REVOLUSI KUBA DAN IMPLIKASINYA
REVOLUSI
KUBA DAN IMPLIKASINYA
PERALIHAN
KEKUASAAN DI KUBA
Kuba awalnya merupakan salah satu koloni Spanyol yang
memerintah negeri tersebut semenjak kedatangannya ke Benua Amerika. Kekuasaan
Spanyol atas Kuba berakhir ketika Spanyol dikalahkan oleh Amerika Serikat pada
tahun 1898 dalam Perang Seratus Hari.
Armada Amerika Serikat saat itu berhasil menghancurkan
armada Spanyol di luar Pelabuhan Santiago, Kuba.
Kekalahan Spanyol berdampak luas. Spanyol harus menyerahkan
sejumlah koloninya kepada Amerika Serikat seperti Filiphina, Guam, Puerto dan
juga Kuba.
Kemenangan Amerika Serikat atas Spanyol ini sekaligus
memulai apa yang disebut sebagai imperialisme Amerika. Amerika saat itu juga
perlahan mulai meninggalkan politik isolasi yang dianutnya selama ini. Dengan
demikian Amerika mulai terlibat aktif dalam percaturan politik global.
Setelah menguasai Kuba, Amerika Serikat kemudian melakukan
eksploitasi atas negeri tersebut. Keberadaan Amerika di Kuba dirasakan tidak
berbeda dengan keberadaan Spayol di mata penduduk Kuba. Amerika—sebagaimana
Spanyol—merupakan kekuatan imperialis yang hanya ingin mendapatkan keuntungan
di Kuba dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya
manusianya.
Kekuasaan Amerika Serikat di Kuba ditandai oleh dibukanya perkebunan
tembakau dan tebu secara besar-besaran. Hal ini jelas menguntungkan bagi para
kapitalis Amerika yang menanamkan investasinya di Kuba.
Walaupun Amerika Serikat kemudian memerdekakan Kuba, namun
negara tersebut tetap tidak mau kehilangan keuntungan yang selama ini ia
nikmati. Penguasa baru Kuba, Fulgencio Batista pada kenyataannya hanyalah seorang
diktator yang merupakan boneka Amerika Serikat.
Batista lebih banyak dibenci rakyat Kuba dan dicintai oleh
Amerika Serikat ketimbang menjadi seorang pemimpin Kuba yang sebenarnya.
Hal itulah yang menimbulkan ketidakpuasan di kalangan
rakyat Kuba dan kaum oposisi. Salah satu tokoh oposisi kiri yang paling
terkemuka adalah Fidel Castro. Castro bersama adiknya, Raul Castro dan seorang
dokter revolusioner berkebangsaan Argentina, Che Guevara kemudian melakukan
revolusi di Kuba.
Revolusi yang digelar oleh Castro dimulai dengan perjuangan
bersenjata. Dengan menggunakan kapal kecil bernama Granma, Castro dan sejumlah
gerilyawan berlayar dari Maeksiko menuju Kuba pada tahun 1956. Pendaratan mereka di pantai
Playa e Los Colorados tercium oleh aparat bersenjata Batista yang mendapatkan
informasi dari Amerika Serikat.
Rombongan lecil gerilyawan itu segera diberondong peluru.
Sejumlah gerilyawan tewas dan sisanya melarikan diri ke Pegunungan Sierra
Maestra. Mereka inilah yang kemudian menjadi inti tentara gerilya yang
dikemudian hari berhasil menumbangkan kekuasaan Batista.
Setelah bersususah payah melakukan perang gerilya di
pedalaman hutan, Castro dan rekan-rekannya berhasil mendesak mundur pasukan
Batista. Keberhasilan Castro tersebut tidak lepas dari keberhasilannya
memenangkan dukungan dari rakyat Kuba.
Kemenangan demi kemenangan terus didapatkan oleh Castro.
Pada akhir Desember 1958 kaum gerilyawan yang dipimpin oleh Che Guevara
melakukan penyerbuan ke Santa Clara, ibukota Provinsi Las Villas dan memperoleh
kemenangan. Kemenangan Castro ini mengakibatkan Kuba terbelah menjadi dua,
antara kubu Batista dan kubu Casto.
Keberhasilan Castro tersebut menimbulkan panik di kalangan
pendukung Batista. Pada tanggal 1 Januari 1959 diam-diam Batista meninggalkan
Kuba dengan menggunakan pesawat angkut milik angkatan darat disertai dengan
koper yang berisi kekayaannya. Batista kemudian mencari perlindungan ke
Republik Dominika yang dikuasai oleh rekannya sesama diktator, Rafael Trujillo.
Sebelum pergi Batista meninggalkan sebuah junta militer
untuk mewakilinya.
Pada tanggal 2 Januari pasukan Castro dan Che Guevara
memasuki Kota Havana dan menduduki benteng La Cabana yang merupakan markas
besar pasukan Batista.
Peristiwa tersebut sekaligus menandai keberhasilan Castro
menumbangkan sisa-sisa kekuasaan diktator Batista. Castro kemudian menjadikan
dirinya sebagai pemimpin baru Kuba. Sebagaimana Batista, Castro memerintah Kuba
dengan tangan besi.
CASTRO,
UNI SOVIET DAN AMERIKA SERIKAT
Berdirinya Kuba di bawah kekuasaan Fidel Castro terjadi
ketika dunia saat itu sedang mengalami polarisasi akibat perang ideologi antara
Uni Soviet dan Amerika Serikat. Uni Soviet ingin menyebarkan ideologi komunis
ke seluruh dunia sedangkan Amerika Serikat ingin menangkalnya dan mempromosikan
ideologi Demokrasi Liberal ke seluruh dunia, termasuk Kuba.
Awalnya hubungan antara Kuba dan Amerika Serikat pasca
revolusi masih baik-baik saja. Bahkan pada tahun 1959 Castro mengadakan
pertemuan dengan Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon. Pertemuan tersebut
merupakan upaya Castro untuk meyakinkan Amerika Serikat bahwa Kuba di bawah
kepemimpinannya bukanlah ancaman bagi kepentingan Amerika Serikat.
Keadaan kemudian berbalik dengan cepat. Castro mengambil
langkah drastis dengan menasionalisasi perusahaan perkebunan milik Amerika. Hal
itu mengakibatkan adanya krisis diplomatik antara Kuba dan Amerika Serikat.
Amerika kemudian memutuskan hubungannya dengan Kuba bahkan
Amerika kemudian melakukan blokade total terhadap Kuba. Semua perdagangan dari
dan ke luar Kuba ditutup rapat. Kuba tidak boleh mendapatkan akses kepada
kebutuhan rakyatnya sehari-hari.
Kondisi ini memaksa Kuba untuk memalingkan mukanya kepada
Uni Soviet. Sebagai rival Amerika, Uni Soviet bersedia memberikan bantuan
pangan dan militer kepada Kuba.
Semenjak berkuasa Castro berencana untuk memperluas
pengaruh Kuba ke seluruh dunia. Salah satunya adalah dilakukannya pengiriman
pasukan Kuba ke sejumlah negara Afrika seperti Ethiopia, Kongo dan Angola.
Castro berencana untuk mengekspor revolusinya ke Afrika dengan jalan membantu
para pemberontak revolusioner kiri untuk merebut kekuasaannya di negara mereka
masing-masing.
Selain itu Kuba di bawah Castro juga mengadakan hubungan
lebih intensif dengan sejumlah negara yang beraliran kiri. Dalam rangka itulah
Castro mengadakan pertemuan dengan sejumlah pemimpin negara di dunia termasuk
Indonesia.
Misalnya, diadakan pertemuan antara Castro dan Che Guevara
dengan Presiden Sukarno dilakukan dalam rangka membangun aliansi negara-negara
kiri dalam menghadapi perluasan pengaruh Amerika Serikat dan sekutunya pada
masa Perang Dingin.
PERKEMBANGAN
KUBA PASCA CASTRO
Fidel Castro meninggal pada 26 November 2016 dalam usia
yang sangat lanjut, yaitu 90 tahun. Kematian pemimpin kharismatik Kuba tersebut
menerbitkan harapan baru terkait dengan masa depan Kuba.
Kematian Castro makin memperkuat pesimisme masyarakat dunia
akan kebangkitan sosialisme dan gerakan kiri. Apalagi pada 17 tahun sebelumnya
Uni Soviet sebagai negara pelopor sosialisme sudah runtuh. Keruntuhan Uni
Soviet, Reunifikasi Jerman dan kebangkrutan politik kiri di Eropa Timur makin
memperkuat pandangan tersebut.
Negara yang secara formal masih mengakui sosialisme pun
seperti Cina dna Vietnam pada kenyataannya tidaklah memegang teguh sosialisme.
Cina telah mengawinkan sosialisme dengan kapitalisme sehingga menjadikan Cina
sebagai negara sosialsime “merah jambu”, sedangkan praktek Doi Moi yang
dilakukan oleh Vietnam menunjukkan bahwa negara tersebut tidak berkeberatan
dengan sistem ekonomi liberal.
Segala pengaruh baik internal, berupa kematian Fidel Castro
dan perubahan konstelasi politik-ideologi global tersebut yang mendorong
pemimpin Kuba Raul Castro untuk meninjau kembali arah politik internasional
Kuba.
Raul Castro sendiri beranggapan bahwa Kuba harus keluar
dari keterisolasiannya selama ini. Blokade ekonomi yang dilakukan oleh Amerika
Serikat telah membuat stagnasi ekonomi di Kuba. Hal ini menimbulkan
kekhawatiran akan adanya ketidakpuasan di kalangan yakyat Kuba yang sudah lama
menderita akibat embargo dan blokade ekonomi Amerika tersebut.
Pemimpin baru Kuba rencananya sednag menyusun ulang format
politik Kuba dan relasinya dengan negara lain terutama Amerika Serikat.
Gelagat tersebut terlihat ketika diadakannya pertemuan
antar Raul Castro dan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama dalam sebuah
pertemuan informal yang membahas masa depan kedua negara.
Pertemuan tersebut mengisyaratkan akan adanya rencana
pemulihan hubungan kedua negara dan pengakuan kedaulatan Kuba oleh Amerika
Serikat seperti pada masa sebelumnya.
REFERENSI
:
Angkasa, Icon of The
World, Jakarta ; Gramedia, 1998
Tim Weiner, Membongkar Kegagalan CIA, Jakarta : Gramedia,
2007
Komentar
Posting Komentar