PROSTITUSI SEBAGAI SEBUAH SUB BUDAYA

 

PROSTITUSI SEBAGAI SEBUAH SUB BUDAYA

 

SUB KULTUR PROSTITUSI

Prostitusi merupakan sebuah lingkungan sosial yang membentuk menjadi sebuah sub kultur yang khas. Sebagaimana masyarakat pada umumnya, lingkungan prostitusi memiliki sejumlah pranata dan perangkat yang memungkinkan berkembangnya sebuah tatanan sosial. Misalnya, di dalam kompleks prostitusi terdapat nilai dan pola perilaku serta norma sosial tersendiri yang khas.

Keberadaan nilai dan norma tersebut berfungsi agar menjaga keteraturan sosial yang ada dalam lingkungan prostitusi.Contohnya misalkan adanya sejumlah larangan atau Mores (tata kelakuan) seperti larangan penggunaan narkoba di sejumlah kompleks prostitusi tertentu.

Terkait dengan relasi sosial yang ada di dalamnya, terdapat aturan yang melarang para germo untuk melakukan hubungan seksual dengan para Pekerja Seks Komersial (PSK) yang ada di dalam kompleks prostitusi tersebut.

Para PSK  harus melayani para pelanggan secara impersonal dan tidak diperbolehkan menjalin hubungan cinta kasih dengan para pelanggannya atau memiliki Gendakan (pacar/kekasih). Hubungan sosial tersebut merupakan seksual tanpa afeksi (netralitas afektif).

Hubungan antara para PSK dan pelanggannya hanya bersifat transaksional yang didasarkan atas asas manfaat, kepentingan dan keuntungan timbal balik. Setiap pelanggaran terhadap aturan yang dijelaskan di atas dapat dikatakan sebagai penyimpangan sosial.

Di dalam lingkungan prostitusi juga terdapat pola pengendalian sosial. Pengendalian sosial adalah sejumlah cara yang digunakan oleh masyarakat sebagai agen pengendalian sosial untuk memastikan setiap anggota kelompoknya menjalankan nilai dan norma yang ada di dalam masyarakat tersebut.

Pengendalian sosial dapat bersifat preventif atau represif, dan dilihat dari caranya dapat menggunakan cara-cara persuasif atau koersif. Di dalam lingkungan prostitusi, pengendalian sosial yang dipergunakan antara lain pengendalian sosial preventif dan represif.

Pengendalian sosial represif dilakukan dengan memulangkan ke kampung bagi PSK yang melanggar aturan yang sudah melampaui batas atau juga dapat berupa pengenaan sanksi fisik atau sanksi berupa denda.

Sedangkan pengendalian sosial preventif dilakukan dengan cara diadakannya cek kesehatan secara rutin untuk mengendalian atau antisipasi penyebaran penyakit menular khususnya HIV/AIDS.

Selain germo/mucikari, pengendalian sosial juga dilakukan oleh para preman prostitusi atau yang juga dikenal dengan istilah Gali. Para preman ini bertugas menjaga ketertiban di dalam lingkungan prostitusi atau menertibkan pelanggan yang melakukan tindakan rusuh.

Terkait dengan sosialisasi, terdapat sejumlah pola pengendalian sosial dalam mengelola hubungan antara pemilik klub/germo/mucikari dengan para anak asuhnya atau PSK :

1. Manajemen kekeluargaan  ; pola sosialisasi ini berbentuk hubungan yang bersifat patron-klien. Hubungan antara germo dan anak asuh bersifat saling menguntungkan  dengan adanya hubungan timbal balik. Pola ini bersifat informal dengan didasarkan atas adanya asumsi keuntungan yang didapatkan oleh kedua belah pihak.

2.manajemen “santai” atau laissez-faire ; pada pola ini tidak ada aturan yang jelas dan terstruktur. Pola ini biasanya terdapat dalam prostitusi yang pemiliknya terpaksa menjalankan bisnis prostitusi.

3.manajemen bisnis tulen ; dalam pola ini, prostitusi dijalankan dengan sangat berorientasi kepada keuntungan. Pemilik rumah bordil menerapkan sejumlah aturan yang menjamin rumah bordilnya menghasilkan uang dan keuntungan semaksimal mungkin.

Stratifikasi sosial dan mobilitas sosial juga didapati dalam lingkungan prostitusi. Stratifikasi sosial didefenisikan sebagai sistem yang membagi setiap anggota masyarakat secara berjenjang, bertingkat,berlapis atau berkelas.

Dasar atau ukuran yang menentukan posisi atau kedudukan sosial dalam sistem stratifikasi dapat bermacam-macam,  bisa berupa kepemilikan tanah dalam masyarakat agraris-feodal, dapat juga berupa kekayaan atau pendidikan seperti yang ada dalam masyarakat modern.

Adapun stratifikasi sosial dalam kompleks prostitusi antara lain didasarkan atas kepemilikan rumah bordil dan banyak atau sedikitnya PSK yang dimiliki oleh pengelola rumah bordil. Rumah  bordil dan PSK merupakan asset penting yang menjadi unsur dasar dari sistem sosial yang ada dalam kompleks prostitusi.

Stratifikasi sosial juga  terdapat dikalangan PSK. Bagi PSK yang memiliki banyak pelanggan tentu saja ia akan lebih banyak mendapatkan penghasilan, dan dengan demikian ia akan menempati posisi sosial yang lebih tinggi.

Sedangkan PSK yang sudah berumur atau bukan merupakan ‘primadona’ otomatis memiliki pelanggan yang sedikit,  sehingga posisi sosialnyapun menjadi lebih rendah.

Stratifikasi sosial dalam kompleks lokalisasi pelacuran juga terlihat dari konsumen pelacuran itu sendiri. Pelacuran kelas bawah biasanya memiliki konsumen dari kalangan kelas bawah seperti buruh bangunan, tukang becak, supir angkutan ekspedisi dan lain sebagainya.

Pelacuran kelas bawah juga seringkali menempati kawasan yang diokupasi secara illegal seperti di sekitar terminal atau stasiun kereta api, di dalam gerbong kereta api yang sudah tidak terpakai atau bahkan di kawasan pekuburan umum.

Pelacur kelas bawah atau kelas jalanan ini seringkali menjadi sasaran penertiban aparat pemerintah daerah setempat karena dianggap mengganggu ketertiban dan mengganggu keindahan kota.

Sebaliknya pelacur kelas atas memiliki kondisi dan pelanggan yang berbeda sekali dengan pelacur jalanan.Bedanya adalah kalau pelacuran kelas bawah atau pelacuran jalanan biasanya keberadaannya sangat mencolok di sudut-sudut kota, baik yang legal maupun yang illegal, pelacuran kelas atas seringkali terselubung dan hanya diketahui oleh kalangan tertentu saja.

Mereka biasanya melakukan praktek di hotel-hotel yang secara sembunyi-sembunyi menjalankan praktek prostitusi de samping bisnis perhotelan dan pariwisata yang legal.

Pelacuran atau prositusi kelas atas ini seringkali mendatangkan PSK dari luar negeri dengan bayaran yang sangat tinggi seperti dari Thailand, Filiphina, Uzbekistan selain PSK lokal atau domestik.

Pelacuran kelas atas ini juga dilakukan oleh kalangan publik figur dari berbagai profesi seperti pekerja entertaintment dan sebagian artis atau model. Para pelanggannyapun otomatis juga berasal dari kalangan atas Karena sanggup membeli pelayanan seksual dengan harga yang tinggi sekalipun.

Mobilitas sosial memiliki kaitan erat dengan stratifikasi sosial. Bagi PSK yang dianggap anak kesayangan pemilik rumah bordil dan memiliki pendapatan yang memadai, atau memiliki keterampilan lebih dibandingkan PSK lainnya, dapat berubah statusnya menjadi pemilik rumah bordil. Mobilitas sosial turun (sinking) juga dapat terjadi misalnya apabila terjadi penggusuran kompleks prostitusi sebagai akibat dari perubahan kebijakkan Pemerintah Daerah setempat.

Konflik sosial juga terdapat dalam lingkungan prostitusi. Konflik yang terjadi dapat bersifat vertical, berupa konflik antara pemilik rumah bordil/germo/mucikari dan PSK.

Konflik juga dapat juga bersifat horizontal yaitu terjadi antara sesama PSK, yang biasanya dilatarbelakangi oleh adanya perebutan pelanggan.

 

REFERENSI :

 

-Bagong Suyanto, Sosiologi Ekonomi, Kapitalisme Dan Konsumsi Di Era Masyarakat Post Modernisme, Jakarta : Kencana, 2013

-Endang R.Sedyaningsih, Perempuan-perempuan Kramat Tunggak, Jakarta : PT Gramedia, 2010

-Irwan Abdullah, Seks, Gender Dan Reproduksi Kekuasaan, Yogyakarta : Tarawang Press,2001

-James Henslin, Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi, Jakarta : Erlangga, 2006

-Koeswinarno, Hidup Sebagai Waria, Yogyakarta : LKiS,2004

-Mansour Fakih, Analisis Gender Dan Transformasi Sosial, Yogyakarta : Insistpress,2008

-Ratna Batara Munti, Demokrasi Keintiman, Seksualitas di Era Global, Yogyakarta : LKiS,2005

-Tjahjo Purnomo & Ashadi Siregar, Dolly, Membedah dunia pelacuran Surabaya, kasus Kompleks Pelacuran Dolly,Jakarta : Grafitipres, 1982.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN

STATUS OBJEKTIF DAN STATUS SUBJEKTIF

TAWURAN SEBAGAI SUATU GEJALA SOSIAL (ANALISIS SOSIOLOGIS KONFLIK SOSIAL DI PERKOTAAN)