KERUSUHAN MEI 1998 DAN RIVALITAS POLITIK ANTARA WIRANTO DAN PRABOWO
KERUSUHAN MEI 1998 DAN RIVALITAS POLITIK ANTARA
WIRANTO DAN PRABOWO
KERUSUHAN
MEI
Kerusuhan Mei 1998
menimbulkan kehancuran ekonomi yang beberapa bulan sebelumnya memang sudan
mengalami kekacauan. Kerusuhan Mei 1998 yang terjadi di beberapa daerah di
Indonesia tersebut telah menimbulkan korban ratusan jiwa dan harta benda.
Aksi-aksi kekerasan
massa, pembakaran, perusakan, hingga tindakan asusila telah menimbulkan
kepedihan dan luka yang mendalam bagi bangsa Indonesia. Kerusuhan Mei 1998
dengan demikian telah mencoreng wajah Indonesia di mata dunia internasional.
Citra bangsa Indonesai sebelumnya yang dikenal ramah dan santun spontan
berubah. Masyarakat Indonesai meliaht Indonesai dengan pandangan yang sinis dan
prihatin.
Kerusuhan Mei adalah
peristiwa kerusuhan massa yang terjadi pada 13-15 Mei 1998 di Jakarta. Peristiwa serupa terjadi di Palembang
pada tanggal 13 mei dan di Solo dan sekitarnya pada 14-15 Mei.
Jumlah korban yang tercatat
bervariasi. Menurut laporan seorang pastor Yesuit, Sandyawan Sumardji Sj jumlah korban dari peristiwa tersebut sekitar 499
orang
tewas. Ada juga laporan yang menyebutkan
jumlah korban tewas berjumlah 293 orang. Laporan lain yang lebih ekstrim bahkan menyebutkan
angka 1188 orang.
Kerusuhan Mei 1998
bukanlah peristiwa yang terpisah dari rangkaian kejadian sebelumnya,serta
berbagai dampak setelahnya. Dengan kata lain kerusuhan tersebut merupakan
sebagian dari seluruh proses-proses longitudinal sosial, politik, dan ekonomi
yang kompleks.
Kerusuhan Mei 1998
memiliki sejumlah dimensi, seperti :
-dimensi politik ; yaitu
merupakan akumulasi dari kesenjangan dan ketimpangan sosial yang berujung
kepada meluasnya kekecewaan terhadap struktur politik yang ada
-dimensi ekonomi ; yaitu
terjadinya kemunduran ekonomi yang diawali oleh kegagalan penganangan krisis
moneter dan krisis ekonomi
-dimensi kultural ;
yaitu adanya budaya amuk yang berupaya menjadikan kekerasan sebagai solusi
untuk penyelesaian permasalahan
-dimensi sosial ; yaitu
adanya nuansa rasial dalam kerusuhan yang ditandai oleh adanya aksi pembakaran
dan penjarahan terhadap toko-toko milik warga keturunan
Peristiwa Kerusuhan Mei
merupakan sebuah episode yang menutup sejarah Orde Baru. Peristiwa tersebut
telah menambah beban rakyat dan pemerintah yang sudah sejak awal tahun 1997
dilanda krisis moneter yang berkepanjangan.
Kerusuhan Mei tahun 1998 merupakan salah satu
tergedi dalam sejarah Indonesia modern. Kerusuhan tersebut menimbulkan kerugian
yang sangat besar. Kerugian akibat
kerusuhan Mei 1998 ditaksir jauh lebih buruk dibandingkan dengan kerusuhan
MALAPETAKAA 15 Januari 1974 silam.
Kerugian yang ditimbulkan oleh kerusuhan
tersebut antara lain mencapai Rp.2,5 Trilyun / sekitar 250 juta dolar AS. 2479 toko mengalami
kerusakan atau hancur, 1026
rumah, 1604 toko, 383 kantor swasta, 65 perkantoran bank, 45 bengkel, 40
pusat perbelanjaan, 13 pasar, 12 hotel,
24 restoran, 11 taman, 9 pompa bensin, 11 pos polisi,1119 mobil, 821 sepeda
motor, 8 bus, 486 lampu lalu lintas rusak. Informasi mengenai kerusakan tersebu disampaikan oleh Menteri
Koordinator Ekonomi dan Keuangan Ginandjar Kartasasmita.
Adapun wilayah yang
mengalami kerusuhan di Jakarta antara
lain kawasan Kyai Tapa, Gajah Mada, Daan Mogot,Latumenten,
Pesing, Cengkareng, Kebon Jeruk, Kalideres, dan Grogol.
Tersangka yang ditangkap
karena melakukan penjarahan sekitr 1000 oran. Mereka adaah pelaku lapangan yang
tertangkap oleh aparat keamanan, akan tetapi mereka yang disinyalir sebagai
aktor intelektual dalam kerusuhan tersebut tetap menjadi misteri.
Pemerintah Orde Baru
yang semenjak beberapa bulan terakhir
sudah terhuyung-huyung akibat badai krisis ekonomi yang sangat memukul harus
menerima beban baru. Kerusuhan tersebut menurut Soeharto sendiri telah
meluluhlantakkan perekonomian yang sudah susah payah dibangun semenjak tiga
puluh tahun terakhir.
Kerusuhan Mei tersebut menimbulkan pengaruh
yang luas baik di bidang ekonomi, politik, dan sosial. Beberapa dampak akibat peristiwa
tersebut antara lain melemahnya dukungan para tokoh senior militer terhadap
Soekarto.
Sejumlah elit
pemerintahanpun menyadari situasi makin tidak terkendali. Sejumlah elit di
lingkaran dalam Soehartopun berkesimpulan bahwa situasi tersebut tidak akan dapat
dipulihkan tanpa ada penyelesaian yang komperhensif dan fundamental, mereka
sepakat bahwa Soeharto harus mundur.
Peristiwa Trisakti dan
Kerusuhan Mei 1998 telah mengakibatkan Presiden
Soeharto makin kehilangan legitimasi politiknya. Dukungan yang semakin melemah dan penghianatan para
elit terdekatnya serta faktor usia yang semakin renta menjadikan Soeharto tidak
mampu lagi bertahan. Akhirnya drama politik berakhir ketika pada pagi hari
tanggal 21 Mei 1998 Soeharto menyatakan pengunduran dirinya dari jabatan
sebagai presiden.
RIVALITAS POLITIK ANTARA WIRANTO DAN
PRABOWO
Peristiwa Kerusuhan Mei
1998 tidak dapat dilepaskan dari adanya ketegangan di dalam tubuh angkatan
bersenjata. Menjelang berakhirnya Orde Baru, situasi politik dalam negeri
Indonesia sedang memanas. ABRI saat itu juga terbelah ke dalam sejumlah faksi
yang saling bersaing. Salah satu rivalitas politik yang paling menonjol saat
itu adalah rivalitas yang terjadi antara Wiranto dan Prabowo.
Jenderal Wiranto dan Letnan Jenderal Prabowo
merupakan sosok paling berpengaruh pada tahun 1998. Keduanya memiliki jabatan
yang sangat strategis yang menentukan dinamika politik saat itu.
Berdasarkan informasi
dan opini dari Mayjen Kivlan Zen yang pernah menjabat sebagai Kepala Staf
Kostrad, Jenderal Wiranto terlibat persaingan dengan Prabowo dalam rangka
mendapatkan perhatian dari Soeharto. Hal itu terjadi ketika gerakan anti
Soeharto semakin menguat di kalangan mahasiswa.
Wiranto juga tidak
menyenangi Prabowo yang kerap kali melakukan pertemuan dengan Amien Rais.Amien
Rais sendiri dikenal vokal dan sikap politknya yang tidak disukai oleh
Soeharto. Pertemuan keduanya kemudian dilaporkan ke Soeharto sehingga Prabowo
dikemudian hari tidak disukai oleh keluarga Cendana.
Wiranto pada saat menjelang berakhirnya
pemerintahan Orde Baru merupakan Panglima ABRI sekaligus Menteri di bidang
Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) sedangkan Prabowo sebagai Panglima Komando Cadangan
Strategis (Kostrad).
Hanya saja ketika itu
polisi Prabowo lebih unggul dibandingkan Wiranto. Walaupun Wiranto merupakan
Panglima ABRI sekaligus sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan yang membawawi
TNI dan Polri, namun Prabowo unggul dalam beberapa aspek.
Pertama, Prabowo
memiliki jaringan klik politik dalam tubuh angkatan berenjata yang lebih luas.
Sejumlah kawan-kawan Prabowo ketika itu menduduki sejumlah jabatan strategis,
seperti Kepala Staf Angkatan Darat, Danjen Kopassus, Pangdam Jya, Dankorps
Marinir dan lain sebagainya. Sedangkan Wiranto tidak memiliki orang-orang yang
duduk di jabatan strategis di jajaran ABRI.
Kedua, Prabowo juga
memiliki akses luas ke kalangan Islam khususnya dari kalangan modernis. Prabowo
dikenal dekat dengan sejumlah kalangan Islam yang tergabung di dalam ICMI. Hal
itu jelas merupakan modal penting bagi Prabowo untuk memperluas pengaruhnya.
Kedekatan Prabowo dengan kalangan Islam
modernis selain dilatarbelakangi oleh kedekatan ayahnya sebagai tokoh PSI
dengan tokoh-tokoh Masyumi, juga disebabkan karena peran seorang loyalis
setianya, Fadli Zon. Fadlilah yang seringkali menjadi penghubung antara Prabowo
dan kalangan Islam modernis.
Ketiga, Prabowo
merupakan menantu dari Presiden Soeharto. Faktor ini jelas tidak dapat
disangkal turut mengukuhkan kedudukan Prabowo di ABRI.
Dalam kaitannya dengan
kerusuhan Mei, baik Wiranto maupun Prabowo saling tuding mengenai siapakah yang
paling bertanggungjawab. Prabowo menuding Wiranto harus mempertanggungjawabkan segala
tindakannya atas kerusuhan yang terjadi. Prabowo menuduh Wiranto seakan sengaja
membiarkan kerusuhan terjadi dengan meninggalkan Jakarta pada saat-saat genting
menjelang kerusuhan.
Tuduhan lain
Prabowo dan kliknya adalah, Wiranto
terkesan sengaja tidak mengerahkan pasukan untuk mengamankan kerusuhan sehingga
kerusuhan yang terjadi makin meluas dan menimbulkan efek yang dahsyat.
Menjawab tuduhan ini
Wiranto membela diri. Ia justru mempermasalahkan kepergiannya dari Jakarta
untuk memenuhi undangan Pangkostrad dalam rangka meresmikan pasukan pemukul
cepat di Malang.
Lagipula, kepergiannya
bukan berarti ia tidak dapat memantau dan mengendalikan situasi yang ada.
Adapun tanggungjawab langsung keamanan di Jakarta lebih pada Kapolda Metro Jaya
dan Panglima Kodam Jaya.
Rivalitas antara Wiranto
dan Prabowo tidak berakhir walaupun peristiwa Trisakti dan Kerusuhan Mei sudah
tidak lagi dibicarakan orang. Keduanya kmbali terlibat dalam kontestasi dalam
arena politik praktis. Setelah keduanya mendirikan partai politik,
masing-masing Wiranto dengn Partai Hanuranya dan Prabowo dengan partai
Gerindra, keduanya mencalonkan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden.
Akan tetapi merupakan
sebuah ironi sejarah. Keduanya ternyata gagal memenangkan pertandingan,
tokoh-tokoh lain seperti Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyonolah yang dapat
mengambil keuntungan dalam kontestasi pemilihan umum saat itu. Keduanya
memerintah bahkan masing-masing selama dua periode berturut turut, sementara
baik Wiranto maupun Prabowo harus mengubur mimpinya untuk menjadi orang nomor
satu di Republik.
REFERENSI :
B.J.Habibie, Detik-Detik
Yang Menentukan, Jakarta : THC Mandiri, 2006
Kivlan Zen,Konflik dan
Integrasi TNI AD, Jakarta : IPS, 2004
Hermawan Sulistyo,
Lawan, Jejak-jejak Jalanan di Balik Kejatuhan Soeharto, Jakarta : Pensil 324,
2009
Adrinov Chaniago, Gagalnya Pembangunan,
Membaca Ulang Keruntuhan Orde Baru, Jakarta : LP3ES, 2012
Edward Aspinal (ed), Tittik Tolak Reformasi,
Hari-Hari Terakhir Presiden Soeharto, Yogyakarta : LKIs, 2000
Muhammad Hisyam (Ed), Krisis Masa Kini Dan
Orde Baru, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2003
B.J.Habibie,
Detik-Detik Yang Menentukan, Jakarta : THC Mandiri, 2006
Fadli Zon, Politik Huru
Hara Mei 1998, Jakarta : IPS, 2004
Kivlan
Zen,Konflik dan Integrasi TNI AD, Jakarta : IPS, 2004
Wiranto, Bersaksi di
Tengah Badai, Jakarta : IdeIndonesia, 2003
Komentar
Posting Komentar