REPUBLIK INDONESIA MENGHADAPI AGERESI MILITER BELANDA II
REPUBLIK INDONESIA MENGHADAPI AGERESI MILITER
BELANDA II
KONDISI POLITIK, EKONOMI DAN PERTAHANAN
Kekacauan juga terjadi
di wilayah Republik. Hal itu disebabkan karena wilayah RI menjadi lebih sempit
dengan diterimanya keputusan penerimaan Garis Demarkasi Van Mook dalam
Perundingan Renville. Sebagai akibatnya TNI di Jawa Barat harus melakukan
Hijrah, pindah ke wilayah de Facto RI di Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Pindahnya Divisi
Siliwangi kemudian menimbulkan komplikasi politik dan ekonomi yang parah.
Kesatuan-kesatuan militer di Solo, yaitu Divisi Panembahan Senopati merasa
tersaingi. Panembahan Senopati merasa kehadiran Siliwangi di Jawa Tengah akan
makin melemahkan kedudukan Senopati.
Apalagi pasca Renville,
Kabinet Hatta menjalankan kebijakan Rekonstruksi dan Rasionalisasi tentara yang
bertujuan untuk mengurangi jumlah tentara. Senopati merasa dianaktirikan karena
yang menjadi sasaran demobilisasi tentara adalah kesatuan bersenjata Senopati.
Sedangkan pasukan Siliwangi tidak mengalami imbas dari program rasionalisasi
tentara tersebut.
Ketegangan antara kedua
pasukan tersebut mengakibatkan keadaan kacau di Kota Solo. Ditambah lagi dengan
tindakan provokasi yang dilakukan oleh Front Demokrasi Rakyat bentukan mantan
Perdana menteri RI, Amir Syarifudin dan Lasykar kiri, Pesindo.
Kekacauan politik di
Solo akhirnya berujung kepada terjadinya perebutan kekuasaan yang dilakukan
oleh FDR/PKI pimpinan Musso dan Amir Syarifudin di Kota Madiun pada 18
September 1948.
Pemberontakan FDR/PKI
tersebut sangat melemahkan perjuangan RI yang ketika itu sedang bersiap
menghadapi agresi militer Belanda. Pemberontakan tersebut juga mengakibatkan
terjadinya perpecahan di kalangan Republik, sehingga mengurangi tenaga untuk
dapat menghadapi Belanda kelak.
Keadaan makin sulit
ketika dilakukan operasi penumpasan PKI. Dalam pengejaran yang dilakukan oleh
TNI, banyak anggota PKI yang menyebrangi garis demarkasi RI-Belanda. Belanda
kemudian menuduh pihak RI melanggar kesepakatan demarkasi dengan melintasnya
sejumlah anggota dan tokoh PKI ke daerah pendudukan Belanda tersebut.
Masalah gangguan
keamanan juga disebabkan karena meningkatnya pergerakan Darul Islam di Jawa
Barat. Semenjak diadakannya Perundingan Renville, Kartosuwiryo mengorganisir
lasykar-lasykar yang tidak puas dengan politik Renville yang dilakukan
pemerintah menjadi sebuah organisasi militer yang dinamakan Tentara Islam
Indonesia.
Puncaknya adalah ketika
Kartosuwiryo akhirnya mendirikan Darul Islam secara resmi tahun 1949 ketika
diadakannya Konferensi Meja Bundar antara Republik Indonesia, BFO, dan Belanda.
Darul Islam mengklaim
menjadi penguasa Jawa Barat dan menolak untuk dilucuti senjatanya oleh TNI.
Segera setelah itu terjadi konflik segitiga di Jawa Barat antara Darul Islam,
TNI, dan tentara federal bentukan Belanda. Konflik antara Darul Islam dan TNI
semakin mengemuka setelah TNI Divisi Siliwangi melakukan Longmarch kembali ke Jawa Barat dari Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Selain masalah politik
dan keamanan, kondisi perekonomian RI menjelang agresi militer Belanda juga
memprihatinkan. Praktis perdagangan di wilayah Republik terhenti. Pemerintah
Indonesia tidak bisa melakukan kegiatan ekspor dan impor.
Hal itu disebabkan
karena tindakan Belanda yang melakukan blokade atas wilayah Republik. Belanda melarang
masuknya barang-barang serta kebutuhan lain di wilayah Republik. Belanda juga
mengeluarkan sejumlah peraturan yang menghambat perekonomian RI
Dampaknya adalah rakyat
di wilayah RI mengalami kesulitan pangan dan obat-obatan. Selain itu RI juga
mengalami kekurangan bahan-bahan pakaian serta kekurangan mesin-mesin dan alat
pertanian untuk menggerakkan roda perekonomian. Termasuk diantaranya adalah
terhambatnya kapas, tekstil dan obat-obatan dari Amerika akibat blokade
Belanda.
Pemerintah Indonesia juga
tidak bisa memanfaatkan perkebunan-perkebunan dan pabrik-pabrik yang ada di
wilayah de facto RI. Hal itu disebabkan karena belum jelasnya status perkebunan
di wilayah Republik. Situasi tersebut diperparah dengan terjadinya musim
kemarau yang berkepanjangan.
Permasalah di bidang
militer dan pertahanan juga menuntut penyelesaian segera. Menjelang agresi
militer Belanda kondisi pertahanan sangat memprihatinkan. Kondisi tersebut
dapat dilihat dari keterangan berikut ini :
● kurang harmonisnya
hubungan antara politisi dan tentara RI
● kegagalan intelejen
RI yang mendeteksi rencana militer Belanda
● Jenderal Sudiman
sedang dalam keadaan sakit
● kacaunya kondisi
pertahanan RI
● pelanggaran garis status quo oleh Belanda
● kekacauan politik
menyusul dikeluarkannya kebijakan Reorganisasi tentara
Berbagai kondisi di
atas menimbukan ketegangan di tubuh Republik. Muncul berbagai protes terhadap
kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah saat itu mulai dari kebijakan RERA
sampai munculnya tuntutan untuk menghentikan segala perundingan dengan Belanda.
Salah satu protes antara lain dengan keluarnya Mosi Mangunsarkoro. Mosi
tersebut menuntut agar RI melepaskan diri dari ikatan dengan Belanda
PERSIAPAN
MENGHADAPI AGRESI BELANDA
Menyadari ancaman
agresi Belanda yang semakin dekat menyusul kebuntuan diplomasi antara
pemerintah Hatta dan Belanda, TNI mulai melakukan persiapan-persiapan.
Dalam Bulan Agustus
1948, Nsution menyampaikan memorandum yang memuat garis-garis besar tentang kemungkinan
terjadinya serangan Belanda yang kedua. Memorandum itu juga memuat usul-usul
mengenai pertahanan Republik, yang didasarkan atas pengalaman pada akhir tahun
1947 ketika Belanda melancarkan Agresinya yang pertama. Pokok-pokok dari
memorandum tersebut antara lain sebagai berikut :
● ditinggalkannya
sistem pertahanan frontal terhadap Belanda
● sebagai gantinya
Angkatan Perang akan melakukan Perang Gerilya atau pertahanan rakyat semesta
⧭ akan dibentuk dua
jenis kesatuan infantri yang berbeda :
1 pasukan pertahanan territorial
2 pasukan tempur yang
mobil
● perlunya dilakukan
penciutan jumlah personil Angkatan Perang dengan jalan membubarkan
kesatuan-kesatuan yang tidak terlatih dengan baik
● dibentuk tiga divisi
tentara di Jawa untuk menghadapi Belanda :
→ Divisi I :
mempertahankan front Barat
→ Divisi II :
mempertahankan front Utara
→Divisi III :
mempertahankan front Timur
● akan dibentuk
komando-komando regional di Jawa di bawah Nasution dan di Sumatera di bawah
Hidayat
DUKUNGAN
INTERNASIONAL
Walaupun menghadapi
sejumlah kendala di bidang politik, ekonomi, perdagangan, dan pertahanan, namun
pemerintah RI mendapat banyak dukungan dari luar negeri.
Dukungan ini dianggap
penting karena akan membantu Republik dalam diplomasi politik di Sidang Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa yang diperkirakan akan diadakan jikalau
Belanda jadi melancarkan agresi militernya ke wilayah Indonesia. Dukungan
tersebut antara lain berasal dari negara-negara berikut :
♦ Selandia Baru
♦ Birma
♦ Pakistan
♦ Filiphina
♦ Australia
♦ Uni Soviet
REFERENSI
:
A.H.Nasution, Sekitar
Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 9, Bandung : Angkasa,1993
Komentar
Posting Komentar