ALIENASI MASYARAKAT PERKOTAAN
ALIENASI
MASYARAKAT PERKOTAAN
KONSEP ALIENASI KARL MARX
Karl Marx menganalisis bagaimana
hubungan sosial yang terstruktur atau struktur sosial berfungsi untuk
mempertahankan ketidaksetaraan dan penindasan dalam masyarakat. Marx menggunakan
konsep struktur sosial untuk menunjukkan distribusi sumber daya. Struktur
sosial adalah sumber simbolik, material dan politik yang mempengaruhi aktor
dalam berinteraksi dan menghasilkan struktur hubungan sosial.
Marx juga menggunakan konsep dialektika
dalam proses interaksi yang pada gilirannya cenderung untuk berubah dan
mengubah sifat hubungan sosial yang pada akhirnya akan mengubah struktur sosial
itu sendiri.(Jacky,2015)
Marx mendapati tiga cacat dalam
kapitalisme ; inefisiensi, penindasan dan alienasi. Ketiganya memainkan dua
peran yang sangat penting dalam teorinya. Pada satu sisi, mereka dengan kental
mewarnai penilaian normatifnya tentang apa yang salah dalam kapitalisme dan
pada sisi lain, apa yang diharapkan dalam komunisme. Pada sisi lainnya, mereka merupakan bagian dari
penjelasannya tentang keruntuhan kapitalisme dan transisi menuju komunisme.
Ketika fase komunisme sudah terwujud menurut Marx, alienasi dengan sendirinya
akan terhapus.
Alienasi secara longgar digambarkan
dengan tiadanya makna dalam individu. Dalam defenisi ini, alienasi secara tidak
langsung tidak berarti tiadanya apresiasi terhadap suatu makna. Pertimbangan ketiadaan realisasi
diri merupakan salah satu bentuk alienasi yang paling penting.
Marx percaya bahwa kehidupan yang baik bagi individu
adalah kehidupan yang memungkinkan realisasi-diri secara aktif. Kapitalisme
menawarkan memang peluang ini bagi segelintir orang, tapi menolak memberikannya
bagi masyarakat banyak.
Menurut Marx, alienasi terjadi
apabila orang-orang yang menguasai produk, berlawanan dengan kehendak kaum
produsen dan merampas hak produsen atas produk tersebut. Peristiwa ini dapat
terjadi sedemikian jauhnya sehingga produk itu tidak lagi dikenal sebagai
produknya sendiri atau bahkan produk ciptaan manusia.
Produk itu menjadi kekuatan asing yang ada di luar
manusia dan yang menurut keyakinannya harus ia taati. Maka ia dikatakan telah
memiliki kesadaran palsu. Pembebasan diri dari kekuatan asing itu ialah
emansipasi yang sesungguhnya, syaratnya atau artinya adalah bahwa kenyataan
yang diobjektivikasikan dan yang terasing itu harus dikuasai kembali.
Sebab-sebab keterasingan itu
menurut Marx terletak pada milik pribadi. Milik pribadi ini tidak harus ada
sebelumnya. Dalam tahap sejarah yang paling awal, yaitu tahap komunisme
primitif, tidak ada hak miliki pribadi.
Tetapi berkat perkembangan tenaga-tenaga produksi,
terutama teknik, secara berangsung-angsur produk dihasilkan melebihi jumlah
yang diperlukan untuk memenuhi keperluan. Maka terdapatlah surplus, dan surplus
ini memungkinkan bahwa orang-orang tertentu tidak perlu berproduksi, tetapi
dapat menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan rohaniah.
Pemisahan antara bidang material
dan kerja rohaniah merupakan saat yang menentukan dalam proses pembagian kerja.
Pembagian kerja sudah tidak ada sejak semula dalam hubungan seks, yaitu atas
dasar sifat-sifat jasmaniah ; tetapi dengan dibaginya kerja menjadi kerja
rohaniah dan kerja jasmaniah maka menjadi mungkin bahwa “kenikmatan dan kerja,
produksi dan konsumsi jatuh ke tangan individu-individu yang berbeda-beda.
Bersamaan dengan timbulnya milik
pribadi semacam ini timbul pulalah pembagian dalam kelas-kelas. Sejak saat itu
terdapat kaum pemilik sarana-sarana produksi dan kaum yang tidak memilikinya.
Masing-masing kelas ini memiliki kepentingan-kepentingannya sendiri. Dengan
demikian maka timbullah pemisahan antara kepentingan pribadi dan kepentingan
umum. Kaum ‘berpunya’ menyatakan kepentingan pribadi mereka sebagai kepentingan
umum di hadapan kaum ‘tidak berpunya’.
Sudah jelas bahwa keterasingan
pertama kali terungkap pada tingkat fundamental, ialah pada tingkat ekonomi
kenyataan sosial. Pada tingkat ini, keterasingan terwujud pertama-tama dalam
hubungan dengan produksi kerja. Sebab, buruh berproduksi tidak langsung untuk
memenuhi keperluannya sendiri. Ia berproduksi untuk pasaran ; produk ditarik
dari penguasaannya, dan dijual di pasaran yang dikuasai oleh hubungan-hubungan
tukar menukar yang ada di luar kekuasaannya.
Semakin banyak ia berproduksi, semakin
miskinlah ia, karena dunia produksi yang asing baginya semakin tumbuh. Buruh
tidak saja terasing dari produk kerja, tetapi juga proses kerja. Kerja sendiri
berubah menjadi tugas, dan tidak lagi merupakan pemenuhan keperluan akan kerja,
tetapi merupakan suatu sarana untuk memenuhi keperluan-keperluan lain.
Kerja menjadi begitu tidak
menyenangkan sehingga ia baru bisa merasa bahagia apabila kerja sudah selesai
dan tersisa waktu baginya untuk kesibukan-kesibukan lain. Keadaan ini juga
menyentuh hakekat manusia sendiri, karena ia harus mencapai perwujudan diri
melalui kerja. Jadi kalau ia menjadi terasing dari kerja, maka ia dengan
demikian menjadi terasing dari hakekat dirinya sendiri yang sebenarnya.
(Laeyendecker, 1983)
Di bawah komunisme, setiap inidividu
akan menikmati suatu kehidupan yang aktif, kaya, dan bermakna. Sekalipun ini
amat berkaitan dengan kehidupan masyarakat, ia akan menjadi kehidupan
realisasi-diri. Bagi Marx, realisasi-diri bisa didefinisikan sebagai
aktualisasi dan eksternalisasi kekuatan-kekuatan dan kemampuan-kemampuan
individu secara penuh dan bebas.
ALIENASI
PERKOTAAN
Di antara segmen masyarakat di kawasan perkotaan adalah
kalangan buruh pabrik dan karyawan atau pegawai peusahaan atau perkantoran.
Mereka umumnya berasal dari kawasan pinggiran kota karena keterbatasan mereka
untuk dpaat memiliki rumah di pusat kota. Di Jakarta, mereka banyakmenghuni
sejumlah kawasan seperti Depok,Bogor, Tangerang, dan Bekasi.
Alienasi yang dialami oleh para buruh dan karyawan di
kawasan perkotaan terlihat jelas dari aktivitas mereka sehari-hari. Setiap hari
mereka harus menjalani rutinitas yang membosankan dan tidka bermakna. Di pagi
hari mereka harus berburu waktu untuk dpaat tba di tempat kerja mereka sebelum
terlambat.
Ketika mereka terlambat, mereka harus menerima pemotongan
gaji atau upah mereka yang memang sudha sangat sedikit.Banyak di antara para
pekerja kantor yang harus bangun pagi sekali dan berdesak-desakan di sarana
transportasi massal seperti Komuter Line. Pemandangan komuter line atau kereta
api yang sudah snagat padat di pagi hari telah menjadi pemandangan yang rutin
sehari-harinya.
Di dalam kereta mereka relatif sibuk dengan aktivitasnya
masing-masing. Jarangan di antara sesama pengguna kereta yang saling mengobrol.
Mereka lebih asyik bermain ponsel atau melanjutkan tidur mereka yang kurang di dalam
gerbong kereta.
Setibanya di kantor atau pabrik mereka harus menyesuaikan
diri dengan ritme kerja kantor yang serba mekanistis. Tindak tanduk mereka
selama di kantor selalu diawai baik oleh supervisor atau pengawas maupun oleh
sistem elektronik.
Kantor atau pabrik bagi para karyawan bukan dianggap oleh
para pegawainya atau buruhnya sebagai tempat mereka menemukan identitas sosial
dan membangun solidaritas.
Interaksi di lingkungan perkantoran sedemikian diawasi demi
mencapai target kerja yang telah ditantukan. Akibatnya mereka merasa teraingi
dengan lingkungan tempat kerja mereka.
Keterasingan ini bertambah ketika mereka tidak melihat
rekan kerja mereka—apalagi atasan---sebagai teman. Rekan kerja telah mengalami
perubahan makna. Rekan kerja telah menjadi saingan bagi para karyawan untuk
dpaat bertahan atau meniti jenjang karir di perusahaan.
Situasi sehari-hari dan bertahun-tahun yang dialami oleh
para buruh atau pekerja kantoran tersebut semakin memperkuat keterasingan yang
mereka alami.
Rutinitas menjemukan yang mereka alami telah menjadikan
nilai kemanusiaan emreka memudar. Mereka ibarat seperti mesin yang dapat
digerakkan sesuka pemilik modal atau pemilik perusahaan tempat mereka bekerja.
REFERENSI
:
Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx, Materialisme
Dialektis dan Materialisme Historis, Yogyakarta : LkiS, 2007
Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, Suatu
Analisis Terhadap Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, Jakarta : UI Press,
1986
Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan,
Jakarta : Prenada, 2014
Bagong Suyanto, Sosiologi Ekonomi,
Kapitalisme dan Konsumsi di Era Masyarakat Post-Modernisme,Jakarta :
Kencana,2013
Damsar, Pengantar Teori Sosiologi,
Jakarta : Kencana,2015
Damsar, Pengantar Sosiologi
Perkotaan, Jakarta ; Kencana, 2017
Frans Magnis Suseno, Pemikiran Karl
Marx, Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionis, Jakarta : Gramedia,
1999
Francisco Budi Hardiman, Kritik
Ideologi, Pertautan Pengetahuan Dan Kepentingan,Yogyakarta : Kanisius,1990
George Ritzer, Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori
Neo-Marxian, Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2016
Herbert Marcuse, Manusia Satu
Dimensi, Bentang : Yogyakarta, tanpa tahun
Jon Elster, Marxisme, Analisis
Kritis, Jakarta : Prestasi Pustakaraya, 2000
L.Laeyendecker, Tata, Perubahan, dan Ketimpangan, Suatu
Pengantar Sejarah Sosiologi, Jakarta : Gramedia, 1983
Komentar
Posting Komentar