SOSIOLOGI WAKTU


SOSIOLOGI WAKTU

PENGANTAR

Semua fenomena sosial terjadi pada saat tertentu dalam konteks waktu. Semua proses sosial terjadi terus menerus sepanjang waktu. Singkatnya, kehidupan sosial berlangsung dalam waktu tertentu. Waktu—seperti ruang—adalah konteks universal dalam kehidupan sosial. Kita harus memahami hubungan waktu-ruang yang melekat dalam bentuk semua interaksi sosial. Setiap pola interaksi yang ada selalu diletakkan dalam konteks waktu.

Konsep waktu yang ada pada setiap masyarakat dipengaruhi oleh tafsiran budaya yang beraneka ragam. Cara yang lazim untuk menunjukkan waktu diserap oleh individu hampir segera sesudah ia lahir. Dalam masyarakat yang berteknologi tinggi, waktu dibagi menjadi jam, menit, dan detik.

Menyimak arloji menjadi sesuatu hal yang umum, sebab dalam masyarakat tersebut kegiatan sehari-hari dijadwal dengan ketat dan produktifitas dihargai. Seorang anak yang pernah ketinggalan bis sekolah hanya beberapa menit saja mungkin akan mendapatkan pelajaran yang diingat seumur hidupnya.

Bertahun-tahun kemudian, karena telah terbentuk oleh pengalaman tadi, mungkin ia akan merasa gelisah sambil melihat arlojinya dan bertanya dalam hati apakah masih ada waktu untuk minum sebelum kereta api langganannya meluncur keluar dari stasiun.

Sebalinya, dalam masyarakat non-teknologi, waktu disusun menurut ukuran lain. Orang Eskimo, misalnya, tidak membagi waktu menjadi jam, menit, dan detik. Dalam kehidupan mereka tidak ada sesuatu yang menuntut agar waktu diatur dengan cara yang demikian mendesak. 

Sebaliknya, pembagian waktu mereka ditentukan oleh hal-hal yang bagi mereka merupakan keharusan yang lebih penting—kapan musim berganti, kapan binatang beremigrasi, kapan burung membuat sarang, kapan ikan berpindah, kapan es surut—itulah hal-hal yang perlu mereka ketahui agar dapat bekerja.

Bagi anak Eskimo, tidak ada kepentingannya mengenal waktu dalam satuan-satuan yang ditunjukkan oleh arloji. Tetapi mereka belajar mengukur waktu dengan meniru orang tua mereka pada waktu melakukan tugas yang berganti-ganti seirama dengan pergantian daur alam.

Hampir setiap masyarakat dunia memiliki konsepsi mengenai waktu. Waktu merupakan aspek yang mengatur kehidupan mereka sehari-hari. Memang ada suku tertentu yang sama sekali tidak memiliki konsepsi mengenai waktu, seperti yang dikemukakan oleh seorang antropolog sosial, E.E.E vans-Pritchard yang meneliti mengenai kehidupan suku Nuers di Sudan. Suku tersebut menurutnya tidak memiliki gagasan mengenai waktu yang terpisah dari perjalanan hidup yang berkaitan dengan fenomena meteorologi atau  biologi dan dengan kehidupan sehari-hari.

Waktu adalah dimensi yang sangat diperlukan dan terlibat dalam setiap aspek kehidupan manusia. Hal ini menunjukkan alasan mengapa waktu sangat penting dalam persoalan pokok dalam ilmu sosial.

Waktu lebih erat lagi kaitannya dengan perubahan sosial. Mustahil membayangkan waktu tanpa mengacu pada perubahan, dan sebaliknya, gagasan tentang perubahan tidak mungkin terlepas dari konteks waktu tertentu. Waktu mendefinisikan perubahan sosial yang biasanya mengacu kepada perbedaan dua keadaan sistem sosial sesudah melalui waktu.

Tidak ada fenomena atau peristiwa sosial yang bersifat tunggal, unik, atau terisolasi secara mutlak. Tiap fenomena atau peristiwa mempunyai jangka waktu, berakhir pada waktu tertentu. Sebagai contoh, sebuah peperangan dapat berlangsung selama lebih dari seratus tahun, sekolah menengah berlangsung selama enam tahun, makan pagi berlangsung selama sekitar sepuluh menit dan lain sebagainya.

Kapan pun kita memikirkan sebuah fenomena sebagai sebentar, berlalu, segera, pemikiran itu selalu terkait dengan tenggang waktu yang kita gunakan. Tidak ada fenomena atau peristiwa tanpa waktu dalam arti tempatnya dalam waktu maupun dalam arti perkembangan melalui waktu.

Aliran waktu yang tidak dapat diubah menyiratkan adanya perbedaan antara masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Perbedaan antara masa lalu, masa kini, dan masa mendatang tidak benar-benar terpisah satu sama lainnya. Pada dasarnya tidak ada masa kini karena proses sosial berlanjut dan setiap saat proses sosial itu berlangsung tanpa henti dari masa lalu ke masa mendatang.

Proses sosial itu telah berada di masa lalu, tetapi belum lagi di masa mendatang. Betapa pun kecilnya skala yang digunakan, selalu ada gerakan, aliran, ketimbang keadaan membeku dan terhenti. Ketika seseorang sedang menulis sesuatu, setiap kalimat telah berada di masa lalu sebelum orang tersebut menyelesaikan tulisannya.


WAKTU DAN RITUAL KEAGAMAAN

Satuan waktu lebih mencerminkan pengalaman sosial ketimbang sebuah proses yang bersifat alamiah. Sebagai  contoh, perhitungan waktu dalam satu minggu hingga taraf tertentu adalah konvensional, meski mula-mula lamanya berbeda di berbagai kultur. Delapan hari di masyarakat Mesir kuno, tujuh hari dalam tradisi Yahudi-Kristen, sepuluh hari di masyarakat Cina, lima hari dalam masyarakat tertentu di Afrika.

Setiap masyarakat memiliki waktu khusus yang diperuntukkan untuk kegiatan ritual. Misalnya orang Islam menjadikan hari jum`at sebagai hari khusus untuk ritual ibadah Salat Jum`at, bulan ramadhan sebagai bulan khusus untuk melakukan puasa, dan pelaksanaan ibadah haji pada bulan tertentu. Ketika melakukan ibadah puasa di Bulan Ramadhan, kaum Muslim tidak diperbolehkan makan, minum dan melakukan hubungan seks dengan pasangan mereka dari matahari terbit hingga matahari tenggelam. 

Pelanggaran atas ketentuan tersebut dianggap sebagai sebuah dosa besar.
Masyarakat muslim juga memiliki tabu terkait dengan waktu. Misalnya ada bulan-bulan tertentu yang disebut Bulan Haram. Pada waktu itu dilarang keras melakukan peperangan, bahkan ketika seseorang bertemu dengan musuhnya sekali pun.

Demikian pula orang Yahudi yang menjadikan hari sabtu sebagai hari yang terlarang untuk bekerja, sedangkan orang Kristen menjadikan hari minggu sebagai hari untuk melakukan kebaktian. Dalam agama Hindu di Bali, terdapat  hari khusus dalam satu tahun yang dikhususkan untuk melakukan ritual yang dikenal dangan nama Nyepi.

Sejumlah komunitas keagamaan atau aliran kepercayaan tertentu juga memiliki gagasan mengenai kemujuran dan kesialan yang dikaitkan dengan waktu. Misalnya bagi masyarakat Jawa yang Kejawen mereka memiliki kalender yang menetapkan hari-hari atau waktu tertentu. Orang Tionghoa juga memiliki gagasan mengenai waktu tertentu yang dianggap dapat memberikan kemujuran (hoki) seperti tanggal dan bulan yang berlangsung bersamaan seperti tanggal sepuluh bulan sepuluh dan lain sebagainya.


WAKTU DAN NILAI BUDAYA

Berbicara mengenai kebudayaan, maka kita akan membicarakan mengenai relativitas budaya. Relativitas budaya menggambarkan adanya perbedaan kebudayaan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Kebudayaan sebuah masyarakat juga memiliki konsepsi mengenai waktu. Terdapat perbedaan yang signifikan antara masyarakat Barat yang bercorak materialistis dengan masyarakat Timur.

Sebagai contoh, masyarakat Barat yang terindustrialisasi cenderung memandang penting waktu. Kehidupan sosial mereka sehari-hari sangat ditentukan oleh waktu. Misalnya orang Inggris memiliki pepatah “Waktu adalah  uang”. Mereka menganggap bahwa waktu berfungsi mendorong seseorang untuk menghasilkan uang dan kekayaan, sehingga mereka tidak mau “menyia-nyiakan” waktu untuk hal-hal yang mereka anggap tidak produktif.

Demikian pula masyarakat Jepang. Walaupun dianggap sebagai bagian dari Timur, Jepang sudah lama terbaratkan. Masyarakat Jepang yang sudah terindustrialsiasi memandang waktu sebagai sebuah hal yang terkait erat dengan produktifitas. Sistem transportasi di Jepang tidak menolerir adanya keterlambatan. Demikian pula dengan kegiatan di bidang bisnis dan perdagangan.

Sedangkan sebagian masyarakat Timur tidak memiliki persepsi yang sama dengan masyarakat Barat mengenai waktu. Mereka melihat waktu tidak secara rigid. Pandangan inilah yang menyebabkan mereka tidak harus merasa terikat dengan waktu dalam mkehidupan mereka sehari-hari. Istilah ‘jam karet’ juga melekat dalam kehidupan sosial sebagian masyarakat Timur. Dalam masyarakat yang demikian, tidak ada salahnya seseorang tidak menepati waktu yang telah disepakati sebelumnya.


WAKTU DAN PROFESI

Waktu juga memiliki keterkaitan dengan jenis pekerjaan atau profesi tertentu.Ada jenis pekerjaan atau profesi tertentu yang sangat menekankan ketepatan waktu, hemat waktu, dan lain sebagainya, sedangkan jenis pekerjaan atau profesi lainnya memperlakukan waktu lebih longgar.

Sebagai contoh, dikalangan tentara, waktu menjadi alat ukur untuk menentukan kedisiplinan. Seorang tentara yang terlambat hadir ketika upacara atau apel pagi akan mendatangkan sanksi yang keras dan dianggap tidak berdisiplin. Ketika peperangan berlangsung, di dunia militer dikenal dengan istilah Jam-J dan Hari-H, yaitu saat yang ditentukan untuk melakukan serangan terhadap musuh. Keterlambatan dalam hal ini akan menghancurkan segala rencana yang ada dan dapat berakhir dengan kekalahan.

Demikian pula dengan profesi pilot. Dalam sistem penerbangan yang sangat sibuk, dengan jadwal penerbangan yang padat, ketepatan waktu merupakan perkara yang tidak bisa ditawar-tawar, sedangkan keterlambatan dapat berakibat kepada ketidakpercayaan konsumen. Sebuah maskapai penerbangan yang seringkali melakukan delay atau keterlambatan penerbangan akan dicela dan bahkan ditinggalkan oleh para konsumennya, dan hal ini akan berdampak buruk kepada berkurangnya produktifitas dan keuntungan.


POLA WAKTU

Secara umum konsep waktu menggambarkan adanya dua pola, yang pertama berpola linier dan  yang kedua berpola siklus. Pandangan waktu yang bersifat linier diwariskan oleh filsafat Kristen Ajaran ini memperkenalkan konsep penebusan dosa dam keselamatan di masa yang akan datang. Sejarah dunia dan kehidupan individu pun digambarkan dengan cara demikian.

Meski pandangan linier mendominasi pandangan masyarakat industri modern, namun masih terdapat pandangan yang berpola melingkar atau siklus di dalamnya. Pandangan siklus atau melingkar ini dapat dijumpai dalam kehidupan sosial sehari-hari. Kehidupan sosial ditandai oleh adanya siklus ; bekerja dan istirahat, tahun kalender, tahun keagamaan, bahkan kalender olahraga dan kalender akademik.


ORIENTASI TENTANG WAKTU

Terdapat perbedaan mendasar antara masyarakat tradisional dan masyarakat modern dalam memandang waktu. Masyarakat tradisional cenderung mengidealisasikan masa lalu. Segala bentuk tradisi atau kebiasaan lama dianggap sebagai sebuah hal yang ideal, sehingga konsepsi tentang masa  lalu benar-benar mewarnai dan bahkan menjiwai kehidupan sosial sehari-hari masyarakat tersebut.

Dalam pemenuhan kebutuhan pokok mereka, masyarakat tradisional menjalani hidup secara subsisten. Subsistensi telah menjadi bagian dari jalan hidup mereka. Masyarakat tradisional tidak memikirkan tentang antisipasi masa datang. Aktifitas pertanian yang mereka lakukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan hari ini.

Masyarakat tradisional, dengan konsepsi waktu yang demikian cenderung memandang skeptis masa kini dan masa depan. Mereka selalu mencurigai segala sesuatu yang baru. Kebaruan dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi kehidupan mereka.

Adapun masyarakat modern memiliki pandangan yang sama sekali berbeda dengan masyarakat tradisional. Masyarakat modern yang berbasiskan industri dan jasa cenderung memandang remeh masa lalu. Tradisi dan masa lalu dianggap sebagai sesuatu yang dapat menghambat perkembangan masyarakat.

Cara pandang linier yang dianut oleh masyarakat industri modern melihat dengan sangat antusias masa depan. Mereka selalu berupaya menyesuaikan kehidupan mereka dengan konteks kekinian dan mereka berupaya keras untuk merekayasa dan mengantisipasi masa depan.

Kehidupan masyarakat modern yang cenderung mengidealisasikan masa depan menjadikan berbagai kehidupan dan kebutuhan hidup mereka disesuaikan dengan konteks waktu tersebut. Misalnya masyarakat modern memiliki sejumlah kebutuhan-kebutuhan yang berdimensi pemenuhan kebutuhan masa depan seperti tabungan, asuransi, investasi dan lain sebagainya.

Di sebagian masyarakat Barat, ketika melangsungkan perkawinan mereka sudah membicarakan mengenai kemungkinan-kemungkinan di masa datang seperti perceraian, pembagian harta gono-gini, pengasuhan anak pasca cerai dan lain sebagainya.

Demikian pula dengan dunia kerja. Dalam masyarakat Barat yang bersifat kontraktual, segala sesuatu diatur berdasarkan kontrak. Ketika seseorang menjadi sebuah pegawai di sebuah perusahaan, ia akan menandatangai sejumlah ketentuan yang mengatur tentang kemungkinan-kemungkinan di masa depan, seperti pensiun, pemutusan hubungan kerja, dan lain sebagainya.


SIKAP TERHADAP WAKTU

Mengenai penyikapan terhadap waktu, terdapat dua pola yang berbeda, yaitu antara pandangan ‘kekinian’ dan pandangan yang berorientasi ke masa depan. Pandangan pertama dimiliki oleh masyarakat marjinal seperti gelandangan, pelaku kriminalitas, pengangguran dan mereka yang berpendapatan terbatas. Mereka itu karena keterbatasan yang mereka miliki memaksa mereka untuk hanya memikirkan masa kini. Mereka hanya berfikir dalam jangka pendek.

Pandangan ‘kekinian’ juga dimiliki oleh anak kecil. Anak kecil tidak mampu berfikir terlalu jauh ke masa depan. Mereka masih tergantung pada orang tua atau yang mengasuh mereka. Kehidupan mereka hanya diorientasikan untuk kehidupan kekinian. Berbeda  halnya dengan orang dewasa. Orang dewasa dipaksa berfikir untuk masa depan. Oleh karena itu segala kegiatan dan pikiran mereka diorientasikan untuk pemenuhan kebutuhan di masa depan.


CARA MEMIKIRKAN MASA DEPAN

Masa depan dapat dihadapi dengan dua cara pandang, yaitu yang bersifat pasif dan yang bersifat aktif. Pandangan pertama ini mengesankan antisipasi dan adaptasi, sedangkan pandangan  pandangan kedua mengesankan perencanaan dan pembentukan masa depan.

Orientasi yang pasif menyikapi waktu secara fatalistik.Mereka hanya menerima saja kehidupan yang mereka alami dan menganggap hal itu sebagai sebuah ketentuan yang tidak dapat diubah lagi.

Sedangkan pandangan aktif bersifat voluntaristik. Bila sikap aktif ini bergandengan dengan imajinasi berjangka panjang dan tak hanya meliputi kehidupan sehari-hari saja tetapi juga proses historis berskala luas, maka disebut berpikiran kesejarahan. Berfikir kesejarahan berarti menyadari bahwa kita tidak hanya dibentuk oleh sejarah tetapi juga secara aktif turut membentuk sejarah. Sejarah membentuk kita dan kita pun turut membentuk sejarah.


WAKTU DAN KEHIDUPAN SOSIAL

Seluruh aspek dalam kehidupan sosial selalu terkait dan terikat oleh waktu, baik aspek kehidupan dalam masyarakat yang berstruktur gemeinschaft maupun masyarakat yang berstruktur gesellschaft. Dalam masyarakat gemeinschaft, relasi sosial antaranggota masyarakat bersifat langgeng dan abadi. Demikian pula dengan ikatan dan relasi sosial dalam kelompok primer seperti keluarga. Menjadi seorang ayah merupakan sebuah status yang diemban seumur hidup.

Sedangkan dalam masyarakat modern yang berstruktur gesellschaft, relasi atau hubungan sosial antaranggota masyarakat bersifat temporer dan diikat berdasarkan kontrak. Karena itulah hubungan tersebut menjadi bersifat impersonal dan kurang melibatkan emosi atau afeksi.Sebagai contoh seorang yang menjabat sebagai presiden akan mengemban jabatan tersebut dalam kurun waktu tertentu dan bersifat terbatas masa jabatannya.


WAKTU DAN STRATIFIKASI SOSIAL

Waktu juga memiliki keterkaitan erat dengan sistem pelapisan sosial atau stratifikasi sosial di masyarakat. Di dalam masyarakat terdapat norma yang menetapkan saat yang tepat untuk menempati status tertentu, misalnya usia dewasa, usia wajib militer dan lain sebagainya.

Waktu juga membagi anggota masyarakat dalam sebuah masyarakat atau komunitas tertentu berdasarkan prinsip senioritas. Orang-orang yang berusia lebih tua akan disebut senior dengan segala privilisenya, sedangkan mereka yang relatif baru akan disebut yunior dengan segala stereotip yang melekat dengannya.


WAKTU DAN NORMA SOSIAL

Menurut Paul Horton, waktu menjadi salah satu faktor penting yang merubah norma. Norma yang sebelumnya melarang dikemudian hari berubah menjadi membolehkan. Di masa yang lalu sebuah perbuatan dianggap tercela, tetapi di masa kini dianggap sebagai sebuah hal yang biasa-biasa saja.

Sebagai contoh, pada masa dahulu, kaum perempuan dibatasi bahkan dilarang untuk bergerak dan berpartisipasi di ruang publik seperti bersekolah atau bekerja. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, norma tersebut mengalami perubahan.

Dewasa ini kaum perempuan di banyak masyarakat sudah memiliki posisi yang relatif sama dengan kaum laki-laki. Mereka memiliki kesempatan yang sama dalam meraih kesuksesan hidup.


WAKTU DAN PERAN SOSIAL

Waktu memiliki pengaruh yang kuat dalam mengubah banyak peran sosial seseorang. Ketika masa tertentu seorang laki-laki akan menjalankan peran yang sebelumnya belum pernah Ia lakukan, seperti menjadi suami atau menjadi ayah bahkan kakek.

Ketika seorang anak memasuki usia tertentu maka ia diharuskan bersekolah dan menjalani peran sebagai seorang murid di lembaga pendidikan tertentu.


WAKTU DAN PEMANFAATAN WAKTU LUANG

Status atau kedudukan seseorang dalam struktur sosial dapat dilihat dari bagaimana ia memanfaatkan waktu luangnya. Golongan kelas sosial atas cenderung lebih banyak memiliki waktu luang. Mereka memanfaatkan waktu luang dengan berwisata baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.

Golongan kelas sosial atas seperti para pengusaha atau kalangan manajer relatif memiliki kehidupan yang dinamis. Mereka bisa memanfaatkan waktu yang mereka miliki untuk beragam kegiatan.

Sedangkan golongan kelas sosial bawah terutama mereka yang menjadi pekerja blue collar relatif tidak memiliki waktu luang yang memadai. Waktu mereka habis untuk bekerja dengan upah yang sangat minim. 

Keterbatasan waktu yang mereka miliki mengakibatkan mereka tidak banyak menikmati kesenangan seperti berwisata dan aktivitas lainnya. Kehidupan mereka cenderung monoton, karena harus menghabiskan waktu untuk melakukan pekerjaan yang sama setiap harinya. Mengisi waktu sehari-hari tidak ubahnya seperti rutinitas yang membosankan.


SOSIOLOGI WAKTU

Sejumlah sosiolog klasik sudah memiliki pandangan dan konsepsi mengenai waktu. Pandangan ini kemudian dikembangkan oleh para sosiolog selanjutnya. Misalnya Emile Durkheim atau pandangan Durkhemian menganggap waktu sebagai Fakta Sosial.

Fakta Sosial adalah cara berfikir, bertindak, dan merasa yang berada di luar individu yang bersifat umum, objektif, dan memaksa individu untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

Durkheim menganalisa waktu dengan mengaitkannya dengan aspek sosial. Waktu dibentuk oleh masyarakat dan mencerminkan pandangan kolektif dari organisasi sosial atau masyarakat. 

Waktu dibentuk secara sosial. Seperti bentuk-bentuk sosial lainnya, fakta sosial atau waktu di hadapan orang tampak sebagai sesuatu yang bersifat eksternal, dan mendesakkan kekuatan penghambat atas perilaku mereka. Durkheim memahami benar dialektika waktu. Waktu mengungkap irama aktivitas kolektif tetapi juga mengatur aktivitas kolektif manusia.

Waktu berasal dari kehidupan sosial berarti bahwa waktu berbeda bentuknya di berbagai masyarakat tempat asalnya. Waktu berkaitan dengan bermacam-macam prinsip yang timbul dalam kultur atau epos yang berbeda. Jadi waktu berkaitan, baik secara historis maupun kultural.

Teori mengenai waktu juga dikemukakan oleh Pitirim Sorokin dan R.K.Merton. Mereka membuat analisis tentang apa yang mereka sebut ‘waktu sosio kultural’ dan mengaitkannya dengan masalah perubahan sosial. Tekanannya diletakkan pada kualitas dan sifat relatif waktu. Tidak pernah ada skala kuantitatif netral untuk mengukur perubahan sosial dan skalanya itu berbeda dalam berbagai masyarakat.

Dalam masyarakat yang paling kuno, skala waktu mungkin ditentukan oleh musim berburu ; dalam masyarakat agraris mungkin dikaitkan dengan musim panen, banjir, musim hujan, kemudian dengan pasar lokal, festival dan hari libur keagamaan dan pekan raya.

Masyarakat konsumen modern sangat ditandai oleh musim berbelanja dan musim berlibur. Akibatnya, tanggal, selain bermakna kalender, juga bermakna kultural bagi masyarakat tertentu. Periode-periode meski sama secara nominal, berlaku dengan kecepatan yang berbeda tergantung pada kultur konkret (misalnya dibandingkan dengan musim libur dan waktu sebelum natal dalam masyarakat Barat modern).


Perjalanan waktu tidak netral, mulus, dan seragam ; ditandai dengan percepatan dan kekosongan. Sorokin dan Merton memandang waktu sosial sebagai syarat fungsional kehidupan masyarakat yang teratur, dapat diramalkan, terkoordinasi, dan selaras.









REFERENSI :


Willie Koen (ed),  Cara Kita Belajar,Jakarta : Tiara Pustaka, 1987
George Ritzer, Teori sosiologi modern, Jakarta : Kencana, tanpa tahun

Paul Horton, Sosiologi, Jakarta : Erlangga, 1984

Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta : Prenada, 2014












Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN

STATUS OBJEKTIF DAN STATUS SUBJEKTIF

TAWURAN SEBAGAI SUATU GEJALA SOSIAL (ANALISIS SOSIOLOGIS KONFLIK SOSIAL DI PERKOTAAN)