PEREBUTAN PENGARUH ANTARA UNI SOVIET DAN CINA DI ASIA TENGGARA

 

PEREBUTAN PENGARUH ANTARA UNI SOVIET DAN CINA DI ASIA TENGGARA

PERPECAHAN ANTARA CINA DAN UNI SOVIET

Dinamika politik di Asia Tenggara tidak terlepas dari adanya rivalitas, ketegangan, dan konflik antara Cina dan Uni Soviet. Keduanya dikenal sebagai pemimpin dunia komunis saat itu.

Antara Cina dan Uni Soviet terlibat persaingan memperebutkan pengaruh di dunia komunis. Persaingan mereka juga terlihat di kawasan Asia Tenggara.

Benih ketidaksukaan Partai Komunis Tiongkok pimpinan Mao Tse Tung terhadap Uni Soviet sudah terpendam lama. Ketika Mao Tse Tung sedang berjuang mati-matian melawan kelompok nasionalis, Stalin justru terus menerus mendorong Mao untuk bekerjasama dengan Chiang Kai Sek, pemimpin Guomindang yang sangat dibenci oleh Mao.

Pada saat itu Moskow yang merasa dirinya sebagai pusat komunisme internasional, mampu menekan Partai Komunis Cina untuk bersekutu dengan kaum nasionalis yang tergabung di dalam kuomintang  melalui Front Nasional.

Hal tersebut memang merupakan salah satu taktik kaum komunis untuk bersekutu dengan ‘kaum borjuasi nasional” yang sudah maju untuk kemudian memanfaatkan persekutuan itu atau sekalian memanfaatkan ‘kaum borjuasi nasional”.(Dahana,1996)

Stalin sendiri tidak mempercayai Mao dan tentaranya yang dianggap sebagai petani yang tidak berpengalaman. Menurut Stalin, Mao adalah petani yang menganut ajaran Marxisme dari gua.

Pendapat itu dikemukakan oleh Stalin setelah membaca tulisan-tulisan para pemimpin Cina yang disebutnya sebagai feudal dan untuk menggambarkan betapa Mao telah menganut Marxisme secara dogmatis.

Stalin sendiri menyimpan ketidaksukaan pribadi kepada Mao. Stalin menganggap Mao sebagai pemimpin yang sukar diatur dan selalu membangkang. Pengalaman pembangkangan Tito dari Yugoslavia menjadikan Stalin berupaya agar tidak ada lagi tokoh komunis yang akan menyaingi kepemimpinannya atas dunia komunis.

Mao menyadari ketidaksukaan Stalin terhadap dirinya, tetapi Ia sadar bahwa Cina saat itu masih sangat tergantung kepada Uni Soviet dalam segala halnya, mulai dari pengakuan internasional sampai kebutuhan persenjataan dalam rangka menghadapi kelompok nasionalis.

Awalnya Mao masih menaruh rasa hormat kepada Stalin. Walaupun berkali-kali upaya Mao untuk bertemu dengan Stalin selalu ditampik dengan kasar, dan ketika ia akhirnya mendapatkan kesempatan berkunjung ke Moskwa setelah keberhasilannya memengkan perang melawan kelompok nasionalis di tahun 1949, Mao tidak disambut layaknya seorang pemimpin besar yang akan membawa masyarakatnya  memasuki era komunisme.  Mao justru diperlakukan dengan tidak selayaknya.

Pertemuan dengan Stalin itupun mengecewakan Mao karena, selain bantuan yang tidak seberapa besar yang dia dapatkan dari Soviet, Mao juga harus menerima kontrol Soviet atas Lushan (Port Arthur) dan jalur Kereta Timur China di Manchuria sampai pertengahan tahun 1950-an. Hak penambangan mineral di Xianjiang, provinsi Cina paling barat juga harus diserahkan kepada Soviet.

Menurut RRT, ada kecenderungan Uni Soviet ingin menguasai RRT , dan Uni Soviet menganggap RRT baik dan revolusioner, selama RRT tunduk di bawah pengaruh dan kekuasaan Uni Soviet.

Setelah kematian Stalin pada 1953, Mao akhirnya melihat kesempatan untuk melepaskan diri dari pengaruh Kremlin dan mengambilalih kepemimpinan atas negara-negara Komunis.

Mao, sebagaimana Stalin juga memiliki ambisi untuk menjadi pemimpin yang tidak tertandingi kekuasaannya. Apalagi Mao melihat Krushchev sebagai pengganti Stalin dinilai tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk menjadi pemimpin dunia komunis.

Sebenarnya Krushchev juga memiliki situasi yang smaa dengan Mao. Ia senantiasa direndahkan dan dianggap remeh oleh Stalin. Akan tetapi bagaimanapun juga, sebagaimana Mao, Krushchevpun masih sangat tergantung kepada Stalin agar dapat bertahan dijajaran puncak elit Partai Komunis Uni Soviet dan menjadi pewaris kekuasaan dari Stalin.

Oleh karena itu, setelah matinya Stalin, Krushchev, di hari-hari pertama kekuasaannya melakukan destalinisasi. Krushchev berusaha menjatuhkan nama baik Stalin dan menghapuskan segala pengaruhnya.

Sepeninggal Krushchev, sikap RRT terhadap Uni Soviet tidak berupah. Pengganti Krushchev, Breznev juga tidak disukai oleh elit Partai Komunis Cina.

Buat Cina, Breznev dianggap sebagai figur yang tidak layak dan tindak pantas menduduki jabatan sebagai pemimpin dunia komunis.Bahkan Breznev dianggap juga Hal itu disebabkan gaya hidup Breznev yang sangat borjuis dan tidak mencerminkan kehidupan seorang komunis sejati.

 

PERSAINGAN CINA-SOVIET DI KAMBOJA

Kelompok komunis di Kamboja terbagi menjadi sejumlah faksi, diantaranya ada kelompok komunis yang lebih cenderung dekat dengan Vietnam dan Uni Soviet dan kelompok Komunis yang orientasi politik dan ideologinya mengacu kepada komunisme di Cina.

Adapun kelompok komunis yang pro Cina adalah kelompok Khmer Merah (Khmer Rouge). Kelompok ini adalah kelompok komunis ektrem yang banyak meniru langkah-langkah Partai Komunis Cina dalam mengelola kekuasaan.

Kedekatan Khmer Merah dengan Cina juga disebabkan karena kekecewaan kelompok ini terhadap Partai Komunis Indocina yang terlalu didominasi oleh Vietnam. Khmer Merah dalam ini memiliki nasionalismenya sendiri yang ingin agar Kamboja tidak berada di bawah superioritas Vietnam.

Perbedaan antara kelompok komunis tersebut tidak terlepas dari perbedaan dan konflik yang terjadi antara raksasa komunis, yaitu Cina dan Uni Soviet. Terutama semenjak kematian Stalin pada 1953 hubungan antara Cina dan Uni Soviet merenggang dan kemudian mengalami kebekuan.

Keduanya kemudian terlibat rivalitas panjang dalam memperebutkan pengaruh pada negara-negara dan partai-partai komunis di seluruh dunia.

Saking sedemikian kuatnya rivalitas antara Cina Dan Uni Soviet, keduanya tidak merasa sungkan untuk melakukan détente atau peredaan hubungan dengan Amerika Serikat.

Hal itu dilakukan oleh Uni Soviet pada masa Kruschev dan Breznev dan juga dilakukan oleh Cina melalui ‘diplomasi ping pong’  yang merupakan pendekatan yang dilakukan oleh Cina dan Amerika Serikat.

Pertentangan antara sesama komunis di Kamboja turut mewarnai dinamika konflik di kawasan tersebut. Ketika Khmer Merah yang pro Cina berkuasa, Vietnam meradang. Vietnam merasa bahwa kekuasaan kelompok Khmer Merah yang dipimpin oleh Polpot sebagai perpanjangan kepentingan Cina di Kamboja.

Pemerintahan Khmer Merah sendiri memang terlihat mengembnagkan komunisme ala Cina. Ketika Mao mencetuskan Gerakan Lompatan Jauh Ke depan dan Revolusi Kebudayaan, Polpotpun kemudian menirunya.

Polpot mencanangkan Tahun Nol dan melaksanakan agrarianisme dengan memaksa seluruh penduduk kota untuk pergi meninggalkan kota mereka dan berdiam di daerah pedesaan.

Di kawasan pedesaan mereka dipaksa membuat proyek-proyek raksasa yang tidak masuk di akal seperti membangun bendungan dan saluran irigasi dengan mengandalkan teknologi yang sangat sederhana.

Kekuasaan Khmer Merah tidak berlangsung lama. Vietnam kemudian pada akhir tahun 1978 melakukan invasi ke Kamboja untuk menumbangkan pemerintahan Khmer Merah yang dipimpin oleh Pol Pot tersebut. Setelah Pnom Penh jatuh, Vietnam kemudian mendudukkan Hun Sen dan Heng Samrinh sebagai penguasa boneka di Kamboja.

Cina merasa sangat terpukul dengan agresi Vietnam tersebut. Selain kehilangan sekutunya di Kamboja, Cina menganggap tindakan Vietnam tersebut merupakan bagian dari strategi global Uni Soviet untuk mengepung Beijing.

Maka untuk mengurangi ancaman tersebut tidak ada pilihan lain bagi Cina selain lebih mendekatkan dirinya dengan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.Dalam rnagka itulah Deng Xiao Ping mengadakan kunjungan resmi ke Amerika Serikat pada Bulan Januari-Februari 1979.

Pada kesempatan itu Deng mengusulkan agar Amerika, Eropa, Jepang, dan Cina serta negara-negara Dunia Ketiga lainnya untuk bersatu tanpa membentuk pakta atau persekutuan untuk melawan hegemonisme Uni Soviet dan melindungi perdamaian, stabilitas serta keamanan dunia.

 

 

 

 

 

REFERENSI :

 

Haing Ngor, Neraka Kamboja, Awal Mula, Jakarta : Gramedia, 1990

Haing Ngor, Neraka Kamboja, Siksa dan Derita, Jakarta : Gramedia, 1990

Ovy Ndouk, Beberapa Aspek Politik Luar Negeri RRC, dalamAnalisa, Jakarta : CSIP, 1978

Robert A. Scalapino dan Yusuf Wanandi, Asia Tenggara Dalam Tahun 1980-an, Jakarta : CSIS, 1985

Taufik Ismail, Katasrofi Mendunia, Marxisma Leninisma, Stalinisma, Maoisma, Narkoba, Jakarta : Yayasan Titik Infinitum, 2004

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN

STATUS OBJEKTIF DAN STATUS SUBJEKTIF

TAWURAN SEBAGAI SUATU GEJALA SOSIAL (ANALISIS SOSIOLOGIS KONFLIK SOSIAL DI PERKOTAAN)