ANTARA MALARI DAN PERISTIWA DUAPULUH TUJUH JULI


ANTARA MALARI DAN PERISTIWA DUAPULUH TUJUH JULI

PERISTIWA MALARI

Malari atau Malapetaka Limabelas Januari adalah peristiwa kerusuhan besar yang terjadi di Jakarta pada tanggal 15 Januari 1974. Peristiwa itu diawali dengan aksi demonstrasi yang dilakukan oleh sejumlah elemen mahasiswa yang memprotes kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka yang ketika itu singgah di Indonesia dalam rangkaian kunjungan kenegaraannya ke sejumlah negara di Asia Tenggara. Kunjungan itu diprotes oleh para mahasiswa karena mereka melihat kunjungan tersebut merupakan bukti dominasi Jepang atas perekonomian Indonesia.

Peristiwa Malari merupakan tantangan terbesar pertama yang dihadapi oleh pemerintahan Orde Baru. Semenjak berdirinya Orde Baru belum pernah menghadapi tantangan politik seperti Peristiwa Malari. Peristiwa Malari juga telah mencoreng wajah presiden Soeharto, karena peristiwa itu terjadi terkait dengan kunjungan kenegaraan P.M. Tanaka dan terjadi di ibukota.

Pada saat itu Jakarta dilanda huru-hara berupa aksi pembakaran moil-mobil buatan Jepang, penyerbuan dan pembakaran beberapa gedung seperti pusat pertokoan Senen, Gedung Toyota Astra, dan Coca Cola. Peristiwa Malari merenggut nyawa 11 orang dan banyak yang mengalami luka-luka. Hampir 1000 orang ditangkap dan diinterogasi, walaupun hanya 42 orang yang ditahan di Jakarta.

Permasalahan yang memunculkan Peristiwa Malari bukan saja terkait dengan keberadaan modal asing, khususnya Jepang. Para pengusaha Jepang juga dinilai belum memiliki pengalaman dalam bergaul dan mereka dianggap miskin dalam memahami kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Masyarakat dan kalangan mahasiswa menganggap Jepang hanya mementingkan diri mereka sendiri sehingga menjadi target empuk bagi para mahasiswa nasionalistis.

Penolakan mahasiswa terhadap modal Jepang dan konsep pembangunan Orde Baru dinyatakan dengan diselenggarakannya sejumlah kegiatan diskusi yan melibatkan sejumlah tokoh yang berseberangan dengan pemerintah Orde Baru seperti Subadio Sastrosatomo, Syafruddin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo dan T.B.Simatupang. Tokoh-tokoh tersebut dikenal sebagai tokoh PSI, Masyumi dan PNI.

Terjadinya Malari dilatarbelakangi oleh adanya ketidakpuasan dikalangan mahasiswa dan sejumlah cendekiawan terhadap ekses-sekses pembangunan yang diselenggarakan oleh pemerintah Orde Baru. Para mahasiswa pada tanggal 10 Januari 1974 mendeklarasikan Tritura Baru yang intinya adalah menggugat strategi pembangunan Orde Baru yang dianggap mengabaikan faktor-faktor non ekonomi. Aksi mahasiswa juga memiliki muatan kepentingan politik.

Hal ini dinyatakan oleh Jenderal Sumitro selaku Deputi Panglima Angkatan Bersenjata dan Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), bahwa terjadinya kerusuhan yang menyertai aksi demonstrasi mahasiswa bukan semata-mata dilatarbelakangi oleh tuntutan ekonomi, tetapi juga didorong oleh motif politik yaitu ingin menjatuhkan pemerintahan Presiden Suharto.

Peluang untuk menjatuhkan pemerintahan Suharto pada saat itu terbuka dengan terjadinya peristiwa jatuhnya pemerintahan Thailand yang saat itu sangat dekat dengan kepentingan Jepang dalam aspek ekonomi.
Ketidakpuasan kalangan mahasiswa selain dikarenakan oleh adanya konsep kebijakan ekonomi yang tidak berpihak kepada rakyat kecil juga disebabkan oleh hal-hal berikut :

→ Berkembangnya isu praktek korupsi di Pertamina ; kalangan mahasiswa menganggap Ibnu Sutowo sebagai presiden direktur Pertamina telah memperlakukan Pertamina sebagai asset pribadinya dengan mengobral kontrak dan keuntungan kepada sejumlah kroni dan sekutu politiknya.
→ para mahasiswa memprotes rencana Ibu Tien Soeharto yang ingin membangun mega proyek mercusuar, Taman Mini Indonesia Indah. Hal ini dianggap sebagai pemborosan dan mengabaikan kemiskinan yang dirasakan oleh masyarakat luas. Penolakan ini berujung kepada sejumlah aksi demonstrasi yang dikenal dengan nama deomstrasi anti-Mini pada tahun 1972.

Mengenai hal ini menurut Sumitro, ia pernah mengajukan keberatan kepad apresiden Soeharto, tetapi setelah mendapat penjelasan bahwa proyek tersebut merupakan proyek swasta yang tidak menggunakan APBN, maka Sumitro kemudian menyetujuinya.

→ Mahasiswa juga mengkritik meluasnya praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme di kalangan penyelenggara pemerintahan. Pada Agustus 1970 Arief Budiman medirikan Komite Anti Korupsi

Pada awal tahun 1970-an pemerintah Orde Baru sendiri sedang mencari bentuk konsep pembangunan ekonomi dan politik. Ciri khas kebijakan pemerintah saat itu adalah berusaha mewujudkan kestabilan politik dengan meminimalisir konflik sekecil mungkin.

Hal ini berdampak kepada tertundanya program reformasi politik. Menurut pemerintah saat itu yang lebih dibutuhkan sehingga mendapat prioritas penting adalah pertumbuhan ekonomi, pembangunan ekonomi dan memaksimalkan produktifitas ekonomi ketimbang pembangunan politik, reformasi dan demokratisasi.

Paradigma yang terlalu menekankan pada aspek ekonomi ini kemudian menghasilkan konsep pembangunan ekonomi yang bersifat sangat pragmatis yang bersifat jangka pendek serta berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi.
Dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi pemerintah mengembangkan konsep pusat pertumbuhan dengan Trickle Down Effect-nya. Hal itu dilakukan oleh pemerintah karena saat itu Orde Baru sedang dalam tahap melakukan konsolidasi ekonomi dan masih mewarisi kekacauan ekonomi dan politik yang terjadi pada masa Orde Lama.

Pelaksanaan konsep pembangunan ini kemudian dilakukan dengan menjadikan teknokrat dan kalangan militer sebagai pemegang peranan yang utama.

Faktor lain yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa Malari adalah adanya faksionalisasi dan intrik di dalam tubuh pemerintahan terutama di kalangan elit militer. Persaingan itu terjadi antara kubu Opsus/Aspri (Asisten Pribadi Presiden Suharto) yang dipimpin oleh Ali Murtopo dan kubu Sumitro selaku Pangkopkamtib.

Menurut Sumitro, Ali Murtopo menyimpan dendam pribadi terhadapnya dikarenakan Sumitro pernah mengusulkan agar Ali tidak diangkat sebagai kepala BAKIN (Badan Koordinasi Intelejen) menggantikan Jenderal Sutopo Yuwono dan Sumitro melah mengusulkan Yoga Sugama sebagai Kabakin.
Oleh karena itu, menurut Sumitro, Ali berupaya merusak kredibilitas Sumitro sebagai Pangkopkamtib dengan adanya Peristiwa Malari. Berarti dengan demikian Sumitro sekaligus menuduh Ali Murtopolah dalang dibelakang peristiwa tersebut.

Ali dituduh menunggangi aksi-aksi demonstrasi mahasiswa dengan mengerahkan massa yang terdiri dari sejumlah komponen cair seperti eks Darul Islam, eks Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan eks Masyumi serta para preman Pasar Senen.

Dengan terjadinya kerusuhan, Ali Murtopo dapat meyakinkan presiden Suharto bahwa Sumitro sebagai Pangkopkamtib yang bertanggungjawab terhadap kemanan dan ketertiban di Indonesia khususnya Jakarta. Dalam perseteruan tersebut gerakan mahasiswa cenderung dimanipulasi dan terjepit diantara kedua kekuatan yang sedang berebut kekuasaan tersebut.

Memang dikalangan sejumlah pengamat, diantara kedua Jenderal tersebut terjadi rivalitas yang cukup keras. Pihak Ali Murtopo menganggap Sumitro memiliki agenda untuk menggantikan Presiden Suharto sebagai pemimpin nasional. Tuduhan ini menurut pihak Ali dibuktikan dengan adanya “Dokumen Ramadi” yang memuat adanya upaya untuk menjadikan Jenderal Sumitro sebagai presiden Indonesia menggantikan Suharto.

Dokumen itu menyebut adanya Jenderal berinisial “S” yang akan merebut kekuasaan dengan menggulingkan presiden Soeharto sekitar bulan April hingga Juni 1974. Ramadi sendiri dikenal dekat dengan Ali Murtopo dan Sudjono Humardhani.

Kubu Ali Murtopo juga menuduh Sumitro telah banyak memanfaatkan jabatannya sebagai Kopkamtib dengan mengintervensi jalannya pemerintahan. Sumitro seringkali memanggil sejumlah menteri ke kantornya untuk menanyakan tentang berbagai kebijakkan yan terkait dengan kementerian tersebut.

Ia juga pernah memanggil tim ekonomi di bawah koordinasi Widjojo Nitisastro untuk menyelenggarakan rapat mingguan. Sumitro juga pernah mengambilalih komando keamanan di Jakarta. Sumitro bahkan pernah memarahi Ali Murtopo atas nama Soeharto mengenai pernyataan Ali Murtopo mengenai masalah Sabah.

Sumitro juga dituding berusaha memainkan perannya sebagai “perdana menteri” yang sebenarnya adalah tugas Presiden Soeharto sendiri sebagai pimpinan eksekutif.

Sumitro sendiri menolak dikatakan memiliki ambisi kekuasaan, apalagi menjadi presiden. Sumitro justru mengatakan bahwa ia sebetulnya pernah mengusulkan kepada Presiden Soeharto agar Widjojo Nitisastro dicalonkan sebagai presiden setelah Soeharto.Walaupun Soeharto setuju dengan usulan tersebut tetapi Widjojo sendiri menolak untuk dicalonkan sebagai presiden.(Ramadhan, 1994)

Kubu Ali juga mempertanyakan kesetiaan Sumitro terhadap presiden Soeharto. Hal itu dibuktikan dengan tindakan Sumitro mengunjungi sejumlah kampus dan kemudian mendorong para mahasiswa agar bertindak kritis terhadap pemerintah. (Wanandi, 2014)

Sebaliknya, pihak Ali Murtopo menuding Ali Murtopo ingin menduduki jabatan sebagai Kepala Bakin dengan menyingkirkan sejumlah tokoh yang dianggap merintangi diantaranya Jenderal Sumitro, Jenderal Sutopo Yuwono sebagai kepala Bakin, dan Jenderal Nicklany sebagai Asisten Intelejen Bakin. Jenderal Sutopo dan Nicklany sendiri juga sudah lama tidak menyukai tingkah laku Ali Murtopo yang sering melakukan kegiatan intelejen yang dianggap liar dengan mengorganisir eks PSI, Masyumi dan Darul Islam.

Ketika Peristiwa Malari meletus, ketegangan antara kedua kubu tersebut mencapai klimaksnya. Masing-masing pihak mengerahkan jaringan militernya dan segera melakukan mobilisasi. Kubu Sumitro mendatangkan dua batalyon dari Brawijaya, Jawa Timur dengan kereta api dan menempatkan komando garnisun jakarta langsung berada di bawah kopkamtib , sedangkan kubu Ali Murtopo juga bergerak dengan melobbby Divisi Diponegoro melalui Surono, Komando Jawa dan Sumatera melalui Widodo dan Kodam Siliwangi melalui Kasdam Subchan agar bersiaga di pinggiran Jakarta.

Perseteruan kedua kubu tersebut berlanjut setelah meletusnya peristiwa Malari. Kedua belah pihak berupaya menangkapi pengikut lawan masing-masing. Jenderal Sumitro melalui Satgas Intel dan apparat CPM Guntur menangkapi sejumlah pendukung kelompok Ali seperti kelompok Ramadi dan dari kalangan eks PSI dan Darul Islam sedangkan kelompok Ali Murtopo menangkapi sejumlah mahasiswa binaan Sumitro dan tokoh-tokoh yang bersimpati terhadap Sumitro.

DAMPAK MALARI

♦ Berakhirnya ‘bulan madu” antara pemerintah Orde Baru dengan gerakan mahasiswa. Kedua kekuatan politik tersebut sebelumnya bahu membahu dalam rangka menumbangkan rezim Orde Lama yang dianggap telah kehilangan legitimasinya.

♦ Mahasiswa dilarang melakukan aktivitas politik praktis dan dilarang melakukan kegiatan politik di lingkungan kampus.

♦ Pembredelan sejumlah media massa seperti Harian KAMI yang merupakan milik mahasiswa, surat kabar ABADI, Indonesia Raya, Mahasiswa Indonesia, Harian Pedoman, yang berafiliasi kepada tokoh-tokoh eks PSI dan harian berbahasa Inggris, Jakarta Times. Surat kabar-surat kabar seperti KAMI, ABADI, majalah Ekspress  milik jurnalis senior, B.M.Diah,  dan Indonesia Raya dikenal sebagi surat kabar yang paling menentang modal asing di Indonesia.

♦ jatuhnya Ali Murtopo dan Jenderal Sumitro ; Pasca Malari, Soeharto mengangkat orang kepercayaannya, Laksamana Sudomo sebagai Pangkopkamtib menggantikan Sumitro yang sebelumnya memutuskan untuk pensiun dan menolak jabatan sebagai Duta Besar Indonesia di Washington. Sudomo sendiri memiliki hubungan baik dengan Ali Murtopo. Ali Murtopo sendiri kemudian diangkat sebagai Wakil Ketua BAKIN.

Walapun sudah diangkat sebagai wakabin, tetapi Ali masih seringkali melakukan intervensi kepada Deputi III Bakin. Hal inilah yang menyebabkan akhirnya Ali dijadikan sebagai Menteri Penerangan dan selanjutnya sebagai Ketua DPA. Dua posisi terakhir tersebut tidak disukai oleh Ali yang memang terbiasa dengan dunia intelejen dan penggalangan politik, sedangkan jabatan Asisten Pribadi Presiden yang selama ini dianggap kontroversial dihapuskan. Pembersihan Bakin dari pengaruh Ali kemudian dilakukan dengan menyingkirkan dari bakin para pengikut Ali seperti Pitut Suharto dan Sugiyanto.

 Presiden Soeharto juga berupaya untuk membentuk keseimbangan politik baru dengan melakukan reposisi sejumlah pejabat militer lainnya. Sutopo Yuwono yang merupakan sekutu dekat Sumitro diangkat sebagai Duta Besar di Belanda, sementara Kharis Suhud diangkat sebagai Duta Besar di Thailand.Yoga Sugama, yang dekat dengan Soeharto diperintahkan untuk mengambilalih BAKIN, sedangkan Benny Murdani yang merupakan binaan Ali Murtopo diangkat sebagai intelejen militer dan  strategis (BAIS) menggantikan Kharis Suhud.

♦ pemerintah Orde Baru mulai memberikan perhatian kepada faktor-faktor non-ekonomi dalam pembangunan seperti pada bidang pendidikan, kesehatan dan Keluarga Berencana.

♦ Peristiwa Malari mengakibatkan merenggangnya hubungan antara Soeharto dengan CSIS dan pendukungnya. Soeharto setelah peristiwa tersebut cenderung menjaga jarak dan tidak mau begitu saja menerima masukan terkait dengan pembangunan ekonomi dan politik dari CSIS.

♦ Perusahaan-perusahaan Jepang juga mengambil pelajaran dari peristiwa ini. Sejak Malari, perusahaan Jepang selalu membekali pengusaha mereka dengan pengetahuan mengenai kebiasaan, tradisi, dan psikologi sosial masyarakat Indonesia.

♦ Salah satu dampak paling besar Malari dalam bidang ekonomi adalah ditutupnya sejumlah investasi asing di Indonesia. Kebijakkan ini tertolong dengan kenaikan harga minyak bumi sehingga ekonomi Indonesia semakin tergantung kepada negara.

♦ Pemerintah juga melakukan pengawasan yang ketat terhadap Pertamina. Ibnu Sutowo dipecat dari jabatannya karena banyak melakukan kegiatan investasi tanpa sepengetahuan Soeharto, terutama bisnis tanker. Sejak saat itu Pertamina tidak lagi menikmati kebebasan seperti sebelumnya.Pasca Malari, Pertamina langsung diawasi di bawah Presiden Soeharto, yang secara de facto merupakan presiden direktur dan CEO.(Wanandi, 2014)

♦ Pasca Malari, pemerintah Orde Baru mulai mengurangi dan membatasi modal asing. Hal ini dapat dimungkinkan dengan meningkatnya devisa negara sebagai akibat dari kenaikan harga minyak bumi di tahun 1973-1974.

♦ Pemerintah juga mulai memperhatikan pembangunan daerah dengan sebutan ‘pemerataan” geografis dan sosial

♦ Sesudah Malari kalangan oposisi terbagi menjadi beberapa bagian. Sebagian tetap menjalankan posisi sebagai oposisi walaupun moderat dan sebagian lainnya ikut berpartisipasi secara relatif kritis terhadap Orde Baru

♦ Sejak Malari pemerintah Orde Baru makin memperkuat kekuasaannya dengan makin memberangus kebebasan politik. Pada tahun 1975 diberlakukan Konsep Massa Mengambang melalui UU No.3/1975 tentang partai politik dan golongan karya.peraturan tersebut membatasi kegiatan politik masyarakat dengan cara membatasi aktivitas dan kepengurusan partai politik hanya sampai tingkat kabupaten.

I
KERUSUHAN DUAPULUH TUJUH JULI 1996

Kerusuhan Duapuluh Tujuh Juli tahun 1996 atau yang populer dengan istilah Kudatuli merupakan sebuah peristiwa penting menjelang berakhirnya Orde Baru. Peristiwa tersebut memiliki keunikan mengingat peristiwa itu terjadi ketika Orde Baru sedang berada di puncak kejayaannya.

Pada saat itu kondisi makro dan mikro perekonomian Indonesia sedang dalam kondisi yang prima. Di dunia internasional Indonesia mendapatkan pujian sebagai Macan Asia, Keajaiban Asia dan lain sebagainya.

Pemerintahan Indonesia juga mendapatkan pujian dari dunia internasional. Setelah berhasil mencapai swasembada beras pada dekade 1980-an, pada era 1990-an awal pertumbuhan ekonomi Indonesia juga relatif tinggi.
Era 1990-an awal pemerintahan Orde Baru juga telah berhasil melakukan konsolidasi kekuasaan. Kelompok oposisi relatif tidak memiliki ruang gerak yang memadai untuk dapat mengancam kekuasaan Soeharto yang hegemonik saat itu.

Peristiwa Kudatuli merupakan bentuk akumulasi kekecewaan rakyat dan para aktivis pro demokrasi terhadap tersumbatnya saluran-saluran demokrasi. Sepanjang Orde Baru, lembaga-lembaga perwakilan seperti DPR, DPRD, dan MPR mengalami disfungsi.

Lembaga-lembaga negara tersebut alih-alih memperjuangkan kepentingan dan aspirasi rakyat justru telah bertindak sebagai corong penguasa. Lembaga-lembaga tersebut hanya menjadi alat legitimasi dari pihak yang berkuasa.
Pemilihan umum yang diselenggarakan sepanjang Orde Baru juga hanya menjadi semacam kosmetik belaka. Pelaksanaan demokrasi pada masa Orde Baru merupakan demokrasi yang semu. Pemiihan Umum telah kehilangan substansinya dan telah tereduksi menjadi kegiatan ritual dan prosedural belaka.

Di sisi lain, pemerintah Orde Baru telah secara sempurna melakukan konsolidasi politik. Sejak pemilihan Umum tahun 1977, kekuasaan di Indonesia terpusat pada dua unsur saja, yaitu Presiden Soeharto dan militer (ABRI).
Pemerintah Orde Baru juga telah menyusun struktur politik kenegaraan tanpa oposisi. Oposisi menurut pemerintah saat itu dianggap sebagai kegiatan subversif yang mengancam stabilitas nasional sehingga harus ditumpas.

Peristiwa Kudatuli dalam tataran elit dimaknai sebagai ketidakpuasan elit politik di luar pemerintahan terhadap konsep pembagian kekuasaan yang ada. Mereka selama bertahun-tahun mengalami marjinalisasi politik, sehingga dampaknya akses mereka terhadap sumber daya menjadi sangat terbatas.

Pemerintah Orde Bru mereka anggap terlalu rakus dengan memonopoli semua sumber daya, politik dan ekonomi untuk mereka saja. Kelompok-kelompok kepentingan yang ada seperti Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi indonesia dianggap hanya sebagai pelengkap untuk memberikan kesan demokrasi terhadap pemerintahan Orde Baru.

Peristiwa Kudatuli merupakan aksi penyerangan terhadap kantor Dewan Pertimbangan Pusat Partai Demokrasi Indonesia yang ketika itu dipimpin oleh Megawati. Serangan dilakukan oleh pendukung Suryadi, yaitu tokoh yang direstui oleh pemerintah Orde Baru melalui Kongres PDI di Medan untuk menjabat sebagai ketua Umum PDI.

aksi serangan tersebut disinyalir bukan semata-mata konflik internal PDI antara PDI Megawati dan PDI Suryadi. Serangan tersebut dianggap dilakukan secara terstruktur dan sistematis dengan melibatkan aparat keamanan termasuk aparat militer.
Peristiwa tersebut mengakibatkan jatuhnya korban jiwa yang jumlahnya sampai sekarang masih simpang siur. Peristiwa tersebut keesokan harinya diikuit oleh terjadinya sejumlah aksi pembakaran dan vandalisme di sejumlah tempat. Pasca Peristiwa penyerangan terhadap Kantor DPP PDI Megawati terjasi kerusuhan di beberapa tempat seperti di sekitar Jalan Diponegoro, Matraman, Kramat Raya, dan kawasan Senen.

Pemerintah Orde Baru menuding kerusuhan tersebut dilakukan oleh Partai Rakyat Demokratik, sebuah partai beraliran kiri yang dipimpin oleh Budiman Sudjatmiko, seorang mahasiswa Universitas Gajah Mada.

Menanggapi peristiwa tersebut pemerintah bertindak represif. Sejumlah aktifis yang tergabung dalam PRD ditahan. Beberapa pimpinan gerakan kiri yang ditahan antara lain Budiman Sudjatmiko, Andi Arief, Nezar Patria, dan beberapa aktivis lainnya. Bahkan sejumlah aktivis tidak ditemukan rimbanya hari ini seperti Widji Tukul, seorang seminan yang berafiliasi kepada PRD.

LATAR BELAKANG PERISTIWA KERUSUHAN DUAPULUH TUJUH JULI

Adapun yang menjadi latar belakang terjadinya Peristiwa Kerusuhan Duapuluh Tujuh Juli tersebut antara lain sebagai berikut :

Megawati kembali terjun dalam politik praktis . Hal ini terjadi setelah sekian lama keluarga Sukarno vakum dari kegiatan politik praktis.

Megawati terpilih sebagai Ketua Umum PDI . Hal ini menimbulkan kepanikan di kalangan pemerintah, mengingat hal tersebut akan membangkitkan kembali Soekarnoisme yang selama ini menjadi fobia bagi pemerintah Orde Baru.

Menjelang pemilihan umum tahun 1997 terdapat kecenderungan mendekatnya kelompok Islam dan kelompok nasionalis sekuler. Hal itu ditandai oleh adanya kampanye Mega-Bintang. Kampanye tersebut merupakan pendekatan antara Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia.

Pemerintah mensponsori terpilihnya Suryadi sebagai ketua umum PDI tandingan. Suryadi dipilih dalam Kongres Medan yang dibiayai dan difasilitasi oleh pemerintah atau ABRI

Menurut sejumlah pengamat politik, pemerintah memiliki kepentingan atas peristiwa tersebut . Pemerintah memiliki tujuan untuk memperlancar jalannya pemilihan umum, sekaligus meratakan kembali naiknya Soeharto sebagai Presiden dalam Sidang Umum MPR tahun 1998. Megawati dianggap sebagai ancaman serius sehingga harus disingkirkan  sejak awal.

Menjelang peristiwa Kudatuli, di Markas DPP Megawati diadakan mimbar bebas. Dalam mimbar bebas tersebut bergantian sejumlah tokoh tampil melakukan orasi. Mimbar bebas juga dimanfatakan oleh kader-kader Partai Rakyat Demokratik dalam melakukan agitasi terhadap pemerintah.
Mimbar bebas tersebut semakin populer dengan tampilnya beberapa tokoh penting seperti Aberson Marle Sihaloho, Sabam Sirait, Permadi, dan lain sebagainya. Bahkan mimbar bebas tersebut rumornya akan diisi oleh orasi Abdurrahman Wahid dan Iwan Fals.

SIKAP PEMERINTAH

Sikap pemerintah menanggapi Peristiwa Dua Puluh Tujuh Juli sebagaimana sikap pemerintah dalam menghadapi isu-isu sejenis relatif sama. Pemerintah segera mencari “kambing hitam” yang menyulut persitiwa tersebut.

Pemerintah menolak mengaitkan massa  PDI Suryadi yang menyebabkan terjadinya peristiwa tersebut. Pemerintah justru menuding ada sekelompok orang, golongan, atau oknum yang tidak bertanggungjawab  yang melakukan tindakan-tindakan anarkis tersebut.

Pemerintah juga menuding ada pihak-pihak tertentu yang menunggangi aksi mimbar bebas yang sebelumnya secara rutin diadakan di markas DPP PDI Megawati.

Pemerintah melalui Menko Polkam, Soesilo Soedarman menyebut kelompok yang dimaksud dengan sebutan Organisasi Tanpa Bentuk. Belakangan baru diketahui bahwa yang dimaksud dengan Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) menurut pemerintah adalah Partai Rakyat Demokratik (PRD), sebuah partai yang dianggap ilegal oleh pemerintah dan bercorak kiri.

DAMPAK PERISTIWA KERUSUHAN DUAPULUH TUJUH JULI

Sedangkan dampak terjadinya Peristiwa Kerusuhan Duapuluh Tujuh Juli tersebut antara lain sebagai berikut :

♦ Komnas HAM menyatakan bahwa Peristiwa Sabtu Kelabu tersebut mengakibatkan jatuhnya korban lima orang, sedangkan menurut versi pemerintah 4 orang

♦ sekitar 124 orang “pelaku” ditahan. Mereka adalah Satuan Tugas (Satgas) PDI Megawati yang mempertahankan markas PDI Megawati dari serbuah massa PDI Suryadi

♦ kerugian materil tercatat antara lain 56 gedung, 197 mobil, bus, dan kendaraan bermotor rusak dan terbakar.

♦ menurut Gubernur DKI Soerjadi Soedirja total kerugian diperkirakan 100 milyar

♦ Peristiwa Kudatuli juga berdampak pada turunnya saham sejumlah perusahaan, diantaranya Gudang Garam. Nilai saham Gudang Garam mengalami penurunan, begitupula dengan nilai saham perusahaan rokok lainnya, Sampoerna.

♦ Peristiwa Kudatuli mengakibatkan terjadinya pergeseran di tubuh ABRI. Letnan Jenderal TNI Soeyono dicopot dari jabatan Kepala Staf Umum (Kasum) ABRI dan Mayjen TNI Syamsir Siregar dari jabatan Kepala Badan Intelejen ABRI (BIA).


PERBANDINGAN ANTARA PERISTIWA MALARI DAN KUDATULI

Perbandingan antara Peristiwa Malari dan Peristiwa 27 Juli dapat dilihat dari tabel berikut :


Malari
Peristiwa 27 Juli
merupakan konflik antara elit militer pemerintah Orde Baru
merupakan konflik antara Megawati dan Suryadi yang didukung oleh pemerintah Orde Baru
aparat hanya bertindak mengamankan massa perusuh
keterlibatan aparat lebih terlihat
terbatas di kalangan elit militer dan mahasiswa
kalangan masyarakat yang terlibat dalam konflik lebih meluas
diawali oleh aksi demonstrasi mahasiswa
diawali oleh penyerbuan markas PDI Megawati
berdampak pada perubahan kebijakan ekonomi
tidak diikuti oleh adanya perubahan kebijakan ekonomi
persamaan
dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan terhadap pemerintah Orde Baru
dipicu oleh kekecewaan di bidnag ekonomi










REFERENSI :

Asvi Warman Adam, Malari 1974 Dan Sisi Gelap Sejarah, dalam Seabad Kontroversi Sejarah, Yogyakarta : Ombak, 2007
David Jenkins, Soeharto Dan Barisan Jenderal Orba, Rezim Militer Indonesia, 1975-1983, Depok : Komunitas Bambu, 2010
Eep Saefullah Fatah, Konflik, Manipulasi Dan Kebangkrutan Orde Baru,Manajemen Konflik Malari,Petisi 50 Dan Tanjung Priok, Yogyakarta : Burungmerak Press, 2010
Francois Raillon, Politik Dan Ideologi Mahasiswa Indonesia, Pembentukan Dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974, Jakarta : LP3ES, 1985
Heru Cahyono, Peranan Ulama Dalam Golkar, Dari Pemilu Sampai Malari, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1992
Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jenderal Sumitro Dan Peristiwa 15 Januari 1974,Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1998
ISAI, Peristiwa 27 Juli, Jakarta : AJI, 1997
Ken Conboy ,Intel, Menguak Tabir Intelejen Indonesia,Jakarta : Pustaka Primatama,2007
Ramadhan K.H, Soemitro, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994
Richard Robison, Soeharto Dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia,Depok : Komunitas Bambu, 2012
Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru, Jakarta : Kompas,2014
MAJALAH :
Historia, Ali Murtopo, Sebuah Lakon, Jakarta : Dian Rakyat,2013
Tempo, Massa Misterius Malari, Jakarta ; PT Tempo Inti Media,2014
Tempo, Rahasia-Rahasia Ali Murtopo, PT Tempo Inti Media,2013




Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN

STATUS OBJEKTIF DAN STATUS SUBJEKTIF

TAWURAN SEBAGAI SUATU GEJALA SOSIAL (ANALISIS SOSIOLOGIS KONFLIK SOSIAL DI PERKOTAAN)