ANTARA MALARI DAN PERISTIWA DUAPULUH TUJUH JULI

 

ANTARA MALARI DAN PERISTIWA DUAPULUH TUJUH JULI

 

PERISTIWA MALARI

Malari atau Malapetaka Limabelas Januari adalah peristiwa kerusuhan besar yang terjadi di Jakarta pada tanggal 15 Januari 1974. Peristiwa itu diawali dengan aksi demonstrasi yang dilakukan oleh sejumlah elemen mahasiswa yang memprotes kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka yang ketika itu singgah di Indonesia dalam rangkaian kunjungan kenegaraannya ke sejumlah negara di Asia Tenggara. Kunjungan itu diprotes oleh para mahasiswa karena mereka melihat kunjungan tersebut merupakan bukti dominasi Jepang atas perekonomian Indonesia.

Peristiwa Malari merupakan tantangan terbesar pertama yang dihadapi oleh pemerintahan Orde Baru. Semenjak berdirinya Orde Baru belum pernah menghadapi tantangan politik seperti Peristiwa Malari. Peristiwa Malari juga telah mencoreng wajah presiden Soeharto, karena peristiwa itu terjadi terkait dengan kunjungan kenegaraan P.M. Tanaka dan terjadi di ibukota.

Pada saat itu Jakarta dilanda huru-hara berupa aksi pembakaran moil-mobil buatan Jepang, penyerbuan dan pembakaran beberapa gedung seperti pusat pertokoan Senen, Gedung Toyota Astra, dan Coca Cola. Peristiwa Malari merenggut nyawa 11 orang dan banyak yang mengalami luka-luka. Hampir 1000 orang ditangkap dan diinterogasi, walaupun hanya 42 orang yang ditahan di Jakarta.

Permasalahan yang memunculkan Peristiwa Malari bukan saja terkait dengan keberadaan modal asing, khususnya Jepang. Para pengusaha Jepang juga dinilai belum memiliki pengalaman dalam bergaul dan mereka dianggap miskin dalam memahami kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Masyarakat dan kalangan mahasiswa menganggap Jepang hanya mementingkan diri mereka sendiri sehingga menjadi target empuk bagi para mahasiswa nasionalistis.

Penolakan mahasiswa terhadap modal Jepang dan konsep pembangunan Orde Baru dinyatakan dengan diselenggarakannya sejumlah kegiatan diskusi yan melibatkan sejumlah tokoh yang berseberangan dengan pemerintah Orde Baru seperti Subadio Sastrosatomo, Syafruddin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo dan T.B.Simatupang. Tokoh-tokoh tersebut dikenal sebagai tokoh PSI, Masyumi dan PNI.

Terjadinya Malari dilatarbelakangi oleh adanya ketidakpuasan dikalangan mahasiswa dan sejumlah cendekiawan terhadap ekses-sekses pembangunan yang diselenggarakan oleh pemerintah Orde Baru. Para mahasiswa pada tanggal 10 Januari 1974 mendeklarasikan Tritura Baru yang intinya adalah menggugat strategi pembangunan Orde Baru yang dianggap mengabaikan faktor-faktor non ekonomi. Aksi mahasiswa juga memiliki muatan kepentingan politik.

Hal ini dinyatakan oleh Jenderal Sumitro selaku Deputi Panglima Angkatan Bersenjata dan Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), bahwa terjadinya kerusuhan yang menyertai aksi demonstrasi mahasiswa bukan semata-mata dilatarbelakangi oleh tuntutan ekonomi, tetapi juga didorong oleh motif politik yaitu ingin menjatuhkan pemerintahan Presiden Suharto.

Peluang untuk menjatuhkan pemerintahan Suharto pada saat itu terbuka dengan terjadinya peristiwa jatuhnya pemerintahan Thailand yang saat itu sangat dekat dengan kepentingan Jepang dalam aspek ekonomi.

Pada awal tahun 1970-an pemerintah Orde Baru sendiri sedang mencari bentuk konsep pembangunan ekonomi dan politik. Ciri khas kebijakan pemerintah saat itu adalah berusaha mewujudkan kestabilan politik dengan meminimalisir konflik sekecil mungkin.

Hal ini berdampak kepada tertundanya program reformasi politik. Menurut pemerintah saat itu yang lebih dibutuhkan sehingga mendapat prioritas penting adalah pertumbuhan ekonomi, pembangunan ekonomi dan memaksimalkan produktifitas ekonomi ketimbang pembangunan politik, reformasi dan demokratisasi.

Paradigma yang terlalu menekankan pada aspek ekonomi ini kemudian menghasilkan konsep pembangunan ekonomi yang bersifat sangat pragmatis yang bersifat jangka pendek serta berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi.

Dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi pemerintah mengembangkan konsep pusat pertumbuhan dengan Trickle Down Effect-nya. Hal itu dilakukan oleh pemerintah karena saat itu Orde Baru sedang dalam tahap melakukan konsolidasi ekonomi dan masih mewarisi kekacauan ekonomi dan politik yang terjadi pada masa Orde Lama.

Pelaksanaan konsep pembangunan ini kemudian dilakukan dengan menjadikan teknokrat dan kalangan militer sebagai pemegang peranan yang utama.

Faktor lain yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa Malari adalah adanya faksionalisasi dan intrik di dalam tubuh pemerintahan terutama di kalangan elit militer. Persaingan itu terjadi antara kubu Opsus/Aspri (Asisten Pribadi Presiden Suharto) yang dipimpin oleh Ali Murtopo dan kubu Sumitro selaku Pangkopkamtib.

Menurut Sumitro, Ali Murtopo menyimpan dendam pribadi terhadapnya dikarenakan Sumitro pernah mengusulkan agar Ali tidak diangkat sebagai kepala BAKIN (Badan Koordinasi Intelejen) menggantikan Jenderal Sutopo Yuwono dan Sumitro melah mengusulkan Yoga Sugama sebagai Kabakin.

Oleh karena itu, menurut Sumitro, Ali berupaya merusak kredibilitas Sumitro sebagai Pangkopkamtib dengan adanya Peristiwa Malari. Berarti dengan demikian Sumitro sekaligus menuduh Ali Murtopolah dalang dibelakang peristiwa tersebut.

Ali dituduh menunggangi aksi-aksi demonstrasi mahasiswa dengan mengerahkan massa yang terdiri dari sejumlah komponen cair seperti eks Darul Islam, eks Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan eks Masyumi serta para preman Pasar Senen.

Dengan terjadinya kerusuhan, Ali Murtopo dapat meyakinkan presiden Suharto bahwa Sumitro sebagai Pangkopkamtib yang bertanggungjawab terhadap kemanan dan ketertiban di Indonesia khususnya Jakarta. Dalam perseteruan tersebut gerakan mahasiswa cenderung dimanipulasi dan terjepit diantara kedua kekuatan yang sedang berebut kekuasaan tersebut.

 

KERUSUHAN DUAPULUH TUJUH JULI 1996

Kerusuhan Duapuluh Tujuh Juli tahun 1996 atau yang populer dengan istilah Kudatuli merupakan sebuah peristiwa penting menjelang berakhirnya Orde Baru. Peristiwa tersebut memiliki keunikan mengingat peristiwa itu terjadi ketika Orde Baru sedang berada di puncak kejayaannya.

Pada saat itu kondisi makro dan mikro perekonomian Indonesia sedang dalam kondisi yang prima. Di dunia internasional Indonesia mendapatkan pujian sebagai Macan Asia, Keajaiban Asia dan lain sebagainya.

Pemerintahan Indonesia juga mendapatkan pujian dari dunia internasional. Setelah berhasil mencapai swasembada beras pada dekade 1980-an, pada era 1990-an awal pertumbuhan ekonomi Indonesia juga relatif tinggi.

Era 1990-an awal pemerintahan Orde Baru juga telah berhasil melakukan konsolidasi kekuasaan. Kelompok oposisi relatif tidak memiliki ruang gerak yang memadai untuk dapat mengancam kekuasaan Soeharto yang hegemonik saat itu.

Peristiwa Kudatuli merupakan bentuk akumulasi kekecewaan rakyat dan para aktivis pro demokrasi terhadap tersumbatnya saluran-saluran demokrasi. Sepanjang Orde Baru, lembaga-lembaga perwakilan seperti DPR, DPRD, dan MPR mengalami disfungsi.

Lembaga-lembaga negara tersebut alih-alih memperjuangkan kepentingan dan aspirasi rakyat justru telah bertindak sebagai corong penguasa. Lembaga-lembaga tersebut hanya menjadi alat legitimasi dari pihak yang berkuasa.

Pemilihan umum yang diselenggarakan sepanjang Orde Baru juga hanya menjadi semacam kosmetik belaka. Pelaksanaan demokrasi pada masa Orde Baru merupakan demokrasi yang semu. Pemiihan Umum telah kehilangan substansinya dan telah tereduksi menjadi kegiatan ritual dan prosedural belaka.

Di sisi lain, pemerintah Orde Baru telah secara sempurna melakukan konsolidasi politik. Sejak pemilihan Umum tahun 1977, kekuasaan di Indonesia terpusat pada dua unsur saja, yaitu Presiden Soeharto dan militer (ABRI).

Pemerintah Orde Baru juga telah menyusun struktur politik kenegaraan tanpa oposisi. Oposisi menurut pemerintah saat itu dianggap sebagai kegiatan subversif yang mengancam stabilitas nasional sehingga harus ditumpas.

Peristiwa Kudatuli dalam tataran elit dimaknai sebagai ketidakpuasan elit politik di luar pemerintahan terhadap konsep pembagian kekuasaan yang ada. Mereka selama bertahun-tahun mengalami marjinalisasi politik, sehingga dampaknya akses mereka terhadap sumber daya menjadi sangat terbatas.

Pemerintah Orde Bru mereka anggap terlalu rakus dengan memonopoli semua sumber daya, politik dan ekonomi untuk mereka saja. Kelompok-kelompok kepentingan yang ada seperti Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi indonesia dianggap hanya sebagai pelengkap untuk memberikan kesan demokrasi terhadap pemerintahan Orde Baru.

Peristiwa Kudatuli merupakan aksi penyerangan terhadap kantor Dewan Pertimbangan Pusat Partai Demokrasi Indonesia yang ketika itu dipimpin oleh Megawati. Serangan dilakukan oleh pendukung Suryadi, yaitu tokoh yang direstui oleh pemerintah Orde Baru melalui Kongres PDI di Medan untuk menjabat sebagai ketua Umum PDI.

aksi serangan tersebut disinyalir bukan semata-mata konflik internal PDI antara PDI Megawati dan PDI Suryadi. Serangan tersebut dianggap dilakukan secara terstruktur dan sistematis dengan melibatkan aparat keamanan termasuk aparat militer.

Peristiwa tersebut mengakibatkan jatuhnya korban jiwa yang jumlahnya sampai sekarang masih simpang siur. Peristiwa tersebut keesokan harinya diikuit oleh terjadinya sejumlah aksi pembakaran dan vandalisme di sejumlah tempat. Pasca Peristiwa penyerangan terhadap Kantor DPP PDI Megawati terjasi kerusuhan di beberapa tempat seperti di sekitar Jalan Diponegoro, Matraman, Kramat Raya, dan kawasan Senen.

Pemerintah Orde Baru menuding kerusuhan tersebut dilakukan oleh Partai Rakyat Demokratik, sebuah partai beraliran kiri yang dipimpin oleh Budiman Sudjatmiko, seorang mahasiswa Universitas Gajah Mada.

Menanggapi peristiwa tersebut pemerintah bertindak represif. Sejumlah aktifis yang tergabung dalam PRD ditahan. Beberapa pimpinan gerakan kiri yang ditahan antara lain Budiman Sudjatmiko, Andi Arief, Nezar Patria, dan beberapa aktivis lainnya. Bahkan sejumlah aktivis tidak ditemukan rimbanya hari ini seperti Widji Tukul, seorang seminan yang berafiliasi kepada PRD.

 

 

PERBANDINGAN ANTARA PERISTIWA MALARI DAN KUDATULI

Perbandingan antara Peristiwa Malari dan Peristiwa 27 Juli dapat dilihat dari tabel berikut :

 

Malari

Peristiwa 27 Juli

merupakan konflik antara elit militer pemerintah Orde Baru

merupakan konflik antara Megawati dan Suryadi yang didukung oleh pemerintah Orde Baru

aparat hanya bertindak mengamankan massa perusuh

keterlibatan aparat lebih terlihat

terbatas di kalangan elit militer dan mahasiswa

kalangan masyarakat yang terlibat dalam konflik lebih meluas

diawali oleh aksi demonstrasi mahasiswa

diawali oleh penyerbuan markas PDI Megawati

berdampak pada perubahan kebijakan ekonomi

tidak diikuti oleh adanya perubahan kebijakan ekonomi

persamaan

dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan terhadap pemerintah Orde Baru

dipicu oleh kekecewaan di bidang ekonomi

 

 

 

 

 

 

 

REFERENSI :

 

Asvi Warman Adam, Malari 1974 Dan Sisi Gelap Sejarah, dalam Seabad Kontroversi Sejarah, Yogyakarta : Ombak, 2007

David Jenkins, Soeharto Dan Barisan Jenderal Orba, Rezim Militer Indonesia, 1975-1983, Depok : Komunitas Bambu, 2010

Eep Saefullah Fatah, Konflik, Manipulasi Dan Kebangkrutan Orde Baru,Manajemen Konflik Malari,Petisi 50 Dan Tanjung Priok, Yogyakarta : Burungmerak Press, 2010

Francois Raillon, Politik Dan Ideologi Mahasiswa Indonesia, Pembentukan Dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974, Jakarta : LP3ES, 1985

Heru Cahyono, Peranan Ulama Dalam Golkar, Dari Pemilu Sampai Malari, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1992

Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jenderal Sumitro Dan Peristiwa 15 Januari 1974,Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1998

ISAI, Peristiwa 27 Juli, Jakarta : AJI, 1997

Ken Conboy ,Intel, Menguak Tabir Intelejen Indonesia,Jakarta : Pustaka Primatama,2007

Ramadhan K.H, Soemitro, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994

Richard Robison, Soeharto Dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia,Depok : Komunitas Bambu, 2012

Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru, Jakarta : Kompas,2014

MAJALAH :

Historia, Ali Murtopo, Sebuah Lakon, Jakarta : Dian Rakyat,2013

Tempo, Massa Misterius Malari, Jakarta ; PT Tempo Inti Media,2014

Tempo, Rahasia-Rahasia Ali Murtopo, PT Tempo Inti Media,2013

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN

STATUS OBJEKTIF DAN STATUS SUBJEKTIF

TAWURAN SEBAGAI SUATU GEJALA SOSIAL (ANALISIS SOSIOLOGIS KONFLIK SOSIAL DI PERKOTAAN)