KERUSUHAN DUAPULUH TUJUH JULI 1996


KERUSUHAN DUAPULUH TUJUH JULI 1996


PENGANTAR

Kerusuhan Duapuluh Tujuh Juli tahun 1996 atau yang populer dengan istilah Kudatuli merupakan sebuah peristiwa penting menjelang berakhirnya Orde Baru. Peristiwa tersebut memiliki keunikan mengingat peristiwa itu terjadi ketika Orde Baru sedang berada di puncak kejayaannya.

Pada saat itu kondisi makro dan mikro perekonomian Indonesia sedang dalam kondisi yang prima. Di dunia internasional Indonesia mendapatkan pujian sebagai Macan Asia, Keajaiban Asia dan lain sebagainya.

Pemerintahan Indonesia juga mendapatkan pujian dari dunia internasional. Setelah berhasil mencapai swasembada beras pada dekade 1980-an, pada era 1990-an awal pertumbuhan ekonomi Indonesia juga relatif tinggi.

Era 1990-an awal pemerintahan Orde Baru juga telah berhasil melakukan konsolidasi kekuasaan. Kelompok oposisi relatif tidak memiliki ruang gerak yang memadai untuk dapat mengancam kekuasaan Soeharto yang hegemonik saat itu.

Peristiwa Kudatuli merupakan bentuk akumulasi kekecewaan rakyat dan para aktivis pro demokrasi terhadap tersumbatnya saluran-saluran demokrasi. Sepanjang Orde Baru, lembaga-lembaga perwakilan seperti DPR, DPRD, dan MPR mengalami disfungsi.

Lembaga-lembaga negara tersebut alih-alih memperjuangkan kepentingan dan aspirasi rakyat justru telah bertindak sebagai corong penguasa. Lembaga-lembaga tersebut hanya menjadi alat legitimasi dari pihak yang berkuasa.

Pemilihan umum yang diselenggarakan sepanjang Orde Baru juga hanya menjadi semacam kosmetik belaka. Pelaksanaan demokrasi pada masa Orde Baru merupakan demokrasi yang semu. Pemiihan Umum telah kehilangan substansinya dan telah tereduksi menjadi kegiatan ritual dan prosedural belaka.

Di sisi lain, pemerintah Orde Baru telah secara sempurna melakukan konsolidasi politik. Sejak pemilihan Umum tahun 1977, kekuasaan di Indonesia terpusat pada dua unsur saja, yaitu Presiden Soeharto dan militer (ABRI).

Pemerintah Orde Baru juga telah menyusun struktur politik kenegaraan tanpa oposisi. Oposisi menurut pemerintah saat itu dianggap sebagai kegiatan subversif yang mengancam stabilitas nasional sehingga harus ditumpas.
Peristiwa Kudatuli dalam tataran elit dimaknai sebagai ketidakpuasan elit politik di luar pemerintahan terhadap konsep pembagian kekuasaan yang ada. 

Mereka selama bertahun-tahun mengalami marjinalisasi politik, sehingga dampaknya akses mereka terhadap sumber daya menjadi sangat terbatas.

Pemerintah Orde Bru mereka anggap terlalu rakus dengan memonopoli semua sumber daya, politik dan ekonomi untuk mereka saja. Kelompok-kelompok kepentingan yang ada seperti Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi indonesia dianggap hanya sebagai pelengkap untuk memberikan kesan demokrasi terhadap pemerintahan Orde Baru.

Peristiwa Kudatuli merupakan aksi penyerangan terhadap kantor Dewan Pertimbangan Pusat Partai Demokrasi Indonesia yang ketika itu dipimpin oleh Megawati. Serangan dilakukan oleh pendukung Suryadi, yaitu tokoh yang direstui oleh pemerintah Orde Baru melalui Kongres PDI di Medan untuk menjabat sebagai ketua Umum PDI.

aksi serangan tersebut disinyalir bukan semata-mata konflik internal PDI antara PDI Megawati dan PDI Suryadi. Serangan tersebut dianggap dilakukan secara terstruktur dan sistematis dengan melibatkan aparat keamanan termasuk aparat militer.

Peristiwa tersebut mengakibatkan jatuhnya korban jiwa yang jumlahnya sampai sekarang masih simpang siur. Peristiwa tersebut keesokan harinya diikuit oleh terjadinya sejumlah aksi pembakaran dan vandalisme di sejumlah tempat. Pasca Peristiwa penyerangan terhadap Kantor DPP PDI Megawati terjasi kerusuhan di beberapa tempat seperti di sekitar Jalan Diponegoro, Matraman, Kramat Raya, dan kawasan Senen.

Pemerintah Orde Baru menuding kerusuhan tersebut dilakukan oleh Partai Rakyat Demokratik, sebuah partai beraliran kiri yang dipimpin oleh Budiman Sudjatmiko, seorang mahasiswa Universitas Gajah Mada.

Menanggapi peristiwa tersebut pemerintah bertindak represif. Sejumlah aktifis yang tergabung dalam PRD ditahan. Beberapa pimpinan gerakan kiri yang ditahan antara lain Budiman Sudjatmiko, Andi Arief, Nezar Patria, dan beberapa aktivis lainnya. Bahkan sejumlah aktivis tidak ditemukan rimbanya hari ini seperti Widji Tukul, seorang seminan yang berafiliasi kepada PRD.


LATAR BELAKANG PERISTIWA KERUSUHAN DUAPULUH TUJUH JULI

Adapun yang menjadi latar belakang terjadinya Peristiwa Kerusuhan Duapuluh Tujuh Juli tersebut antara lain sebagai berikut :

Megawati kembali terjun dalam politik praktis . Hal ini terjadi setelah sekian lama keluarga Sukarno vakum dari kegiatan politik praktis.

Megawati terpilih sebagai Ketua Umum PDI . Hal ini menimbulkan kepanikan di kalangan pemerintah, mengingat hal tersebut akan membangkitkan kembali Soekarnoisme yang selama ini menjadi fobia bagi pemerintah Orde Baru.

Menjelang pemilihan umum tahun 1997 terdapat kecenderungan mendekatnya kelompok Islam dan kelompok nasionalis sekuler. Hal itu ditandai oleh adanya kampanye Mega-Bintang. Kampanye tersebut merupakan pendekatan antara Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia.

Pemerintah mensponsori terpilihnya Suryadi sebagai ketua umum PDI tandingan. Suryadi dipilih dalam Kongres Medan yang dibiayai dan difasilitasi oleh pemerintah atau ABRI

Menurut sejumlah pengamat politik, pemerintah memiliki kepentingan atas peristiwa tersebut . Pemerintah memiliki tujuan untuk memperlancar jalannya pemilihan umum, sekaligus meratakan kembali naiknya Soeharto sebagai Presiden dalam Sidang Umum MPR tahun 1998. Megawati dianggap sebagai ancaman serius sehingga harus disingkirkan  sejak awal.

Menjelang peristiwa Kudatuli, di Markas DPP Megawati diadakan mimbar bebas. Dalam mimbar bebas tersebut bergantian sejumlah tokoh tampil melakukan orasi. Mimbar bebas juga dimanfatakan oleh kader-kader Partai Rakyat Demokratik dalam melakukan agitasi terhadap pemerintah.

Mimbar bebas tersebut semakin populer dengan tampilnya beberapa tokoh penting seperti Aberson Marle Sihaloho, Sabam Sirait, Permadi, dan lain sebagainya. Bahkan mimbar bebas tersebut rumornya akan diisi oleh orasi Abdurrahman Wahid dan Iwan Fals.


SIKAP PEMERINTAH

Sikap pemerintah menanggapi Peristiwa Dua Puluh Tujuh Juli sebagaimana sikap pemerintah dalam menghadapi isu-isu sejenis relatif sama. Pemerintah segera mencari “kambing hitam” yang menyulut persitiwa tersebut.

Pemerintah menolak mengaitkan massa  PDI Suryadi yang menyebabkan terjadinya peristiwa tersebut. Pemerintah justru menuding ada sekelompok orang, golongan, atau oknum yang tidak bertanggungjawab  yang melakukan tindakan-tindakan anarkis tersebut.

Pemerintah juga menuding ada pihak-pihak tertentu yang menunggangi aksi mimbar bebas yang sebelumnya secara rutin diadakan di markas DPP PDI Megawati.

Pemerintah melalui Menko Polkam, Soesilo Soedarman menyebut kelompok yang dimaksud dengan sebutan Organisasi Tanpa Bentuk. Belakangan baru diketahui bahwa yang dimaksud dengan Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) menurut pemerintah adalah Partai Rakyat Demokratik (PRD), sebuah partai yang dianggap ilegal oleh pemerintah dan bercorak kiri.


DAMPAK PERISTIWA KERUSUHAN DUAPULUH TUJUH JULI

Sedangkan dampak terjadinya Peristiwa Kerusuhan Duapuluh Tujuh Juli tersebut antara lain sebagai berikut :

♦ Komnas HAM menyatakan bahwa Peristiwa Sabtu Kelabu tersebut mengakibatkan jatuhnya korban lima orang, sedangkan menurut versi pemerintah 4 orang

♦ sekitar 124 orang “pelaku” ditahan. Mereka adalah Satuan Tugas (Satgas) PDI Megawati yang mempertahankan markas PDI Megawati dari serbuah massa PDI Suryadi

♦ kerugian materil tercatat antara lain 56 gedung, 197 mobil, bus, dan kendaraan bermotor rusak dan terbakar.

♦ menurut Gubernur DKI Soerjadi Soedirja total kerugian diperkirakan 100 milyar

♦ Peristiwa Kudatuli juga berdampak pada turunnya saham sejumlah perusahaan, diantaranya Gudang Garam. Nilai saham Gudang Garam mengalami penurunan, begitupula dengan nilai saham perusahaan rokok lainnya, Sampoerna.

♦ Peristiwa Kudatuli mengakibatkan terjadinya pergeseran di tubuh ABRI. Letnan Jenderal TNI Soeyono dicopot dari jabatan Kepala Staf Umum (Kasum) ABRI dan Mayjen TNI Syamsir Siregar dari jabatan Kepala Badan Intelejen ABRI (BIA).






















REFERENSI :


Eep Saefullah Fatah, Konflik, Manipulasi Dan Kebangkrutan Orde Baru,Manajemen Konflik Malari,Petisi 50 Dan Tanjung Priok, Yogyakarta : Burungmerak Press, 2010

ISAI, Peristiwa 27 Juli, Jakarta : AJI, 1997



Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN

STATUS OBJEKTIF DAN STATUS SUBJEKTIF

TAWURAN SEBAGAI SUATU GEJALA SOSIAL (ANALISIS SOSIOLOGIS KONFLIK SOSIAL DI PERKOTAAN)