PELACUR DAN STIGMA SOSIAL
PELACUR DAN STIGMA SOSIAL
SUDUT PANDANG REAKTIVIS
Sosiologi
menyediakan sejumlah sudut pandnag dalam melihat sebuah penyimpangan sosial, di
antaranya adalah sudut pandang absolutisme, sudut pandang statistikal, sudut
pandang normatif, dan sudut pandang reaktivis.
Sudut
pandang absolutime menganggap sebuah penyimpangan sosial merupakan perilaku
yang tidak dapat diperbaiki lagi. Sudut pandang ini menganggap batasan-batasan
sosial mengenai yang baik dan yang buruk sudah sedemikian tegas, sehingga
ketika ada pelanggaran terhadap batasan itu akan dianggap sudah dil luar batas
toleransi.
Sudut
pandang statistikal menilai penyimpangan sosial sebagai sebuah perilaku di luar
rata-rata. Penyimpangan didefinisikan sebagai sebuah perbuatan yang diluar
kelaziman dan kebiasaan masyarakat.
Sudut
pandang normatif mendefinisikan penyimpangan sosial sebagai sebuah perbuatan yang melanggar norma-norma
sosial yang ada di dalam masyarakat.
Sudut
pandang reaktivis atau relativis menganggap penyimpangan sosial sebagai perilaku
yang didefinisikan oleh masyarakat melalu reaksi sosial dan stigma sosial
Sudut
pandang reaktivis atau relativis lahir dari perspektif atau teori
interaksionisme simbolik. Teori Interaksionisme Simbolik
merupakan teori yang berkembang pada era-era belakangan
sesudah sebelumnya muncul teori Fungsionalisme struktural dan teori konflik.
Teori ini secara
embrionikal dapat ditelusuri pada era-era awal dengan
menelusuri asal-usulnya dari pendapat Max Weber, bahwa individu bertindak
sesuai dengan penafsiran mereka tentang makna dari dunia mereka.
Baru kemudian seorang
filsuf Amerika, George Herbert Mead (1863-1931)
memperkenalkan perspektif ini dalam sosiologi Amerika pada tahun 1920. Pasca
itu tepatnya pada tahun 1930-an, perspektif Interaksionisme
Simbolik dikukuhkan oleh murid G.H.Mead sendiri yaitu Herbert Blumer.
Teori Interaksionisme ,
sebagaimana teori Konstruksi Sosial Peter L.Berger, Teori Etnometodologi Harold
Garfinkel dan Fenomenologi Schuzt , merupakan teori yang dikategorikan atau
diklasifikasikan ke dalam teori Humanis.
Teori Humanis, berbeda
dengan teori Positivis (Fungsionalisme Struktural ) dan teori Kritis, adalah teori yang memberikan ruang yang besar
kepada manusia sebagai aktor untuk membentuk dunia sosialnya sendiri.
Teori interaksionisme simbolik mengkaji
bagaimana manusia menggunakan simbol untuk mengembangkan pandangan mereka
mengenai dunia dan untuk saling berkomunikasi.
Simbol tidak hanya memungkinkan adanya
hubungan, tetapi juga adanya masyarakat. Tanpa simbol kita tidak akan dapat
mengkoordinasikan tindakan kita dengan tindakan orang lain.
Singkatnya para penganut interaksionisme
simbolik menganalisis bagaimana kita mendefenisikan diri kita sendiri dan orang
lain. Para penganut interaksionisme simbolik menunjukkan bahwa bahkan “diri” (self) pun merupakan suatu
simbol, karena “diri” terdiri atas ide-ide
mengenai siapa gerangan kita.
“Diri” merupakan simbol yang
selalu mengalami perubahan, karena dikala kita berinteraksi dengan orang lain,
kita secara terus menerus berusaha menyesuaikan pandangan kita atas dasar
bagaimana kita menafsirkan reaksi orang lain.
PELACUR DAN STIGMA SOSIAL
Teori interaksionisme simbolik menganggap
bahwa berkembangnya pelacuran menunjukkan adanya perubahan simbol, pemaknaan
dan tafsiran atas makna yang ada di dalam masyarakat. Dalam masyarakat tradisional,
seksualitas dianggap memiliki nilai dan bersifat transcendental serta bersifat
sakral.
Hubungan seks hanya dapat dilakukan melalui
ikatan perkawinan dan di dalamnya terdapat nilai-nilai seperti kesetiaan, kasih
sayang dan saling pengertian, oleh karena itu, masyarakat mengembangkan
sejumlah regulasi seksual dan tabu seksual untuk mempertahannya simbol sakral
seksualitas dan perkawinan.
Tetapi, ketika masyarakat bertransformasi
menjadi masyarakat modern, terjadi pergeseran dan perubahan pemaknaan terhadap
seksualitas dan relasi seks antara pria dan wanita.
Seks tidak lagi dianggap sebagai sebuah hal
yang bersifat tabu sehingga seks pada akhirnya dapat pula menjadi komoditi dan
dikomersialisasikan. Prostitusi telah menjadi
simbol baru kebebasan seksual, dan seks tidak lagi berorientasi kepada prokreasi.
Seks dalam masyarakat modern sudah menjadi
sebuah kesenangan yang makin jauh dari nilai-nilai yang luhur. Prostitusi telah meruntuhkan
nilai-nilai lama tentang seks seperti kesetiaan, kasih sayang, dan kesepadanan.
Perubahan yang terjadi pada simbol-simbol
tersebut mengakibatkan berubahnya strukktur masyarakat dan akibatnya lembaga
perkawinan dan lembaga keluarga menjadi semakin diperlemah.
Salah satu teori yang merupakan turunan dari
teori interaksionisme simbolik adalah teori Labelling atau Teori Pemberian
Label (Labeling Theory), yang menempatkan fokus pada signifikasi label
(nama,reputasi) yang diberikan kepada seseorang.
Label cenderung menjadi bagian dari konsep
diri kita dan membantu kita ke jalur yang mendorong kita ke penyimpangan ataupun
mengalihkan kita darinya.
Dalam konteks prostitusi, pemberian label
kepada para Pekerja Seks Komersial (PSK) dengan label-label yang negatif seperti
-“wanita
nakal” ,
-“kupu-kupu malam”
-“pelacur”,
-“wanita
tuna susila’
-
‘wanita tidak bermoral’
-penyebab hancurnya
rumah tangga orang
Dalam kjian sosiologi,
pemberian stigma sosial atau labeling memiliki beberapa fungsi. Labeling atau
stigma sosial di satu sisi merupakan salah satu mekanisme sosial yang dilakukan
masyarakat untuk mengantisipasi adanya penyimpangan sosial termasuk
penyimpangan seksual seperti pelacuran.
Stigma sosial dalam hal
ini berperan untuk memberikan batasan moral kepada seluruh anggota masyarakat
mengenai apa yang boleh di lakukan dan ditolerir dan mana yang terlarang untuk
dilakukan. Dengan demikian stigma sosial akan memberikan pedoman bagi warga
masyarakat dalam bertindak dan berperilaku.
Adanya stigma sosial dan
pemberian label akan menjadikan anggota masyarakat waspada dan bersikap
hati-hati agar tidak melanggar tata kelakuan yang sudah ditetapkan masyarakat.
Selain itu stigma sosial
juga memiliki fungsi laten atau fungsi yang tidak disadari oleh warga
masyarakat. Stigma sosial atau pemberian label dalam hal ini justru dapat makin
mendorong seseorang untuk makin jauh terlibat dalamperilaku menyimpang yang
lebih dalam lagi.
Demikian pula dalam
aspek pelacuran atau prostitusi. Pemberian label yang negatif atau stigma
sosial tertentu dapat bersifat kontraproduktif. Pemberian stigma sosial seperti
yang dicontohkan di atas dapat makin mendorong para pekerja seks komersial
untuk memperkuat konsep diri mereka sebagai penyimpang.
Alih-alih
mengeluarkan mereka dari dunia prostitusi, justru hal itu semakin mendorong
mereka makin terjerumus ke dalamnya.
Stigma negatif yang diberikan oleh masyarakat
membuat mereka mengalami pembatasan sosial dan menyulitkan mereka untuk
menjalani kehidupan yang “normal’ berdasarkan norma-norma yang ada dalam
masyarakat.
Stigma dan label tersebut menjadikan konsep
diri mereka sebagai “wanita tuna susila’ semakin kuat dan identifikasi mereka
kepada dunia prostitusi semakin dalam.
Dengan adanya label atau
stigma sosial yag merendahkan dan penyoratif, para pelacur akan mangalami
pembatasan sosial dan akses sosial oleh masyarakat. Mereka akan sulit diterima
sebagai bagian integral dari masyarakat.
Dengan adanya stogma
sosial, para pelacur akan dianggap sebagai ‘yang lain’ yang berbeda dengan
masyarakat pada umumnya. Dampak dari stigma sosial ini adalah mereka makin
tersisih dalam kehidupan sosial masyarakat. Mereka akan mengalami marjinalisasi
atau terpinggirkan ke tepi dunia sosial “yang normal’.
Lebih jauh lagi, stigma
sosial yang dilekatkan masyarakat kepada para pelacur akan mengakibatkan adanya
diskriminasi sosial bagi mereka. Para pelacur akan semakin mengalami kesulitan
untuk dapat mengambil peran yang ‘legal’ dalam lingkungan masyarakat. Untuk
menyikapi situasi ini para pelacur umumnya menyembunyikan identitas mereka di
hadapan masyarakat.
Para pelacur tidak
menunjukkan identitas mereka yang sesungguhnya kepada famili atau kerabat dan
tetangga mereka di kampung halaman. Mereka umumnya mengaku bekerja sebagai
penjaga toko atau menggeluti bidang usaha yang dapat diterima oleh masyarakat
mereka di kampung halaman.
REFERENSI
:
-Bagong Suyanto, Sosiologi Ekonomi,
Kapitalisme Dan Konsumsi Di Era Masyarakat Post Modernisme, Jakarta : Kencana,
2013
-Burhan Bungin, Pornomedia, Konstruksi Sosial
Teknologi Telematika Dan Perayaan Seks di Media Massa, Jakarta : Kencana,2003
-Endang R.Sedyaningsih, Perempuan-perempuan
Kramat Tunggak, Jakarta : PT Gramedia, 2010
-Irwan Abdullah, Seks, Gender Dan Reproduksi
Kekuasaan, Yogyakarta : Tarawang Press,2001
-James Henslin, Sosiologi Dengan Pendekatan
Membumi, Jakarta : Erlangga, 2006
-Julia Suryakusuma, Agama, Seks, Dan Kekuasaan,
Jakarta : Komunitas Bambu, 2012
-Mansour Fakih, Analisis Gender Dan
Transformasi Sosial, Yogyakarta : Insistpress,2008
-Ratna Batara Munti, Demokrasi Keintiman,
Seksualitas di Era Global, Yogyakarta : LKiS,2005
-Tjahjo Purnomo & Ashadi Siregar, Dolly,
Membedah dunia pelacuran Surabaya, kasus Kompleks Pelacuran Dolly,Jakarta :
Grafitipres, 1982.
Komentar
Posting Komentar