RAJA FAISAL, SANG PEMBAHARU
RAJA FAISAL, SANG PEMBAHARU
MODERNISASI DAN KONTROVERSINYA
Diantara raja-raja Saudi
pasca Perang Dunia Kedua, Faisallah nampaknya yang merupakan raja yang paling
menonjol. Faisal dikenal karena kontroversinya. Gebrakannya ketika berkuasa
memunculkan banyak polemik. Karekanya ia didukung oleh sebagian kalangan akan
tetapi di saat yang bersamaan ia juga banyak dikecam. Faisal pada akhirnya
memiliki banyak pendukung sekaligus musuh.
Salah satu gebrakannya
adalah ketika ia melakukan serangkaian program modernisasi yang mengubah wajah
Arab Saudi selamanya.Beberapa kebijakannya dinilai terlalu dini untuk ukuran
kebudayaan masyarakat Saudi saat itu.
Walaupun masyarakat
Saudi makin bergerak kearah masyarakat modern dengan perkembangan teknologi dan
informasi serta transportasi yang pesat, namun Saudi masih tidak dapat
menyembunyikan kultur badui yang menentang dan mencurigai semua bentuk
perubahan yang ada.
Bagi sebagian masyarakat
Badui, apa yang dilakukan oleh Faisal dianggap mengancam jalan hidup mereka
yang sudah dijalani selama berabad-abad.
Adapun beberapa
kebijakan yang kontroversial yang pernah dikeluarkan oleh Faisal antara lain
menghapus perbudakan, Hal itu dilakukan melalui sebuah perundangan yang
dikeluarkan pada tahun 1962.
Undang-undang tersebut
dinilai bertentangan dengan tafsir hukum Islam yang selama itu berlaku di
Saudi. Bagi sebagian pemilik otoritas keagamaan di Saudi, hal itu dianggap
menyalahi ketentuan agama yang mereka yakini selama ini. Perbudakan dalam
pandangan keagamaan yang mereka anut, merupakan bagian dari ajaran Islam dan
tertera di dalam Kitab suci Al Qur`an.
Kontroversi lain yang
dilakukan oleh Faisal adalah mengenai kesetaraan gender. Faisal pada masa
pemerintahannya memperkenalkan pendidikan kepada kaum perempuan. Dengan
kebijakan ini maka kaum perempuan dapat terlibat dalam ruang publik sebagaimana
kaum pria. Melalui pendidikan nantinya kaum perempuan akan mengambil peran yang
sama dalam dunia professional.
Sebagaimana isu
perbudakan, masalah kesetaraan gender juga merupakan hal yang sensitif. Banyak
penafsir keagamaan di Saudi saat itu yang punya pandangan yang berbeda. Mereka
menafsirkan secara kaku Surat Al Ahzab ayat 33 yang menurut pemahaman keagamana
mereka merupakan perintah agar kaum perempuan harus tetap berada di dalam rumah
dan tidak boleh berbaur dengan kaum laki-laki di ruang publik.
Adapun kebijakan Faisal
yang dianggap paling menimbulkan kekesalan terutama bagi kalangan konservatif
adalah ketika Faisal memperbolehkan adanya televisi di Saudi.
Hal itu tidak pelak
dianggap sebagai hal yang terlarang. Kelompok konservatif menganggap televisi
sebagai inovasi setan. Penentangan mereka berujung kepada terjadi aksi
kerusuhan berdarah di Riyadh. Bahkan salah satu kemenakan Faisal sendiri
termasuk dalam kelompok penentang yang kemudian mati terbunuh oleh tembakan
polisi.
Peristiwa berdarah ini
kelak berbuntut panjang. Pada Bulan Maret 1965, seorang keponakan raja yang
merupakan saudara laki-laki pengeran yang terbunuh menyusul kerusuhan menolak
televisi tahun 1965 melakukan pembunuhan terhadap Faisal dengan menembakkan
pistolnya ke kepala sang raja. Setelah dinyatakan memiliki gangguan jiwa oleh
otoritas keamanan, si pembunuh kemudian dipenggal.
FAISAL DAN IKHWANUL MUSLIMIN
Selain dikenal sebagai
seorang pembaharu, Faisal juga dikenal sebagai pendukung utama gagasan Pan
Islam. Pan Islam adalah gagasan mengenai persatuan dunia Islam yang pertama
kali digagas oleh Jamaluddin Al Afgani pada abad ke19.
Gagasan tersebut
berambisi untuk menyatukan umat Islam se-dunia di bawah satu kepemimpinan
terpusat seperti yang pernah berlangsung pada era kekhalifahan Turki Usmani.
Dukungan Faisal terhadap
gagasan Pan Islam ia wujudkan dengan membentuk Organisasi Konferensi Islam pada
tahun 1969 bersama penguasa Maroko. Organisasi Konferensi Islam atau disingkat
OKI merupakan organisasi yang didirikan sebagai reaksi atas tindakan brutal
seorang Yahudi Australia bernama Dennys Rohan yang membakar Masjid Suci Al
Aqsha di Yaerusalem, Palestina.
Pembakaran tersebut
menyusul direbutnya Tepi Barat oleh Israel dalam Perang Enam Hari tahun 1967
yang dimenangkan oleh Israel. Dalam perang itu Israel sekaligus menguasai
Dataran Tinggi Golan milik Suriah dan Jazirah Sinai milik Mesir.
Faisal juga sebelumnya
melakukan kunjungan ke Bandung, Indonesia pada tahun 1955 untuk menghadiri
Konferensi Asia Afrika yang digagas oleh Presiden Indonesia, Sukarno.
Kedatangan Faisal tidak terlepas dari upayanya melakukan pendekatan terhadap
negara-negara Asia Afrika khususnya negara-negara yang berpenduduk mayoritas
muslim.
Tindakan lain yang
dilakukan oleh Faisal untuk memuluskan gagasan Pan Islamnya adalah dengan
mengundang sejumlah eksil Ikhwanul Muslimin dari Mesir dan Suriah. Ketika itu
Ikhwanul Muslimin, sebuah organisasi bentukan Hasan Al Banna tahun 1920-an
sedang mengalami konflik dengan penguasa Mesir saat itu, Gamal Abdel Nasser.
Ikhwan tidak setuju dengan gagasan Naser yang ingin mewujudkan Nasionalis Arab.
Di mata Ikhwan,
Nasionalisme Arab bersifat sekuler dan ateistik sehingga bertentangan dengan
prinsip-prinsip ajaran Islam.
Konflik antara Nasser
dan Ikhwan semakin meruncing ketika terjadi upaya pembunuhan terhadap Nasser.
Nasser langsung menuding Ikhwan sebagai pelaku dibalik upaya pembunuhan
tersebut.
Nasser kemudian
menjelboskan ribuan anggota Ikhwanul Muslimin termasuk sejumlah petingginya,
seperti Sayyid Qutb dan Hasan Hudhaibi, termasuk pimpinan organisasi kewanitaan
Ikhwan, Zaenab Al Ghazali.
Para anggota Ikhwan
tersebut kemudian mengalami penyiksaan yang di luar batas kemanusiaan. Banyak
diantara anggota Ikhwan yang kemudian terbunuh setelah mengalami serangkaian
penyiksaan yang dilakukan oleh aparat militer Mesir, termasuk Sayyid Qutb yang
dieksekusi mati oleh Nasser tahun 1966.
Tidak semua anggota dan
pimpinan Ikhwan berhasil dipenjara. Beberapa diantaranya berhasil keluar dari
Mesir dan kemudian mencari suaka ke luar Mesir, seperti Muhammad Qutb, saudara
Sayyid Qutb, Yusuf Qardhawi, seorang sarjana yang kemudian terkenal dengan
fatwa-fatwa kontemporernya, dan Said Ramadhan, yang merupakan menantu Hasan Al
Banna, pendiri Ikhwan.
Berbeda dengan Ramadhan
yang meminta suaka ke Swiss dan Qardhawi di Inggris (kemudian Qatar), Muhammad
Qutb diterima oleh pemerintah Saudi. Muhammad Qutb tiba di Saudi dan disambut
dengan upacara militer. Muhammad Qutb dan sejumlah tokoh Ikhwan lainnya seperti
Abdullah Azzam kemudian diperbolehkan mengajar di sejumlah universitas Saudi
dan menyebarkan ajaran Ikhwan di sana.
Politik akomodasi yang
dilakukan oleh Faisal tersebut bukan tanpa alasan. Faisal ingin agar Ikhwan
bisa menjadi mitra (atau alat) dari Saudi untuk menyebarkan gagasan Pan Islam
guna menandingi gagasan Pan Arab dan Nasionalisme Arab sekuler yang diusung
oleh Nasser serta sejumlah pimpinan Arab lainnya saat itu seperti diktator
Suriah, Hafez Assad dan kemudian Moammar Khadafi dari Lybia.
Faisla mencemaskan
gagasan Pan Arab dan Nasionalisme Arab Nasser, sebab gagasan tersebut antara lain
menginginkan agar minyak yang dimiliki oleh Saudi harus dibagi rata kepada
semua negara Arab termasuk Mesir dan Suriah,
dua negara yang mengalami keterbelakang ekonomi saat itu.
Selain itu gagasan Pan
Arab dan Nasioanlisme Arab bertujuan hendak menumbangkan monarki di seluruh
tanah Arab. Menurut gagasan Arabisme, sistem kerajaan atau monarki selain
bertentangan dengan kemajuan zaman juga dianggap sebagai perpanjangan tangan
dari kepentingan negara-negara kolonial seperti Inggris, Prancis, dan Amerika
Serikat.
Setelah Faisal wafat,
gagasan Pan Islam yang diusungnya terus dilanjutkan oleh penggantinya dengan
skala yang terbatas. Para penguasa Saudi setelah Faisal cenderung mengandalkan
bantuan dari Amerika Serikat demi menahan arus nasionalisme Arab dan ancaman
Soviet pada era Perang Dingin.
Ketergantungan Saudi
terhadap perlindungan keamanan dari Amerika Serikat ini dikemudian hari
menimbulkan protes dari kalangan yang menentang campurtangan Amerika dalam
pemerintahan Saudi dan politik di Timur Tengah. Salah satu penentangnya adalah
anak pengusaha kaya Saudi yang banyak menyerap pemikiran, bukan saja dari
tokoh-tokoh Salaf tetapi juga dari Ikhwanul Muslimin.
Tokoh yang dikenal dengan nama Osama Bin Laden
tersebut kemudian terlibat konflik serius dengan pemerintah Saudi dan Amerika
Serikat pasca berakhirnya Perang Afganistan tahun 1989 dan ketika Perang Teluk
tahun 1991.
REREFENSI :
Yaroslav Trofimov,
Kudeta Mekkah, Jakarta : Alvabet, 2017
Ian Craib, Konspirasi
Nazi dan Ikhwan, Jakarta : Ufuk
Robert Dreyfus, Devils
Game, 60 Tahun Perselingkuhan Amerika-Religious Extremist
Komentar
Posting Komentar