen tinggi, atau mudah marah, pendendam dan suka melakukan tindkaan kekerasan.

Stereotip, dikarenakan merupakan suatu konstruksi sosial yang bersifat intersubjektif, oleh karenanya tidak bersifat mutlak. Dari sejumlah pengalaman yang dialami oleh orang-orang luar etnik Madura yang berinteraksi dengan orang-orang Madura, mereka memiliki persepsi yang berbeda.

Pada umumnya mereka mengakui bahwa pada dasarnya orang Madura memang “keras”, namun sebagaimana orang-orang dari etnis lain, orang Madura juga memiliki perangai, sikap, dan perilaku sopan, santun, menghargai dan menghormati orang. Selain itu orang Madura juga dinilai memiliki rasa persaudaraan yang sangat tinggi.


MASYARAKAT MADURA DAN KEKERASAN

Masyarakat Madura seringkali diidentikkan dengan kekerasan, walaupun hal ini dibantah oleh tokoh-tokoh Madura dan sejumlah pengamat sosial. Abdul Latief Widjaya misalnya, yang secara mendalam melakukan kajian terhadap masyarakat Madura menganggap kesan kekerasan yang melekat pada diri orang Madura disebabkan oleh adanya kesalahan pandangan.

Menurutnya, pikiran, sikap, dan tindakan orang Madura lebih tepat dikatakan sebagai “ketegasan”, bukan ‘kekerasan”. Kedua kata ini memiliki perbedaan yang dalam. “Keras” menunjukkan sifat perilaku yang berkebalikan dengan perilaku “lembut” sehingga segala sesuatu harus dihadapi dengan penuh emosi dan mengabaikan akal budi dan etika sopan santun.

Dalam konteks yang sama, “tegas” mengandung makna perilaku memegang prinsip yang diyakininya sehingga tidak dengan mudah terombang-ambing oleh kondisi dan situasi sekelilingnya. Sebagai contoh, orang-orang Madura cenderung memilih warna-warna yang ‘tegas’ seperti merah (mera`), hitam (celleng), hijau (bhiru), atau kuning (koneng). Hampir tidak pernah orang Madura menyukai warna-warna jenis ‘lembut” atau kurang tegas. Kalaupun memilih warna tersebut hanya sebagai asesoris atau tambahan.

Terkait dengan Carok, masyarakat Madura seringkali diasosiasikan dengan kekerasan. Bagi masyarakat Madura kekerasan fisik merupakan hal yang dianggap biasa. Menurut De Jonge, kekerasan dianggap sesuatu yang lumrah jika menyangkut kehormatan diri yang dilecehkan. Oleh karena itu orang luar seringkali menganggap ciri khas dari Madura adalah Carok.


MASYARAKAT MADURA DAN CAROK

Carok merupakan kekerasan yang sudah melembaga dan diterima sebagai sebuah penyelesaian konflik oleh masyarakat Madura. Tindak kekerasan berupa carok ini hampir selalu bersifat individual, meskipun kadang kala terjadi juga Carok massal yang mulanya bersifat individual. Ketika faktor-faktor lingkungan mulai berperan (dimulai dari tingkat keluarga sampai tingkat dusun dan desa), maka Carok massal menjadi tidak terelakkan. Dengan kata lain, Carok massal tidak lebih dari ekskalasi konflik individual yang berkaitan dengan faktor lingkungan sosial yang melingkupinya.

Dalam kebudayaan Madura, pembunuhan (Carok) selalu cenderung dikaitkan dengan ungkapan “ango`an poteya tolang etembang poteya mata’ (lebih baik mati daripada menanggung rasa malu). Tindakan tersebut dalam kebudayaan Madura selain dibenarkan secara kultural juga mendapatkan persetujuan sosial dari masyarakat. Carok terjadi ketika orang Madura merasa dilecehkan harga dirinya  sehingga membuatnya merasa tada` ajhina ( pengingkaran terhadap eksistensi diri sehingga tidak berguna dan bermanfaat secara sosial maupun budaya) (Wijaya, 2006)

Arit yang digunakan dalam Carok pun memiliki makna simbolik tertentu. Bagi masyarakat Madura, tanpa arit, dia tidak dianggap lengkap. Ia hanya dianggap setengah laki-laki, orang liar yang sudah dijinakkan. Jika orang Madura dipermalukan, dia akan menghunus pisaunya atau aritnya.

Penggunaan kekerasan fisik merupakan hal yang biasa dalam masyarakat Madura, terutama jika menyangkut kehormatan diri yang dilecehkan. Oleh karena itu orang luar sering menganggap ciri khas dari Madura adalah Carok dan menyebut orang Madura sebagai “orang Carok”.

Berkaitan dengan hal ini, muncul pertanyaan stereotip mengenai orang Madura. Stereotip ini meskipun tidak selalu mencerminkan realitas yang sebenarnya, antara lain menyebutkan bahwa orang Madura mudah tersinggung, menaruh curiga kepada orang lain, bertemperamen tinggi atau mudah marah, pendendam, dan suka melakukan tindakan kekerasan.

Budaya Carok tidak terlepas dari karakter masyarakat Madura. Orang Madura dikenal berperangai spontan. Spontanitas dan ekspresifitas orang Madura dilihat ketika mereka merespon hal-hal yang terjadi di sekelilingnya. Misalnya, ketika orang Madura tidak menyukai akan sesuatu, maka ketidaksukaan itu dikemukakan secara spontan tanpa didahului dengan pernyataan basa basi. Begitu pula sebaliknya, jika orang Madura merasa suka akan menyampaikan perasaan kesukaannya itu secara spontan dan penuh ekspresifias. (Wijaya, 2013)

Carok dalam masyarakat Madura mendapat tempat yang “terhormat” dan istimewa. Salah satu indikasinya adalah seorang pelaku Carok yang telah berhasil menghabisi nyawa lawannya tidak disebut sebagai pembunuh, dan juga tidak mendapat kecaman atau kutukan atas setiap terjadinya kekerasan khas gaya Madura ini.

Carok biasanya terjadi di daerah yang relatif terpencil. Penduduk setempat tidak mempunyai hubungan banyak dengan dunia luar, dan pada umumnya mereka curiga terhadap campur tangan otoritas dari atas. Umpamanya, mereka tidak bisa menerima bahwa suatu tindakan menurut pendapat mereka merupakan pelanggaran berat, seperti perzinahan dan penghinaan, namun menurut hukum nasional hanya dilihat sebagai pelanggaran ringan, yang kemudian tidak atau hampir tidak mendapatkan sanksi hukum. Moralitas dan perasaan keadilan nasional dan lokal tidak sesuai sehingga oknum main hakim sendiri dengan cara melakukan Carok.

Carok merupakan semacam pertolongan terhadap diri sendiri (selp help). Dalam konteks ini, masalah yang menjadi pemicu Carok selalu dikaitkan dengan harga diri atau rasa malu. harga diri dan penggunaan kekuatan fisik mempunyai hubungan yang sangat erat dalam masyarakat tertentu, seperti yang ditunjukkan oleh beberapa studi antropologi.

Adapun yang menjadi penyebab atau latar belakang terjadinya Carok umumnya beragam. Dalam studi yang dilakukan oleh Abdul Latief Widjaya menyebutkan bahwa, untuk kawasan Bangkalan, selama kurun waktu lima tahun (1990-1994), latar belakang terjadinya Carok antara lain sebagai berikut  :

Masalah gangguan terhadap istri (60,4 %)

Masalah tanah atau warisan (6,7 %)

Masalah hutang piutang (9,2 %)

Masalah lain seperti melanggar kesopanan di jalan, dalam pergaulan, dan lingkungan sosial lainnya (6,8 %)

Persona fisik seolah-olah merupakan penjelmaan dari harga diri. Dengan demikian, menghina harga diri sama artinya dengan melukai seseorang secara fisik. Di pedalaman Madura harga diri orang atau keluarga masih selalu dipertaruhkan ketika seseorang dalam situasi kecemburuan, kalau istri atau anak perempuannya diganggu, kalau orang dihina dengan kata-kata kasar atau perbuatan kasar, dan kalau orang mencuri barang, misalnya air untuk irigasi atau rumput untuk ternak.


CAROK DAN MODERNISASI MASYARAKAT MADURA

Pada masyarakat Indonesia modern, Carok dimasukkan ke dalam kategori perbuatan kriminal. Pelaku Carok dalam sistem hukum pidana di Indonesia dianggap sebagai pembunuh dan diancam dengan hukuman penjara. Akan tetapi para pelaku Carok jelas tidak mau mentaati hukum pemerintah tersebut.

Kondisi ini mengakibatkan terjadinya tarik menarik dan pertentangan antara hukum adat dan hukum nasional. Hasil akhir dari kondisi ini sangat ditentukan oleh berlangsungnya proses modernisasi di kalangan masyarakat Madura terutama terkait dengan modernisasi pendidikan.

Menurut Schmartz, sebagaimana yang dikutip oleh Soerjono Soekanto dalam bukunya Pokok Pokok  Sosiologi Hukum, bahwa pada masyarakat tertentu memang hukum kurang berperan dibandingkan dengan kaidah-kaidah lainnya. Hal ini terutama terjadi di dalam masyarakat Gemeinchaft, di mana kaidah-kaidah atau norma-norma adat lebih efektif karena hukum sebenarnya secara implisit berarti turut sertanya atau campurtangannya pihak lain, yang berarti pula memperluas persengketaan. Artinya, pada masyarakat-masyarakat tertentu yang masih sederhana dan homogen sifatnya ada kecenderungan untuk menyelesaikan sendiri suatu konflik di antara mereka sendiri. (Soekanto, 2012)

Adanya tarik menarik antara Carok sebagai salah satu pranata adat masyarakat Madura dengan sistem hukum nasional adalah adanya kecenderungan bahwa aparat relatif mengalami kegamangan dalam menangani kasus Carok. Pelaku Carok biasanya tidak dihukum sebagaimana layaknya pelaku pembunuhan lainnya.

Umumnya pelaku Carok hanya di hukum di bawah lima tahun, padahal korban Carok bisa lebih dari satu orang. Sebagai perbandingan, untuk kasus pembunuhan, berdasarkan undang-undang pidana Indonesia, pelakunya bisa dihukum mulai dari lima belas tahun sampai seumur hidup bahkan hukuman mati.

Kondisi ini disebabkan karena dua hal. Pertama, aparat masih membutuhkan waktu agar masyarakat Madura pada umumnya memiliki kesadaran hukum yang memadai, sehingga lambat laun tradisi Carok ini dapat dihilangkan, dan dikemudian hari tindakan pembunuhan dapat dijerat dengan hukum yang berlaku.

Kedua, dalam pranata Carok terdapat yang dinamakan Nabang. Nabang adalah mekanisme tradisional dalam merekayasa proses peradilan dengan menyerahkan sejumlah uang kepada oknum aparat peradilan agar hukuman menjadi ringan. Nabang juga dapat dilakukan dengan cara mengganti terdakwa Carok dengan orang lain. Untuk kasus yang terakhir ini biasanya dilakukan ketika seseorang menggunakan tenaga Carok bayaran yang dikenal dengan nama Jago.

Biasanya Carok bayaran atau Jago akan menerima upahnya setelah berhasil membunuh orang yang dipesan oleh seseorang, sedangkan keluarga yang memesan Carok bayaran itulah yang menyediakan diri sebagai pengganti terhukum di peradilan dan di penjara.

Upaya Nabang pada prinsipnya merupakan komodifikasi hukum yang dinilai sangat menguntungkan semua pihak yang terlibat—baik secara ekonomi maupun sosial budaya—pada gilirannya semakin memperkuat pandangan Carok sebagai alat bagi para Jago untuk memperoleh kekuasaan. Dengan demikian, Nabang memiliki fungsi laten sekaligus disfungsinya.

Adapun fungsi laten dari Nabang adalah menjadikan Carok semakin memiliki eksistensi dan melanggengkan adanya institusionalisasi kekerasan dalam masyarakat Madura. Sedangkan disfungsi dari Nabang adalah semakin memperlemah sistem hukum positif, khususnya hukum pidana di masyarakat Madura.

Untuk memperkuat eksistensi hukum positif sekaligus menghilangkan tradisi Carok, diperlukan sejumlah langkah sebagai berikut :

♦ Perlunya upaya revitalisasi untuk menegakkan kembali otoritas dan kewibawaan negara, terutama dalam mengontrol sumber-sumber kekerasan, demi memberikan perlindungan terhadap masyarakat dan penegakkan keadilan.

♦ Perlu upaya penyadaran pada masyarakat Madura yang menjadi pelaku Carok untuk lebih mengedepankan atau mengutamakan pengekspresian hasrat lewat budi bahasa ketika sedang menghadapi setiap bentuk konflik, terutama yang berpangkal pada pelecehan harga diri, sehingga membuka ruang terjadinya rekonsiliasi.

♦ Karena Carok dimaknai sebagai monopoli kekuasaan laki-laki dan adanya sistem sosial patriarki—yang ditandai oleh adanya perlindungan yang berlebihan terhadap perempuan (istri), maka perlu dilakukan refleksi untuk menata kembali pendistribusian kekuasaan secara merata dan proporsional antara laki-laki dan perempuan dalam kebudayaan Madura.

♦ Perlu adanya penyadaran bahwa Carok bukanlah satu-satunya mekanisme untuk meraih kekuasaan. Hal ini terutama ditujukan kepada para Jago. Posisi sosial atau status yang lebih tinggi sebagai seorang Jago dapat dicapai dengan cara lain yang lebih terhormat, seperti melalui jalur-jalur mobilitas sosial yang umum di luar Carok.

♦ Perlu segera dihilangkan kebiasaan melakukan Nabang, meskipun upaya ini secara struktural tidak dapat dilepaskan dari kebiasaan pada skala nasional. Demikian pula perlu adanya penegakkan hukum dengan tegas guna mengembalikan kewibawaan hukum itu sendiri.

♦ Perlunya penyadaran terhadap keluarga korban agar menghilangkan dendam terhadap pelaku Carok yang telah menewaskan anggota keluarganya. Hal ini agar tidak muncul lingkaran kekerasan dan dendam yang tidak berujung, sehingga masyarakat dapat menjalani kehidupannya secara normal dan produktif.











REFERENSI :


A.Latief Wiyata, Carok, Konflik Kekerasan Dan Harga Diri Orang Madura, Yogyakarta : LKiS, 2006

A.Latief Wiyata, Mencari Madura, Jakarta : Bidik-Phronesis Publishing, 2013
Alo Liliweri, Prasangka & Konflik,Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur,Yogyakarta : LKiS,2005

Gerry Van Klinken, Perang Kota Kecil, Kekerasan Komunal Dan Demokratisasi di Indonesia, Jakarta : YOI, 2007

Hendro Suroyo Sudagung, Mengurai Pertikaian Etnis, Migrasi Swakarsa Etnis Madura Ke Kalimantan Barat, Jakarta : ISAI, 2001

Soerjono Soekanto, Pokok Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : Rajawali, 2012










Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN

STATUS OBJEKTIF DAN STATUS SUBJEKTIF

TAWURAN SEBAGAI SUATU GEJALA SOSIAL (ANALISIS SOSIOLOGIS KONFLIK SOSIAL DI PERKOTAAN)