SEGREGASI SOSIAL (SOCIAL SEGREGATION)
SEGREGASI SOSIAL (SOCIAL SEGREGATION)
Dalam Kamus Sosiologi, Segregasi
(segregation) diartikan dengan konsentrasi bagian-bagian populasi atau
organisasi secara sukarela atau dengan paksaan di wilayah tertentu. Segregasi
sosial merupakan konsep yang menjelaskan mengenai adanya pemisahan interaksi dan
hubungan antara kedua kelompok yang berbeda. Segregasi terjadi ketika kedua
kelompok yang berbeda tersebut memiliki jarak sosial yang cukup tinggi, sehingga
mereka saling menolak untuk berinteraksi apalagi bekerjasama.
Dengan istilah ini dimaksud suatu
perpisahan di antara kelompok-kelompok yang menghindarkan atau sangat
mengurangkan adanya antar-hubungan.
Apabila segregasi terjadi secara
alamiah dan sukarela maka dapat dihasilkan suatu keadaan yang agak stabil tanpa
adanya konflik, karena tidak ada antar-hubungan, jadi kurang ada kesepakatan
untuk timbulnya konflik.
Lain halnya jika segregasi
dilakukan sebagai suatu politik yang bertujuan menekankan atau menahan suatu
golongan minoritas dalam suatu keadaan inferior, misalnya pada aspek pemukiman,
dalam aspek pendidikan, dan lain sebagainya, serta dalam suatu kedudukan
ekonomi yang rendah.
Segregasi adalah merupakan bentuk
diskriminasi yang paling kasar, sebagai misalnya yang berlangsung di Amerika
Serikat pada era 1960-an dan di Afrika Selatan pada masa politik Apartheid.
Segregasi dalam bentuknya yang
paling ekstrem juga berlangsung di Australia. Di negara tersebut segregasi
diberlakukan kepada orang-orang Aborigin yang merupakan penduduk asli Australia
James Henslin membuat skala
hubungan sosial antara skala yang mengarah kepada dimensi kemanusiaan dan
dimensi ketidakmanusiaan sebagai berikut :
kemanusiawiaan
|
multikulturalisme
|
asimilasi
|
segregasi
|
kolonialisme
|
pemindahan
/ pengusiran
|
genosida
|
ketidakmanusiawian
|
BENTUK SEGREGASI
Terdapat sejumlah bentuk segregasi
sosial seperti segregasi agama, segregasi ras dan segregasi etnis.
→ Segregasi etnis :
Menurut Parsudi Suparlan, kelompok
etnik memiliki sejumlah ciri sebagai berikut :
❶ secara
biologis mampu berkembang biak dan bertahan
❷ bersifat
askriptif
❸ memiliki
kesadaran dan memiliki kebersamaan sebagai sebuah kelompok
❹ bersifat
‘abadi”
❺ membentuk
jaringan komunikasi dan interaksi tersendiri
❻ berasal
dari daerah yang sama atau memiliki wilayah territorial tertentu
❼ memiliki
kesamaan kebudayaan, kekerabatan,kesenian, bahasa dan adat istiadat
❽ memiliki
sistem kekerabatan : matrilineal,patrilineal dan bilateral
❾ identitas
etnis atau kesadaran etnis apat diperkuat
atau diperlemah dengan identitas keagamaan
❿ dilengkapi
dengan atribut-atribut tertentu yang menunjukkan kekhasan
⓫ bersifat
sakral dan merupakan kesadaran terdalam
⓬ bagi
masyarakat tradisional etnis adalah status utama (master status) yang memotong
status-status lainnya
Adapun segregasi berdasarkan etnis
adalah adanya konsentrasi-konsentrasi atau pemusatan masyarakat dalam suatu
lingkungan atas dasar etnik tertentu. Segregasi etnis seringkali dianggap
sebagai ‘akar masalah’ dari sebuah konflik.
Akan tetapi sebuah studi mengenai
berbagai kerusuhan yang terjadi di India memperlihatkan bahwa di beberapa
tempat yang sarat dengan segregasi etnis
ternyata tidak ditemukan konflik dan kerusuhan yang signifikan. Sementara, di
beberapa tempat lain dengan segregasi etnis yang sama terjadi konflik yang
menimbulkan korban jiwa.
Akibatnya, segregasi etnis dalam
kasus ini yang diidentifikasi sebagai ‘akar masalah’ kehilangan relevansinya
ketika menjelaskan perihal ‘akar masalah ‘ tersebut. Studi tersebut menemukan
faktor lain yang lebih penting bahwa di tempat yang tidak terjadi konflik atau
kerusuhan berpeluang terdapat sebuah keadaan yang mengakomodasi hubungan baik
antar etnis yang didorong oleh keberadaan organisasi masyarakat sipil.
Selain itu, sebuah konsekuensi
logis dari alur pemikiran ‘segregasi etnis” ini adalah daerah dengan tingkat
homogenitas etnis tinggi berpeluang lebih besar untuk mencapai sebuah keadaan,
jauh dari konflik kekerasan komunal. Akan tetapi, keadaan sebaliknya terjadi di
Somalia di mana situasi homogenitas etnis tidak menghalangi konflik komunal di
negara yang akhirnya sering dikategorikan sebagai Failed States.(Subair, 2008)
→ Segregasi pemukiman :
Segregasi pemukiman adalah
pemisahan penduduk berdasarkan atas tempat tinggal. Segregasi pemukiman
sebenarnya dapat fungsional bagi struktur sosial. Menurut Parsudi Suparlan,
mengutip Bruner yang merupakan guru pembimbingnya, segregasi sosial atau
segregasi pluralisme (segregated pluralism) dapat dianggap sebagai sebuah
solusi bagi ketegangan etnis dan mencegah terjadinya konflik etnis.
Pandangan ini didasarkan atas
asumsi bahwa masing-masing kelompok etnis, yang dipandang secara esensialis,
sebaiknya memiliki “dominasi” di wilayahnya sendiri.
→ Segregasi kelas :
Segregasi kelas adalah pemisahan
atas dasar kelas sosial. Berdasarkan kelas sosialnya, penduduk terpisah
kehidupan sosialnya satu sama lain. Misalnya, kelompok kelas sosial atas
cenderung membentuk semacam aglomerasi dengan menempati daerah tertentu sebagai
tempat tinggal atau domisili, misalnya komplek perumahan Pondok Indah di
Jakarta Selatan atau perumahan kumuh di sejumlah tempat di kota-kota besar yang
merupakan tempat tinggal golongan kelas sosial bawah.
→ Segregasi agama :
Segregasi berdasarkan agama adalah
konsentrasi-konsentrasi masyarakat dalam suatu lingkungan (kota) dengan dasar
agama. Contoh dari seregasi agama adalah adanya segregasi pemukiman berdasarkan
agama di Kota Ambon antara kampung Islam (salam) dan kampung Nasrani (Sarani).
Kota Ambon terkenal dengan
segregasi pemukiman berdasarkan agama. Pemukiman di kota tersebut terbagi
menjadi dua, yaitu pemukinan (kampung) muslim dan pemukiman kristen. Diantara
kampung muslim yang terkenal adalah daerah Batu Merah, sedangkan pemukiman
kristen yang utama adalah pemukiman Kuda Mati.
Hampir semuan pemukiman di Kota
Ambon dipisahkan beradasarkan agama, kecuali daerah Wayame, yang warganya
terdiri dari komunitas muslim dan kristen. Wayame sudah lama mengembangkan
toleransi agama, sehingga daerah pemukiman tersebut menjadi satu-satunya daerah
yang tidak mengalami konflik horizontal pada 1999-2004.
Dalam studi kasus di Kodya Ambon,
terdapat dua pendapat yang berbeda dari kedua komunitas—muslim dan
nasrani—mengenai segregasi pemukiman berdasarkan agama, sebagian setuju dan
sebagian lainnya menolak. Sebagian besar umat Islam dalam sebuah responden
menyatakan setuju dengan adanya segregasi tersebut.
Ada beberapa alasan mengapa sikap
seperti itu dipilih oleh kebanyakan orang Islam, mengingat perbedaan-perbedaan
kultur keagamaan yang bersifat sosial sebagai perbedaan prinsipil yang tidak
bisa dikompromikan seperti keharaman memelihara anjing dan babi, dibandingkan
dengan kebiasaan memelihara binatang tersebut oleh orang Kristen.
→ Segregasi ras :
Segregasi ras adalah pemisahan
penduduk berdasarkan perbedaan ras. Segregasi ras ditegakkan melalui berbagai
peraturan perundang-undangan.
Segregasi ras di antaranya pernah
diterapkan dalam masyarakat yang menganut sistem Apartheid seperti di Afrika
Selatan. Menurut Van den Berghe, segregasi yang [ernah diterapkan melalui
sistem Apartheid itu berlangsung pada jenjang makro, meso, dan mikro.
♦ makro : pada jenjang makro diterapkan pembedaan antara
wilayah bagi kulit putih dan kulit hitam
♦ meso : pada jenjang meso diterapkan kebijaksanaan pemisahan kawasan
pemukiman kelompok yang berbeda yang
tinggal di wilayah yang sama
♦ mikro : pada jenjang mikro diterapkan pemisahan fisik
antarkelompok yang mencakup larangan menikah, bergaul, berpergian, beribadat, dan
lain sebagainya
Contoh lain dari adanya segregasi
ras adalah adanya sejumlah pemukiman
atas dasar ras seperti Chinatown, Little Japan dan kota Italia di Amerika
Serikat. Contoh lainnya adalah adanya segregasi pemukiman antara orang Yahudi dan
Palestina serta Armenia di Israel.
BENTUK SEGREGASI :
Konsep segregasi sosial juga dapat
diterapkan dalam menganalisa fenomena kesenjangan dalam relasi gender antara
perempuan dan laki-laki.More dan Sibclair (1995) mengidentifikasikan dua macam
segregasi jelis kelamin dalam angkatan kerja ; segregasi vertikal dan segregasi
horizontal.
● Segregasi vertikal :
Segregasi vertikal mengacu pada
terkonsentrasinya pekerja perempuan pada jenjang rendah dalam organisasi,
seperti misalnya jabatan pramuniaga, pramusaji, tenaga kebersihan, pramugari,
sekretaris, pengasuh anak, guru taman kanak-kanak, perawat, kasir, dan lain
sebagainya.
Adanya segregasi vertikal
memberikan kesan bahwa dalam tangga jabatan seakan-akan ada suatu
“langit-langit kaca” (glass ceiling) yang menghalangi mobilitas kaum perempuan
ke jenjang jabatan yang lebih tinggi.
Segregasi vertikal atau segregasi
kelas tersebut menjadi faktor yang menghambat kelas sosial bawah (lower class)
untuk melakukan mobilitas sosial vertikal naik (climbing ). Dalam konteks
analisis gender, pembatasan ruang gerak bagi kaum perempuan untuk dapat
memiliki posisi-posisi sosial yang lebih tinggi disebut subordinasi.
Subordinasi berbasiskan gender dapat ditemukan dalam
berbagai bentuk dimensi kehidupan sosial. Subordinasi antara lain juga terjadi
di dalam dunia pekerjaan atau profesi. Dunia profesi ditandai oleh adanya
hirarki seksual yang cenderung menempatkan perempuan pada posisi di bawah. Relasi
pekerjaan pada profesi-profesi tertentu memperlihatkan adanya hirarki seksual
tersebut, misalnya laki-laki menjadi dokter sedangkan profesi perawat lebih
banyak diisi oleh kaum perempuan. Posisi direktur umumnya diperankan oleh
laki-laki sedangkan perempuan bertindak sebagai sekretaris di perusahaan
tersebut.
● Segregasi horizontal :
Sedangkan segregasi horizontal
mengacu pada kenyataan bahwa pekerja perempuan sering terkonsentrasi di jenis
pekerjaan yang berbeda dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja
laki-laki.
Adanya segregasi horizontal pun
memberi kesan seakan-akan dalam pasar kerja ada jenis pekerjaan tertentu yang
relatif tertutup bagi kaum perempuan, seperti misalnya di bidang ilmu
pengetahuan alam dan teknologi. (Sunarto, 2010)
Dalam perspektif feminis, segregasi horizontal bagi kaum
perempuan tersebut dikenal dengan sebutan marjinalisasi. Marjinalisasi adalah
proses pemiskinan ekonomi. Dalam prakteknya marjinalisasi yang dialami oleh
perempuan berupa adanya peminggiran perempuan dalam kehidupan di ruang publik,
khususnya di bidang perekonomian. Perempuan diberi ruang terbatas di ruang
domestik, yang pekerjaannya berkutat pada kegiatan kerumahtanggaan, seperti
membersihkan rumah dan mengurus anak serta suami.
Kalaupun perempuan bekerja di sektor publik, marjinalisasi
perempuan juga tetap terjadi. Pembagian kerja secara seksual juga terjadi di
ruang publik. Di sektor publik, terdapat segmentasi yang menempatkan perempuan dan
laki-laki pada segmen yang berbeda. Perempuan bahkan seringkali “terjebak” pada
pekerjaan fisik yang tidak layak dikerjakan oleh perempuan , seperti menjadi
buruh di pasar-pasar, buruh pembangunan jalan, buruh pemecah batu, dan lain
sebagainya.
Di sejumlah perusahaan, marjinalisasi beririsan dengan eksploitasi terhadap
perempuan. Perusahaan banyak merekrut tenaga kerja perempuan dengan alasan
dapat memberikan upah murah dan relatif
sedikit potensi resistensi terhadap perusahaan. Buruh perempuan distereotipkan
sebagai tenaga kerja yang mudah dikendalikan.
Pekerjaan perempuan yang umumnya tidak banyak membutuhkan
keahlian atau semi-keahlian seperti yang
disebutkan di atas merupakan proses terpenting dalam produksi suatu barang/produk. Komposisi
gender semacam ini sesungguhnya merupakan tanda dari kenyataan bahwa kegiatan
ekonomi telah mengalami proses degradasi akibat pemburuan kapital untuk
memaksimalkan keuntungan. (Abdullah, 2001)
Bentuk-bentuk
marjinalisasi dapat dilihat sebagai berikut :
→ Pemisahan dan pembagian antara ruang publik dan ruang
domestik, di mana sektor publik diperuntukkan bagi laki-laki sedangkan sektor
domestik diperuntukkan bagi perempuan.
→ marjinalisasi juga dapat terjadi jikalau perempuan masuk
ke sektor publik. Hal itu ditunjukkan dengan keberadaan perempuan pada
sektor-sektor ekonomi yang diangggap kurang penting dan bergaji rendah serta
tidak memiliki jaminan masa depan atau karir bagi perempuan.
→ Pembatasan ruang sosial perempuan melalui pembatasan
aktivitas perempuan di tempat publik,jam malam bagi perempuan yang bertujuan
melanggengkan ketergantungan perempuan secara fisik dan ekonomi
→ peminggiran perempuan dalam proses produksi dan
pengambilan keputusan yang strategis
JENIS SEGREGASI :
Segregasi sosial terbagi menjadi
dua, Segregasi terpaksa (involuntary segregation) dan Segregasi Sukarela (voluntary segregation). Perbedaan antara keduanya
dapat dilihat dari keterangan berikut :
√ Segregasi terpaksa (involuntary segregation) :
model segregasi ini adalah segregasi
yang dipaksakan terutama oleh pihak luar, seperti beberapa contoh berikut ini :
-pemaksaan pemerintah Israel kepada
orang Palestina untuk tinggal terkonsentrasi di Jalur Gaza. Beberapa juta orang
Palestina harus terkurung dan dibatasi oleh tembok setinggi 8 meter oleh
pemerintah Israel.Mereka juga kerap diperlakukan dengan tidak manusiawi dengan
diputusnya akses barang dan kebutuhan lainnya dari luar Jalur Gaza.Jalur Gaza
kini sudah berkembang menjadi ‘penjara’ raksasa yang diciptakan oleh penjajah Israel
terhadap bangsa Palestina.
→ Pemaksaan yang dilakukan oleh
pemerintah Amerika Serikat terhadap orang-orang Indian untuk mendiami kawasan
tertentu
→ Pemaksaan pemerintah kulit putih
Australia terhadap orang-orang Aborigin untuk mendiami kawasan khusus.
→ Pemaksaan yang dilakukan oleh
pemerintahan Apartheid kepada orang kulit hitam untuk mendiami kawasan tertentu
√ Segregasi Sukarela (voluntary segregation) :
model segregasi ini memang menjadi
pilihan sadar dari kelompok sosial yang ada, diantaranya dilatarbelakangi oleh
adanya pemukiman yang terpisah semenjak beberapa generasi sebelumnya. Misalnya
sejumlah pendatang yang bermigrasi ke Ambon dilatarbelakangi oleh pertimbangan
ekonomi semata, sehingga seluruh keputusan sosial termasuk memilih lokasi
pemukiman juga didasarkan atas pertimbangan ekonomis seperti di dekat pasar dan
lain sebagainya.
REFERENSI :
Kamanto Sunarto, Pengantar
Sosiologi, Jakarta, Lembaga Penerbit FEUI, 2000
Mansour Fakih, Analisis Gender Dan Transformasi Sosial,
Yogyakarta : Insiste, 2008
Mayor Polak, Sosiologi, Jakarta :
Ichtiar, 1976
Subair. Segregasi Pemukiman Berdasa
Agama, Solusi Atau Ancaman ?,Pendekatan Sosiologis Atas Interaksi Sosial Antara
Orang Islam dan Orang Kristen Pasca KOnflik 1999-2004 di Kota Ambon, Yogyakarta
: Grha Guru, 2008
Paul Horton, Sosiologi, Jakarta :
Penerbit Erlangga, 1996
Komentar
Posting Komentar