KEKUASAAN KHMER MERAH DI KAMBOJA ; SEBUAH TRAGEDI KEMANUSIAAN
KEKUASAAN
KHMER MERAH DI KAMBOJA ; SEBUAH TRAGEDI KEMANUSIAAN
PELAKSANAAN
KOMUNISME DI KAMBOJA
Komunisme yang dianut oleh Khmer Merah cenderung mengikuti
model komunis di Cina. Selain warna kulit mereka yang sawo matang semuanya
mereka impor dari Cina.
Selain ideologi yang mereka adopsi dari pemikiran Mao Tse
Tung, hal-hal lainnya juga mereka tiru dari Cina, mulai dari gagasan untuk
belajar kepada petani yang meniru konsep Revolusi Kebudayaannya Mao sampai
peralatan militer yang mereka gunakan. Baik topi bundar yang mereka kenakan
sampai senapan AK 47 yang mereka miliki semuanya mereka peroleh dari Cina.
Khmer Merah merupakan kelompok komunis yang ultra radikal.
Mereka bermaksud mengubah masyarakat secara total dan radikal dari atas sampai
ke dasar-dasarnya.
Segala sesuatu yang silam hendak dihapuskan termasuk agama.
Menurut Khmer Merah dan kelompok komunis lainnya, agama adalah merupakan bentuk
kesadaran palsu yang menghalang-halangi munculnya kesadaran kelas dan
perjuangan antarkelas.
Agama pada masa Khmer Merah dilarang. Demikian pula dengan
perayaan-perayaan keagamaan. Banyak tokoh-tokoh agama baik dari Budha maupun
dari komunitas muslim yang dibunuh dengan kejam.
Menurut Khmer Merah, Budhisme adalah agama lama yang harus
ditinggalkan. Mereka hendak menggantikan Budhisme dengan agama baru yang mereka
sebut dengan istilah ‘angka’. Para biksu dianggap Khmer Merah sebagai parasit
yang hidup dari jerih payah orang lain karena kebiasaan mereka menerima derma.
Menurut Khmer Merah, para Biksu merupakan golongan
imperialis penghisap darah. Pada masa kekuasaan Khmer Merah rakyat dilarang
memberikan beras sebagai pemberian kepada para biksu. Apabila ada diantara
rakyat yang melanggar akan dijatuhi hukuman mati.
Khmer Merah juga
mengusir para biksu dari wat, dan mereka disuruh meninggalkan jubah kuning yang
biasa dikenakan dan menggantinya dengan jubah hitam.
Ketika Pol pot memimpin Kamboja, langkah pertamanya adalah
mencanangkan Tahun Nol. Simbolisasi dari kebijakkan tersebut adalah Pol Pot
ingin memulai sejarah Kamboja dari awal. Ia ingin menghapus segala peninggalan
masa lalu sebelum kelompok Khmer Merah berkuasa.
Sebagaimana ajaran Komunisme yang tidak mengakui hak milik
pribadi, Khmer Merah kemudian menghapus hak milik pribadi. Khmer Merah ingin
mewujudkan utopia Komunis yang ingin mewujudkan masyarakat sama rata sama rasa
(Classless Society). Semua barang milik pribadi dirampas oleh negara.
Khmer Merah juga menghapus gelar-gelar kehormatan dan
panggilan-panggilan tertentu. Seperti sebutan Luk yang biasanya ditujukan kepada orang yang dihormati dan
dituakan dalam masyarakat .
Kebijakkan lain yang dikeluarkan oleh pemerintahan Khmer
Merah adalah melaksanakan Agrarianisme. Orang-orang Khmer Merah umumnya
berlatar belakang petani yang tidak pernah mengeyam pendidikan dan kehidupan
kota.
Mereka sedemikian bencinya kepada kelompok intelektual dan
modernisasi. Khmer Merah kemudian mengusir penduduk dari kota-kota untuk
dipindahkan semuanya ke desa-desa dan memaksa penduduk kota menjadi petani
Agrarianisme yang dinaut oleh Khmer Merah diperoleh dari
Cina. Komunisme yang digunakan oleh Khmer Merah adalah juga komunisme yang
berlaku di Cina.
Sebagaimana Cina, Kamboja merupakan negara agraris dengan
sebagian besar penduduk berprofesi sebagai petani. Kelas buruh masih jarang
sekali. Kehidupan masyarakat pun masih relatif sederhana. Mereka menganggap
semua profesi selain petani adalah pekerjaan yang penuh dengan korupsi.
Agrariasnime membenci sekali kehidupan kota. Hal itu
terlihat dari salah satu ceramah yang disampaikan oleh salah seorang kader
Khmer Merah pada sebuah kesempatan :
“Kita tidak
memerlukan teknologi kaum kapitalis. Semuanya itu sama sekali tidak kita perlukan.
Di bawah sistem kita yang baru, kita tidak perlu lagi menyuruh anak-anak kita
belajar di sekolah-sekolah. Sekolah kita adalah ladang pertanian”.
Selanjutnya ia mengatakan :
“Tanah, itulah
kertas kita. Bajak adalah pena kita. Kita akan ‘menulis’ dalam wujud membajak
tanah. Kita tidak perlu mengadakan ujian-ujian atau pemberian ijazah-ijazah.
Tahu bagaimana caranya bertani dan mengetahui cara menggali saluran-saluran
air, itulah ijazah-ijazah kita”.
Mereka juga menutup semua fasilitas publik yang vital yang
ada pada masyarakat modern seperti pasar, bank, sekolah, dan rumah sakit,
termasuk juga menghapus mata uang serta
membakar buku-buku sekolah hingga peralatan dapur seperti panci.
Kelompok Khmer Merah menganggap segala peralatan tersebut
adalah produk kapitalis dan mereka mengancam siapapun yang memiliki dan
menyimpan peralatan tersebut akan dianggap sebagai kapitalis dan musuh negara.
Tindakan yang dilakukan oleh Khmer Merah tersebut
dikarenakan doktrin Marxis yang mereka miliki. Menurut mereka kepemilikan
pribadi harus dihilangkan karena hal tersebut menjadi sumber dari segala macam
bentuk penindasan yang dilakukan manusia terhadap manusia lainnya. Kota-kota
tidak ada lagi.
Tidak ada pasar, toko, restoran atau kedai minum. Tdak ada
lagi kendaraan pribadi. Tidak ada lagi sekolah. Tidak ada buku dan majalah.
Kehidupan di Kamboja saat itu ibarat Kamboja pada beberapa abad yang silam.
Kebencian kepada kalangan intelektual diwujudkan dengan melakukan
pembunuhan kepada para dokter, guru, kalangan intelektual. Bahkan yang sangat
unik, Khmer Merah juga melakukan pembunuhan kepada orang-orang yang berkacamata.
Rezim Khmer Merah tidak membutuhkan semua profesi yang ada
dalam masyarakat modern. Mereka juga tidak membutuhkan dokter. Apabila ada
diantara mereka yang sakit, orang-orang Khmer Merah akan mengambil cairan
kelapa sebagai pengganti infus.
Rezim Khmer Merah yang dipimpin oleh Pol Pot atau lebih
dikenal dengan nama Brother Number One ketika berkuasa di Kamboja melakukan
terorisme kepada rakyatnya sendiri. Mereka membunuhi para biksu dan cendekiawan
termasuk para guru dan dokter.
Khmer Merah juga membenci institusi keluarga. Menurut
doktrin Marxisme, keluarga adalah institusi yang melanggengkan penindasan dan
merupakan perwujudan dari kelas sosial yang harus dimusnahkan. Khmer Merah pada
masa kekuasaannya mencerai-beraikan keluarga.
Keluarga tidak diperbolehkan berkumpul menjadi satu.
Anak-anak dan orang-orang yang sudah berumur dikirim untuk hidup dalam
kelompok-kelompok yang tersebdiri, sedangkan anak-anak yang baru lahir dan anak
kecil akan diasuh oleh koperasi.
Sebagaimana rezim komunis lainnya, Khmer Merah juga
melakukan kegiatan cuci otak atau indoktrinasi. Mereka sadar bahwa komunisme
merupakan ajaran yang tidak masuk akal dan bertentangan dengan kemanusiaan.
Oleh karena itu mereka memaksa setiap rakyat untuk
mendengarkan propaganda mereka dengan mengadakan kegiatan-kegiatan di pedesaan
yang disebut Bonn.
Dalam kegiatan tersebut setiap harinya rakyat dipaksa
mendengarkan propaganda yang dilakukan selama berjam-jam yang diselingi dengan
pemutaran lagu-lagu revolusioner melalui pengeras suara.
Dari atas podium kader-kader Khmer Merah yang mengenakan
seragam celana panjang dan kemeja katun hitam dilengkapi dengan ikat kepala
merah dan krama yang berwarna merah pula menyampaikan pidato tentang keunggulan
doktrin komunisme dan kampanye anti imperialisme.
Rezim komunis Khmer Merah di Kamboja bukan saja melakukan
pembunuhan massal, mereka juga melakukan penyiksaan yang tidak ada taranya. Di
Kamp konsentrasi yang bernama Tuol Sleng, yang kini menjadi museum, ditemukan
berbagai metode penyiksaan yang dilakukan oleh para interogator
Korban penyiksaan dan pembunuhan yang dilakukan di kamp
Tuol Sleng diperkirakan ada 20.000 jiwa. Total di seluruh Kamboja, jumlah orang
yang tewas di bawah rezim komunis Khmer Merah, baik dibunuh atau mati kelaparan berjumlah lebih dari satu
juta jiwa, padahal jumlah penduduk Kamboja secara keseluruhan hanya sekitar 3
juta penduduk.
Pembunuhan massal yang dialami oleh rakyat Kamboja disebut
dengan istilah Auto-genocida untuk membedakan dengan Genocide yang merupakan
pembunuhan massal kepada kelompok ras atau etnis lain seperti yang terjadi di
Rwanda oleh etnis Hutu kepada etnis Tutsi.
REFERENSI
:
Haing Ngor, Neraka Kamboja, Awal Mula, Jakarta : Gramedia,
1990
Haing Ngor, Neraka Kamboja, Siksa dan Derita, Jakarta :
Gramedia, 1990
Robert A.
Scalapino dan Yusuf Wanandi, Asia Tenggara Dalam Tahun 1980-an, Jakarta : CSIS,
1985
Taufik Ismail, Katasrofi Mendunia, Marxisma Leninisma,
Stalinisma, Maoisma, Narkoba, Jakarta : Yayasan Titik Infinitum, 2004
Komentar
Posting Komentar