SEKULARISASI DAN DESEKULARISASI : TELAAH PEMIKIRAN AGAMA PETER L BERGER
SEKULARISASI DAN DESEKULARISASI : TELAAH PEMIKIRAN AGAMA PETER L BERGER
Pemikiran sosiologi agama dan
gagasan sekularisasi agama Berger sangat dipengaruhi oleh Weber. Berger awalnya
dikenal sebagai teoritisi sekularisasi. Ia banyak menganalisa tentang relasi
antara agama dan dunia modern.
Tesis sekularisasinya
merupakan pengembangan dari tesis sekularisasi yang sebelumnya dimunculkan oleh
Weber. Sebagaimana Weber, Berger memandang bahwa sekularisasi merupakan proses
yang berjalan seiring dengan proses rasionalisasi, dan rasionalisasi bukanlah
proses yang semata didorong oleh sebuah perubahan struktural yang sifatnya
makro.
Rasionalisasi adalah materialisasi dari
kehidupan manusia-proses menyesuaikan pengetahuan manusia dengan kaidah-kaidah
kebenaran yang positif di dunianya-tetapi bukan merupakan implikasi bawaan dari
munculnya modes of production
Kapitalisme.
Rasionalisasi dalam hal ini
dianggap berasal dari interaksi yang dialektis diantara agen dan struktur.
Selanjutnya, kondisi yang dihasilkan melalui proses interaksi yang dialektis
antara agen dan struktur inilah yang mendorong terjadinya sekularisasi.
Sebagaimana Weber, Berger juga
berpendapat bahwa proses sekularisasi tidak menyingkirkan agama sepenuhnya dari
masyarakat, tetapi menjadikan agama semakin rasional.
Berger melanjutkan tesis Weber
yang menyatakan bahwa agama yang paling berhasil merasionalisasi dirinya dan
bertahan di tengah proses modernisasi masyarakat adalah agama yang menjelaskan
bahwa dunia spiritual memiliki kaidah hukumnya sendiri, yang tidak tersentuh
oleh kaidah hukum dunia fana ini.
Secara umum Berger
mendefinisikan sekularisasi sebagai sebuah proses di mana kekuasan dan
simbol-simbol agama disingkirkan dari sektor-sektor kehidupan dalam masyarakat
dan kebudayaannya.
Berger berpandangan bahwa
sekularisasi merupakan proses yang telah berlangsung dan tidak dapat dibalik.
Dengan kata lain, sekularisasi adalah semacam keniscayaan dalam narasi sejarah
masyarakat yang semakin rasional.
Berger selanjutnya
mengonsepsikan sekularisasi sebagai proses dialektis yang terjadi pada dua
tingkatan yang berbeda, antara mikro dan makro, agen dan struktur, atau manusia
dan masyarakat.
Dengan mengelaborasi pemikiran
Weber, Berger merumuskan bahwa sekularisasi terjadi pada tingkatan kesadaran
manusia seiring dengan semakin terpisahnya logika dunia manusia dan dunia
spiritual, sementara, pada tingkatan masyarakat, sekularisasi merupakan proses
penyingkiran pengaruh agama dari urusan-urusan legal-formal yang harus
ditangani oleh aparatus yang netral.
Menurut Berger, pluralisme
menimbulkan sekularisasi, sebagaimana sekularisasi menimbulkan pluralisme. Pada
tingkatan subjektif, pluralisme mneyebabkan seseorang merasa ragu terhadap
agama, sebab pada tingkatan objektif, terdapat begitu banyak
keyakinan-keyakinan di lingkungan sosialnya. Seseorang disodorkan dengan begitu banyak pilihan untuk memaknai
kehidupannya.
Sekularisasi menjadikan agama
sebagai sebuah tatanan simbolik kehilangan konsistensi logisnya (plausibility)
dan kredibilitasnya sebagai satu-satunya pegangan manusia untuk memaknai secara
menyeluruh kehidupannya yang tidak pasti ini.
Struktur sosial pada
masyarakat modern tidak membiarkan keyakinan keagamaan untuk memonopoli kebenaran
dengan membatasi aktivitas dan elemen-elemen yang bersifat keagamaan dari ruang
publik, dan mengalihkannya ke ranah privat.
Pluralisme mendorong
terjadinya sekularisasi karena pluralisme merupakan kondisi sosial objektif
yang berada di luar kesadaran manusia.
Pluralisme juga menimbulkan
rasa keraguan dan ketidakpastian pada diri individu terhadap agama. Walaupun
demikian, pluralisme tetap tidak mampu menghapuskan agama sama sekali.
Kondisi masyarakat yang plural
mendorong seseorang untuk memikirkan ulang bagaimana agar agamanya tetap
relevan di dalam struktur sosial yang ada, akan tetapi di sisi lain agama masih
bisa bertahan karena ilmu pengetahuan yang positif belum tentu mampu memberikan
manusia kenyamanan batiniah seperti yang diberikan oleh agama.
Agama dalam konteks ini mampu
memberikan penjelasan tentang sejumlah aspek kehidupan manusia, di mana ilmu
pengetahuan tidak dapat melakukannya.
Melalui penalaran metafisis,
agama mampu memberikan penjelasan mengenai pertanyaan eksistensial manusia
sehingga menentramkan batinnya, misalnya, mengenai pertanyaan mengapa terjadi
ketidakadilan di dunia ini. Mengapa ada manusia yang baik dan yang jahat.
Mengapa manusia harus
bertindak baik dalam hidupnya, bila dengan bertindak jahat ia bisa lebih
terpuaskan.
Penjelasan ilmu pengetahuan
mereduksi fenomena itu sebagai fenomena yang materil semata, dan menyatakan bahwa tidak ada
penjelasan di balik materi. Ilmu pengetahuan tidak mengakui adanya semacam
hukum keadilan transenden seperti yang diakui oleh agama-agama.
Sekularisasi memungkinkan
manusia semakin menyadari bahwa realitas sosial merupakan realitas sosial yang
sifatnya relatif dan jamak. Kondisi masyarakat yang plural mendorong manusia
mempertanyakan ulang keyakinannya akan kebenaran, dan menjadikannya semakin
terbuka terhadap kebenaran-kebenaran lain di luar agamanya. Manusia menjadi
lebih toleran terhadap orang yang memiliki keyakinan lain dari dirinya.
Dalam masyarakat yang belum
mengalami proses ini, realitas sosial merupakan realitas yang sangat baku dan
mengekang anggota-anggotanya. Masyarakat seolah menunjukkan bahwa tidak ada
kebenaran di luar agama yang sedang diyakini masyarakat tersebut.
Diyakini bahwa di luar tatanan
simbolik yang ada dalam masyarakat tersebut hanya ada kekacauan atau kehampaan
makna, sehingga seorang individu tidak akan begitu saja berani melanggar
norma-norma kelompoknya.
Tetapi dalam keadaan
masyarakat yang sekular, doktrin-doktrin agama selalu dapat diinterpretasi atau
dirumuskan ulang, atau dikontekstualisasikan agar sesuai dengan konteks
kekinian.
Sekularisasi telah mencabut
otoritas agama untuk memonopoli kebenaran di ruang publik.
Dalam keadaan demikian,
keraguan manusia berpindah. Awalnya manusia ragu untuk bertindak menyimpang
dari satu-satunya otoritas tersebut, tetapi kini manusia menjadi ragu terhadap
agama itu sendiri karena ternyata ada begitu banyak kebenaran yang tersedia di
dunia ini.
Manusia sebagai makhluk yang
berkecenderungan untuk mencari kebenaran dalam kondisi masyarakat yang plural
cenderung memilih agama yang telah meninggalkan prinsip-prinsip ekslusifisme
atau agama-agama yang ajarannya lebih bersifat reflektif dan abstrak, karena
agama semacam ini terasa lebih logis dan akurat dalam menjawab berbagai
permasalahan yang ada dalam kehidupan masyarakat yang hidup bersama dengan
realitas yang jamak.
Dalam proses sekularisasi,
agama terus menerus menjadi semakin rasional agar bisa mengakomodasi kenyatan
sosial yang plural, dan juga mengakomodasi berkembangnya ilmu pengetahuan yang
positif di dalam masyarakat.
Melalui proses sekularisasi,
batasan-batasan yang tegas diantara agama-agama akan semakin kabur, dan manusia
dimungkinkan untuk hidup bersama dengan sebuah etika universal.
Selain mengemukakan mengenai
sekularisasi sebagai sebuah keniscayaan, Berger juga mengemukakan konsepsinya
mengenai desekularisasi. Tesis Berger mengenai desekularisasi ini mengesankan
Berger tidak konsisten dengan teori sekularisasinya.
Akan tetapi kalau dilihar
secara mendalam terlihat bahwa gagasan desekularisasi Berger sebenarnya
merupakan konsepsi agama yang menyeluruh yang merupakan ciri khas dari
pemikiran Berger.
Berger menganggap bahwa
masyarakat dan agama merupakan realitas yang objektif sekaligus realitas yang
subjektif. Realitas tersebut terbentuk melalui proses dialektik yang tidak
pernah berakhir melalui fase-fase eksternalisasi, objektifikasi dan
internalisasi.
Selain itu Berger juga
menganggap bahwa agama sebagai realitas sosial terbentuk melalui proses
interaksi antara manusia sebagai agen yang memiliki otonomi dan independensi
dalam bersikap dengan struktur yang mengekang dan memaksa.
Berger menyadari bahwa manusia
tidak bisa menghapus sejumlah elemen yang mistis dalam agama. Agama menurut
Berger merupakan Sacred Canopy yang
melindungi umatnya dari kondisi anomik.
Bila agama sebagai tatanan
simbolik mengalami kehancuran maka hal tersebut akan mengakibatkan guncangan
yang dahsyat bagi pengikutnya.
Dalam kapasitasnya sebagai
agen yang bebas memilih dan bertindak berdasarkan pertimbangan rasionalnya yang
subjektif, bukan tidak mungkin bagi manusia untuk menyangkal kondisi materiil
dan melawan arus modernisasi, atau dengan kata lain memutarbalik proses
sekularisasi.
Pergeseran pandangan Berger
yang bergerak ke arah teori desekularisasi dilatarbelakangi oleh adanya analisa
kualitatif mengenai kondisi empirik dunia saat itu.
Dunia yang diamati oleh Berger
menunjukkan bahwa agama dalam beberapa situasi dapat berkembang di
kawasan-kawasan atau negara yang mengalami modernisasi.
Bahkan beberapa fenomena agama
yang bersifat ekstrem seperti fundamentalisme, revivalisme, puritanisme dan
radikalisme justru berkembang beriringan dengan modernitas.
Berger juga melihat bahwa
terdapat tren adanya kebangkitan kembali agama. Agama setelah bergumul dalam
jangka waktu yang lama dengan modernitas kemudian bangkit kembali sebagai
kekuatan yang dinamis. Kebangkitan agama merata di sejumlah komunitas beragama,
baik di Islam, Katolik, Hindu maupun Ortodoks.
Gejala desekularisasi dalam konteks ini dapat dilihat dari
berkembangnya fenomena berkembangnya simbol-simbol agama dalam budaya populer.
Budaya populer seringkali ditandai dengan adanya simbol-simbil relijiusitas.
Agama dewasa ini tidak hanya terkungkung di ruang sempit
seperti rumah idadah tertentu. Memang agama selama beberapa dekade telah
mengalami proses marjinalisasi akibat tekanan dan desakan dari modernisasi.
Akan tetapi modernisasi itu sendiri pada akhirnya
memberikan ruang lebih bagi agama untuk tetap hidup dan berkembang. Modernitas
tidak lagi menjadi sesuatu yang didikotomikan dengan agama. Agama dan
modernitas ternyata dapat hidup berdampingan dan bahkan saling mengisi satu
sama lain.
REFERENSI
:
Ariel Heryanto, Identitas Dan Kenikmatan, Politik Budaya
Layar Indonesia, Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2015
Bagong Suyanto, Sosiologi Ekonomi,
Kapitalisme dan Konsumsi di Era Masyarakat Post-Modernisme, Jakarta :
Kencana,2013
Bernard Raho, Teori Sosiologi
Modern, Jakarta : Prestasi Pustaka,2007
Bryan S.Turner, Agama dan teori sosial, Rangka Pikir Dalam
Membaca Eksistensi Tuhan diantara Gelegar Ideologi-Ideologi Kontemporer,
Yogyakarta : IRCiSoD, 1991
J.Dwi Narwoko & Bagong Suyanto,
Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta : Prenada, 2014
L.Laeyendecker, Tata, Perubahan,
dan Ketimpangan, Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, Jakarta : Gramedia, 1983
Nanang Martono, Sosiologi Perubahan
Sosial,Perspektif Klasik,Modern,Posmodern dan Poskolonial, Jakarta : Rajawali,
2014
Nengah Bawa Atmaja dan Luh Putu Sri
Ariyani, Sosiologi Media, Perspektif Teori Kritis, Depok : RajaGrafindo
Persada,2018
Peter L.Berger, Kebangkitan Agama Menantang Politik Dunia,
Yogyakarta : Arruzz, 2003
Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia
Yang Dilipat,Realitas Kebudayaan Menjelang Millenium Ketiga dan Matinya
Postmodernisme, Bandung : Mizan, 1998
Komentar
Posting Komentar