OJEG DAN SENGKARUT SISTEM TRANSPORTASI KOTA

 

OJEG DAN SENGKARUT SISTEM TRANSPORTASI KOTA

 

OJEG, MASALAH ATAU SOLUSI ?

Fenomena ojeg adalah fenomena yang khas di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Di Indonesia sendiri ojeg sudah dianggap sebagai bagian dari kehidupan transportasi masyarakat sehari-hari. Ojeg walaupun dipandang rendah dan sebelah mata, namun dalam kenyataannya bersifat fungsionil bagi struktur sosial. Keberadaan ojeg dianggap memudahkan anggota masyarakat dalam menjalani aktivitasnya sehari-hari.

Apalagi di kota-kota besar seperti Jakarta, keberadaan ojeg dapat menjadi alternatif solusi dalam menghadapi kemacetan kota sehari-hari. Seseorang yang harus pergi ke kantornya dengan menggunakan mobil pribadi akan menghabiskan waktu sampai berjam-jam untuk dapat menembus kemacetan di pinggiran dan pusat kota.

Adapun menggunakan sarana transportasi publik yang resmi seperti commuter line dan bus kota belum tentu mempermudah kehidupan para pengguna jalan.

Sebagai contoh, seornag pengguna kereta commuter line harus melanjutkan perjalanan ke tempat kerjanya dnegan menggunakan sarana transportasi lainnya seperti bus dan bus yang tersedia jumlahnya terbatas termasuk waktu kehadirannya yang relatif lama.

Sedangkan dnegan menggunakan ojeg, para pekerja kantoran dan pelajar dapat menghemat waktu lebih banyak dan terhindar dari jebakan kemacetan yang berlangsung setiap harinya.

Setelah turun dari  kereta commuter line, seorang pekerja kantoran dapat melanjutkannya dnegan menggunakan ojeg untuk bisa sampai ke tempat tujuannya. Apalagi keberadaan ojeg cukup banyak terdapat di berbagai statiun kereta commuter line sehingga memudahkan warga kota.

Selain itu ojeg disebut fungsional bagi masyarakat karena dapat dianggap sebagai katup penyelamat bagi strtutur sosial kota. Kota-kota di Indonesia tidak dapat menyediakan lapangan kerja yang memadai bagi warganya dan para pendatang yang datang ke kota-kota besar setiap tahunnya.

 Pertumbuhan ekonomi yang lamban dan derasnya arus pendatang ke kota mengakibatkan warga kota dan sekitarnya termasuk para urban kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal seperti bekerja sebagai buruh di pabrik atau sebagai karyawan di kantor.

Dengan keberadaan ojeg, golongan masyarakt miskin dapat memenuhi kebutuhan mereka dengan menjadi supir ojeg. Selain karena tidak membutuhkan pendidikan dan keterampilan yang tinggi, menjadi supir ojeg juga dipermudah oleh mudahnya mendapatkan fasilitas kredit kendaraan bermotor.

Di tengah persaingan dealer dan perusahaan leasing kendaraan bermotor dalam berebut konsumen, seringkali mereka menawarkan jasa kredit dengan syarat-syarat yang ringan.

Hanya dengan membayar DP sebesar 500 ribu rupiah, seseorang dapat memiliki kendaraan bermotor. Adapun  untuk membayar cicilan setiap bulannya dapat dipenuhi dengan berprofesi sebagai supir ojeg.

Ojeg merupakan sarana transportasi dengan menggunakan kendaraan bermotor roda dua. Karena tingkat keselamatannya yang masih belum memenuhi kriteria dan standari Kementrian Perhubungan, maka ojeg masih dianggap sebagai bukan sarana transportasi yang resmi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ojeg sebagai sebuah sarana transportasi yang ilegal.

Namun demikian, pemerintah kota tidak dapat serta merta melarang operasinya ojeg. Ojeg sudah terlanjur lekat dengan kehidupan masyarakat. Apalagi pemerintah menyadari masih adanya kekurangsempurnaan ketersediaan sarana transportasi publik yang ada baik commuter line, Light Rapid Transportation, Mass Rapid Tranportation, maupun bus Trans Jakarta di Kota Jakarta misalnya.

 

OJEG BERBASIS APLIKASI

Semenjak pertengahan tahun 2000-an, muncul fenomena baru di sejumlah kota di Indoneswia. Fenomena itu adalah munculnya perusahaan transportasi berbasis aplikasi. Mereka diantaranya adalah Grab, Gojeg dan Uber. Mereka menawarka jasa angkutan orang dan barang dengan menggunakan kendaraan bermotor yang dapat dipesan melalui aplikasi tertentu.

Para supir ojeg daring ini berasal dari berbagai lapisan sosial. Berbeda halnya denegan ojeg konvensional, supir ojeg dari tidak semuanya berasal dari kelas sosial bawah. Cukup banyak orang-orang dari kelas sosial menengah yang menjalani profesi sebagai supir ojeg daring.

Mereka diantaranya bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan yang ingin menambah pendapatan mereka dengan berprofesi sebagai supir ojeg daring. Ada juga diantara mereka yang kegiatan utamanya adalah kuliah di perguruan tinggi. Mereka menjadi supir ojeg daring dalam rangka mengisi waktu luang ketika musim liburan perkuliahan atau ingin menambah uang sakunya.

Adanya warga dari kelas sosial menengah yang menajdi supir ojeg daring ini selain dilihat dari profesi sebelumnya juga dapat dilihat dari kendaraan yang digunakan. Banyak motor yang digunakan untuk mengojeg yang merupakan motor-motor mahal, kontras dengan motor ojeg konvensional yang rata-rata sudah “butut” dna tidak laik jalan.

Hal ini menimbulkan komplikasi sosial di tengah masyarakat. Pada awalnya keberadaan ojeg berbasis aplikasi ini mengakibatkan persaingan tidak seimbang dengan ojeg konvensional.

Disebut tidak seimbang karena oje berbasis aplikasi atau ojeg daring ditunjang oleh perusahaan yang berinvestasi milyaran rupiah hingga trilyunan rupiah. Di awal-awal kemunculannya, ojeg daring menawarkan biaya yang sangat rendah kepada pengguna jasa.

Tarif yang rendah tersebut selain dikarenakan adanya investasi dari perusahaan induk juga karena sarana transportasi daring bagi kendaraan bermotor roda dua atau ojeg maupun mobil atau taksi daring tidak terikat dnegan peraturan pemerintah. Taksi daring misalnya tidak harus melakukan uji KIR. Mereka juga lolos dari kewajiban membayar pajak perusahaan.

Komplikasi sosial lainnya yang muncul dengan adanya keberadaan ojeg daring adalah terjadinya gesekan sosial dengan ojeg konvensional. Merasa pendapatannya berkurang dengan adanya ojeg daring, para supir ojeg konvensional merasa marah.

Mereka kemudian melampiaskan kemarahan mereka kepada supir-supir ojeg daring tersebut. Di beberapa tempat, bahkan terjadi perkelahian dan ada juga kasus kekerasan yang menimbulkan korban jiwa.

Hal itu disebabkan karena terjadinya kekosongan hukum. Pemerintah khususnya Kementerian Perhubungan terutama Dinas Perhubungan Darat tidak mengantisipasi situasi tersebut, padahal sinyal-sinyal kemunculan ojeg daring sudah ada jauh sebelumnya.

Situasi ini disebut oleh William Ogburn sebagai Cultural Lag atau Ketimpangan/kesenjangan Budaya. Ketimpangan budaya terjadi manakala perubahan yang terjadi pada satu aspek kehidupan tidak dapat diimbangi oleh perubahan pada aspek lainnya yang terkait.

Keadaan ini kemudian menimbulkan terjadinya goncangan sosial di masyarakat yang dapat berwujud ketegangan sosial dan konflik sosial antarwarga.

Konflik sosial yang terjadi berkaitan dengan keberadaan ojeg daring ini melibatkan banyak pihak. Konflik yang terjadi dapat berupa konflik antara supir ojeg daring dan supir ojeg konvensional, maupun konflik antara ojeg konvensional dengan pemerintah sebagai regulator.

Menanggap konflik tersebut nampaknya tidak banyak yang dilakukan oleh pemerintah. Konflik antara supir ojeg daring dan supir ojeg konvensional dengan sendirinya mereda. Hal itu disebabkan karena dalam perjalanan waktu, banyak diantara supir ojeg konvensional yang beralih menajdi supir ojeg daring.

Tidak semua supir ojeg daring melakukan hal ini. Mereka-mereka yang memiliki penghasilan yang snagat terbatas atau orang lanjut usia cenderung bertahan sebagai supir ojeg konvensional. Mereka ada yang tidak mampu beradaptasi dengan teknologi informasi yang menjadi prasyarat dalam menjalankan profesi sebagai supir ojeg daring.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN

STATUS OBJEKTIF DAN STATUS SUBJEKTIF

TAWURAN SEBAGAI SUATU GEJALA SOSIAL (ANALISIS SOSIOLOGIS KONFLIK SOSIAL DI PERKOTAAN)