WARIA DAN PROSTITUSI WARIA
WARIA DAN PROSTITUSI WARIA
DUNIA WARIA
Waria dalam konteks psikologis termasuk ke
dalam kelompok transeksualisme, yakni seseorang yang secara jasmani, jenis
kelaminnya jelas dan sempurna, namun secara psikis cenderung untuk menampilkan
diri sebagai lawan jenis.
Gejala ini berbeda dengan homoseksual dimana
homoseksualitas semata-mata merujuk kepada perilaku relasi seksual, bahwa
seseorang merasa tertarik dan mencintai orang dengan jenis kelamin yang sama.
Seorang penderita transeksualisme dengan
demikian secara psikis merasa dirinya tidak cocok dengan alat kelamin fisiknya,
sehingga mereka seringkali memakai pakaian dan atribut lain dari jenis kelamin
yang lain, jika laki-laki ia memakai pakaian perempuan dan demikian pula
sebaliknya.
Gejala transeksualisme berbeda dengan
tranvestisme, yakni sebuah nafsu yang patologis untuk memakai pakaian dari
lawan jenis kelaminnya atau orang hanya akan mendapatkan kepuasan seks jika ia
memakai pakaian dari jenis kelamin lainnya.
Penderita transeksualisme
juga berbeda dengan hermaphrodite. Pada hermaphrodite, terjadi keadaan ekstrem
interseksualitas dengan gangguan perkembangan pada proses pembedaan kelamin,
apakah akan dibuat menajdi laki-laki atau perempuan.Pada kelompok
hermaphrodite, kesulitan utama adalah ketika ia harus ditentukan jenis
kelaminnya sebagai laki-laki atau perempuan.
Hidup sebagai waria merupakan sebuah hasil
akhir dari akumulasi konflik-konflik yang dialami semasa proses “menjadi waria’
yang berlangsung sejak masa kanak-kanak hingga ia menjadi dewasa. Seseorang
dapat menjadi waria antara lain setelah mengalami serangkaian pengalaman sosial
yang dijalaninya sejak masa kanak-kanak.
Ketika seseorang laki-laki masih berusia
kanak-kanak, ia mendapat sosialisasi hal-hal yang bersifat ‘feminim”, baik
warna, busana, permainan dan lain sebagainya. Pergaulannya dikalangan anak-anak
juga lebih sering dilakukannya dengan anak-anak perempuan, sehingga
terkonstruksi dalam dirinya tentang peran sosial sebagai perempuan.
Pandangan masyarakat terhadap kalangan
transgender didasarkan atas pandangan oposisi biner yang selama ini berlangsung
dalam kehidupan masyarakat.Secara ekstrem masyarakat hanya mengenal dua wilayah
yang saling bertentangan; kaya-miskin, hitam-putih,pandai-bodoh dan lain
sebagainya.
Pandangan ini juga terdapat dalam melihat
seks. Masyarakat menganggap hanya ada dua jenis seks, yaitu laki-laki dan
perempuan dan relasi seksual yang memungkinkan antara keduanya hanyalah
heteroseksual. Masyarakat juga menuntut peran seorang laki-laki haruslah
maskulin sedangkan perempuan haruslah bersifat feminis.
Pandangan ini secara otomatis menjadikan
waria sebagai salah satu bentuk orientasi seksual menjadi marjinal dan dianggap
menyimpang. Seperti halnya relasi seksual yang dilakukan oleh kaum homoseksual
dan lesbian, waria juga menghadapi konflik yang sama, bahwa tradisi hubungan
sesama jenis belum sepenuhnya dapat diterima oleh masyarakat.
Oleh karena itu seseorang yang menjalani kehidupan
sebagai waria tidaklah mudah. Ia harus ‘melawan’ arus dominan dan menghadapi
semua stigma negatif yang ditujukan kepadanya. Seorang waria seringkali
mendapatkan pelecehan dari masyarakat. Kehadiran seorang waria di dalam sebuah
keluarga seringkali dianggap sebagai aib, sehingga waria senantiasa mengalami
tekanan-tekanan sosial.
Di dalam pergaulan mereka juga menghadapi
konflik-konflik dalam berbagai bentuk, dari cemoohan, pelecehan hingga
pengucilan. Konflik yang dialami oleh para waria menyebabkan dunia waria
semakin terisolasi dari lingkungan sosial, sementara waria dituntut harus tetap
mampu survive dalam lingkungan yang
mengisolasikan dirinya itu.
Dalam konteks budaya, dimensi konflik dan
perilaku yang dihadirkan waria tidak hanya dipandang sebagai sebuah perilaku
yang menyimpang, namun juga perilaku mereka belum mendapat tempat dalam
struktur sosial dan peran-peran sosial yang menyatu dengan masyarakat.
Kalangan waria mengalami kesulitan dalam
menguntegrasikan diri mereka ke dalam struktur sosial yang ada dalam
masyarakat. Menjadi waria adalah satu proses dialektika yang terjadi antara
waria dan ruang sosial dimana ia hidup dan dibesarkan.
Proses dialektika dialami oleh seorang waria
melalui berbagai tekanan-tekanan sosial untuk kemudian direspon, sehingga pada
akhirnya akan membentuk satu makna kehidupan waria.Tekanan-tekanan sosial
muncul sangat multidimensional, yang dimulai dari dalam keluarga, masyarakat
dan diantara waria itu sendiri.
Kalangan waria mengalami keterbelahan
kepribadian yang tidak dialami oleh kalangan homoseksual. Mereka
mempresentasikan perilaku yang jauh berbeda dengan laki-laki ‘normal”, tetapi
bukan sebagai perempuan yang ‘normal” pula.
Para waria juga mengalami hambatan dalam
melakukan pergaulan dan memilih pekerjaan.Waria yang menjalankan profesi
sebagai pegawai baik pegawai negeri atau pegawai swasta seringkali mendapatkan
tekanan baik dari atasannya/perusahaannya ataupun dari lingkungan kerjanya
untuk berperilaku sebagaimana laki-laki “normal’ lainnya.
Seringkali mereka juga menghadapi dilema
ketika berada di tempat umum dan menggunakan fasilitas yang ada seperti WC umum
dan tempat ibadah karena tempat-tempat
semacam itu terdapat aturan yang ketat terkait dengan pemisahan jenis kelamin.
Sikap masyarakat terhadap kalangan
transgender menunjukkan adanya toleransi yang rendah. Bahkan masyarakat lebih
cenderung “bisa menerima’ kalangan lesbianisme atau homoseksual perempuan
ketimbang transgender.
Ketika seorang anak laki-laki dijuluki
sebagai “ banci” , maka ia akan merasa terstigma, dan kelompok tersebut
menganggap bahwa hal itu telah merendahkannya.Sebaliknya, tidak ada penolakan
semacam itu yang terjadi pada seorang gadis yang disebut ‘tomboi”. Faktanya, ia
justru merasa bangga dengan sifat maskulinnya itu.
Masyarakat menganggap anak laki-laki yang
djuluki sebagai banci cenderung diasosiasikan dengan seorang pengecut atau
“anak mama” sedangkan anak perempuan yang dijuluki ‘tomboi” cenderung
menganggap dirinya sebagai seorang gadis yang pemberani dan dapat mengatasi dirinya
sendiri terhadap anak laki-laki yang sebayanya. (Fromm, 2007)
Sebenarnya sikap masyarakat terhadap waria
bisa dikatakan mendua. Ambiguitas tampak ketika masyarakat dalam melihat dunia
waria disatu sisi dinilai negatif ; dekat dengan pelacuran,seks bebas dan
penyakit-penyakit kotor, sehingga mereka menolak perilaku tersebut, tetapi di
sisi lain mereka menerima kaum waria hidup bersama di lingkungan masyarakat
karena menilai adanya kepentingan ekonomis tertentu atau pertimbangan-pertimbangan lainnya.
Para waria terbagi menjadi dua menurut
profesi yang mereka jalankan. Diantara mereka ada yang menjalani profesi
‘normal” seperti bekerja di salon kecantikan, menjadi pramuniaga atau menjadi
asisten rumah tangga. Sebagian lainnya (bahkan sebagian besar) menjalani
pekerjaan sebagai pelacuran di postitusi waria.
Keterlibatan waria dalam dunia prostitusi
disebabkan oleh adanya struktur sosial yangmenurut Emile Durkheim cenderung
menekan/membatasi (constrain) dan memaksa (coercive) serta menentukan
(determined).Para waria mendapatkan tekanan sedemikian rupa yang memaksa mereka
berperilaku yang sesuai dengan peran seksual/gender yang diharapkan oleh
masyarakat. Ketika seorang waria tidak dapat memenuhi harapan peran seks/gender
tersebut, maka waria itu cenderung lari ke dunia prostitusi.
Menurut Peter L.Berger, kehidupan sosial
merupakan hasil dari interaksi antara individu dengan dunia sosial. Interaksi
tersebut bersifat dialektik dengan melalui tahapan eksternalisasi,
objektivikasi dan internalisasi. Demikian pula dengan dunia sosial seorang
waria.
Proses seorang laki-laki menjadi waria
terjadi setelah ia melakukan konstruksi sosial atas lingkungan sosial tempat ia
berada. Ketika seorang waria mendapatkan tekanan dari masyarakat agar
berperilaku konformis sesuai dengan norma sosial dan norma seksual yang ada,
seorang waria kemudian berupaya melakukan proses penyesuaian diri. Proses itu
disebut dengan eksternalisasi.
Tekanan-tekanan sosial tersebut kemudian
ditanggapi oleh seorang waria dengan strategi tertentu, yang tercermin melalui
interaksi sosial di dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan, yang
melahirkan subkultur waria atau yang disebut dengan objektivikasi.
Proses berikutnya adalah internalisasi, yakni
ketika seorang waria mulai mengidentikkan dirinya ke dalam lembaga sosial
dimana mereka berinteraksi.(Koeswinarno, 2004)
Dunia waria dapat dilihat dari berbagai sudut
pandang, baik dari aspek patologis, psikologis, sosial sebagai berikut :
• patologis : dimensi patologis umumnya
memandang kaum waria sebagai kelompok yang menimbulkan tradisi pelacuran
• psikologis : dimensi psikologis lebih
memandang dunia waria sejajar dengan penyimpangan-penyimpangan seksual lainnya
seperti homoseksual,lesbian,zoofilia serta heterophobia dan lain sebagainya
• sosial ; dimensi sosial melihat fenomena
dunia waria sebagai sesuatu yang tidak
dapat lepas dari tiga proses sosial yang mungkin terjadi :
Pertama : Sosialisasi perilaku waria di dalam
konteks sosial budaya. dipengaruhi oleh adanya proses sosialisasi. Sosialisasi
ini sangat penting karena menyangkut satu tahapan agar seseorang dapat diterima
dalam lingkungan sosialnya.
Kedua : pendangan tentang realitas objektif
yang dibentuk oleh perilaku mereka. Melihat realitas objektif merupakan
pemahaman untuk menjadikan perilaku individu sebagai satu nilai yang diharapkan
atau tidak diharapkan dalam lingkungan sosial.
Ketiga : proses pemaknaan dan pemahaman
sebagai waria. Proses ini menyangkut pertahanan identitas, dimana mereka
berusaha mengonstruksikan makna hidup “sebagai waria” atas
pengalaman-pengalaman sebelumnya, yang tercipta dari proses sosial dan realitas
objektif dunia waria.(Koeswinarno, 2004)
PROSTITUSI
WARIA
Prostitusi waria merupakan suatu sub kultur
yang khas yang terdapat sejumlah perbedaan dengan kompleks pelacuran atau
lokalisasi prostitusi lainnya. Prostitusi waria sebenarnya merupakan bentuk
dari kehidupan waria itu sendiri yang merupakan sebuah sub kultur yang
dibedakan dengan masyarakat pada umumnya.
Motivasi seseorang waria terjun ke dalam
dunia prostitusi waria bukan semata-mata didorong oleh motivasi instrumental
berupa keuntungan atau imbalan material. Waria melacur memiliki dimensi
sosio-kultural, yang di dalamnya terdapat nilai-nilai yang khas.
Keterlibatan waria ke dalam pelacuran waria
antara lain dilatarbelakangi oleh situasi alienasi dan anomie yang dialami oleh
waria itu sendiri. Identitas waria telah mengakibatkan para waria mengalami
alienasi/keterasingan dan anomie. Situasi alienasi dan anomie tersebut dapat
dinetralisir dengan terjunnya waria ke dalam dunia prostitusi.
Di dalam dunia prostitusi, seorang waria
tidak lagi merasa terasing atau mengalami alienasi, karena di lingkungan sosial
itu seorang waria mendapatkan penerimaan dan pengakuan secara utuh.Tempat
prostitusi waria juga memiliki fungsi sebagai arena komunikasi dan interaksi
sosial antarwaria.
Komunikasi antarwaria tersebut semakin
mengukuhkan jatidiri dan jalan hidup yang mereka pilih sebagai waria.Dengan
demikian seorang waria tidak lagi merasa sendirian. Prostitusi waria juga berfungsi
sebagai sarana pembangun solidaritas sosial waria. Seringkali melalui
prostitusi waria para waria memberikan bantuan terhadap waria yang sedang
mengalami masalah atau sakit.
Komunikasi dikalangan waria mengembangkan
satu model komunikasi dengan bahasa-bahasa yang sangat khusus. Hal ini
menunjukkan bahwa prostitusi waria sudah berkembang menjadi sub kultur yang
khas. Bahasa khas yang ada dalam dunia waria sekaligus berfungsi membentuk
sebuah struktur dan kultur komunitas waria yang berbeda dengan masyarakat pada
umumnya.
Hal ini kemudian disosialisasikan kepada
waria yunior yang baru menjalani hidup sebagai waria. Penggunaan Bahasa yang
khas ini sekaligus merupakan Fakta Sosial yang memaksa seorang waria untuk
masuk ke dalam pola-pola yang sudah ditetapkan oleh komunitas waria sebelumnya.
Walaupun solidaritas di kalangan waria yang
bergabung dalam prostitusi waria sangat kuat, namun terjadi pula konflik sosial
di lingkungan tersebut. Konflik sosial yang terjadi di lingkungan prostitusi
waria umumnya terkait dengan masalah ekonomi. Konflik di kalangan waria terjadi
ketika terjadi perebutan konsumen yang menggunakan jasa pelayanan seksual
waria.
Di
kalangan waria dalam lingkungan prostitusi waria terdapat sebuah norma bahwa
seorang pengguna jasa pelayanan seksual sebaiknya tidak bergonta-ganti
pasangan. Kalau hal itu terjadi maka akan menimbulkan konflik diantara sesama
pelacur waria.
Konflik muncul dalam berbagai bentuk, dari
yang bersifat sekedar pergunjingan, pengucilan, salingmendiamkan, adu mulut
hingga kontak fisik. Konflik selalu dibiarkan dalam jangka waktu yang tidak
ditentukan. Ada yang berakhir dalam waktu singkat dan adapula yang berlangsung
sampai bertahun-tahun.
Istilah melacur di kalangan waria disebut nyebong.Karena itu, tempat dimana mereka
nyebong disebut dengan cebongan.Contohnya di Yogyakarta pernah
terdapat beberapa cebongan yang cukup
besar seperti di sekitar rel kereta api Stasiun Tugu sebelah barat, Stasiun
Kereta Api sebelah selatan, kompleksTaman Suropati dan daerah Kotabaru.
Di Jakarta prostitusi waria tersebar di
sejumlah kawasan diantaranya yang paling terkenal adalah kawasan prostitusi
Taman Lawang, Jakarta Selatan.
Prostitusi waria hampir tidak mengenal
standar resmi tentang tarif jasa pelayanan seksual. Sejumlah tariff bisa berubah
tergantung dari hukum ekonomi yang berlaku.
Di dalam keadaan sepi tarif itu bisa turun,
sebaliknya jikalau kondisi sedang ramai tarif tersebut bisa naik. Dengan
demikian, besar kecilnya tarif sangat tergantung dari hasil negosiasi antara
pengguna jasa seks dengan seorang pelacur waria.
Keberadaan prostitusi waria mengakibatkan
terjadinya fragmentasi atau pengelompokan dikalangan waria. Kalangan waria yang
tidak terjun ke dalam prostitusi waria cenderung menganggap rendah profesi
tersebut.
Mereka umumnya menggeluti bidang usaha yang
ada dalam struktur masyarakat yang ‘normal’ seperti salon kecantikan. Sedangkan
waria yang berprofesi sebagai pelacur cenderung merasa inferior. Mereka merasa minder dengan kalangan waria yang sukses
dalam berbagai profesinya. (Koeswinarno, 2004)
REFERENSI
:
Koeswinarno, Hidup Sebagai Waria,Yogyakarta :
LKiS,2004
Komentar
Posting Komentar