SOSIOLOGI WAKTU
SOSIOLOGI
WAKTU
PENGANTAR
Semua fenomena sosial terjadi pada saat tertentu dalam
konteks waktu. Semua proses sosial terjadi terus menerus sepanjang waktu.
Singkatnya, kehidupan sosial berlangsung dalam waktu tertentu. Waktu—seperti
ruang—adalah konteks universal dalam kehidupan sosial. Kita harus memahami
hubungan waktu-ruang yang melekat dalam bentuk semua interaksi sosial. Setiap
pola interaksi yang ada selalu diletakkan dalam konteks waktu.
Konsep waktu yang ada pada setiap masyarakat dipengaruhi
oleh tafsiran budaya yang beraneka ragam. Cara yang lazim untuk menunjukkan
waktu diserap oleh individu hampir segera sesudah ia lahir. Dalam masyarakat
yang berteknologi tinggi, waktu dibagi menjadi jam, menit, dan detik.
Menyimak arloji menjadi sesuatu hal yang umum, sebab dalam
masyarakat tersebut kegiatan sehari-hari dijadwal dengan ketat dan
produktifitas dihargai. Seorang anak yang pernah ketinggalan bis sekolah hanya
beberapa menit saja mungkin akan mendapatkan pelajaran yang diingat seumur
hidupnya.
Bertahun-tahun kemudian, karena telah terbentuk oleh
pengalaman tadi, mungkin ia akan merasa gelisah sambil melihat arlojinya dan
bertanya dalam hati apakah masih ada waktu untuk minum sebelum kereta api
langganannya meluncur keluar dari stasiun.
Sebalinya, dalam masyarakat non-teknologi, waktu disusun
menurut ukuran lain. Orang Eskimo, misalnya, tidak membagi waktu menjadi jam,
menit, dan detik. Dalam kehidupan mereka tidak ada sesuatu yang menuntut agar
waktu diatur dengan cara yang demikian mendesak.
Sebaliknya, pembagian waktu mereka ditentukan oleh hal-hal yang bagi mereka merupakan keharusan yang lebih penting—kapan musim berganti, kapan binatang beremigrasi, kapan burung membuat sarang, kapan ikan berpindah, kapan es surut—itulah hal-hal yang perlu mereka ketahui agar dapat bekerja.
Sebaliknya, pembagian waktu mereka ditentukan oleh hal-hal yang bagi mereka merupakan keharusan yang lebih penting—kapan musim berganti, kapan binatang beremigrasi, kapan burung membuat sarang, kapan ikan berpindah, kapan es surut—itulah hal-hal yang perlu mereka ketahui agar dapat bekerja.
Bagi anak Eskimo, tidak ada kepentingannya mengenal waktu
dalam satuan-satuan yang ditunjukkan oleh arloji. Tetapi mereka belajar
mengukur waktu dengan meniru orang tua mereka pada waktu melakukan tugas yang
berganti-ganti seirama dengan pergantian daur alam.
Hampir setiap masyarakat dunia memiliki konsepsi mengenai
waktu. Waktu merupakan aspek yang mengatur kehidupan mereka sehari-hari. Memang
ada suku tertentu yang sama sekali tidak memiliki konsepsi mengenai waktu,
seperti yang dikemukakan oleh seorang antropolog sosial, E.E.E vans-Pritchard
yang meneliti mengenai kehidupan suku Nuers di Sudan. Suku tersebut menurutnya
tidak memiliki gagasan mengenai waktu yang terpisah dari perjalanan hidup yang
berkaitan dengan fenomena meteorologi atau
biologi dan dengan kehidupan sehari-hari.
Waktu adalah dimensi yang sangat diperlukan dan terlibat
dalam setiap aspek kehidupan manusia. Hal ini menunjukkan alasan mengapa waktu
sangat penting dalam persoalan pokok dalam ilmu sosial.
Waktu lebih erat lagi kaitannya dengan perubahan sosial.
Mustahil membayangkan waktu tanpa mengacu pada perubahan, dan sebaliknya,
gagasan tentang perubahan tidak mungkin terlepas dari konteks waktu tertentu.
Waktu mendefinisikan perubahan sosial yang biasanya mengacu kepada perbedaan
dua keadaan sistem sosial sesudah melalui waktu.
Tidak ada fenomena atau peristiwa sosial yang bersifat
tunggal, unik, atau terisolasi secara mutlak. Tiap fenomena atau peristiwa
mempunyai jangka waktu, berakhir pada waktu tertentu. Sebagai contoh, sebuah
peperangan dapat berlangsung selama lebih dari seratus tahun, sekolah menengah
berlangsung selama enam tahun, makan pagi berlangsung selama sekitar sepuluh
menit dan lain sebagainya.
Kapan pun kita memikirkan sebuah fenomena sebagai sebentar,
berlalu, segera, pemikiran itu selalu terkait dengan tenggang waktu yang kita
gunakan. Tidak ada fenomena atau peristiwa tanpa waktu dalam arti tempatnya
dalam waktu maupun dalam arti perkembangan melalui waktu.
Aliran waktu yang tidak dapat diubah menyiratkan adanya
perbedaan antara masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Perbedaan antara
masa lalu, masa kini, dan masa mendatang tidak benar-benar terpisah satu sama
lainnya. Pada dasarnya tidak ada masa kini karena proses sosial berlanjut dan setiap
saat proses sosial itu berlangsung tanpa henti dari masa lalu ke masa mendatang.
Proses sosial itu telah berada di masa lalu, tetapi belum
lagi di masa mendatang. Betapa pun kecilnya skala yang digunakan, selalu ada
gerakan, aliran, ketimbang keadaan membeku dan terhenti. Ketika seseorang sedang
menulis sesuatu, setiap kalimat telah berada di masa lalu sebelum orang
tersebut menyelesaikan tulisannya.
WAKTU
DAN RITUAL KEAGAMAAN
Satuan waktu lebih mencerminkan pengalaman sosial ketimbang
sebuah proses yang bersifat alamiah. Sebagai
contoh, perhitungan waktu dalam satu minggu hingga taraf tertentu adalah
konvensional, meski mula-mula lamanya berbeda di berbagai kultur. Delapan hari
di masyarakat Mesir kuno, tujuh hari dalam tradisi Yahudi-Kristen, sepuluh hari
di masyarakat Cina, lima hari dalam masyarakat tertentu di Afrika.
Setiap masyarakat memiliki waktu khusus yang diperuntukkan
untuk kegiatan ritual. Misalnya orang Islam menjadikan hari jum`at sebagai hari
khusus untuk ritual ibadah Salat Jum`at, bulan ramadhan sebagai bulan khusus
untuk melakukan puasa, dan pelaksanaan ibadah haji pada bulan tertentu. Ketika
melakukan ibadah puasa di Bulan Ramadhan, kaum Muslim tidak diperbolehkan
makan, minum dan melakukan hubungan seks dengan pasangan mereka dari matahari
terbit hingga matahari tenggelam.
Pelanggaran atas ketentuan tersebut dianggap sebagai sebuah dosa besar.
Pelanggaran atas ketentuan tersebut dianggap sebagai sebuah dosa besar.
Masyarakat muslim juga memiliki tabu terkait dengan waktu.
Misalnya ada bulan-bulan tertentu yang disebut Bulan Haram. Pada waktu itu
dilarang keras melakukan peperangan, bahkan ketika seseorang bertemu dengan
musuhnya sekali pun.
Demikian pula orang Yahudi yang menjadikan hari sabtu
sebagai hari yang terlarang untuk bekerja, sedangkan orang Kristen menjadikan
hari minggu sebagai hari untuk melakukan kebaktian. Dalam agama Hindu di Bali,
terdapat hari khusus dalam satu tahun
yang dikhususkan untuk melakukan ritual yang dikenal dangan nama Nyepi.
Sejumlah komunitas keagamaan atau aliran kepercayaan
tertentu juga memiliki gagasan mengenai kemujuran dan kesialan yang dikaitkan dengan
waktu. Misalnya bagi masyarakat Jawa yang Kejawen mereka memiliki kalender yang
menetapkan hari-hari atau waktu tertentu. Orang Tionghoa juga memiliki gagasan
mengenai waktu tertentu yang dianggap dapat memberikan kemujuran (hoki) seperti
tanggal dan bulan yang berlangsung bersamaan seperti tanggal sepuluh bulan
sepuluh dan lain sebagainya.
WAKTU
DAN NILAI BUDAYA
Berbicara mengenai kebudayaan, maka kita akan membicarakan
mengenai relativitas budaya. Relativitas budaya menggambarkan adanya perbedaan
kebudayaan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Kebudayaan
sebuah masyarakat juga memiliki konsepsi mengenai waktu. Terdapat perbedaan
yang signifikan antara masyarakat Barat yang bercorak materialistis dengan
masyarakat Timur.
Sebagai contoh, masyarakat Barat yang terindustrialisasi
cenderung memandang penting waktu. Kehidupan sosial mereka sehari-hari sangat
ditentukan oleh waktu. Misalnya orang Inggris memiliki pepatah “Waktu
adalah uang”. Mereka menganggap bahwa waktu
berfungsi mendorong seseorang untuk menghasilkan uang dan kekayaan, sehingga
mereka tidak mau “menyia-nyiakan” waktu untuk hal-hal yang mereka anggap tidak
produktif.
Demikian pula masyarakat Jepang. Walaupun dianggap sebagai
bagian dari Timur, Jepang sudah lama terbaratkan. Masyarakat Jepang yang sudah
terindustrialsiasi memandang waktu sebagai sebuah hal yang terkait erat dengan
produktifitas. Sistem transportasi di Jepang tidak menolerir adanya
keterlambatan. Demikian pula dengan kegiatan di bidang bisnis dan perdagangan.
Sedangkan sebagian masyarakat Timur tidak memiliki persepsi
yang sama dengan masyarakat Barat mengenai waktu. Mereka melihat waktu tidak
secara rigid. Pandangan inilah yang menyebabkan mereka tidak harus merasa
terikat dengan waktu dalam mkehidupan mereka sehari-hari. Istilah ‘jam karet’
juga melekat dalam kehidupan sosial sebagian masyarakat Timur. Dalam masyarakat
yang demikian, tidak ada salahnya seseorang tidak menepati waktu yang telah
disepakati sebelumnya.
WAKTU
DAN PROFESI
Waktu juga memiliki keterkaitan dengan jenis pekerjaan atau
profesi tertentu.Ada jenis pekerjaan atau profesi tertentu yang sangat
menekankan ketepatan waktu, hemat waktu, dan lain sebagainya, sedangkan jenis
pekerjaan atau profesi lainnya memperlakukan waktu lebih longgar.
Sebagai contoh, dikalangan tentara, waktu menjadi alat ukur
untuk menentukan kedisiplinan. Seorang tentara yang terlambat hadir ketika
upacara atau apel pagi akan mendatangkan sanksi yang keras dan dianggap tidak
berdisiplin. Ketika peperangan berlangsung, di dunia militer dikenal dengan
istilah Jam-J dan Hari-H, yaitu saat yang ditentukan untuk melakukan serangan
terhadap musuh. Keterlambatan dalam hal ini akan menghancurkan segala rencana
yang ada dan dapat berakhir dengan kekalahan.
Demikian pula dengan profesi pilot. Dalam sistem
penerbangan yang sangat sibuk, dengan jadwal penerbangan yang padat, ketepatan
waktu merupakan perkara yang tidak bisa ditawar-tawar, sedangkan keterlambatan
dapat berakibat kepada ketidakpercayaan konsumen. Sebuah maskapai penerbangan
yang seringkali melakukan delay atau
keterlambatan penerbangan akan dicela dan bahkan ditinggalkan oleh para
konsumennya, dan hal ini akan berdampak buruk kepada berkurangnya produktifitas
dan keuntungan.
POLA
WAKTU
Secara umum konsep waktu menggambarkan adanya dua pola,
yang pertama berpola linier dan yang
kedua berpola siklus. Pandangan waktu yang bersifat linier diwariskan oleh
filsafat Kristen Ajaran ini memperkenalkan konsep penebusan dosa dam
keselamatan di masa yang akan datang. Sejarah dunia dan kehidupan individu pun
digambarkan dengan cara demikian.
Meski pandangan linier mendominasi pandangan masyarakat
industri modern, namun masih terdapat pandangan yang berpola melingkar atau
siklus di dalamnya. Pandangan siklus atau melingkar ini dapat dijumpai dalam
kehidupan sosial sehari-hari. Kehidupan sosial ditandai oleh adanya siklus ;
bekerja dan istirahat, tahun kalender, tahun keagamaan, bahkan kalender
olahraga dan kalender akademik.
ORIENTASI
TENTANG WAKTU
Terdapat perbedaan mendasar antara masyarakat tradisional
dan masyarakat modern dalam memandang waktu. Masyarakat tradisional cenderung
mengidealisasikan masa lalu. Segala bentuk tradisi atau kebiasaan lama dianggap
sebagai sebuah hal yang ideal, sehingga konsepsi tentang masa lalu benar-benar mewarnai dan bahkan menjiwai
kehidupan sosial sehari-hari masyarakat tersebut.
Dalam pemenuhan kebutuhan pokok mereka, masyarakat
tradisional menjalani hidup secara subsisten. Subsistensi telah menjadi bagian
dari jalan hidup mereka. Masyarakat tradisional tidak memikirkan tentang
antisipasi masa datang. Aktifitas pertanian yang mereka lakukan sekedar untuk
memenuhi kebutuhan hari ini.
Masyarakat tradisional, dengan konsepsi waktu yang demikian
cenderung memandang skeptis masa kini dan masa depan. Mereka selalu mencurigai
segala sesuatu yang baru. Kebaruan dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi
kehidupan mereka.
Adapun masyarakat modern memiliki pandangan yang sama
sekali berbeda dengan masyarakat tradisional. Masyarakat modern yang
berbasiskan industri dan jasa cenderung memandang remeh masa lalu. Tradisi dan
masa lalu dianggap sebagai sesuatu yang dapat menghambat perkembangan
masyarakat.
Cara pandang linier yang dianut oleh masyarakat industri
modern melihat dengan sangat antusias masa depan. Mereka selalu berupaya
menyesuaikan kehidupan mereka dengan konteks kekinian dan mereka berupaya keras
untuk merekayasa dan mengantisipasi masa depan.
Kehidupan masyarakat modern yang cenderung
mengidealisasikan masa depan menjadikan berbagai kehidupan dan kebutuhan hidup
mereka disesuaikan dengan konteks waktu tersebut. Misalnya masyarakat modern
memiliki sejumlah kebutuhan-kebutuhan yang berdimensi pemenuhan kebutuhan masa
depan seperti tabungan, asuransi, investasi dan lain sebagainya.
Di sebagian masyarakat Barat, ketika melangsungkan
perkawinan mereka sudah membicarakan mengenai kemungkinan-kemungkinan di masa
datang seperti perceraian, pembagian harta gono-gini,
pengasuhan anak pasca cerai dan lain sebagainya.
Demikian pula dengan dunia kerja. Dalam masyarakat Barat
yang bersifat kontraktual, segala sesuatu diatur berdasarkan kontrak. Ketika
seseorang menjadi sebuah pegawai di sebuah perusahaan, ia akan menandatangai
sejumlah ketentuan yang mengatur tentang kemungkinan-kemungkinan di masa depan,
seperti pensiun, pemutusan hubungan kerja, dan lain sebagainya.
SIKAP
TERHADAP WAKTU
Mengenai penyikapan terhadap waktu, terdapat dua pola yang
berbeda, yaitu antara pandangan ‘kekinian’ dan pandangan yang berorientasi ke
masa depan. Pandangan pertama dimiliki oleh masyarakat marjinal seperti gelandangan,
pelaku kriminalitas, pengangguran dan mereka yang berpendapatan terbatas.
Mereka itu karena keterbatasan yang mereka miliki memaksa mereka untuk hanya
memikirkan masa kini. Mereka hanya berfikir dalam jangka pendek.
Pandangan ‘kekinian’ juga dimiliki oleh anak kecil. Anak
kecil tidak mampu berfikir terlalu jauh ke masa depan. Mereka masih tergantung
pada orang tua atau yang mengasuh mereka. Kehidupan mereka hanya diorientasikan
untuk kehidupan kekinian. Berbeda halnya
dengan orang dewasa. Orang dewasa dipaksa berfikir untuk masa depan. Oleh
karena itu segala kegiatan dan pikiran mereka diorientasikan untuk pemenuhan
kebutuhan di masa depan.
CARA
MEMIKIRKAN MASA DEPAN
Masa depan dapat dihadapi dengan dua cara pandang, yaitu
yang bersifat pasif dan yang bersifat aktif. Pandangan pertama ini mengesankan antisipasi
dan adaptasi, sedangkan pandangan pandangan
kedua mengesankan perencanaan dan pembentukan masa depan.
Orientasi yang pasif menyikapi waktu secara
fatalistik.Mereka hanya menerima saja kehidupan yang mereka alami dan
menganggap hal itu sebagai sebuah ketentuan yang tidak dapat diubah lagi.
Sedangkan pandangan aktif bersifat voluntaristik. Bila
sikap aktif ini bergandengan dengan imajinasi berjangka panjang dan tak hanya
meliputi kehidupan sehari-hari saja tetapi juga proses historis berskala luas,
maka disebut berpikiran kesejarahan. Berfikir kesejarahan berarti menyadari
bahwa kita tidak hanya dibentuk oleh sejarah tetapi juga secara aktif turut
membentuk sejarah. Sejarah membentuk kita dan kita pun turut membentuk sejarah.
WAKTU
DAN KEHIDUPAN SOSIAL
Seluruh aspek dalam kehidupan sosial selalu terkait dan
terikat oleh waktu, baik aspek kehidupan dalam masyarakat yang berstruktur gemeinschaft maupun masyarakat yang
berstruktur gesellschaft. Dalam
masyarakat gemeinschaft, relasi
sosial antaranggota masyarakat bersifat langgeng dan abadi. Demikian pula
dengan ikatan dan relasi sosial dalam kelompok primer seperti keluarga. Menjadi
seorang ayah merupakan sebuah status yang diemban seumur hidup.
Sedangkan dalam masyarakat modern yang berstruktur gesellschaft, relasi atau hubungan
sosial antaranggota masyarakat bersifat temporer dan diikat berdasarkan
kontrak. Karena itulah hubungan tersebut menjadi bersifat impersonal dan kurang
melibatkan emosi atau afeksi.Sebagai contoh seorang yang menjabat sebagai presiden
akan mengemban jabatan tersebut dalam kurun waktu tertentu dan bersifat
terbatas masa jabatannya.
WAKTU
DAN STRATIFIKASI SOSIAL
Waktu juga memiliki keterkaitan erat dengan sistem
pelapisan sosial atau stratifikasi sosial di masyarakat. Di dalam masyarakat
terdapat norma yang menetapkan saat yang tepat untuk menempati status tertentu,
misalnya usia dewasa, usia wajib militer dan lain sebagainya.
Waktu juga membagi anggota masyarakat dalam sebuah
masyarakat atau komunitas tertentu berdasarkan prinsip senioritas. Orang-orang
yang berusia lebih tua akan disebut senior dengan segala privilisenya, sedangkan
mereka yang relatif baru akan disebut yunior dengan segala stereotip yang
melekat dengannya.
WAKTU
DAN NORMA SOSIAL
Menurut Paul Horton, waktu menjadi salah satu faktor
penting yang merubah norma. Norma yang sebelumnya melarang dikemudian hari
berubah menjadi membolehkan. Di masa yang lalu sebuah perbuatan dianggap
tercela, tetapi di masa kini dianggap sebagai sebuah hal yang biasa-biasa saja.
Sebagai contoh, pada masa dahulu, kaum perempuan dibatasi
bahkan dilarang untuk bergerak dan berpartisipasi di ruang publik seperti
bersekolah atau bekerja. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, norma
tersebut mengalami perubahan.
Dewasa ini kaum perempuan di banyak masyarakat sudah
memiliki posisi yang relatif sama dengan kaum laki-laki. Mereka memiliki
kesempatan yang sama dalam meraih kesuksesan hidup.
WAKTU
DAN PERAN SOSIAL
Waktu memiliki pengaruh yang kuat dalam mengubah banyak
peran sosial seseorang. Ketika masa tertentu seorang laki-laki akan menjalankan
peran yang sebelumnya belum pernah Ia lakukan, seperti menjadi suami atau
menjadi ayah bahkan kakek.
Ketika seorang anak memasuki usia tertentu maka ia
diharuskan bersekolah dan menjalani peran sebagai seorang murid di lembaga
pendidikan tertentu.
WAKTU
DAN PEMANFAATAN WAKTU LUANG
Status atau kedudukan seseorang dalam struktur sosial dapat
dilihat dari bagaimana ia memanfaatkan waktu luangnya. Golongan kelas sosial
atas cenderung lebih banyak memiliki waktu luang. Mereka memanfaatkan waktu
luang dengan berwisata baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.
Golongan kelas sosial atas seperti para pengusaha atau
kalangan manajer relatif memiliki kehidupan yang dinamis. Mereka bisa memanfaatkan
waktu yang mereka miliki untuk beragam kegiatan.
Sedangkan golongan kelas sosial bawah terutama mereka yang
menjadi pekerja blue collar relatif
tidak memiliki waktu luang yang memadai. Waktu mereka habis untuk bekerja
dengan upah yang sangat minim.
Keterbatasan waktu yang mereka miliki mengakibatkan mereka tidak banyak menikmati kesenangan seperti berwisata dan aktivitas lainnya. Kehidupan mereka cenderung monoton, karena harus menghabiskan waktu untuk melakukan pekerjaan yang sama setiap harinya. Mengisi waktu sehari-hari tidak ubahnya seperti rutinitas yang membosankan.
Keterbatasan waktu yang mereka miliki mengakibatkan mereka tidak banyak menikmati kesenangan seperti berwisata dan aktivitas lainnya. Kehidupan mereka cenderung monoton, karena harus menghabiskan waktu untuk melakukan pekerjaan yang sama setiap harinya. Mengisi waktu sehari-hari tidak ubahnya seperti rutinitas yang membosankan.
SOSIOLOGI
WAKTU
Sejumlah sosiolog klasik sudah memiliki pandangan dan
konsepsi mengenai waktu. Pandangan ini kemudian dikembangkan oleh para sosiolog
selanjutnya. Misalnya Emile Durkheim atau pandangan Durkhemian menganggap waktu
sebagai Fakta Sosial.
Fakta Sosial adalah cara berfikir, bertindak, dan merasa yang berada di luar individu yang bersifat umum, objektif, dan memaksa individu untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Fakta Sosial adalah cara berfikir, bertindak, dan merasa yang berada di luar individu yang bersifat umum, objektif, dan memaksa individu untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Durkheim menganalisa waktu dengan mengaitkannya dengan
aspek sosial. Waktu dibentuk oleh masyarakat dan mencerminkan pandangan
kolektif dari organisasi sosial atau masyarakat.
Waktu dibentuk secara sosial. Seperti bentuk-bentuk sosial lainnya, fakta sosial atau waktu di hadapan orang tampak sebagai sesuatu yang bersifat eksternal, dan mendesakkan kekuatan penghambat atas perilaku mereka. Durkheim memahami benar dialektika waktu. Waktu mengungkap irama aktivitas kolektif tetapi juga mengatur aktivitas kolektif manusia.
Waktu dibentuk secara sosial. Seperti bentuk-bentuk sosial lainnya, fakta sosial atau waktu di hadapan orang tampak sebagai sesuatu yang bersifat eksternal, dan mendesakkan kekuatan penghambat atas perilaku mereka. Durkheim memahami benar dialektika waktu. Waktu mengungkap irama aktivitas kolektif tetapi juga mengatur aktivitas kolektif manusia.
Waktu berasal dari kehidupan sosial berarti bahwa waktu
berbeda bentuknya di berbagai masyarakat tempat asalnya. Waktu berkaitan dengan
bermacam-macam prinsip yang timbul dalam kultur atau epos yang berbeda. Jadi
waktu berkaitan, baik secara historis maupun kultural.
Teori mengenai waktu juga dikemukakan oleh Pitirim Sorokin
dan R.K.Merton. Mereka membuat analisis tentang apa yang mereka sebut ‘waktu
sosio kultural’ dan mengaitkannya dengan masalah perubahan sosial. Tekanannya
diletakkan pada kualitas dan sifat relatif waktu. Tidak pernah ada skala
kuantitatif netral untuk mengukur perubahan sosial dan skalanya itu berbeda
dalam berbagai masyarakat.
Dalam masyarakat yang paling kuno, skala waktu mungkin
ditentukan oleh musim berburu ; dalam masyarakat agraris mungkin dikaitkan
dengan musim panen, banjir, musim hujan, kemudian dengan pasar lokal, festival
dan hari libur keagamaan dan pekan raya.
Masyarakat konsumen modern sangat ditandai oleh musim
berbelanja dan musim berlibur. Akibatnya, tanggal, selain bermakna kalender,
juga bermakna kultural bagi masyarakat tertentu. Periode-periode meski sama
secara nominal, berlaku dengan kecepatan yang berbeda tergantung pada kultur
konkret (misalnya dibandingkan dengan musim libur dan waktu sebelum natal dalam
masyarakat Barat modern).
Perjalanan waktu tidak netral, mulus, dan seragam ;
ditandai dengan percepatan dan kekosongan. Sorokin dan Merton memandang waktu
sosial sebagai syarat fungsional kehidupan masyarakat yang teratur, dapat diramalkan,
terkoordinasi, dan selaras.
REFERENSI
:
Willie Koen (ed),
Cara Kita Belajar,Jakarta : Tiara Pustaka, 1987
George Ritzer, Teori sosiologi modern, Jakarta : Kencana, tanpa
tahun
Paul Horton, Sosiologi, Jakarta :
Erlangga, 1984
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta :
Prenada, 2014
Komentar
Posting Komentar