INTERAKSI SOSIAL DAN PERBEDAAN GENDER

 

INTERAKSI SOSIAL DAN PERBEDAAN GENDER

SEKS

Seks, gender dan seksualitas merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia yang dikaji dan dipelajari oleh sosiologi. Sosiologi menaruh perhatian kepada permasalahan seks, gender dan seksualitas disebabkan hal tersebut memiliki dimensi sosial dan memengaruhi kehidupan sosial mulai dari tataran mikro berupa proses interaksi sosial dan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga sampai kepada tatanan makro, yaitu struktur sosial masyarakat dan sistem global.

Konsep seks merupakan konsep yang membedakan laki-laki dan perempuan secara fisik dan anatomis. Seks merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu, misalnya :

laki-laki

perempuan

memiliki penis

memiliki alat reproduksi seperti rahim

memproduksi sperma

memiliki vagina

 

mempunyai alat untuk menyusui

 

Seks merupakan pembagian peran seksual antara laki-laki dan perempuan. Pembagian tersebut bersifat permanen dan tidak dapat mengalami perubahan serta merupakan ketentuan biologis yang sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau bersifat kodrati. (Faqih, 2008)

Seks merupakaan salah satu atribut manusia yang paling mendasar selain stnis/suku bangsa, agama, umur,kelas sosial dan pekerjaan atau profesi. Seks merupakan keadaan anatomis dan biologis, yaitu jenis kelamin jantan (male) dan betina (female).

Sekslah yang pertama mendefinisikan kita sebagai manusia, yaitu perempuan dan laki-laki serta kedewasaan. Aspek ini terus memengaruhi seseorang sepanjang hidupnya, bahkan manusia cenderung didorong melihat dirinya dari jenis kelamin yang ia miliki. Seks dan Seksualitas menjadi inti keberadaan seseorang. Dari sekian banyak atribut manusia-ras, kebangsaan, kesukuan, kelas, agama, umur, pekerjaan-salah satu  identitas paling mendasar adalah seks. Singkatnya, seks dan seksualitas mampu mendefinisikan kita secara pribadi, sosial dan moral. (Julia, 2012)

GENDER

Berbeda dengan konsep seks yang merupakan konsep yang membedakan laki-laki dan perempuan secara fisik dan anatomis, konsep gender menjelaskan tentang pembedaan sosial dan kultural antara laki-laki dan perempuan. Gender menekankan pada pembentukan sosial yang menyangkut feminitas dan maskulinitas.

Membedakan seks dan gender tidak hanya menekankan pada asal-usul perbedaan sosial dan budaya antara laki-laki dan perempuan, namun juga membantu memecahkan ketaksaan kata “seks”. Jika gender digunakan untuk membedakan laki-laki dan perempuan, istilah ‘seks’ dan ‘seksualitas” dapat dikaitkan dengan aktivitas, hasrat, praktik, dan identitas erotis. Namun defenisi ini tidak mudah dipertahankan, dan tidak semua kaum feminis mendukung defenisi ini.(Jackson, 2009)

Selanjutnya, perbedaan antara seks dan gender dapat dilihat dari tabel berikut ini.

SEKS

GENDER

pembedaan laki-laki dan perempuan secara biologis/anatomis/fisik

pembedaan laki-laki dan perempuan secara sosial-budaya

dianggap sebagai natur

kultur

pembedaan peran seksual antara laki-laki dan perempuan. Misalnya mengandung, melahirkan dan menyusui merupakan peran seksual perempuan

pembedaan peran sosial antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial

bersifat kodrati

peran sosial dapat berubah dan dipertukarkan

menyangkut aktivitas seksual/hubungan seksual erotis yang intim

menyangkut feminitas dan maskulinitas

perempuan “dilahirkan”

perempuan “dibentuk”

 

Sejarah pembedaan  gender (gender differences) antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial dan kultural melalui ajaran keagamaan maupun institusi negara. Melalui proses panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan, seolah-olah bersifat biologis dan tidak dapat diubah lagi.

Sebaliknya, melalui dialektika, konstruksi sosial gender yang tersosialisasikan secara evolusional dan perlahan-lahan memengaruhi biologis masing-masing jenis kelamin. Misalnya, karena konstruksi sosial gender, kaum laki-laki harus bersifat kuat dan agresif, maka kaum laki-laki kemudian terlatih dan tersosialisasi serta termotivasi untuk menjadi atau menuju ke sifat gender yang ditentukan oleh suatu masyarakat, yakni secara fisik lebih kuat dan lebih besar.

Adapun perempuan, karena harus lemah lembut, maka sejak bayi proses sosialisasi tersebut tidak hanya berpengaruh kepada perkembangan emosi dan visi serta iseologi kaum perempuan, tetapi juga memengaruhi perkembangan fisik dan biologis selanjutnya. Karena proses sosialisasi dan rekonstruksi berlangsung secara mapan dan lama, akhirnya menjadi sulit dibedakan apakah sifat-sifat gender itu, seperti kaum perempuan lemah lembut dan kaum laki-laki kuat perkasa, dikonstruksi atau dibentuk oleh masyarakat atau kodrat.

Namun, dengan menggunakan pedoman bahwa setiap sifat biasanya melekat pada jenis kelamin tertentu dan sepanjang sifat-sifat tersebut bisa dipertukarkan, maka sifat tersebut adalah hasil dari konstruksi masyarakat dan sama sekali bukanlah kodrat yang tidak dapat diubah lagi. (Fakih, 2008)

Konsep Gender  menyatakan bahwa tubuh yang diseksualkan itu sendiri merupakan sebuah socially Contructed, atau merupakan hasil dari konstruksi sosial masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat pada umumnya melakukan konstruksi gender yang berdampak pada pengabaian bahkan perepresian sejumlah bentuk seks seperti kelamin ganda dan berbagai orientasi seksual marjinal seperti homoseksualitas, yang meliputi Gay dan Lesbianisme dan transeksualisme.

Hal itu semuanya ditolak oleh masyarakat yang cenderung terpaku pada oposisi biner mengenai seks yang mengkategorikan seks berdasarkan laki-laki atau perempuan dan juga oposisi biner mengenai aktivitas seksual antara yang “norma’ dan yang ‘menyimpang” atau “tidak normal”.

Gender merupakan suatu konsep yang mengacu kepada sistem hubungan sosial yang membedakan peran antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat yang dibangun atau dikonstruksi secara sosial atau kultural, termasuk di dalamnya pembedaan sifat antara laki-laki dan perempuan.Pembedaan tersebut pada akhirnya membentuk semacam stereotipe gender sebagai berikut :

 

laki-laki

perempuan

kuat

lemah lembut

rasional

emosional

jantan

feminim

kebapakan

keibuan

perkasa

cantik

agresif

pasif

bekerja di ruang publik

bekerja di sektor domestik 9rumah tangga)

memimpin

dipimpin

ketidaksetiaan

kesetiaan

egois, mau menang sendiri

sifat mengalah

tidak sabar, emosional

kesabaran

 

Konsep gender ini juga berlaku dalam relasi sosial antara perempuan dan laki-laki. Sebagian masyarakat cenderung bersikap ketat tehadap perempuan dengan mengungkungnya dengan sejumlah norma-norma seksual dan tabu seksual serta berbagai regulasi seks lainnya, akan tetapi masyarakat cenderung permisif tehadap laki-laki. Misalnya, masyarakat menyatakan bahwa perempuan harus perawan. Keperawanan menjadi sesuatu yang dianggap suci dan sakral, akan tetapi laki-laki dianjurkan mencari pengalaman seksual ; perempuan diharapkan lebih pasif dan reseptif. Karenanya, dalam perkawinanpun kelazimannya laki-laki yang meminang, bukan perempuan.

Laki-laki yang dianggap poligam, oleh karena itu ketika ada laki-laki yang melakukan penyelewengan dan perselingkuhan, hal itu dianggap lumrah oleh masyarakat. Bahkan masyarakat justru menyalahkan sang istri yang dianggap tidak mampu memberikan pelayanan yang maksimal sehingga si suami melakukan perselingkuhan. Akan tetapi, jika perselingkuhan itu dilakukan oleh perempuan/istri maka akan mengundang reaksi yang keras dari masyarakat dan dari sang suami. Dalam beberapa kasus bahkan hal itu sampai berujung kepada kekerasan terhadap istri yang kerap kali berujung kematian.

Nengah Bawa Atmaja dalam bukunya, Sosiologi Media memberikan gambaran mengenai stereotipe gender  yang bersifat binner sebagai berikut ;

laki-laki

perempuan

jenis kelamin pertama

jenis kelamin kedua

sektor publik

sektor domestik

keras

lembut

berani

penakut

rasional/rasio

emosional/rasa

superordinat

subordinat

aktif

pasif

subjek

objek

menguasai

dikuasai

memerintah

diperintah

mengatur

diatur

(Atmaja, 2018)

 

Stereotip di atas menunjukkan bahwa binerisme atau dualisme kultural tersebut mencerminkan adanya hubungan antara laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan dimensi kelas dan kekuasaan.

Sedangkan Bagong Suyanto, dalam bukunya Sosiologi, Teks Pengantar dan terapan memberikan ilusttrasi pembedaan antara konsep seks dan gender sebagai berikut ;

SEKS

GENDER

biologis

kultur, adat istiadat

pemberian Tuhan

bentukan setelah lahir, diajarkan melalui sosialisasi dan internalisasi

kodrat (alami)

merupakan suatu konstruksi sosial masyarakat

tidak dapat diubah

dapat diubah

bersifat statis

bersifat dinamis

tidak dapat dipertukarkan

dapat dipertukarkan

berlaku sepanjang masa

tergantung kebudayaan dan kebiasaan

berlaku di mana saja

tergantung kebudayaan setempat

 

peran seks

laki-laki 

perempuan

laki-laki  melakukan produksi

perempuan melakukan reproduksi ; haid,hamil, melahirkan, menyusui

 

peran gender berdasarkan stereotipe gender

laki-laki

perempuan

mencari nafkah

bekerja sebagai ibu rumah tangga

sebagai tenaga profesional

merawat dan mendidik anak

menjadi direktur, pekerja tambang, supir

bekerja sebagai perawat, guru TK, asisten rumah tangga

 

Selain itu stereotipe gender juga dapat muncul dan berkembang melalui penggunaan bahasa. Tidak disangkal bahwa bahasa merupakan bagian dari sistem simbolik yang turut membentuk dunia sosial dan realitas sosial, termasuk membentuk atau mengkonstruksi pemahaman mengenai perbedaan gender. Stereotip gender dapat ditemukan dalam penggunaan bahasa sebagai berikut :

 

laki-laki

perempuan

aktif

pasif

membelai

dibelai

meraba

diraba

memeluk

dipeluk

mencium

dicium

melamar

dilamar

menikahi

dinikahi

menceraikan

diceraikan

menguasai

dikuasai

memerintah

diperintah

mengatur

diatur

(Atmaja, 2018)

 

Berbeda dengan seks, dalam konsep gender, peran sosial antara laki-laki dan perempuan dapat dipertukarkan. Pertukaran peran sosial tersebut dimungkinkan karena perbedaan antara laki-laki dan perempuan cenderung dihasilkan melalui pandangan masyarakat yang didasarkan atas sistem nilai dan norma tertentu.

Artinya jika sistem nilai dan norma yang ada memungkinkan maka pertukaran peran tersebut juga dapat dilakukan. Misalnya peran sebagai pencari nafkah yang selama ini disematkan kepada laki-laki pada dasarnya dapat juga dilakukan oleh perempuan, dan sebaliknya peran mengasuh anak yang selama ini menjadi pekerjaan ‘tradisional’ kaum perempuan juga dapat dijalankan oleh laki-laki.

Proses konstruksi  sosial gender  terjadi melalui proses yang sangat panjang. Konsep gender tersebut dibentuk, disosialisasikan,diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial dan kultural melalui ajaran keagamaan, negara,pendidikan, media dan lain sebagainya, sehingga konsep gender tersebut akhirnya dianggap menjadi semacam ketentuan Tuhan dan seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi.

      Homososial : berjenis kelamin sama

      Heterososial : berjenis kelamin beda

 

REFERENSI :

Bagong Suyanto, Sosiologi Tes Pengantar Dan Terapan, Jakarta : Kencana, 2014

Julia Suryakusuma, Agama, Seks Dan Kekuasaan, Depok : Komunitas Bambu, 2012

Irwan Abdullah, Seks, Gender, Dan Reproduksi Kekuasaan, Yogyakarta : 2001

Mansour Fakih, Analisis Gender Dan Transformasi Sosial, Yogyakarta : Insiste, 2008

Prisma, Seks Dalam Jaring Kekuasaan, Jakarta : LP3ES, 1991

Ratna Batara Munti, Demokrasi Keintiman, Seksualitas di Era Global, Yogyakarta : LkiS, 2005

Stevi Jackson (ed), Pengantar Teori-Teori Feminis Kontemporer, Yogyakarta : Jalasutra, 2009

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI PEMBUNUHAN

STATUS OBJEKTIF DAN STATUS SUBJEKTIF

TAWURAN SEBAGAI SUATU GEJALA SOSIAL (ANALISIS SOSIOLOGIS KONFLIK SOSIAL DI PERKOTAAN)