VIGILANTISME


VIGILANTISME

PENGANTAR

Media massa di Indonesia kerap kali memberitakan berbagai kasus pengeroyokan yang dilakukan massa terhadap seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak kejahatan. Aksi ini dikenal dengan istilah vigilantisme.Vigilantisme adalah tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh massa dengan mengambilalih peran penegak hukum yang sifatnya ilegal atau bertentangan dengan hukum itu sendiri.

Kasus vigilantisme di Indonesia tercatat cukup banyak. Diantara yang cukup menyedot perhatian adalah aksi pengeroyokan yang berlangsung brutal terhadap seseorang yang diduga sebagai pelaku pencurian terhadap amplivier di sebuah Mushola di Karawang, Jawa Barat. Aksi pengeroyokan tersebut tergolong sadis, karena pelaku bukan saja dikeroyok secara membabi buta, tetapi juga sampai dibakar secara hidup-hidup hingga tewas.

Aksi pengeroyokan lainnya dialami oleh seorang pembegal motor. Setelah melakukan aksinya yang gagal, seorang begal motor yang masih belia di kawasan Tangerang Selatan, Banten dikeroyok oleh massa yang mengetahui aksi pembegalan  tersebut.

Pelaku begal tersebut kemudian dikeroyok oleh massa. Setelah massa mencurigai pelaku begal tersebut disinyalir  menggunakan jimat, maka massa kemudian melakukan tindakan penggeledahan dan kemudian melakukan pembakaran terhadap pelaku begal tersebut.

Dua contoh di atas menggambarkan fenomena sosial yang ada di masyarakat. Peristiwa pengeroyokan massa atau main hakim sendiri tersebut memiliki dua sisi. Pertama, fenomena tersebut menunjukkan betapa masyarakat sudah sangat resah dengan tindak kriminalitas yang ada. Masyarakat menganggap tidakan kriminalitas semakin bertambah baik kuantitas maupun kualitasnya.

Masyarakat juga geram dengan pelaku kejahatan yang tidak memandang korbannya, baik orang dewasa, anak-anak, orang tua atau bahkan kalangan difabel. Pelaku kriminalitas juga seringkali tidak segan menggunakan kekerasan dalam menjalankan aksinya.

Kedua, fenomena vigilantisme menunjukkan adanya krisis kemanusiaan di dalam masyarakat. Tindakan pengeroyokan, apalagi sampai berujung kepada pembunuhan tetap tidak dibenarkan. Bahkan tindakan main hakim sendiri tersebut seringkali lebih berat daripada tindakan kriminalitas yang dilakukan oleh korban pengeroyokan massa, apalagi hal tersebut belum dibuktikan melalui proses hukum dan peradilan.

PENYEBAB VIGILANTISME

Vigilantisme atau tindakan main hakim sendiri merupakan sebuah aksi kolektif yang berbentuk kerumunan (crowd). Kerumunan dalam perspektif sosiologis merupakan sekumpulan orang yang berada secara fisik di suatu ruang spasial tertentu akan tetapi memiliki tingkat kesadaran kelompok yang rendah, tidak seperti publik atau kelompok sosial lainnya.

Sebagai sebuah kerumunan, vigilantisme bersifat sangat sugestif. Tingkat rasionalitas yang sangat rendah pada kerumunan mengakibatkan sangat mudah disulut oleh sebuah simbol tertentu. Misalnya, ketika ada seseorang di dalam kerumunan massa menyerukan  : “bakar”…”bunuh”… dan lain sebagainya, maka secara spontan massa akan cenderung melakukan tindakan tersebut.

Vigilantisme atau main hakim sendiri merupakan sebuah gejala sosial yang sangat kompleks, oleh karena itu diperlukan pendekatan multidimensional dan multidisiplin untuk menganalisanya agar tidak terjebak kepada pendekatan yang sigmatik yang cenderung bias.

Berdasarkan sejumlah pendekatan yang ada, vigilantisme atau main hakim sendiri dapat disebabkan oleh sejumlah faktor berikut :

→ Adanya frustasi sosial :

Krisis ekonomi dan kesulitan hidup seringkali dijadikan alasan untuk menjelaskan fenomena main hakim sendiri yang terjadi di masyarakat. Sejumlah analis juga menyebutkan bahwa maraknya kekerasan kolektif menindikasikan kondisi perekonomian yang tidak stabil. Kondisi perekonomian yang buruk yang dintandai oleh sulitnya mencari pekerjaan dan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari menjadikan banyak orang menjadi tidak mampu lagi berfikir rasional. Hal tersebut juga membuka ruang bagi munculnya sikap agresif yang dapat berwujud ke dalam berbagai bentuk.

→ kegagalan rekayasa sosial perkotaan :

Fakta bahwa kekerasan, termasuk tindakan main hakim sendiri lebih banyak terjadi di daerah perkotaan menunjukkan bahwa konsep pembangunan perkotaan baik fisik maupun non fisik dapat dikatakan kurang berhasil. Masyarakat perkotaan gampang tersulut emosinya sehingga mendorong terjadinya berbagai bentuk kekerasan seperti tawuran antarkampung dan aksi kekerasan lainnya khususnya vigilantisme.

Sikap agresif masyarakat kota diantaranya disebabkan karena minimnya ruang fasilitas publik yang dapat diakses oleh anggota masyarakat. Sebagaian besar lahan dan ruang di perkotaan sudah dikuasai oleh para kapitalis, sehingga sebagian besar tempat hiburan yang ada harus dibeli dengan uang dalam jumlah yang besar.

Masyarakat tidak memiliki ruang yang memadai untuk melepaskan kepenatan hidup yang ada sementara rumah tempat tinggal mereka jauh dari kenyamanan dan kelayakan. Tidak mengherankan jika banyak kasus kekerasan terjadi di daerah padat penduduk seperti di kawasan Senen, Tanah Tinggi, Galur, Tanah Abang, dan sejumlah tempat lainnya.

→ disfungsi lembaga pendidikan :

Di antara sekian faktor yang dapat menjelaskan kekerasan dalam vigilantisme adalah rendahnya tingkat pendidikan, termasuk pendidikan hukum. Masyarakat umumnya masih awam dengan hak asasi orang lain yang harus dihormati. Para pelaku pengeroyokan massal sangat mungkin didorong oleh ketidaktahuannya mengenai hukum dan hukuman terhadap penjahat. Analisis tersebut sejalan dengan adanya kecenderungan bahwa yang menjadi korban kriminalitas khususnya kejahatan jalanan (street justice) adalah orang yang berada pada lapisan sosial bawah.

→ adanya “hukum kesetimbangan” :

Aksi pengeroyokan massa--terlepas dari hal tersebut adalah tindakan melanggar hukum dan seringkali di luar batas-batas kemanusiawian—merupakan sebuah kesetimbangan sosial terterntu terhadap kejahatan. Hal ini menunjukkan bahwa di masyarakat ada “hukum” yang hidup dan berjalan di luar hukum positif yang berlaku.Tindakan sadistis yang dilakukan oleh massa terhadap pelaku kejahatan merupakan reaksi terhadap kejahatan itu sendiri.
Masyarakat menilai para pelaku kejahatan juga seringkali bertindak sadis dan di luar batas kemanusiaan. 

Para pelaku kejahatan seringkali tidak ragu untuk melukai korbannya atau bahkan membunuhnya. Misalnya, untuk mendapatkan perhiasan di jari seorang korbannya, pelaku pernah sampai harus memotong tangan korban hingga putus. Hal inilah yang menjadikan masyarakat geram. Ada semacam ‘nafsu untuk membalas dendam’ terhadap pelaku kejahatan.

→ Ketidakpuasan masyarakat terhadap hukum dan aparat hukum :

Tindak main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat menunjukkan adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum dan aparat hukum. Pengalaman masyarakat dalam berinteraksi dengan hukum dan aparat hukum seringkali menimbulkan apatisme terhadap hukum dan aparat hukum, terutama lembaga kepolisian.

Banyak pengalaman masyarakat dalam kehidupan sehari-hari yang mendukung munculnya apatisme tersebut. Misalnya, masih banyak oknum polisi lalu lintas yang menekan atau mengondisikan pelaku pelanggaran lalu lintas agar memberikan uang kepada petugas tersebut. Belum lagi ketika masyarakat harus berususan dengan aparat hukum dalam kasus hukum tertentu, sehingga ada sebuah satir yang menyebutkan kalau masyarakat ingin mengurus kehilangan kambingnya ke aparat maka ia mungkin akan kehilangan sapi.

Banyak anggota masyarakat yang menganggap lembaga peradilan sebagai lembaga yang tidak dapat dipercaya. Putusan pengadilan seringkali ditanggapi dengan ketidakpuasan oleh anggota masyarakat. Misalnya pelaku kejahatan dijatuhi hukuman yang oleh pandangan subjektif masyarakat dinilai tidak memenuhi rasa keadilan.

Pelaku pembunuhan “hanya” dijatuhi hukuman lima belas sampai tiga puluh tahun, padahal pelaku tersebut telah menghilangkan nyawa seseorang atau sejumlah orang dan membuat ahli warisnya mengalami keguncangan hidup. Apalagi pelaku tersebut ketika menjalani masa hukumannya bisa mendapatkan sejumlah ‘hak’ seperti remisi dan lain sebagainya.

→ Terbatasnya atau Kurangnya aparat hukum :

Maraknya tindak kejahatan dan aksi pembalasan terhadap pelaku kejahatan oleh massa juga disebabkan oleh tidak seimbangnya rasio antara jumlah aparat khususnya aparat kepolisian dengan jumlah penduduk yang ada. Sementara jumlah penduduk makin bertambah dengan cepat, jumlah aparat kepolisian relatif tidak dapat mengimbanginya. Dampaknya adalah respon terhadap adanya tindak kejahatan seringkali tidak sesuai dengan harapan masyarakat, dan hal inilah yang kemudian mendorong masyarakat untuk melakukan tindakan main hakim sendiri.

→ Budaya kekerasan :

Sejumlah masyarakat Indonesia memiliki budaya kekerasan. Budaya kekerasan adalah kebiasaan untuk menyelesaikan persoalan yang ada dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Budaya kekerasan ini terdapat bukan saja dalam masyarakat berbasis etnik di kawasan pedesaan, tetapi juga ada dalam masyarakat modern di perkotaan. 

Fenomena budaya kekerasan di Indonesia dapat dilihat dari sejumlah contoh sebagai berikut ;

adanya metode penggunaan kekerasan baik fisik maupun simbolik yang dilakukan oleh sejumlah oknum lembaga penagih hutang (debt collector) tertentu

banyaknya organisasi massa yang sering menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuannya

berdirinya sejumlah organisasi “bela diri’ seperti perguruan silat
Budaya kekerasan juga dapat terlihat dari adanya sikap permisif masyarakat dalam melihat fenomena vigilantisme. Sebagian masyarakat cenderung membiarkan atau menoleransi kekerasan yang dilakukan terhadap pelaku kejahatan.


→ Imitasi sosial :

Perilaku sosial masyarakat seringkali didorong oleh tindakan meniru. Peniruan yang dilakukan oleh masyarakat biasanya dilakukan terhadap para pejabat pemerintahan dan aparat. Ketika pejabat dan aparat menunjukkan penggunaan kekerasan, baik secara fisik maupun simbolik, maka secara tidak sadar hal itu akan dijadikan sebagai role model bagi masyarakat.

Masyarakat seringkali menganggap perilaku pejabat dan aparat sebagai perilaku yang menjadi pedoman dalam bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya sejumlah pejabat dan aparat dengan mudah melanggar larangan menggunakan jalur bus way yang dikhususkan bagi bus transjakarta, ambulan, dan mobil pemadam kebakaran. Padahal kalau masyarakat melakukan hal yang sama akan mendapatkan sanksi yang tegas.

Penggunaan kekerasan juga ditunjukkan secara provokatif oleh sejumlah pejabat pemerintahan. Misalnya serinkali anggota legislatif mengeluarkan kata-kata kotor di ruang publik dan disaksikan oleh jutaan anggota masyarakat dari berbagai lapisan usia.

Imitasi sosial kekerasan juga terjadi di lembaga pendidikan. Budaya kekerasan yang berkembang di sekolah menunjukkan adanya disfungsi dari lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan formal seperti sekolah seharusnya menanamkan gagasan tentang empati sosial, toleransi, dan menghargai orang lain, akan tetapi dalam kenyataannya sekolah juga mentransmisikan budaya kekerasan terhadap peserta didik.

Sebagai contoh, guru dalam mendidik muridnya menggunakan kekerasan fisik berupa pukulan atau simbolik seperti hinaan dan celaan atau memberikan stigma negatif terhadap siswa. Hal tersebut akan menyebabkan para siswa menganggap kekerasan sebagai mekanisme sosial yang berlkau dalam kehidupan, yang berkuasa dapat menindas yang lemah.








REFERENSI :


Erlangga Masdiana, Kejahatan Dalam Wajah Pembangunan, Jakarta : NFU Publishing, 2006

Jerome Tadie, Wilayah Kekerasan Di Jakarta, Depok : Masup Jakarta, 2009










Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN

STATUS OBJEKTIF DAN STATUS SUBJEKTIF

TAWURAN SEBAGAI SUATU GEJALA SOSIAL (ANALISIS SOSIOLOGIS KONFLIK SOSIAL DI PERKOTAAN)