BEGAL DAN ANOMIE DALAM KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT PERKOTAAN

 

BEGAL DAN ANOMIE DALAM KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT PERKOTAAN

 

Salah satu fenomena sosial yang juga merupakan persoalan sosial yang dihadapi oleh kota-kota besar di Indonesia adalah fenomena kejahatan jalanan atau yang juga dikenal dengan nama begal. Kejahatan jalanan (street crime) merupakan kajian sosiologi terapan atau kriminologi yang secara khusus mengamati fenomena kejahatan yang terjadi di ruang publik seperti jalan raya.

Kejahatan jalanan merupakan jenis kejahatan yang memiliki sejumlah karateristik yang unik. Salah satu ciri kejahatan jalanan adalah tidak adanya hubungan antara pelaku dan korban, artinya, kedua pihak relatif tidak mengenal satu sama lain.

Motif pelaku kejahatan jalanan semata-mata ingin menguasai harta korban. Walaupun dalam beberapa kasus, pelaku juga menciderai korbannya, bahkan ada juga korban yang sampai kehilangan nyawa. Seperti adanya kasus perampokan jalanan yang mengakibatkan korban harus kehilangan nyawa akibat terjatuh dari kendaraan bermotor ketika tasnya dirampas pelaku atau korban meninggal karena serangan senjata tajam atau senjata api yang dilakukan pelaku ketika korbannya berusaha mempertahankan hartanya.

Walaupun jumlah kerugian akibat kejahatan jalanan tidak terlalu besar, namun intensitasnya cukup membuat warga masyarakat merasa khawatir. Banyak warga terutama kaum perempuan yang tidak berani berjalan di area tertentu atau keluar di waktu-waktu tertentu terutama di malam hari.

Tingginya angka kejahatan jalanan seperti begal antara lain disebabkan karena adanya sejumlah faktor, di antaranya adalah keterbatasan jumlah aparat hukum. Pada umumnya jumpah aparat hukum seperti kepolisian masih sangat terbatas, dan belum ideal jika dilihat dari proporsi jumlah penduduk kota.

Selain itu ada persoalan struktural yang menyebabkan merebaknya kejahatan jalanan seperti permasalahan ekonomi. Para pelaku kejahatan jalanan kebanyakan merupakan orang-orang yang berasal dari kelas sosial bawah.

Mereka melakukan kejahatan jalanan  dikarenakan karena adanya tuntutan ekonomi. Struktur ekonomi perkotaan dalam kenyataanya memberikan ruang yang terbatas seklai bagi masyarakat kelas sosial bawah untuk dapat memenuhi kebutuhannya.

Sedangkan untuk dapat hidup di kota membutuhkan uang dalam jumlah memadai. Hal itu disebabkan karena banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi oleh warga kota, mulai dari pemenuhan pangan, sandang, perumahan seperti membayar kontrakan, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan lainnya.

Situasi ini dijelaskan oleh Robert K.Merton mengenai struktur dan kultur perkotaan yang ditandai oleh adanya kesenjangan atau ketimpangan antara nilai kesuksesan dan sarana untuk mewujudkan kesuksesan tersebut.

Di satu sisi masyarakat kota  mengembangkan nilai kesuksesan. Kesuksesan diukur dan sejauh mata warga kota mampu memiliki kekayaan dan pencapaian materi tertentu.

Di sisi lain, kesempatan untuk dapat sukses hanya dimiliki secara terbatas untuk kalangan tertentu. Hanya orang-orang dari kalangan kelas sosial ataslah yang mampu meraih kesuksesan melalui cara-cara yang melembaga dan legal.

Adapun kebanyakan warga yang berasal dari kelas sosial bawah tidak memiliki kesempatan yang sama, akibatnya adalah terjadinya ketegangan yang mendorong berkembangnya anomie.

Kondisi itu ditanggapi oleh sejunmlah orang yang berasal dari warga kelas sosial bawah dengan melakukan berbagai hal yang dianggap melanggar hukum, termasuk melakukan kejahatan jalanan atau pembegalan.

Tindakan pembegalan tersebut merupakan bentuk adaptasi untuk dapat bertahan hidup di lingkungan kawasan perkotan yang menuntut pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin komplek.

Pembegalan selain dapat disebut sebagai kejahatan jalanan juga memiliki kemiripan dengan perampokan. Perampokan adalah upaya paksa yang dilakukan untuk dapat menguasai harta orang lain secara ilegal atau melanggar hukum.

Pembegalan dalam perkembangannya berlangsung secara sadis. Pelaku sebagaimana yang sudah disebutkan di atas kerap tidak segan-segan melakukan kekerasan bahkan pembunuhan kepada korbannya. Hal itu merupakan sebuah ironi, karena untuk dpaat menguasai harta korban yang “tidak seberapa”’, seorang pelaku begal harus melakukan pembunuhan atas korbannya.

Perilaku sadis yang dilakukan oleh pelaku begal ditanggapi oleh warga masyarakat secara seimbang. Warga masyarakat yang sudah gerah dan resah dengan maraknya aksi pembegalan kemudian melakukan aksi penghakiman kepada pelaku begal.

Beberapa kasus memperlihatkan ketika warga masyarakat melakukan pengeroyokan kepada pelaku begal yang berhasil mereka tangkap. Bahkan dalam sebuah kasus di Kota Tangerang Selatan , warga secara tidak berperikemanusiaan melakukan pembakaran kepada pelaku begal.

Tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga memang tidak dapat dibenarkan. Namun secara sosiologis tindakan warga tersebut merupakan sebuah gejala sosial yang biasa terjadi. Ketika pelaku begal semakin sadis dalam bertindak terhadap korbannya maka yang kemudian terjadi adalah munculnya reaksi yang juga ekstrem.

Selain itu, tindakan vigilantisme atau aksi main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga tersebut dikarenakan karena tingkat kepercayaan warga terhadap hukum dan institusi hukum yang semakin rendah.

Banyak warga masyarakat yang kurang atau tidak mempercayai lagi proses hukum yang ada. Mereka beranggapan penegakan hukum secara formal tidak akan menghilangkan kasus-kasus kejahatan yang ada seperti begal.

Sebuah fakta bahwa banyak diantara para begal yang sebelumnya pernah dipenjara seakan-akan mengkonfirmasi hal tersebut. Hal itu seakan-akan menunjukkan bahwa penjara tidak menjadikan pelaku begal jera atas perbuatannya. Bahkan terdapat anggapan bahwa seorang begal ketika sudah pernah masuk penjara akan bertindak lebih profesional dan juga lebih sadis.

Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh warga tersebut juga disebabkan karena masyarakat meniru aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat. Walaupun secara yuridis formal tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat dapat dibenarkan, namun banyak kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat dalam menunaikan tugasnya dilakukan secara tidak profesional dan tidak terukur.

Fenomena seperti extra judicial killing misalnya secara psikologis memberikan dorongan kepada masyarakat untuk juga melakukan kekerasan terhadap pelaku kejahatan yang ada.

Kondisi ini tentu saja mengkhawatirkan. Kepercayaan terhadap proses hukum dan aparat penegak hukum yang semakin rendah akan melemahkan hukum itu sendiri. Kalau hukum dan pranata hukum sudah tidak lagi dipercayai oleh warga maka yang akan terjadi adalah anarki.

Warga masyarakat akan bertindak sendiri-sendiri terhadap kejadian hukum atau peristiwa hukum yang terjadi di lingkungan mereka. Situasi ini tentu saja merupakan tantangan bagi pemerintah dan juga aparat penegak hukum termasuk Dewan Perwakilan Rakyat untuk merumuskan hukum pidana yang lebih efektif dalam menekan angka kejahatan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN

STATUS OBJEKTIF DAN STATUS SUBJEKTIF

TAWURAN SEBAGAI SUATU GEJALA SOSIAL (ANALISIS SOSIOLOGIS KONFLIK SOSIAL DI PERKOTAAN)