ANAK JALANAN DAN DISFUNGSI SISTEM SOSIAL
ANAK
JALANAN DAN DISFUNGSI
SISTEM SOSIAL
Anak Jalanan (Anjal) merupakan salah satu fenomena yang
biasa dilihat di kawasan perkotaan. Fenomena anak jalanan sekaligus menunjukkan
masih adanya permasalah sosial akut yang
belum mampu diselesaikan oleh komunitas kota.
Dilihat dari aspek sosiologis, anak jalanan dapat
dikategorikan sebagai gelandangan. Dikatakan sebagai gelandangan dikarenakan
mereka tercerabut dari akar masyarakat, yaitu keluarga. Mereka juga tidak
terintegrasi sepenuhnya dalam struktur sosial yang ada.
Anak jalanan—sesuai dengan namanya—hidup menggelandang di jalanan
perkotaan yang panas dan berdebu. Mereka tidak atau putus dari sekolah dan
banyak diantara mereka hidup sendirian terlepas dari ikatan keluarga. Bahkan
banyak diantara mereka yang memutuskan untuk keluar meninggalkan keluarga
karena berbagai alasan.
Fenomena anak jalanan berbeda halnya dengan fenomena
kenakalan remaja. Anak jalanan pada umumnya tidak melakukan tindakan kriminal
seperti yang biasa dilakukan dalam kelompok geng yang melakukan tindak
kriminal.
Mereka juga tidak melakukan kegiatan tawuran, bahkan mereka
tidak memiliki kecenderungan mengorganisir diri sebagaimana kelompok anak-anak
kriminal. Mereka tidak memiliki kesadaran kelompok sebagaimana kelompok geng
remaja.
Walaupun demikian, ada kesamaan antara anak jalanan dengan
kenakalan remaja. Salah satu persamaannya dalah fenomena keduanya merupakan
hasil dari proses urbanisasi yang ditandai oleh banyaknya jumlah remaja dan
anak di desa yang tanpa jaminan sosial yang mantap pergi meninggalkan desanya
untuk menuju kawasan perkotaan.
Kehidupan anak jalanan menggambarkan keadaan golongan
masyarakat golongan ekonomi lemah atau golongan miskin pada umumnya. Mereka
tinggal menggelandang di emperan toko atau di bawah fly over.
Mereka juga tidak mengenal sistem sanitasi, mereka buang
air di sungai atau saluran air lainnya. Mandi bukan merupakan bagian dari
kehidupan mereka, sehingga tampilan mereka cenderung kumuh dan lusuh.
Untuk menyambung hidup, anak-anak jalanan melakukan
berbagai pekerjaan informal mulai dari mengumpulkan barang-barang bekas atau pekerjaan
lainnya, namun mengamenlah kegiatan yang paling banyak dilakukan. Mereka
mengamen dengan peralatan seadanya seperti gitar kecil atau bahkan botol
minuman kemasan yang diisi oleh beras atau kerikil.
Keberadaan anak jalanan bukan sekedar fenomena yang alamiah
atau kebetulan semata. Kemunculan anak jalanan merupakan hasil dari proses
pembagunan yang tidak merata. Jadi fenomena anak jalanan tidak dapat dilepaskan
dari adanya kemiskinan yang bersifat struktural.
Selain itu keberadaan anak jalanan juga dapat disebabkan
oleh adanya komersialisasi anak yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu untuk
mendpaatkan keuntungan.
Terdapat pihak-pihak tertentu yang mencoba mengambil
keuntungan dari banyaknya anak-anak putus sekolah. Mereka seringkali direktur
baik secara sukarela maupun secara paksa melalui penculikan anak untuk
dijadikan sebagai pengamen atau pengemis di jalan.
Fenomena anak jalanan rupanya sudah menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat kota. Walaupun diingkari dan berulangkali ditertibkan oleh
aparat penegak hukum, namun tetap saja keberadaan anak jalanan tidak mudah dihapuskan.
Hal itu disebabkan karena keberadaan anak jalanan sudah berlangsung semenjak
awal berdirinya kota itu sendiri.
Upaya yang coba dilakukan oleh pemerintah kota dalam rangka
menghapuskan keberadaan anak jalanan tidak mudah. Penertiban dan pembinaan yang
dilakukan oleh pemerintah mulai dari pengadaan rumah singgah sampai pemberian
pekerjaan alternatif kepada anak jalanan seringkali berakhir dengan tidak
memuaskan.
Anak jalanan menjadikan kehidupan liar di jalanan sebagian
karena keterpaksaan akan tetapi ada juga yang menjadikannya sebagai jalan hidup
atau gaya hidup tertentu. Mereka merasa kehidupan di jalanan lebih cocok buat
jiwa mereka yang membutuhkan kebebasan.
Mereka tidak nyaman dengan kehidupan rumah yang “normal”.
Mereka juga tidak tertarik dengan sekolah yang mereka anggap tidak dapat
menghantarkan mereka kepada kehidupan yang lebih baik.
REFERENSI :
Kartini Kartono, Patologi Sosial 2, Kenakalan Remaja,
Jakarta : Rajawali, 1992
Komentar
Posting Komentar