TATANAN SOSIAL POLITIK PASCA JATUHNYA SOEHARTO

 

TATANAN SOSIAL POLITIK PASCA JATUHNYA SOEHARTO

PENGANTAR

Mundurnya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden terjadi karena akumulasi sejumlah faktor ekonomi dan politik. Krisis kembar yang dihadapi oleh Indonesia tidak mampu ditanggulangi oleh Soeharto. Jatuhnya nilai tukar rupiah yang disertai oleh krisis kepercayaan telah melemahkan kekuatan Soeharto.

Peristiwa pengunduran diri sebelas menteri yang dipimpin oleh Ginandjar Kartasasmita dapat dianggap sebagai pukulan telak yang melemahkan pertahanan Soeharto, ditambah oleh adanya instruksi dari Harmoko selaku pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat yang notabene diangkat atas restu dari Soeharto.

Soeharto tidak mengira, para loyalisnya dengan mudah meninggalkannya. Akan tetapi itulah dunia politik, dalam hitungan detik, yang dianggap sebagai kawan akan dapat mudah berubah menjadi lawan dan begitu pula sebaliknya.

Awalnya Soeharto ingin tetap bertahan. Ia merencanakan pembentukan Dewan Reformasi dengan melibatkan sejumlah tokoh yang memiliki reputasi baik di tengah-tengah masyarakat. Namun penolakan tokoh-tokoh tersebut menyebabkan Soeharto masygul. Ia merasa sendirian sekarang.

Di tengah situasi politik dan ekonomi yang diwarnai oleh kemelut itulah, Soehartoo mendapatkan sejumlah masukan dari orang-orang yang pernah menjadi orang terdekatnya. Sejumlah nasehat dari sejumlah tokoh seperti Try Sutrisno, Umar Wirahadikusuma yang memberikan saran kepada Soeharto untuk mengundurkan diri.

Akhirnya, jaminan keamanan yang diberikan oleh Jenderal Wiranto kepada Soeharo dan keluarganya mendorong Soeharto membulatkan tekadnya untuk mengundrkan diri dari jabatannya sebagai presiden.

Mundurnya Soeharto dan berakhirnya pemerintahan otoriter Orde Baru sebenarnya bukanlah sebuah proses sederhana. Proses melemahnya pemerintahan Orde Baru sudah berlangsung jauh sebelumnya.

Di bidang ekonomi misalnya, fundamental ekonomi Indonesia sangat  lemah dan mudah sekali mengalami guncangan. Perekonomian Indonesia pada dekade terakhir Orde Baru lebih banyak bersifat kosmetik ketimbang subsansi. Kegiatan ekonomi lebih banyak bergerak di sektor keuangan yang bersifat spekulatif ketimbang di sektor rill.

Kondisi tersebut diperparah dengan berlangsngnya praktik-praktik ekonomi yang distorsif. Kegiatan ekonomi banyak dilakukan dengan praktik korupsi kolusi dan nepotisme. Nepotisme pemerintahan Orde Baru secara mencolok dipertontonkan ketika Soeharto mengangkat Tutut, anak sulungnya sebagai salah satu menteri dalam kabinet Pembangunan VII.

Pada sektor ekonomi makro, pembangunan yang dilakanakan oleh pemerintah Orde Baru sangat berorientasi pada pertumbuhan, pembangunan yang digembar-gemborkan bercorak hiper pragmatis.

Semua kekacauan politik dan ekonomi tersebut berujunga kepada runtuhnya perekonomian ketika nilai tukar rupiah mengalami kejatuhan. Diawali oleh adanya krisis moneter di Thailand dan Korea Selatan, krisis yang sama masuk ke Indonesia di awal tahun 1997.

Jatuhnya rupiah menimbulkan efek domino yang dahsyat, yaitu melambungnya hutang luar negeri Indonesia baik hutang dari pemerintah maupun hutang dari sektor swasta.

Jatuhnya nilai tukar rupiah segera berpengaruh pada sektor perbankan. Bank-bank berjatuhan karena mengalami  krisis likuiditas. Hal itu berdampak pada sektor lainnya yaitu sektor produksi dan tenaga kerja. Seketika ratusan pabrik dan perusahaan gulung tikar karena tidak mendapatkan kredit dari perbankan.

Efek sampingnya tentu saja pemutusan hubungan  kerjsa. Jutaan orang Indonesia kemudian menganggur. Kondisi ini mengakibatkan meluasnya ketidakpusan dan ketidak kepercayaan rakyat secara luas kepada pemerintah.

 

 

 

TATANAN SOSIAL POLITIK BARU

Runtuhnya Orde baru dikatakan sebagai sebuah reformasi politik ekonomi ketimbang revolusi. Walaupun demikian, perubahan struktural di bidang politik dan ekonomi serta sosial budaya juga tetap terjadi.

Perubahan paling nyata pasca mundurnya Soeharto terlihat pada bidang politik. Terjadi banyak perubahan penting di bidang politik  yang merubah secara total rule of game yang ada.

Salah satu perubahan mencolok yang terlihat adalah pada bidang kepartaian. Pembatasan jumlah partai politik segera dihapuskan oleh pemerintahan baru pimpinan B.J.Habibie. Habibie mencabut 5 Paket Undang-Undang Politik yang melarang warga negara Indonesia mendirikan partai politik. Akibatnya adalah berdirinya puluhan partai politik  dari berbagai aliran yang ada mlai dari kiri sampai kanan.

Bermunculannya banyak partai politik saat itu sepertinya mengingatkan situasi politik Indonesia di tahun 1950-an. Ketika itu masyarakat bergairah untuk terlibat dalam kegiatan politik praktis. Ideologi-ideologi tumbuh dengan suburnya.

Kemenangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden dalam pemilihan presiden di sidang MPR berikutnya mendorong terbukanya perubahan politik.

Di bawah pemerintahan Gusdur, TNI semakin dilucuti kewenangannya. Dengan dihapuskannya Dwifungsi ABRI, TNI kemudian kembali ke barak, TNI telah menjadi alat bagi pemerintahan sipil dan diharuskan mengakui supremasi sipil.

Reformasi juga telah menimbulkan keseimbangan baru dalam tatanan politik dan pemerintahan. Lembaga eksekutif yang sangat berkuasa pada masa Orde Baru perlahan-lahan mengalami desakralisasi.

Pada masa reformasi, lembaga kepresidenan tidak lagi dianggap sakral. Presiden pada masa reformasi tidak tertutup dari kritik terbuka yang disampaikan baik oleh rakyat maupun oleh para politisi yang berposisi sebagai oposisi.

Berangkat dari adanya pemusatan kekuasaan pada presiden, maka pada masa reformasi, dilakukan penguatan wewenang lembaga-lembaga tinggi negara lainnya yaitu legislatif dan yudikatif. Kedudukan kedua lembaga tersebut diperkuat dalam rangka mengimbangi kekuasaan eksekutif.

Penguatan lembaga yudikatif dilakukan dengan dibentuknya Mahkamah Kostitusi. Mahkamah tersebut bertugas memastikan produk perundangan yang ada di Indonesia tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu Mahkamah Konstitusi juga bertugas menangani sengketa pemilihan umum dan pemilihan presiden serta pemilihan kepala daerah.

Adapun penguatan lembaga legislatif ditandai oleh disetarakannya kedudukan lembaga eksekutif. Pada masa reformasi, posisi ekseutif secara de facto setara dengan legislatif. Konflik antara Gus Dur dan DPR mencerminkan adanya adanya posisi setara antara kedua lembaga tinggi negara tersebut. Konflik antara lembaga kepresidenan sebagai lembaga eksekutif dengan DPR sebagai manifestasi dari lembaga legislatif belum pernah terjadi sebelumnya pada masa Orde Baru.

Selain itu dalam rangka menjalankan mandat gerakan reformasi, ranah hukum direvitalisasi dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pembentukan KPK seakan-akan memberikan warna baru bagi penegakan hukum di Indonesia.

KPK telah membangkitkan optimisme rakyat akan adanya penegakan hukum yang didasarkan atas asas keadilan. Sejauh ini performa lembaga anti rasuah tersebut telah mendapatkan banyak simpati dari rakyat Indonesia.

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN

STATUS OBJEKTIF DAN STATUS SUBJEKTIF

TAWURAN SEBAGAI SUATU GEJALA SOSIAL (ANALISIS SOSIOLOGIS KONFLIK SOSIAL DI PERKOTAAN)