GELANDANGAN DAN PERMASALAHNNYA
GELANDANGAN
DAN PERMASALAHNNYA
MUNCULNYA
FENOMENA GELANDANGAN
Keberadaan gelandangan nampaknya sudah melekat erat dengan
struktur masyarakat perkotaan. Bukan saja di negara-negara miskin dan
berkembang, di negara-negara yang maju sekalipun fenomena gelandangan juga
dapat mudah ditemukan.
Bahkan menurut Parsudi Suparlan yang banyak melakukan
penyelidikan mengenai kehidupan golongan gelandangan mengatakan bahwa semakin
besar tingkat perkembangan kota maka semakin banyak pula jumlah orang
gelandangannya.
Hal ini menimbulkan kesan bahwa adanya gelandangan itu
disebabkan karena adanya kota, dan adanya orang gelandangan dalam jumlah yang banyak sehingga
mewujudkannya sebagai masalah sosial di kota adalah sebuah konsekuensi dari
perkembangan kota.
Sebenarnya masalah
adanya gelandangan di kota bukan semata-mata karena perkembangan sebuah kota,
tetapi justru karena adanya tekanan-tekanan ekonomi dan rasa tidak aman
sebagian warga desa dan yang kemudian terpaksa harus mencari tempat yang diduga
dapat memberi kesempatan bagi suatu kehidupan yang lebih baik di kota.
Sesungguhnya memang kotalah yang dapat menampung
pendatang-pendatang baru untuk bermukim dan hidup dalam wilayahnya. Ini
dimungkinkan karena struktur sosial, ekonomi, dan administrasi yang ada di
dalam kota lebih kompleks daripada yang ada di desa, sehingga dapat menampung
pendatang-pendatang baru, bukan hanya yang kaya dan terpelajar saja, tetapi
juga yang miskin dan papa. Karena itulah timbul kesan, bahwa adanya kota telah
melahirkan adanya orang gelandangan.
Fenomena gelandangan di kota-kota besar menunjukkan adanya
ketimpangan sosial yang nyata di dalam masyarakat. Di kawasan perkotaan
ternyata didapati bukan saja mereka yang hidup berkecukupan dan memiliki harta
dan fasilitas kehidupan yang melimpah, di dalam kota juga terdapat kelompok
marjinal yag hidup serba kekurangan.
Gelandangan adalah sebuah fenomena sosial di daerah
perkotaan. Hampir semua kota di Indonesia ditemui adanya kelompok masyarakat
ini. Gelandangan mempunyai dimensi kehidupan sosial yang luas seperti dimensi
sosial, psikologis, dan dimensi ekonomi.
Para gelandangan adalah golongan masyarakat miskin. Bahkan
dapat dikatakan bahwa mereka adalah golongan masyarakat yang paling miskin.
Dibandingkan dengan orang miskin lainnya, para gelandangan tidak mempunyai
prasyarat untuk hidup secara layak.
Mereka terutama sekali tidak mempunyai rumah tempat tinggal
yang dapat menjadikan mereka dan eluarga mereka hidup secara layak dan manusiawi.
Mereka kerap tinggal di sembarang tempat seperti di emperan toko dan di bawah
kolong jembatan.
Mereka juga kerap menempati sejumlah fasilitas publik untuk
bisa sekedar tidur melewatkan malam seperti di gerbong-gerbong kereta yang
kosong, di tepi-tepi sungai dan di sepanjang jalan kereta api. Hal itu mereka
lakukan karena ketiadaan uang yang mereka miliki untuk dapat menyewa kos-kosan,
kontrakan atau sekedar rumah semi permanen yang disewakan.
Bahkan dalam sejumlah kasus, para gelandangan bahkan
menempati kawasan pekuburan dan harus kucing-kucingan dengan aparat dan
aparatur kota. Mereka dan kawan-kawan senasib berprinsip , menempati tempat
tertentu terlebih dahulu dan menerima resiko belakangan.
Meski demikian ada juga sekelompok gelandangan yang awalnya
menempati suatu daerah secara ilegal dan kemudian membangun bangunan liar dalam
perkembangannya mereka menjadi penduduk sah dari kota yang bersangkutan.
Kehidupan para gelandangan sanagt tidak layak dan tidak
sesuai dengan ukuran nilai kemanusiaan. Mereka seringkali terpaksa makan
makanan sisa buangan di tempat sampah. Pakain mereka juga tidak layak pakai.
Yang mereka pakai adalah pakaian yang sudah lusuh, bau, dan compang-camping.
Para gelandangan adalah golongan masyarakat miskin atau
dimiskinkan oleh masyarakatnya. Mereka adalah orang yang disingkirkan dari
kehidupan khalayak ramai, sehingga mereka hidup terisolir. Gelandangan merupakan
pola hidup atau cara hidup agar mampu bertahan dalam kemiskinan dan
keterasingan.
Gelandangan seringkali mendapatkan stigma sosial yang
negatif dari masyarakat sekitarnya. Keberadaan mereka dianggap sebagai
pengganggu ketertiban dan merusak keindahan kota, sehingga para gelandangan
seringkali menjadi sasaran razia dari aparat Satuan Polisi Pamong Praja.
Keberadaan para gelandangan yang sering lalu lalang di
kawasan pusat kota dianggap mengganggu ketertiban dan keindahan kota di mata
para pengambil kebijakan dan penguasa kota. Para gelandangan dinilai dapat
memberikan kesan jelek dan terbelakang di mata tamu-tamu dari negara-negara
asing.
Para gelandangan adalah kelompok masyarakat yang memiliki posisi
terendah dalam struktur sosial masyarakat. Keberadaan mereka tidak diakui oleh
masyarakat dan dianggap sebagai bentuk disfungsi dari struktur sosial yang ada.
Selain itu mereka juga distigma sebagai orang-orang yang malas,
tidak berpendidikan, kotor dan jorok. Bahkan ada juga penduduk kota dan aparat
pemerintahan yang mencurigai para gelandangan memiliki motif-motif kriminal.
Memang ada gelandangan yang “terpaksa” mencari sesuap nasi dengan cara-cara ilegal
seperti mencuri menjadi copet atau hidup melacur, akan tetapi hal itu mereka
lakukan sebagai bentuk strategi adaptasi dalam menjani kehidupan mereka yang
keras.
Stereotip masyarakat terhadap para gelandangan tersebut
seringkali tidak benar. Dalam studi yang dilakukan oleh Parsudi Suparlan
terbukti bahwa banyak di antara para gelandangan itu yang merupakan pekerja
keras. Mereka ternyata banyak yang bekerja keras secara legal dan tidak malas,
walaupun tetap saja pendapatan yang mereka terima sehari-hari jauh dari
memadai.
Istilah gelandangan berasal dari kata “gelandang’ yang
berarti ‘yang selalu megembara”, yang “berkelana”. Para gelandangan adalah
mereka yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan layak serta tidak memiliki
tempat tinggal menetap dan layak. Para gelandangan juga kerap makan di
sembarang tempat.
Menurut Parsudi Suparlan, masyarakat gelandangan dalah
sejumlah orang yang bersama-sama mempunyai tempat tinggal relatif tidak tetap
dan mata pencaharian yang relatif tidak tetap serta yang dianggap rendah dan
hina oleh orang-orang di luar masyarakat kecil itu atau suatu masyarakat yang
lebih luas ; tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh anggota-anggotanya serta norma-norma yang ada pada masyarakat
gelandangan tersebut dianggap tidak pantas dan tidka dibenarkan oleh
golongan-golongan lainnya dalam masyarakat yang lebih luas yang mencakup
masyarakat kecil itu. (Suparlan, 2008)
Fenomena gelandangan muncul sebagai dampak dari urbanisasi.
Perpindahan mereka dari desa tempat asal mereka ke kawasan perkotaan disebabkan
karena kehidupan di desa tidak menjanjikan.
Pekerjaan sebagai petani dan peternak di kampung halaman
semakin tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Gagal panen,
sulitnya memperoleh pupuk, jeratan rentenir kerap menjadikan banyak orang desa
meninggalkan kehidupan tradisionil mereka sebagai petani.
Sebaliknya, mereka melihat kehidupan kota dengan segala
gemerlapnya sebagai kehidupan yang menjanjikan. Mereka punya harapan tinggi
akan adanya perubahan nasib mereka kalau mereka pindah ke kota. Apalagi mereka
juga sering mendapatkan informasi keberhasilan kawan-kawan mereka yang sudah
lama pindah ke kota.
Keberadaan para urban yang kemudian menjadi gelandangan ini
sulit dicegah oleh pemerintah kota setempat, mengingat adanya kesulitan untuk
melakukan pengawasan terhadap para pendatang yang berasal dari desa. Pemerintah
kota kerap melakukan sejumlah langkah untuk mengendalikan arus urbanisasi
seperti melakukan operasi yustisi, namun tetap saja hal tersebut tidak mampu
menahan arus masuknya pendatang dari desa ke kota-kota besar.
Keberadaan gelandangan dan urbanisasi nampaknya memiliki
korelasi yang kuat. Terdapat korelasi yang tinggi antara banyaknya gelandangan
dengan tingkat urbanisasi suatu daerah. Artinya, makin tinggi derajat
urbanisasi—baik dalam pengertian kualitatif maupun kuantitatif—maka makin besar
pula jumlah tuna wisma di daerah perkotaan itu.
Menjadi gelandangan merupakan peran yang sulit dijalankan.
Mereka mengalami kesulitan untuk dpaat hidup secara normal sebagaimana golongan
sosial lainnya. Para gelandangan harus mengubur dalam-dalam mimpi-mimpi mereka
sejak kecil. Tidak banyak pekerjaan yang dapat mereka lakukan. Yang jelas
mereka tidak dapat memasuki sektor ekonomi formal seperti menjadi buruh atau
pegawai kantoran.
Pekerjaan yang digeluti oleh para gelandngan bervariasi.
Ada yang legal dan juga yang ilegal. Ada gelandangan yang hidup dari kegiatan
mengumpulkan barang-barang bekas yang masih memiliki nilai jual dari
tempat-tempat sampah.
Sebagian gelandangan juga ada yang menjadi penarik becak
dan pedagang kaki lima. Selain itu ada
juga profesi ilegal yang dijalani oleh sebagian gelandangan baik yang bersifat
individual maupun yang terorganisir seperti mencuri dan menjadi pelacur.
KARATERISTIK
KEHIDUPAN GELANDANGAN
Kehidupan para gelandangan ini memiliki sejumlah
karateristik antara lain sebagai berikut ;
-hidup berpindah-pindah tempat tinggal
-tidak memiliki tempat tinggal yang permanen
-mereka tidur di tempat yang tidak layak
-kekurangan makanan dan pakaian
-makan dan minum di sembarang tempat
-Tidak memiliki akses terhadap kegiatan MCK
-tidak memiliki akses kepada fasilitas publik dan layanan
kesehatan
-tidak memiliki pekerjaan yang tetap dan layak
-tidak dianggap sebagai warga kota yang sah
-keberadaannya dianggap ilegal
-memiliki keterbatasan mengakses sumber daya kehidupan
untuk hidup layak
-dicap rendah oleh golongan sosial lainnya yang ada di kota
-memiliki posisi sosial yang paling rendah dalam struktur
masyarakat kota
-hidup terisolir dari masyarakat pada umumnya
-kehidupan keseharian mereka membentuk sebuah sub kultur
gelandangan
-menyambung hidup dari kegiatan mengumpulkan barang-barang
bekas
-mempunyai lingkungan pergaulan , norma dan aturan
tersendiri yang berbeda dengan kehidupan sosial masyarakat lainnya
-adanya perasaan ketidakpastian hidup
-berkembangnya perasaan apatisme dan keputusasaan di
kalangan mereka
-adanya solidaritas di antara sesama gelandangan
-memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi
-terbukti mampu menghaapi tantangan hidup di perkotaan
-mereka enggan meminta pertolongan kepada sanak saudara
mereka atau kenalan mereka dari daerah asal
-mereka menggantungkan diri pada belas kasihan orang lain
-muncul sikap pasrah dan sikap menerima nasib (buruk)
-mereka mengagungkan apa yang mereka sebut sebagai
‘kebebasan’, yaitu pekerjaan yang tidak dikendalikan oleh orang lain
-sanggup memikul resiko sendiri
-terdapat struktur kekuasaan dalam kehidupan kelompok
gelandangan
-memiliki rasa kesetiakawanan terhadap sesama gelandangan
SOLUSI
MENGATASI GELANDANGAN
Jelas bahwa keberadaan gelandangan harus disikapi sebagai
sebuah maslaah sosial. Artinya keberadaan mereka jangan sampai dibiarkan
berlarut-larut karena kehidupan yang dijalani oleh para gelandangan tidak
sesuai dengan perikehidupan masyarakat dan asas kemanusiaan. Kalaupun
keberadaan gelandangan tidak dapat sepenuhnya dihilangkan minimal jumlah mereka
dapat dikurangi secara signifikan.
Oleh karena itu harus dicari solusi untuk mengatasi
persoalan gendalangan. Beberapa solusi tersebut antara lain sebagai berikut ;
-melakukan pemerataan pembangunan
-membangun infrastruktur jlan yang makin mendekatkan
potensi ekonomi kota dan desa
-meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa
-membangun panti-panti sosial di kawasan perkotaan
-mengadakan program transmigrasi
-melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat marjinal
-melakukan pengetatan tata aturan kota
-melakukan program untuk memulihkan kepercayaan diri para
gelandangan
-diadakannya program untuk membantu para gelandangan dapat
menyesuaikan diri dengan golongan masyarakat lainnya
-mengadakan sejumlah prgram pembinaan seperti program
bemberantasan buta huruf bagi mereka yang buta huruf
memberikan pelatihan untuk pembekalan kehidupan mereka
seperti pelatihan kejuruan
-pemberian kredit kepada mereka yang memiliki usaha
kecil-kecilan agar meningkat taraf hidupnya
REFERENSI :
Damsar, Pengantar Sosiologi
Perkotaan, Jakarta ; Kencana, 2017
Parsudi Suparlan, Masyarakat
Gelandangan Yang Sudah Menetap di Jakarta, dalam Dari Masyarakat Majemuk Menuju
Masyarakat Multikultural, Jakarta : YPKIK, 2008
Paulus Widiyanto (ed),
Gelandangan ; pandangan Ilmuan Sosial,
Jakarta : LP3ES, 1988
Komentar
Posting Komentar