MANUSIA GEROBAK DAN MASALAH KEMANUSIAAN

 

MANUSIA GEROBAK DAN MASALAH KEMANUSIAAN

Salah satu fenomena yang biasa di lihat di jalan-jalan Kota Jakarta adalah fenomena yang disebuat “Manusia Gerobak”. Penyebutan istilah manusia gerobak nampaknya tidak terlalu berlebihan karena memang memang mereka yang disebut demikian dalam keseharianya lekat dengan gerobak yang mereka gunakan sehari-hari.

Fenomena manusia gerobak sering terlihat di beberapa ruas jalan di sejumlah kota besar di Indonesia. Mereka kerap terlihat berjalan menyusuri jalan-jalan kota diiringi oleh istri dan anak-anak mereka. Sementara orang sang bapak menarik gerobak dengan istrinya di belakang, anak-anak mereka yang masih kecil-kecil duduk di dalamnya.

Manusia gerobak merujuk kepada sebuah bentuk kehidupan sosial marjinal yang terdapat di sejumlah kota besar seperti Jakarta. Mereka yang disebut sebagai manusia gerobak adalah yang menjalani kehidupan sehari-hari di selanjang jalan-jalan kawasan pinggiran perkotaan. Umumnya mereka berprofesi sebagai pemulung yang mengumpulkan barang-barang bekas dan juga sampah yang masih bisa didaur ulang.

Mereka menyusuri jalan-jalan dengan mencari barang-barang yang masih memiliki nilai guna untuk mereka kumpulkan. Mereka kemudian menyetorkan barang-barang  atau sampah tersebut kepada pengepul dengan imbalan sejumlah uang perkilonya.

Bagi manusia gerobak, gerobak yang mereka gunakan sehari-hari sarat akan makna. Gerobak bagi mereka bukan semata-mata sarana atau instrumen untuk mengumpulkan barang-barang bekas. Gerobak yang mereka gunakan sehari-hari juga berfungsi sebagai tempat tinggal dan tempat tidur bagi anak-anaknya ketika malam telah tiba.

Dengan demikian gerobak bagi manusia gerobak merupakan simbol bagi dunia sosial yang mereka geluti dan mereka jalani sehari-harinya.

Keberadaan manusia gerobak sering luput dari pengamatan banyak pihak. Para sosiolog sekalipun lebih banyak mengamati fenomena sosial yang menarik perhatian besar dari kalangan masyarakat. Adapun mereka yang disebut sebagai manusia gerobak kerap jauh dari pengamatan karena kehidupan mereka yang kurang menonjol dibandingkan dengan fenomena kehidupan sosial kelompok masyarakat marjinal lainnya.

Fenomena manusia gerobak juga kerap luput dari pengamatan para pengabil kebijakkan kota. Para birokrat bahkan bisa jadi belum menyadari eksistensi kehidupan mereka. Para penguasa kota lebih banyak berkutat dengan fenomena-fenomena permasalahan sosial perkotaan yang “lazim” mereka saksikan sehari-hari seperti pengemis, gelandangan, pemukiman kumuh, dan lain sebagainya.

Dalam sistem pengkategorian sosial, manusia gerobak sebenarnya termasuk ke dalam kelompok tuna wisma. Mereka juga dapat dikatakan sebagai kelompok pemulung yang hidup dari pemanfaatan barang-barang bekas.

Sebagai tuna wisma mereka hidup di pinggiran jalan raya dan tidur di gerobak yang mereka miliki. Dengan demikian maka nasib mereka sesungguhnya lebih buruk dibandingkan dengan kelompok miskin perkotaan lainnya.

Keberadaan manusia gerobak yang memiliki tingkat pergerakan yang tinggi mengakibatkan mereka sering berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Hal ini mirip dengan kelompok Gypsi yang ada di Amerika Serikat.

Hal inilah yang mengakibatkan mereka tidak memiliki surat-surat identitas seperti Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga. Dampaknya adalah mereka juga tidak mendpaatkan akses kepada bantuan sosial pemerintah yang biasanya disalurkan melalui rukun warga (RW) dan rukun tetangga (RT). Ketiadaan identitas kependudukan ini menunjukkan bahwa manusia gerobak tidak teridentifikasi ke dalam lingkungan sosial tertentu.

Manusia gerobak juga tidak memiliki akses yang memadai terhadap berbagai prasarana kehidupan lainnya seperti air bersih, udara bersih, ruang hidup yang layak tuntuk anak-anak mereka, dan lain sebagainya.

Keberadaan manusia gerobak jelas harus dianggap sebagai sebuah persoalan yang harus segera diselesaikan, apalagi fenomena ini menyangkut sejumlah persoalan turunan lainnya.

Para manusia gerobak ini memiliki anak yang hidup bersama orang tuanya dalam mencari sesuap nasi. Disebabkan karena segala keterbatasan yang diahadapi oleh para manusia gerobak tersebut, maka anak-anak mereka pun harus ikut menanggung beban juga.

Mereka tidak mengenal dunia anak-anak sebagaimana anak-anak pada umumnya. Mereka tidak mengenal dunia bermain dan belajar. Mereka tidak mampu bersekolah, dan dengan demikian peluang mereka untuk bisa keluar dari jurang kemiskinan semakin kecil.

Kehidupan sosial manusia gerobak cenderung bersifat subsisten. Beban kehidupan manusia gerobak semakin berat jikalau ada di antara mereka atau keluarga mereka yang sakit. Ketiadaan surat identitas kewarganegaraan menyebabkan mereka tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan mendasar.

Jangankan rumah sakit, pelayanan puskesmaspun juga tidak mampu mereka dapatkan. Dampaknya mereka harus menerima saja keadaan mereka termasuh penyakit yang mereka atau keluarga mereka derita.

Fenomena manusia gerobak juga menunjukkan tinginya tingkat adaptasi kelompok masyarakat miskin. Sebagai kelompok sosial yang menempati strata sosial terendah dalam struktur masyarakat kota, mereka dapat dikatakan memiliki kemampuan adaptasi yang luar biasa.

Mereka mampu bertahan dalam menghadapi kerasnya kehidupan perkotaan. Mereka harus mampu hidup dengan segala keterbatasan yang ada. Para manusia gerobak ini juga tidak mengandalkan belas kasihan dari orang lain.

Walaupun terdapat sejumlah kasus, akan tetapi pada umumnya mereka tidak hidup dari meminta-minta. Mereka berupaya survive dengan segala kekuatan yang mereka miliki dan mereka juga mampu memanfaatkan apa saja di lingkungan mereka untuk tetap hidup.

Menurut kalangan fungsionalis, keberadaan manusia gerobak dapat dikatakan fungsional terhadap struktur masyarakat kota. Kota tidak saja membutuhkan orang-ornag kaya dan kelas menengah untuk menggerakkan dan mendinamisasi perekonomian. Kota juga ‘membutuhkan’ kelompok masyarakat miskin, antara lain dalam rangka pemanfaatan barang-barang bekas untuk didaur ulang.

Para manusia gerobak ini juga mengalami keterasingan atau alienasi. Mereka hidup terkucil di tengah ramainya kehidupan perkotaan. Mereka juga menarik diri dari kehidupan masyarakat dengan menutup diri dari pergaulan.

Masyarakatpun juga kerap memperlakukan mereka sebagai orang asing, bahkan ada juga warga masyarakat yang selalu mencurigai keberadaan manusia gerobak. Identitas mereka yang tidak dikenal menjadikan manusia gerobak menjadi sasaran kecurigaan dan mendapatkan stigma sosial dari masyarakat setempat.

Para penguasa kota juga merasa terganggu dengan adanya keberadaan manusia gerobak. Mereka dapat menjadi penanda kegagalan penyelenggara pemerintahan kota. mereka juga dinilai merusak keindahan kota dengan penampilan mereka yang lusuh dan terkesan kumuh.

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN

STATUS OBJEKTIF DAN STATUS SUBJEKTIF

TAWURAN SEBAGAI SUATU GEJALA SOSIAL (ANALISIS SOSIOLOGIS KONFLIK SOSIAL DI PERKOTAAN)